Perawat Jenazah

ia perempuan.
urai panjang rambutnya selamanya menghitam malam, sepasang matanya bertoreh baskara, tangan kanan menggenggam fajar yang kiri menadah ranah buritan. kakinya mengayun angin di atas dipan -dinikmati itu seumpama candu- dan bila waktunya datang, ia langkahkan kemana berjalan.
kini jalannya melesat tak terhambat: baginya cuma satu, cabang dan ranting itu semu; maju. katanya kematian tak jemu menunggu
.
Suara-suara memanggil namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. Bebunyian yang bertahun-tahun dia kenali melebihi pengenalannya akan jumlah usia yang selalu lalai dihitungnya. Sebentar lagi pasti ada yang datang, pikirnya. Dia bangkit, dipan kayu berderit.
“Sudah waktunya. Tapi aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.
Seorang sepertinya tidak membutuhkan citra, hanya ketulusan, dia bergumam. Satu-satu, perhiasan yang ada pada tubuhnya terlepas: kalung, anting, gelang dan cincin. Perhiasan toh cuma pemanis belaka, tak dibawa mati. Maka tidak patutlah itu bersinggungan dengan orang mati. Hanya perasaan jangan sampai mati.
Diambilnya air wudhu. Tubuhku memang masih hidup, karenanya harus pula suci, kata hatinya ketika dingin air padasan mencapai ujung sikunya.  Tak didengarnya ketukan di pintu yang memanggil-manggil namanya. Tapi ketika anak tertuanya pergi membukakan pintu, dia telah selesai sama sekali dalam bersiap. Dapat didengarnya orang yang datang dan kini telah duduk di kursi ruang tamu itu berkata:
“Pamularsih dan anaknya.”
*****
/2/
bila saja mampu, bukan pada alam ini nyawanya berdiri.
ia lebih tenang jika menyanding matahari dalam kisar galaksi. sebab ia bisa merajuk dayagunanya agar planet dan bintang mungil itu berpijar wajar atau melebur gentar. selaik keindahan tanpa rintih yang menyuara gelegar, begitu tenang dan tenteram.
apalah daya, tetap saja ia kumpulan debu dengan senyawa yang juga diburu. ia bersaksi itu tiap kali akan menggerutu.

Sampai di rumah yang sepi pelayat itu, Tugirah bergerak cepat. Dipintanya beberapa orang membentangkan kain jarit sepanjang yang ada, sebanyak yang ada untuk membunikan pekerjaan yang dilakukan pada mayit. Kali ini ada dua dan seperti yang lalu, hatinya masih saja bergetar. Kematian selalu mendirikan bulu roma. Selalu ada cerita di baliknya, setidaknya sebuah ikhtisar hidup dan lonceng tanda bersiap-siap bagi yang hidup. Seperti dia, kematian baginya adalah agung hingga tak dapat lagi dibedakannya antara mayit-mayit dengan buah hatinya. Mayit adalah anak-anaknya juga dalam satu perbandingan tanpa kesenjangan. Karena jika telah sampai tangannya yang gemetar menyentuh bagian tubuh mereka yang beku, dia selalu dapat merasakan sensasi yang mendesak rahimnya, bagai menjelang sebuah kelahiran.
Dia mencintai mereka seperti orang-orang tamak mencintai mestika.
“Siapa denganku?” tanyanya. Seseorang di luar naungan kain-kain jarit yang dibentangkan memutar pada tiang-tiang bambu secara darurat menjawab dan menyebut nama dua orang. Dua orang yang baru disebut memang beberapa menit kemudian masuk. Tugirah mengenal mereka.
Salah satu dari mereka, yang lebih tua, menyapa basa-basi. Di matanya Tugirah tidak menemukan keikhlasan, hanya pandangan enggan dan jijik. Pada yang seorang lagi pun demikian. Terlihat sinar mata itu meredup dan bergerak-gerak aneh mencari obyek yang lain selain mayit si janda kembang dan anaknya itu. Tugirah mafhum. Dia toh hanya butuh saksi.
*****
/3/
dipersiapkan berlapis gelombang putih untuk dilaraskan. ruah bening dari berbagai mata air dikumpulkan serta digenangi penggal-penggal dunia selebar kelor. tak luput wewangi alam yang bernafas dihimpun sampai nanti dihembus salam.
beruntun, kepada sebujur jasad, ia kabungkan kesemua lapis gelombang itu setelah tetumpah mata air dibasuhkan dan ditiupi salam wangi. sesungguhnya ia tahu, berkali ia menyaksi nyawa mengambang di sela berkasih dan bersayang dibalutkan.

Ada yang harus dibasuh, pikirnya, tak hanya sekedar tubuh yang meriah dengan lebam mayit, tapi bau yang meriap. Diucapkanlah doa, lalu minyak wangi pada buli-buli dituangkan. Tubuh diam Pamularsih dan anaknya yang baru berusia dua tahun itu dijejerkannya dalam satu barisan rapat. Kata orang yang memanggilnya tadi, mayat mereka berdua ditemukan tadi pagi setelah hilang sejak kemarin sore.
Diliriknya kedua orang yang bersamanya. Saat itulah tangan mayit Pamularsih mencengkeram ujung lengan bajunya.
“Selalu yang punya rahasia. Apa yang hendak kau sampaikan, Nduk?” tanya Tugirah. Selalu begini. Apakah karena mayit-mayit yang berada dalam urusannya adalah juga anak-anaknya? Benarkah begitu hingga semua rahasia mereka akan diadukan kepadanya?
Dia melirik kembali kembali kedua orang yang bersamanya. Mereka tengah sibuk mempersiapkan beberapa kebutuhan lain sekaligus memasukkan dan mengeluarkan beberapa yang telah tak digunakan atau yang akan digunakan dengan orang-orang di luar bentangan kain-kain jarit.
Pamularsih berkata memelas, “Nyawaku belum sampai tempatnya, Bu.”
“Lha, kok bisa?” tanya Tugirah. Dimiringkannya mayit ke arah kiri, salah satu dari dua orang yang bersamanya tanggap untuk memercikkan kembali air dari wadahnya. Kening orang itu terlihat berkerut keheranan.
“Bu, “ panggilnya ragu-ragu. Tugirah menggeleng dan memberi isyarat padanya untuk diam saja.
“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.
“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.
“Dia mengajak kami berdua. Katanya akan dibawa minggat diam-diam. Ternyata, belum juga keluar dari jalanan desa ini, dia khianat. Ada anaknya dalam rahimku ini, Bu.”
Tugirah diam. Sudah banyak diketahuinya dari seluruh kematian yang pernah dia temui dan dia tidak ingin menambahnya lagi, sebenarnya. Dia sudah terbiasa mendapati kenyataan yang sebenarnya dari berbagai rahasia tanpa mampu untuk membuat suatu akhiran yang dapat mengubah. Dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia hanya mampu memberikan keseluruhan yang dia mampu untuk menyucikan mayit, bukan menjadi penuntut atau bahkan seorang hakim.
Mayit Pamularsih dan anaknya memanglah dia agungkan benar-benar. Dibuatnya mereka laksana patung-patung pualam yang lolos dari cela dan melimpah dengan kasih sayang darinya karena mayit-mayit itu adalah juga anak-anaknya, buah hatinya. Boleh jadi di kehidupan dunia nama mereka telah tidak tercatat, tapi Tugirah adalah orang yang percaya bahwa kesucian jasad adalah kunci pertama menghadapi siksa kubur.
“Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.
Kedua tangannya terangkat. Berdoa.
*****
/4/
barangkali tak ubahnya seorang musafir. setelah lelah menempuh safar; mengikuti kaki hilir dan memutar badan, ia bujur keseluruh tubuh tanpa mengacuh kiri kanan. yakin ia sudah kumuh. apa peduli dengan selembar tanah yang baru ia gelar. merebah saja dan segala pemandangan dipejam.
Suara-suara itu sayup sampai kembali di telinga Tugirah. Dia bergeming. Dia merasa cukup dan enggan, pun telah bersumpah bahwa kemarin adalah yang terakhir buatnya. Dia merasa sudah cukup mulia dan tak ingin rakus menelannya seorang diri. Toh akan muncul orang selain dirinya, yang lebih fasih dari sekedar membasuh dan menyucikan mayit, yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendengar dan mengerti isyarat-isyarat yang ditunjukkan, rahasia-rahasia sebalik kematian. Semoga.
Ketukan-ketukan di pintu rumah tak digubrisnya. Dia tahu, anaknyalah yang akan menemui dia, siapapun yang datang ke rumahnya. Tapi memang suara-suara di kupingnya masih saja memanggil-manggil, dia tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai dia mati.
Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.
Di depan pintu, anak tertua Tugirah menghadapi tamunya.
“Ada lagi yang meninggal?” tanyanya.
Cigugur, 12 November 2011
- Berdasarkan puisi Naim Ali, “Perawat Jenazah”

Wangi Bunga Kumbasari

Pundakku ditepuk orang. Aku menoleh. Begini: pada kehidupan sehari-hariku belakangan, makin sulit aku mengenali seseorang di tempat tak terduga. Tempat tak terduga itu maksudnya konteks. Konteks itulah yang biasanya kugunakan untuk melokalisir seseorang. Termasuk di dalamnya misalnya pada kesempatan apa aku mengenalnya, dimana, kapan, serta kaitan-kaitan lain yang memudahkanku untuk mengingat siapa dia.

Terlebih, kalau kusempitkan pada wanita. Wanita sekarang di mataku sama saja: potongan rambutnya (yang kemudian berpengaruh pada bentuk dan ukuran kepalanya), pakaiannya, tasnya, dan lain-lain. Aku lebih mudah mengenali merek sepatu mereka daripada identitas diri mereka.

Kali ini perkecualian. Waktu, tempat, semuanya sungguh tak ada hubungan dengan konteks dia yang pernah kukenal. Bahkan dia sudah hampir hilang—tidak saja dari pengharapanku, tetapi pikiranku.

Lihat saja: ini Kumbasari. Sebuah pasar tradisional di Denpasar, Bali, tempat jualan sayur-mayur, ikan, daging, dan lain-lain termasuk bunga—yang kusebut terakhir ini yang membawaku kemari. Sementara kami dulu berhubungan di Jakarta. Kapan? Dua puluh, 25, atau 30 tahun lalu? Hanya pada momen seperti ini aku berkesadaran umur. Sepanjang perkiraan waktu seperti kusebut tadi kami tidak pernah bertemu lagi. Anehnya, seketika aku bisa mengenalinya.

Aku terheran-heran. Tak percaya pada penglihatan sendiri. Dia di sini, di pasar Kumbasari, malam hari, saat aku membaui wangi aneka kembang yang diturunkan dari truk dari Kintamani.

“Heran?” tanyanya.

“Kamu juga heran?” aku balik bertanya.

Dari hendak berjabat tangan, secara spontan kami jadi saling merapatkan tubuh. Ia mengusap-usap punggungku. Aku mengusap-usap lengannya. Sudah agak kendor. Ukuran tingginya tetap—ya, pertumbuhan tinggi seseorang berakhir pada masa remaja. Dulu aku mengenal dia setelah ia melampui masa remaja, bahkan sudah beranak satu. Kesesuaian tinggi kami berdua itulah yang dulu sering kami banggakan, merasa hubungan sangat ideal. Posisi apa saja enak: berdiri, miring, tidur.

“Kamu tak bertambah tinggi,” selorohku.

“Pinggang kamu juga tidak jadi tambah gendut. Tetap enak dipeluk,” ucapnya.

“Masih mau?” tanyaku.

“Mana bisa menolak...” ujarnya disertai tatapan mata itu, yang harus kusebut: agak nakal.

Kami berdua tertawa. Baru setelah itu sadar, dan saling bertanya kabar, kenapa di sini, dimana tinggal, hidup macam apa yang dijalani sekarang, siapa pasangan hidup, kenapa istrimu tidak ikut (kujawab ia tidak suka ke pasar), kenapa pula suamimu tidak ikut, aku balik bertanya (ia menjawab sambil tertawa, katanya ke pasar adalah tugasnya), dan lain-lain.

***

Dia punya dua tanggal kelahiran. Atau jangan-jangan lebih. Aku geli mengingatnya.

Pada zamannya ia terkenal—sangat terkenal, sebagian orang pasti masih mengingat namanya. Ia primadona dari panggung kesenian tradisional. Kelompok kesenian yang melambungkan namanya serta beberapa nama lain itu tak kalah populer pada zamannya. Sebuah buku pernah ditulis, meriwayatkan perjalanan kelompok tersebut.

Dari panggung kesenian rakyat, beberapa pemain kemudian sempat main beberapa film layar lebar. Tentu saja termasuk sang primadona yang kuceritakan—yang namanya ditulis besar-besar di poster film. Sutradaranya bukan sutradara sembarangan. Sekarang sudah meninggal. Aku datang waktu kremasi jenazahnya.

Produksi film itu yang mempertemukanku dengannya. Aku berkeliaran di lokasi shooting—sebuah studio besar di Jakarta Selatan—di antara sebagian besar crew yang kukenal akrab. Yang paling kuingat—kutahu ini sebagian menjadi gosip di kalangan kami kemudian—usai sebuah pengambilan gambar berdurasi panjang ia seperti kehilangan dirinya. Itukah yang disebut ekstasi peran?

Tiba-tiba ia menjerit, minta disetubuhi. Tempatnya memungkinkan. Hanya kami berdua di tempat itu ketika peristiwa kuceritakan ini terjadi. Diam-diam aku memang menguntit dan selalu di sekitarnya. Jujur, aku tertarik padanya. Meski singkat, kami melakukan dengan menggelegak. Seperti tabrakan kereta diesel.

Wuiihhh, dia tergolek dengan pakaian berantakan, mengatur napas kembali, sembari bibir menyungging senyum. Aku buru-buru membereskan pakaian sendiri, dari peristiwa tak terduga dan tak terlupakan itu. Ia membereskan diri kemudian, sembari menyulut rokok.

Setelah itu, kami sering melakukannya. Tanpa perlu alasan. Hanya butuh tempat.

***

Seperti kusinggung di atas, waktu itu dia sudah punya satu anak. Umurnya sekitar dua tahun. Tak jelas hubungannya dengan bapak dari anaknya, namun setidaknya waktu itu mereka masih tinggal serumah. Rumah mereka di Jakarta Selatan.

Pada kesempatan khusus, kadang pengin juga aku berdua dengannya. Kesempatan khusus, bukan asal-asalan, supaya hubungan punya alasan—meski sedikit dan tak seberapa. Tidak cuma gituan.

Ia gembira ketika pada hari yang ia sebut sebagai ulang tahunnya kami bisa berdua. Kami makan berdua. Tidak bisa lama-lama. Bisa kumaklumi. Pasti ia butuh waktu bersama keluarga. Hubungan kami, sebutlah, hanya sekunder.

Baru belakangan, jauh hari seusai hubungan kami tadi jadi kenangan, ada lelaki yang bercerita padaku bahwa ia punya pengalaman serupa yang kualami dengannya. Kami lalu mencocok-cocokkan pengalaman kami berdua. Tentu—dan tentu saja aku juga minta maaf kalau ini menyinggung perasaan kepantasan Anda—kami bertukar cerita sembari tertawa-tawa.

Persis seperti kualami, dia juga bercerita mencoba menciptakan kesempatan istimewa pada hari ulang tahun primadona kami ini.

“Kuingat, waktu itu tanggal 12 Januari. Pas Jakarta selalu hujan,” katanya. Dia hendak mengasosiasikan perempuan ini dengan hujan dan hawa dingin. Apalagi yang kemudian enak dilakukan, Saudara-saudara...

Kusergah. Ingatannya pasti salah. Ulang tahunnya bukan tanggal 12. Seingatku tanggal 18.

Kami saling ngotot mengenai ingatan kami masing-masing. Kemudian pecah tawa kami. Mungkin primadona ini bahkan masih memiliki beberapa tanggal lagi, untuk menyenangkan pihak yang lain lagi. Terus terang, kami agak kurang paham dunia sandiwara.

***

Primadona yang dulu itu sekarang berdiri di hadapanku di pasar Kumbasari. Konkrit, real. Bukan ilusi Facebook. Masih tersisa kecantikannya.

Kami menepi, berbincang di warung kopi di sudut pasar di pinggir Tukat Badung. Katanya sudah hampir 10 tahun ia tinggal di Bali. Bersama pasangan yang ia sebut suami, ia mengaku tinggal di daerah Sesetan. Mereka buka warung makan. Ia biasa belanja kemari setiap malam. Ohhh...

“Ayo mampir,” ajaknya.

Setelah beres urusan pasar, kami pun menuju rumahnya. Lucu juga, hubungan tanpa alasan melahirkan keakraban seperti ini. Kami menelusuri jalanan Denpasar yang sepi.

“Setelah pohon besar yang disarungi itu belok kiri,” katanya padaku menunjukkan arah.

Rumahnya tak jauh dari pertigaan. Daerah ini seperti pasar. Di dekat dia ada model-model rumah yang tampaknya juga dijadikan tempat usaha.

“Ramai kalau siang,” katanya.

Kami melangkah masuk rumah. Dia ribut berseru membangunkan seisi rumah, termasuk pembantu yang segera mengurusi semua barang belanjaan. Seorang pemuda, dengan rambut kusut keluar kamar.

“Ini suamiku,” katanya mengenalkan pemuda ini.

Dia menyalamiku, sambil tersenyum dan mengucak-ucak mata.

Aku ia perkenalkan sebagai “sahabat lama”, sudah seperti saudara.

Pemuda yang kuduga seusia anaknya itu minta izin, masuk kamar lagi.

“Bagaimana kabar Adira?” kataku padanya, menanyakan kabar anaknya. Masih kuingat, nama anaknya Adira, panggilannya Dira.

Ia tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan. Kelihatannya tahu maksudku.

“Ya, dia seusia Dira. Lebih muda setahun,” bisiknya. “Dira sekarang sudah kerja di Batam. Sudah punya istri, punya anak. Aku sudah jadi nenek,” ucapnya. “Masih mau sama nenek-nenek...” tambahnya dengan lirikan khas matanya.

Dia tak berubah. Masih tersimpan magnet di situ. Aku cuma bisa tertawa.

***

Sudah dini hari ketika aku kembali ke vila tempat kami menginap di daerah Krobokan. Istriku sudah pulas. Selalu seperti itu tidurnya. Seakan tak ada masalah di dunia.

“Tadi malam jadi kemana?” tanyanya saat kami berdua breakfast. “Ke klub-klub di sekitar sini, apa ke Kumbasari?”

“Ke Kumbasari,” jawabku.

Meski dia sendiri tidak suka tempat yang disebutnya becek seperti keadaan umumnya pasar-pasar tradisional, tapi ia memaklumi kesukaanku, menelusuri tempat-tempat yang sering kujelaskan padanya, tempat dimana aku menyerap daya hidup.

“Bagaimana pasar Kumbasari tadi malam?”

“Wangi bunga.”





Suwung Kangin, Januari 2012

Sebutir Peluru Dalam Sunyi

Sebutir peluru, kerap disebut sebagai timah panas, kini tengah menggigil kedinginan. Ia terjatuh di sebuah sudut ruang di balik lemari. Sendirian. Bersatu dalam kegelapan. Bermain dengan debu-debu yang berebutan melekatkan diri padanya.

Pada kesunyian, terdengar hiruk-pikuk di atas. Di tempat semula ia tersimpan bersama kawan-kawan yang satu per satu pergi menunggu giliran. Berganti kawan-kawan baru. Ah, ia mendengar kisah dari sebutir peluru, entah siapa yang tengah bercerita dalam lelah. Tentang butiran-butiran proyektil peluru yang telah melesat, bukan pada sebuah pelatihan.

Apakah ada perang? Tanya sebutir peluru di sudut bawah yang tak bisa terjawab sendiri. Bila benar terjadi peperangan, maka para proyektil peluru akan merasa gagah untuk melesatkan diri dan menunjukkan jati dirinya yang mampu menembus dinding kulit manusia, menghujam daging-daging manusia dari para lawannya. Kematian demi kematian dalam sebuah peperangan dari masing-masing pihak, menjadi pertanda perhitungan atas kemenangan ataupun kekalahan. Nyawa seakan menjadi hitungan angka-angka. Tapi, apakah benar memang ada perang? Tak mungkin, ia menjawab sendiri dalam gamang. Tiada desas-desus sebelumnya, dari mulut-mulut manusia ketika memainkan dan menghitung butiran-butiran peluru di gudang simpanan.

Ia pekakan pendengaran. Terlalu pikuk. Mungkin kawan-kawan lainnya juga sibuk bertanya, dan kawan-kawan yang baru datang juga berebutan saling bercerita. Melebihi pasar tradisional dengan beragam pedagang yang menawarkan dagangan.

Peluru itu, dengan proyektil runcing di ujungnya, terlapisi tembaga dengan warna kuning keemasan yang manis terlihat, semakin memaksakan diri untuk menangkap kisah di atas. Samar terdengar. ”Bukan, bukan perang. Tapi perang juga. Ah, bukan... itu namanya bukan perang,” sebuah peluru gagap mengungkapkan peristiwa.

”Lantas,”
”bukankah perang merupakan pertarungan meraih atau mempertahankan kemerdekaan? Mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak yang akan menyerang atau menggerogoti dari dalam. Sahabat-sahabat kita telah melesat bukan pada sosok-sosok yang memiliki peluru-peluru macam kita,” sahut peluru lainnya.
”Lantas?”
”Entahlah. Manusia memang aneh. Tampaknya mereka bersaudara. Mereka yang menolak sebuah proyek yang mengancam keberlangsungan hidup mereka,”
”Pasti ada provokator di balik ini semua,”
”Atau sang komandan salah memberi perintah,”
“Atau anak buah serentak salah kaprah,”
“Atau......?”

Tiba-tiba hening kembali. Sama dengan keheningan sang peluru yang berada di sudut bawah. Sebuah peluru manis yang jauh berbeda dengan peluru sebelum senjata api diciptakan. Bola logam atau bola batu untuk berburu. Peluru yang masih berbentuk bulat lebih sempurna pada periode tahun 500-800. dan mulai mengerucut bentuknya, hasil cipta Kapten John Norton dari Angkatan Darat Inggris pada tahun 1823 dan tersempurnakan hasil cipta William Greener pada tahun 1836. Percobaan demi percobaan yang semakin sempurna, yang terawali dengan ditemukannya peluru berselebung tembaga oleh MayorEduard Rubin di tahun 1882. Permukaan timah pada peluru yang ditembakkan dapat meleleh karena suhu panas dan gesekan dengan laras senapan. Karena tembaga memiliki titik lebur yang lebih tinggi dan lebih keras, peluru terselubung tembaga dapat ditembakkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Semakin waktu berjalan semakin sempurna saja, bentuk dan kekuatan peluru yang tercipta. (lihat sejarah peluru dan perkembangannya: http://www.berbagaihal.com/2011/06/sejarah-peluru.html)

”Atau..” ia mendesis sendiri. Teringat kisah-kisah kawannya, kumpulan peluru yang tercipta secara gelap ataupun tercuri dan jatuh di tangan-tangan manusia jahat yang bisa dengan mudah melesatkan proyektil peluru ke sosok-sosok manusia jahat juga kepada sosok-sosok yang sebenarnya tidak berurusan dengan dunia mereka. Sosok-sosok yang merasa menjadi penguasa dunia dan memainkan perputaran uang yang sangat dahsyat. Peluru-peluru yang menjadi senjata penjaga kestabilan kepentingan mereka.

”Ah, tidak mungkin. Ketika kawan-kawan kembali, berdiam di tempat ini, maka keamanan-lah yang terutama, demi menjaga sebuah bangsa dan negara. Tapi apa arti kisah dari kawan-kawan di atas sana?” tak habis pertanyaan menggantung menjadikan kepenasaran yang teramat sangat.

Ah, sang peluru teringat, ketika ia pernah terbawa oleh seorang perwira, ia pernah menyaksikan sebuah senjata tanpa peluru dengan suara letusan untuk membuat kejutan yang bisa digunakan untuk memecah konsentrasi aksi masa tanpa harus merebut nyawa. Atau teringat perbincangan yang ia dengar tentang peluru karet.

Ya, peluru karet, peluru yang dirancang tidak untuk mematikan kecuali digunakan pada jarak dekat atau mengenai bagian vital seperti kepala. Peluru-peluru jenis inilah yang digunakan oleh tentara Israel ketika menembaki aksi masa orang Palestina atau yang dilakukan tentara Bolivia kepada para petani yang melakukan aksi protes perusakan tanaman koka. Ya, peluru jenis ini yang digunakan oleh Amerika untuk meredam aksi demonstra anti perang dan hak-hak sipil pada tahun 1960-an. Namun, setelah beberapa kematian akibat peluru karet, bukankah penggunaannya sudah ditinjau ulang? (lihat tentang ini di SINI http://www.slate.com/articles/news_and_politics/explainer/2000/10/what_are_rubber_bullets.html)

Lantas, peristiwa macam apakah, sehingga kawan-kawan yang sejenis dengannya telah dilesatkan dan mengakibatkan kematian? Peluru itu semakin menggigil kedinginan dalam sunyi, sama halnya dengan hirup pikuk yang telah berhenti dari atas sana.

Yogyakarta, 26 Desember 2011
Cerpen Odi Shalahuddin

Ibu Tak Ingkar Janji

Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang suka mendongengkan cerita dan menyanyikan lagu untuknya sebelum tidur harus pergi. Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang cantik itu harus pergi jauh sementara Lisa belum selesai sekolahnya. Padahal Lisa ingin membahagiakan Ibunya sampai sekolahnya selesai. Lisa tak ingin lagi ribut dengan adiknya Didi yang bawel dan pelit, dan juga ia tak mau menyusahkan Ibu dengan seringnya minta uang jajan.

Tapi, hari ini Ibu berkata ia harus pergi. Pergi ke mana, Bu, tanya Lisa. Jauh, Nak. Ibu pergi untuk kamu, Nak. Semuanya untuk Rufi, kamu dan Didi, kata Ibu sambil membelai halus rambut Lisa.

Lisa tak mengerti setelah ayahnya yang pergi lebih dulu kali ini Ibunya juga harus pergi. Olala, betapa sepinya, kata Lisa. Kan, ada Nenek, Lisa, kata Ibu. Nenek dan Mbak Rufi akan menemani Lisa dan Didi setiap hari. Tenanglah, Ibu pasti akan pulang, Lisa, kata Ibu.

Ya, tapi pergi ke mana dan pulangnya kapan, Ibu tak menjawab. Bagi Lisa, Ibu tak mau menceritakan rencana kepergiannya karena Ibu ingin membuat kejutan untuknya. Kejutan berarti sesuatu yang membahagiakan dan pasti juga indah, batin Lisa.

Berkali-kali Ibunya hanya bilang ia pergi untuk Lisa, untuk Didi, untuk kami semua di sini. Ibu bilang ia pergi bukan untuk dirinya sendiri. Tapi apakah Ibu akan kembali? Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Lisa. Tentu Ibu akan kembali, Nak, jawab Ibu. Sekali lagi Ibu pergi untuk kalian, Nak, bukan untuk Ibu. Janji, ya, kata Lisa. Ibu berjanji, Lisa, bisik Ibu.

Hari ini adalah hari terakhir Ibu bersamanya. Seperti biasa malam ini Ibu mendongeng dan menyanyikan lagu untuk Lisa sebelum tidur. Suara Ibu yang nyaring dan jernih menyejukkan hati Lisa. Tak lama kemudian Lisa tertidur. Dalam mimpinya Lisa bermimpi naik kereta yang ditarik sepuluh ekor kuda bersayap putih bersama Ibu bersama Didi, Nenek dan juga Mbak Rufi ke langit penuh bintang. Di sisi mereka muncul bunga-bunga bermekaran.

Olala, betapa indahnya.

***

Sore ini Ibu sudah berkemas. Koper, tas ransel dan kerudung berwarna putih di kepala Ibu sudah siap. Didi, Lisa, Mbak Rufi dan Nenek menghantar kepergian Ibu. Lisa, Didi, jangan nakal, ya, Ibu pasti kembali, kata Ibu. Ya, Bu, jawab Lisa. Setelah Ibu naik ke atas bus, Lisa menghentikan tangisnya.

“Hati-hati, Bu! Ingat, Ibu pulang, ya!” jerit Lisa.

Dilihatnya Ibu melambaikan tangan di kaca jendela. Ya, ini hari terakhir Lisa dan Didi melihat Ibunya. Kata Mbak Rufi Ibu pergi ke Arab Saudi. Tapi bukan itu yang penting buat Lisa. Apakah Ibu akan kembali dan tidak pergi seperti ayah, tanya Lisa. Mbak Rufi tersenyum. Ibu pasti pulang, Lisa, kata Mbak Rufi. Ibu pasti pulang. Ya, Ibu pasti pulang...

2010

Dua tahun berlalu. Tak ada kabar dari Ibu. Lisa kangen sekali sama Ibu. Dituliskannya perasaan kangen Lisa kepada Ibunya dalam surat. Karena Lisa tak tahu alamat Ibu, surat-suratnya ia masukkan ke dalam botol dan ia hanyutkan ke sungai. Mungkin Ibu tak membaca suratku, tapi ia pasti tahu apa isi hatiku, batin Lisa. Hampir setiap bulan Lisa melakukan itu. Selain surat Lisa juga suka menggambar ibunya yang sedang naik kereta ke atas langit ditarik kuda bersayap putih seperti dalam mimpinya terakhir sebelum ibunya pergi. Sebenarnya Nenek dan Mbak Rufi tahu alamat Ibunya. Tapi mereka tak bisa memberitahukannya karena kata mereka tempat Ibu bekerja berpindah-pindah, dari satu majikan ke majikan lainnya.

“Tapi Ibu tak ingkar janji Lisa. Ibu tak lupa dengan kalian walau tidak bicara dengan kalian,” kata Nenek.
“Buktinya apa? Pasti Ibu pergi seperti Ayah dan tidak akan kembali lagi!” jerit Lisa.
“Lisa, Ibumu kirim uang buat kalian. Lihat, baju, boneka, tas, sepatu, dan seragam baru buat kamu kemarin siapa yang belikan? Itu semua dari Ibu, Lisa! Ibu kirim dari jauh!” jelas Nenek.
“Lisa nggak butuh uang, Lisa mau ngomong sama Ibu! Lisa ingin dengar dongeng dan lagu yang Ibu nyanyikan tiap malam!” jerit Lisa. Tangisnya meledak.
“Lisa, nggak boleh begitu. Ibu kan’ sudah janji pergi untuk kamu, untuk kalian, untuk kita. Ibu pergi untuk kita, Lisa dan ini buktinya!” jelas Mbak Rufi.

Lisa terdiam. Air matanya meleleh. Ibu, kenapa kau harus pergi jauh, batin Lisa. Mbak Rufi memeluknya.
“Ibu pasti akan kembali, Lisa. Ibu tidak lupa dengan kalian,” bisik Mbak Rufi.

Lisa pergi ke kamar. Dipandanginya di dinding lukisan Ibu karyanya yang sedang naik kereta ke langit ditarik kuda-kuda bersayap. Di mata Lisa lukisan Ibu bergerak. Langit yang penuh kerlap-kerlip bintang memancarkan sinarnya sementara sayap-sayap di kuda-kuda itu mengepak dengan indahnya. Ibunya tersenyum dan melambaikan tangan.

Oh, Ibu.

Keheningan malam mulai menyergap. Rasanya begitu lama Lisa tak lagi mendengar dongeng dan lagu untuknya.

2011

Sampai pada suatu sore yang cerah Lisa terkejut melihat kedua mata Mbak Rufi sembab di ruang tamu. Pulang dari rumah Evie, dilihatnya Mbak Rufi dan Nenek berpelukan, lalu menangis. Selain itu dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tak dikenalnya duduk di ruang tamu. Wajah-wajah mereka tampak asing di mata Lisa. Mungkin mereka dari kota.

“Ada apa, Mbak, ada apa, Nek?” tanya Lisa heran.

Keduanya tak menjawab. Mbak Rufi membelai kepala Lisa kemudian menyuruhnya ke dalam. Di kamar Lisa mendengar suara Mbak Rufi menjerit, histeris.

“Ini tidak adil! Ibu tidak bersalah! Kalau ibu memang salah kenapa dia harus dihukum begitu keji? Ini tidak adil! Tidak adil!” jerit Mbak Rufi.
“Tapi ini kabar yang kami terima, Mbak. Kami juga tak menyangka jadinya akan seperti ini. Apa daya sepertinya…”
“Sepertinya apa?? Lantas apa tanggung jawab kalian?? Apa kerja kalian, ha??”
“Kami hanya menyampaikan kabar ini kepadamu, Rufi. Ibumu …”

Oh, jadi ini tentang ibu? Ibu pulang? Hore, Ibu mau pulang! Tapi kalau Ibu mau pulang kenapa Mbak Rufi dan Nenek menangis?

“Kami bahkan tahu kabar ini setelah membaca koran asing. Tapi kami akan usut sampai tuntas kasus ini sampai mereka tahu bahwa ada yang tidak beres. Kami tahu sebenarnya ini adalah pembelaan diri Ibu kalian terhadap sikap majikannya. Kami tahu hal ini tidak sepatutnya terjadi bila vonis segera direspon advokasi pemerintah...”
“Ya, sepertinya ada yang ditutupi sehingga kasus ini baru ketahuan kemarin. Ada yang tidak mau kami tahu kabar ini….ada yang….”

Oh, ada apa dengan Ibu? Tadi orang-orang kota itu bilang “kasus”? Apakah Ibu berbuat kesalahan? Apakah Ibu mencuri? Apakah Ibu…Lalu Ibu ke mana? Kenapa Ibu tidak pulang? Lisa mengerti ini semua pasti tentang Ibu. Segera ia menghambur keluar dari bilik kamarnya yang sempit.

“Ibu pulang, ya, Nek? Ibu kapan pulang? Ibu kenapa, Mbak Rufi? Ada apa dengan Ibu, Mbak?” tanya Lisa. Ditariknya tangan Nenek, juga Mbak Rufi. Tapi di ruang tamu itu tak ada yang menjawab. Semuanya yang ada di ruang tamu hanya memandang Lisa dengan wajah muram.

Mbak Rufi lalu memeluk dan membelai kepala Lisa.
“Ibu pergi ke surga, Lisa,” bisik Mbak Rufi pelan.


Pamulang-Rawamangun, Juni 2011.

Negasi Holmes

Kau tahu? Semestinya kota ini sudah punya polisi kota sendiri. Jalanan sudah macet, mobil-mobil susah diatur, motor apalagi. Truk-truk dari kota-kota besar sudah meruah, membawa bahan baku untuk industri kota kita. Angka kriminal meningkat tajam. Kau tau, kan, berita kemarin? Perampok menggasak toko emas di pasar siang hari bolong. Menggunakan senjata lengkap laras pendek maupun panjang. Tidak ada yang berani menolong. Kemana polisi-polisi kita itu? Masih sibuk mengurusi terorisme, mungkin. Apa sih yang kamu lakukan di pos jaga?

Mungkin menarik bila kubuka kantor konsultan detektif di kota ini. Maraknya kriminal di kota kita merupakan lahan yang potensial untuk profesi detektif. Tentu sangat mengasyikkan. Sebagai awal, tidak usah kupecahkan kasus perampokan toko mas itu. Biar kasus-kasus yang ringan saja dahulu. Seperti misteri percintaan. Misteri siapa yang telah bersemayam di hatimu.
***

Malam minggu ini ramai sekali, tidak seperti malam-malam minggu sebelumnya. Di area Gereja mobil-mobil berparkiran sepanjang jalan, banyak juga sepeda motor. Ada Misa Malam Pekan Suci rupanya.

Di depan Gereja seorang kakek berambut putih, berjenggot putih berpakaian kaos putih dan bercelana katun putih berdiri di tengah jalan. Menadahkan topinya kemudian bersenandung kepada para pengunjung: "Semoga Tuhan memberkati! Semoga Tuhan memberkati!". Beberapa pengunjung melemparkan uang logam atau uang kertas pecahan kecil ke dalam topinya. Semoga Tuhan memberikan berkah kepada amalan mereka.

Aku limbung, hampir jatuh dari motor. Setelah di kelokan depan berpapasan dengan ibu biarawati yang hendak menyeberang. Beliau tergopoh meninggalkan Gereja saat Misa sedang berjalan. Mungkin mendapat kabar yang mengejutkan hingga tidak bersiaga di jalanan kota kita yang makin ramai saja. Tuh,kan, kota kita makin tidak aman.

Kutunggu kau di bawah pohon Akasia di samping pos jaga polisi, Va. Apa sih yang kamu lakukan di dalam Gereja?
***

Mempelajari kejahatan itu mengasyikkan. Kau ingat, kan, tentang masa remaja kita dahulu. Di ruang tengah kita bermain bersama. Bermain tebak-tebakan bersama ibuku. Ibuku sangat baik. Beliau menemani kita, supaya tidak terjadi hal-hal yang buruk, katanya. Beliau juga yang membuat kita menyukai kriminal. Koleksi buku detektifnya luar biasa. Kaungat percakapan ini, "Eva jika besar nanti mau jadi apa?" tanya ibuku waktu itu.
"Polisi!" kaujawab mantap.
"Mengapa Eva mau jadi polisi?" tanya ibuku selanjutnya.
"Biar Eva bisa menangkap penjahat! Biar Ibu sama Mustafa aman!" begitu jawabmu.

Ibuku tersenyum waktu itu. Selanjutnya dia membacakan serial-serial detektif dari koleksi novelnya. Sampai kita hafal betul, dan setelahnya kita bisa menebak penyelesaian kasus-kasus baru dari serial yang baru saja keluar di pasaran. Kita berujar mengenai cita-cita dan kita menjawab sama, "Detektif."

"Hampir semua hal di dunia ini bisa dijelaskan dengan logika. Bagaimanapun tanggapanmu terhadap suatu hal, itu adalah hasil dari olah pikirmu, Fa. Dari endapan pemikiranmu. Termasuk Tuhan." tiba-tiba Engkau berbicara kepadaku, Va, selepas menyelesaikan kuliahmu di Sepolwan itu.

Dan saranku, "Agamaku adalah agamaku, Agamamu adalah agamamu. Betapa muskil keduanya bisa disatukan. Sama saja engkau menjadi musuh dari keduanya. Engkau sahabatku, dan aku merasa lebih dari itu. Engkau yang aku inginkan untuk selalu di sampingku. Namun terdapat sekat yang teramat kuat, serta rapat."

Aku berpikir mungkin engkau bertambah relijius, dan tentu aku turut senang. Meski kita berseberangan keyakinan, ada satu yakin yang membuat kita tetap berhubungan. Cinta mereka bilang.

Percayakah kau akan rahasia rintik hujan yang mengguyur kota kita malam ini? Ada sesuatu yang turun bersamanya. Seperti menyanyikan kidung kerinduan yang mendalam. Ada sesuatu yang melekat bersama molekulnya. Mungkin dari rindu yang menguap berbulan-bulan lalu, kemudian menggumpal bersama awan, lalu jatuh menimpaku. Di bawah pohon Akasia ini.
***

Aku jadi teringat perdebatan dengan ayah sepekan silam setelah aku pulang mengantarmu bertugas. Aku didudukkan di ruang tamu. Ayah duduk di hadapanku, kemudian ibu di sampingnya. Engkau tau, aku disidang malam itu.

“Mustafa, darimana kamu?” Ayahku bermuka serius. Jarang-jarang beliau begitu. Beliau biasanya bersikap tenang yang sangat mencerminkan bahwa beliau seorang dosen di Universitas ternama di Yogyakarta. Kau tentu jarang bertemu dengannya karena beliau sibuk mengajar disana. Sedangkan aku tinggal bersama Ibu di kota tercinta kita, Cilacap Bercahaya.
“Sehabis mengantar Eva dari pos jaga, Pak.”
“Evangelin Kristanti?”
“Iya, Pak.”

Ayah mendesah, membuang pandangannya ke lukisan rumah gubug di tengah-tengah sawah yang terlihat sangat reyot dan sebentar lagi mungkin rubuh.

“Mustafa, sadarkah kamu? Kita ini orang Muslim yang terpandang. Bapak berprofesi sebagai dosen Jurusan Syariah di Universitas Islam ternama. Bagaimana tanggapan orang jika melihat anaknya bepergian dengan wanita yang bukan muhrim? Beragama lain pula.”
Aku hanya terdiam mendengar bapak berbicara. Di dalam hati, aku ingin membela diri. Namun Bapak masih melanjutkan pidatonya.
“Berapa umurmu sekarang? Dua puluh lima, kan? Ya, kau sudah cukup umur untuk menikah. Segeralah menikah. Tentang pekerjaanmu di kantor advokat biar nanti Bapak carikan kenalan di Yogyakarta. Kau cari pengalaman hidup di kota pelajar itu.”
“Iya, Pak. Tapi Mustafa sudah menentukan pilihan. Mustafa sudah mantap.”
“Siapa gadis itu?” Bapak sangat penasaran. Sedang ibu terdiam biasa saja.
“Eva, Pak. Mustafa memutuskan untuk menikahinya supaya tidak terjadi fitnah.”
Bulan malam itu enggan menampakkan diri. Mungkin tidak ingin menjadi saksi tentang kemarahan pertama sang Ayah kepada anak laki-laki satunya ini. Langit kelam tertutup awan hitam yang sekelam suasana rumahku kemudian.
“Astaghfirullaah! Sadarlah kau, Fa! Mengapa kau ambil ia sebagai calonmu?! Istighfar! Ingat asalmu, jangan sampai kau terperosok ke jalan yang sesat!” Nada bicara ayah meninggi. Di sampingnya ibu mengusap-usap halus punggung Ayah.

Aku mencoba tenang. Mencoba menata pikiranku. Beginilah dilema yang pernah kubayangkan sebelumnya. Mencintai seseorang yang berseberangan dengan keyakinanku merupakan hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Aku harus menerjang orang-orang yang kusayangi, keluargaku sendiri.

“Tapi, Ayah, aku seorang laki-laki. Seorang pemimpin rumah tangga nantinya. Aku telah mencari ketentuan dalam kitab suci kita dan tuntunan Nabi bahwasannya seorang lelaki muslim boleh menikah dengan seorang perempuan ahli kitab. Sebagian ulama pun membolehkannya.” Aku mencoba membela diriku. Aku tahu, ini adalah sikapku yang kurang ajar. Selama ini apa yang dikatakan ayah dengan takzim akan kupatuhi. Bagiku, beliau adalah lubuk akal tepian ilmu. Orang yang berilmu dunia dan akhirat. Namun, hatiku telah terhias oleh perasaan yang telah diciptakan Tuhan begitu indah, begitu mulia.

Ayah tetap pada pendiriannya. Beliau sangat terpukul dengan sikapku. Semenjak pertemuan malam itu, aku belum bertemu ayah sampai kini. Beliau menyibukkan diri dengan urusannya di Yogyakarta. Ibu, sebagai pengayom keluarga menjadi mediator bagi kami tinggal bersamaku di kota kelahiran. Aku melihat beberapa kali beliau menangis. Aku memahami, beliau merasakan kepadihan dalam hati. Beliau memahami perasaanku karena beliaulah yang sedari kecil mengerti hubunganku dengan Eva. Aku mengerti bahwasannya hidup adalah kumpulan dari kosistensi.
***

Semestinya engkau-pun tahu, Va, bahwa kita telah menjalani cinta yang salah. Sebagaimana engkau yang telah diberi kecaman oleh ibumu. Tapi cinta rupanya tak terikat pada logika, seperti yang engkau pernah ucapkan saat kita dahulu mendiskusikan bahan bacaan Sherlock Holmes yang kupinjam pada ibu. Kita sama-sama tergelitik dengan perkataannya: when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth. Sebuah acuan teori eliminasi yang telah membawamu meretas kasus-kasus kejahatan secara gilang-gemilang. Ya, pegangan yang membuatku memenangkan beberapa kasus dari klien yang kutangani. “Jika kita mengeliminasi hal yang tidak mungkin, apapun yang tersisa, bagaimanapun juga mustahilnya, itulah kebenaran”, begitu terjemahanmu.

Kita terbahak kala membahas kalimat Holmes yang telah membawa kita sukses dalam bidang kita masing-masing. Aku suka derai tawamu, rahangmu yang keras, mengisaratkan kau wanita yang berpendirian tegas. Namun matamu yang sendu mengisyaratkanmu sebagai wanita yang penuh dengan kelemah-lembutan.

Saat itu kau membuat sebuah kuis, “Apa ingkaran dari pernyataan Holmes ini, Fa?”
“Ah, entalah. Dia detektif sialan. Hasil dari yang kita singkirkan ketidakmungkinannya meskipun mustahil memang biasanya benar. Itu yang selalu kutemui. Menurutmu, Va?”
“Sama, Fa. Akupun begitu. Sering kupecahkan kasus dengan mengeliminasi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang ada. Baiklah, mungkin misteri ingkaran Holmes ini akan menjadi kuis abadi kita. Hal apa yang tidak sesuai dengan teorinya.”
“Hehehe..”, dan tawa kita-pun berderaian bersama.

Kau tahu, Va, aku telah menemukan jawabannya. Di bawah deraian gerimis ini. Aku telah menemukan sesuatu yang bahkan aku tidak bisa menemukan kesimpulan sebab ia ada. Sebab ia telah membuatku selalu merindu. Aku telah mengeliminasi kemungkinan cantiknya parasmu karena di luar sana banyak wanita yang lebih rupawan darimu, bahkan berjilbab yang sesuai dengan ajaran agamaku. Aku telah menghapus kemungkinan restu orangtua karena jelas-jelas orang tua kita tidak sepakat dengan hubungan kita. Aku tidak mengerti, Va, apa yang membuatku jatuh Cinta.
***

Kulihat jam tangan, jarum jam sudah bungkuk ke angka 20.30 namun ibadahmu belum saja selesai. Menunggu itu memang membosankan, namun aku tahu hasil yang aku peroleh setelahnya akan mengobati kepenatan yang telah kulalui sebelumnya.

Bangunan Gereja Tua St. Stephanus terlihat perkasa, meski di sana-sini menyiratkan kemuraman karena musim yang sudah mengikis putihnya cat-cat yang menempel padanya. Lonceng Gereja berdentang tiga kali ketika tiba-tiba aku melihat seberkas sinar keluar dari pintu Gereja. Sinar kuning yang menyilaukan dan tiba-tiba saja menghempas udara di depanku. Dentuman serupa meriam membahana membelah malam di kota kita. Orang-orang berlarian. Jemaat-jemaat berusaha menyelamatkan diri. Petugas polisi segera pontang-panting mengangkat tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Kota kita meriah. Kamu dimana, Va?***

Jakarta, September 2010
Catatan:
Sherlock Holmes: Tokoh detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle.
M. Nurcholis, penikmat sastra, tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan. Twitter: @n_choliz

Sehabis Hujan di Bulan Desember

Sisa hujan sore tadi masih membekas. Bulan ini memang sering disuguhi hujan hampir setiap harinya, dan mungkin hujan sore tadi akan menjadi hujan terakhir di tahun ini. Tanah basah. Pohon-pohon mengucurkan air, terimbas angin malam. Udara dingin menusuk. Suara katak ditingkahi jangkerik, membentuk simponi alam nan indah. Sesekali bunyi petasan dan kembang api mulai melalakukan pemanasan dengan melukis langit dari kejauhan membentuk pelangi di malam hari.

Semua fenomena itu siap mengantar kotaku menuju pergantian tahun. Lalu, banyak cerita yang bergulir dengan sendirinya. Tak mau kehilangan seluruh momen tersebut, aku segera menggerakkan jemari, bekerja di atas tuts-tuts keyboard seolah mengikuti irama tetesan air jatuh mengaliri dedaunan yang frekuensinya semakin melambat. Tetes demi tetes air itu seperti menggulirkan cerita sendiri-sendiri. Ingin kurekam seluruh pemandangan dan perasaan itu, tapi tunggu sebentar, tanganku masih basah.

Beberapa jam yang lalu…

Hari yang cerah tiba-tiba menjadi hari yang basah. Hujan turun, aku mengkerut di atas motor. Menyusut di antara sweeter kumal di tengah jalan macet. Sementara itu, orang-orang berlarian dan berteriak kepanikan. Mereka lupa payung sedangkan aku tak membawa jas hujan. Semua begitu, siapa sangka akan hujan.
Aku menepikan motor lalu berteduh di halte sambil menunggu hujan reda. Tapi kemudian itu pun berlalu bersamaan dengan sebatang A Mild yang terselip di jari tanganku. Lalu sepeda motor melintas cepat, air hujan yang tergenang di pinggir jalan muncrat ke wajah dan badanku. Aku lalu mengumpat, “Sial! Tanganku basah…!!!”
*
Well .. tahun baru sebentar lagi, sudah ramai orang membicarakan refleksi satu tahun ke belakang dan ekspektasi pada tahun yang mendatang. Sedikit ingin ikut arus juga sebenarnya tapi bukan mengenai hegemoni tahun baru. Ini tentang hujan. Lebih tepatnya kisah sehabis hujan. Dan aku suka sekali sehabis hujan di bulan Desember.
Kenapa harus sehabis hujan dan kenapa harus di bulan Desember?

Kontempelasi pun di mulai. Udara dingin, suara jangkerik. Sebentar lagi tengah malam. Dengan tangan yang masih basah, aku membuka catatan harian lalu memikirkan tentang apa yang pernah ku lalui sepanjang tahun ini. Aku tahu bahwa masa lalu dalam catatan itu adalah masa yang aku mengetahuinya dengan benar, sok tahu, karena hal itu adalah milikku sendiri, aku yang mengalami sendiri.

Lalu aku mulai menyelami aksara demi aksara untuk menemukan feel kejadiannya. Suka cita, kesal, kecewa, semua coba kurasakan kembali. Namun, tiba-tiba masa lalu itu menjadi kabur dan tak sungguh-sungguh tampak. Yang ada, ternyata, tak lebih dari coretan tanganku di buku harian tersebut. Tak ada realitas yang kudapati dari coretan yang kubuat sendiri, sekuat apapun aku pikirkan, aku tak bisa mengalami kembali masa lalu yang telah ku lalui itu.

Mungkin aku bisa memeriksanya di ‘laboratorium’ dan menemukan bahwa kertas buku harian tersebut dibuat di pabrik tertentu, dengan mesin tertentu, jumlah pekerja sekian, dan upah hariannya sekian, serta dibuat dari campuran kayu apa dan apa. Aku juga bisa memeriksa ternyata tinta yang dipergunakan berasal dari ballpoint anu , ukuran berapa, dan dibuat di mana. Tapi sungguhkah apa yang kemudian aku peroleh itu merupakan kenyataan di masa lalu?

Seberapa pentingkah pabrik kertas itu bagi apa yang terjadi pada hari ketika buku harian tersebut aku tulis? Aneh. Tiba-tiba aku meragukannya, dan seketika menyadari betapa kurangnya jejak-jejak yang telah ditinggalkan. Kertas, ballpoint , alphabet, itu adalah jejak-jejak. Tapi aku selalu merasa kekurangan jejak, seolah apapun yang terjadi, hanya membawaku pada ke ketersesatan.

Aku merasa jejak-jejak itu mewakili sesuatu. Masa lalu. Namun di satu sisi juga sadar, jejak itu sesungguhnya hanya mewakili dirinya sendiri. Aku mempertanyakan sejarahku sendiri dan aku mencurigai penulisnya yakni, diriku sendiri. Tapi sejarah tentang diriku itu ada di sana, di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, atau lebih tepatnya aku menjadi demikian sok tahu.

Lantas, apa kemudian yang aku miliki? Selama ini aku merasa sudah memiliki masa laluku (Bukankah satu-satunya yang kita miliki adalah masa lalu?). Akan tetapi, masa depan yang gelap pun, ketika kita membayangkannya, merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi sebuah masa lalu yang lain. Dan pameo “satu-satunya yang kita miliki itu adalah masa lalu”, dengan semena-mena kehilangan semua relevansinya. Dan aku tahu bahwa segala hal tentang masa lalu, ternyata, tak lebih dari sekadar bagaimana kita memikirkan hal itu.
*

Mungkin bagi sebagian orang, hanya saat hujanlah yang lebih menguasai alam memori pikirannya yang kadang naif. Air yang turun dan meluncur jatuh dari langit itu melambangkan anugerah dan cinta dari Tuhan.

Ada yang mengatakan, seprimitif apapun peradaban suatu bangsa pasti secara eksplisit maupun implisit mengagungkan hujan. Namun bagiku, aku suka hingga sehabis hujan, apalagi sehabis hujan di bulan Desember. Ia seperti cover buku tahunan yang menutup jejak-jejak kisah setahun dengan dingin sebagaimana filosofi hujan dalam peribahasa lama yang menyebutkan, “panas setahun terhapus hujan sehari,” dan hanya hujan di bulan Desember yang relevan untuk melakukan hal itu.

Akan tetapi, kisah tidak berakhir dalam hujan, melainkan kisah tetap bergulir sehabis hujan dengan spirit baru dan harapan baru. Dan bagiku, itu yang lebih penting. Begitu banyak peristiwa yang sudah kulewati dalam hidup yang menjadikan diriku seperti sekarang ini, itu karena keistimewaan hujan dan harapan sehabis hujan. Itulah sebabnya aku suka suasana sehabis hujan di bulan Desember.

*

Akhirnya, satu yang pasti dan kusadari betul bahwa hujan turut mendewasakan diriku dalam segala abstraksi hidup ini. Dengan turunnya hujan tadi, dengan bau tanah basah sehabis terkena hujan ini aku selalu ingat akan kasih Sang Pencipta yang tak terkira. Aku selalu ingat untuk berbuat yang terbaik bagi hidup kini dan hari esok. Aku selalu ingat untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku selalu ingat pada kasih dan pengorbanan orang tuaku beserta semua orang terdekat yang kusayangi. Aku selalu ingat untuk ikhlas dan bersyukur atas semua yang kupunya. Dan sehabis hujan ini, kuingin torehkan kisah yang lebih baik dari ‘panas’ setahun yang sudah kulalui.
*
Kamar ukuran 4×4 meter. Laptop di depan mata. Headphone tertempel di telinga. Dari balik headphone , Tracy Chapman bernyanyi lagu kesukaanku, “Give me one reason.” Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tanganku yang sudah agak kering berlarian di atas tuts-tuts laptop. Ku tulis feature . Cerita tentang diriku di masa depan dalam bentuk masa lalu.
*
Manado, 31 Desember 2010. Pukul 22.12 Wita.
Haz Algebra tinggal di Manado. Bergiat di Komunitas Bibir Pena.

Wajah Hujan

Air menderas. Terus berjalan menyusuri lekukan. Berbelok menuju selokan, tempat air yang lain juga berkumpul.

Hawa semakin dingin. Orang-orang berlalu-lalang menaiki motor dan mobilnya. Jalanan semakin sesak. Jam pulang kantor selalu macet. Ditambah lagi dengan air deras kiriman langit. Selokan pinggir jalan tak cukup bagi air. Jalanan menjadi tampungan. Air menggenang.

Roda beradu dengan waktu. Sesegera ia ingin pulang ke rumah. Tak peduli kanan kiri. Roda melaju. Dijejakkannya dengan cepat pada genangan di jalanan. Tercipta cipratan. Lampu-lampu kota menjadikannya merona. Air mancur gratisan. Berkali-berkali begitu lagi. Sekarang pun belum berhenti.

Dua ruas jalanan dibagi pembatas jalan yang tinggiya tak lebih dari 30 senti. Ruas jalan menuju kota tak seramai ruas satunya lagi. Aku baru saja menyeberang. Aku menyeberang bersama seorang lelaki. Kali ini kami berhenti di pembatas jalan. Macet menguntungkanku. Aku bisa menyeberang lebih cepat. Tangan kiri dengan telapak terbuka kuangkat ke atas. Kutengokkan mukaku ke kiri. Kuberikan isyarat untuk berhenti.

Ternyata temanku belum juga datang. Aku berdiri di sisi jalan. Lelaki itu masih saja di pembatas jalan. Sesekali aku melintaskan pandangan padanya. Masih saja ia tak menyeberang. Sudah hampir setengah jam temanku tak kunjung datang. Lelaki itu masih di pembatas jalan.

Kali ini mukanya tak lagi melihat jalanan. Ia tengadah. Menantang hujan. Membiarkan mukanya tertumbuk rintik hujan. Mulutnya tertutup. Matanya terbuka. Gerak mukanya seperti orang sesenggukan. Entahlah, apa dia menangis ataukah tidak. Tak jelas lagi. Mungkin saja airmatanya tercampur hujan. Jatuh bersama di pembatas jalan menuju selokan.

Oh, tidak. Bukan airmata yang keluar dari matanya. Baju putihnya memerah seperti terkena darah. Airmatanya merah. Turun bersama air hujan menuju selokan. Tak diterima selokan, darahnya menggenang di jalanan. Tersapu roda, air dan darah menciprati sepatu-sepatu di jalanan.

Aku masih diam. Dia tengadah menantang hujan di pembatas jalan. Matanya merekah seperti tanah di kuburan. Kelopaknya mengelupas. Kepalanya seperti dikuliti. Darah mengucur deras. Darah bersama air hujan terus jatuh di pembatas jalan. Hanya menggenang di jalanan. Orang-orang masih berlalu-lalang. Dengan darah terus mengucur dari penjuru kepala, ia menyeberang.

-----

Nila Rahma lahir di Bojonegoro pada 29 Juli 1989. Masih berkuliah di jurusan Sastra Indonesia UI dan aktif di Komunitas Langit Sastra. Saat ini penulis tinggal di Depok.