Jalan Menuju Surga

Konon, di balik tebing gunung itu, tinggal seorang lelaki pertapa yang sudah renta. Pertapa yang terkenal dari mulut ke mulut penduduk desa di kaki gunung. Pada mulanya, pertapa itu terkenal karena kebijaksanaannya. Namun tiap-tiap penutur cerita menambahkan bumbu-bumbu untuk cerita mereka, sehingga kini yang beredar di penduduk desa adalah:
Di balik tebing gunung itu tinggal pertapa yang sangat bijak dan sakti mandraguna. Apabila ada seseorang yang dapat bertemu dengannya, mintalah berkah kepadanya. Ia dapat menunjukkan jalan untuk menuju Surga, jalan kebahagiaan bagi umat manusia.

Begitulah, cerita itu terus berhembus mengikuti arah angin. Dari mulai desa-desa tetangga, kemudian menjalar ke kota-kota di sekitar daerah itu, sampai pada akhirnya cerita ini sampai ke ibukota.

Cerita ini terdengar pula ke suatu kelompok perkumpulan Pecinta Alam. Dahulu jumlah mereka belasan, namun kini—karena waktu telah memakan umur-umur mereka—jumlah mereka tinggal tiga orang. Perkumpulan ini terbentuk semenjak mereka masih remaja. Kini, usia mereka rata-rata adalah 50-60 tahun. Ketika mendengar kisah pertapa tersebut, mereka sepakat untuk mendaki gunung bersama kendati usia mereka telah senja dan fisik mereka tentu tidak sebugar dahulu. Namun, demi alasan yang akan diceritakan kemudian, mereka sepakat untuk mendaki gunung tersebut guna bertemu dengan pertapa sakti itu.

Orang yang paling tua di antara mereka adalah seorang pria tua botak pensiunan hakim di pengadilan kota.
“Aku sudah bosan dengan kebohongan-kebohongan di dunia ini. Betapa keadilan di dunia ini adalah utopia. Waktu pun begitu cepat berlalu, kini usiaku sudah senja. Aku ingin mencari bekal untuk hidupku setelah ini. Lagipula, anak-anakku sudah mapan semua. Istriku pun telah tiada. Aku ingin mencari jalan ke surga.. Ingin mencari keadilan yang sebenarnya..” begitu jelas laki-laki tua itu kepada kawan-kawannya.

“Aku juga sudah malas menumpuk uang. Meski perusahaanku belasan, aku belum mendapatkan kebahagiaan. Kau tahu, kan? Anak-anakku semuanya jadi bajingan. Istriku malah pergi dengan lelaki lain. Meski kadang aku bersenang-senang dengan wanita-wanita muda tiap malam, aku tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan. Kini aku sudah tua, sudah bosan dengan dunia dan kemewahannya. Marilah kita cari kebahagiaan yang sebenarnya, jalan menuju ke Surga Tuhan..” seorang lelaki berjas hitam berkata. Kegagahan masih nampak dari badannya yang berperawakan tegap. Namun uban-uban itu dan kulit wajah yang mengeriput tidak pernah menyembunyikan usia.

“Baiklah, jika kalian sudah mempertimbangkan ini masak-masak. Kukira kalian harus mempersiapkan segala macam bekal yang diperlukan untuk perjalanan panjang ini. Sejauh pengetahuanku, gunung itu jarang sekali ada yang mendaki, aku sendiri belum pernah ke sana. Terakhir kabar yang kudapat, pemerintah menutup area itu karena banyak sekali pendaki yang tersesat. Namun, kita akan tetap kesana. Aku juga sudah bosan berpetualang. Kini saatnya aku mencari jalan menuju Tuhan..” lelaki tua terakhir ini adalah seorang petualang sejati. Selama hidupnya ia habiskan untuk bercengkrama dengan alam. Selama ini pun, dia belum beristri. Petualangan adalah kekasih setianya, disamping pacar satu-satunya; kesunyian.

Maka, setelah mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki gunung, mereka memulai perjalanan suci itu. Tas-tas ransel yang penuh dengan berbagai bekal mereka gendong dengan kepayahan. Sepatu gunung telah mereka kenakan. Tak lupa pakaian suci berupa kaftan coklat dikenakan, membalut tubuh renta mereka. Di pintu gerbang kota, mereka dilepas oleh kerabat dan orang dekat.

Guna memperoleh khidmat dari ziarah ini, mereka memutuskan berjalan kaki menuju gunung suci itu. Perjalanan ini begitu riang dan penuh dengan nuansa spiritual. Mereka hemat dalam bercakap-cakap, mulut mereka terlihat merapal doa-doa yang sekiranya mereka hafal.

Selama perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai macam orang. Orang-orang yang terlihat susah, terutama, pasti akan mereka bantu. Yang paling sering adalah lelaki tua pengusaha itu. Ia mengeluarkan uangnya seperti mengeluarkan dedaunan kering dari keranjang yang ia bawa di punggungnya.

Berhari-hari mereka menempuh perjalanan melewati dataran tandus, lembah, perkebunan, persawahan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah desa di kaki gunung.

Memasuki desa itu, mereka bertemu dengan penduduk yang sedang sibuk menyiangi rerumputan.
“Permisi, Bapak.. Apakah benar di ujung sana adalah gunung tempat bersemayamnya pertapa suci dan mandraguna yang terkenal itu?”
Lelaki tua petualang itu bertanya dengan penuh harap.
“Ya, betul. Itu Gunung Suci. Tuan-tuan ini, ada perlu apa?” laki-laki desa itu menyahut.
“Kami ingin berziarah ke Gunung itu. Menemui pertapa suci yang konon tinggal di salah satu tebing sana..” jawab lelaki tua mantan hakim itu.
“Ya! Kami ingin mencari jalan menuju Surga!” Lelaki tua pengusaha benar-benar sangat antusias.
“Apakah Tuan-tuan di sini sudah yakin menuju gunung itu?” tanya lelaki desa itu kembali.
“Ya, kami sudah yakin. Kami ingin mencari Jalan menuju surga itu. Kami sudah begitu penat hidup di dunia ini.” Mereka berganti-gantian saling menjelaskan.
“Meskipun nantinya kalian tidak akan kembali lagi?”
“Meskipun nanti kami tidak kembali lagi!” Jawab mereka serentak berbarengan.
“Baiklah, bila Tuan-tuan berkeyakinan untuk itu. Silahkan Tuan ikuti jalan utama yang menuju ke kaki gunung itu, sampai Tuan temui hutan belantara yang sangat lebat. Tuan masuklah, itu jalan menuju ke puncak gunung. Namun, Tuan jangan heran apabila Tuan nanti menemui jalan-jalan yang bercabang. Di salah satu cabang itu menuju ke tempat pertapa suci itu tinggal. Tuan pilihlah jalan yang terbaik bagi Tuan.” Jelas lelaki desa itu.

Mereka bertiga saling berpandangan sejenak. Setelah menguatkan tekad, mereka mengangguk bersama. Mereka berterima kasih kepada lelaki desa itu, malahan laki-laki tua pengusaha itu memberikan segenggam uang.
Mereka mulai berjalan sesuai dengan arahan lelaki desa itu sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu hutan yang sangat lebat.

“Sudah siapkah kita masuk, Teman-teman?” ucap lelaki tua petualang itu. Sungguh, tidak ada petualang yang lebih mendebarkan dalam hidupnya selain petualangan ini.

“Tentu, bagi kami dunia adalah tempat singgah yang sementara. Perjalanan kita sebenarnya baru akan dimulai.” Salah satu laki-laki tua itu menimpali. Tak jelas siapa yang berbicara, karena ketegangan begitu mencekat di dada.
“Baiklah, mari kita masuk..”

Mereka mulai masuk, menerabas kerumunan belukar dan pohon perdu. Tak lama kemudian, mereka menemui percabangan jalan. Mereka telah berjanji untuk sampai ke tujuan bersama-sama. Maka, mereka sepakat untuk memilih jalan secara bergantian. Giliran pertama adalah mantan hakim itu, kedua pengusaha itu dan ketiga lelaki tua petualang. Terus begitu, sampai mereka kelelahan.

Sudah puluhan kali mereka beristirahat sembari memakan bekal mereka. Jalanan ini seperti tanpa ujung. Setiap lima menit terdapat percabangan. Hal inilah yang membuat tiga orang peziarah ini kelimpungan. Sampailah pada suatu saat dimana bekal makanan dan minuman mereka telah habis.. mereka saling duduk bersandar dan terlihat sangat kepayahan.

“Teman-teman, apakah kita tersesat? Pertapa suci itu belum jua kita temukan. Jalan yang kita tempuh seperti jalan kesesatan..” desis lelaki tua botak itu. Ia sudah berbicara dengan mata terpejam.
“Teman-teman, benarkah ada Jalan Menuju Surga..?” lelaki tua pengusaha itu berucap lirih. Namun terlampau lirih untuk sekedar didengar oleh dirinya sendiri..
“Teman-teman...??”

Kini mereka merasakan perasaan yang sangat mencekam. Bayangan-bayangan selama mereka hidup kini nampak seperti slide yang diputar berulang-ulang di kepala mereka.

Hutan belantara telah memerangkap mereka pada sebuah sesat. Kumbang gunung bersahutan, daun-daun kuning jatuh ke tanah, menggabungkan diri bersama daun tua yang sudah membusuk, yang akhirnya nanti akan terurai menjadi hara tanah, kembali lagi ke pohon. Ketiga pendaki tadi pun demikian. Kini, mereka telah kembali lagi ke habitatnya. Barangkali, mereka telah menemukan jalan menuju surga yang sesungguhnya.
***
Pemerintah akhirnya resmi menutup Gunung itu untuk siapapun. Di kaki gunung itu, yang terdiri dari puing-puing bekas letusan gunung puluhan tahun silam, pemerintah memasang pagar pembatas berkawat duri. DILARANG MASUK. BERBAHAYA! Begitu tulisan itu. Hanya kesunyian yang tinggal di sana.[*]

Adipala, 5 September 2011
_____
M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Global, Suara Pembaruan, Jurnal Medan, Harian Aceh dan media online Kompas.com. beberapa kumpulan ceritanya dapat dilihat di www.kolasecerita.wordpress.com. Kontak: Twitter @n_choliz

Ini Kisahku denganmu

Semua berawal dari lima tahun lalu. Kau teman baruku. Kau satu dari segelintir wanita yang ada di sekitarku. Selain kau, juga ada Chinta dan Irene yang baru saja merasakan suasana kampus di kota ini.

Malam itu, meski suasana di kampus cukup ramai, aku yang ada di depanmu hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa.

Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu, senyum manismu, lesung pipitmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Kau masih di sekitarku.

Setiap malam kusaksikan senyummu. Dan tak terasa sudah ratusan malam senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan, tak pernah ingin ku lewatkan.

Begitu juga perasaan di hatiku yang telah berubah meskipun aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Entah apa namanya, ku tak ingin mencarinya dalam kamus-kamus di perpus-perpus, ku hanya ingin menikmati saja.

Malam pun datang bersama bulan yang masih saja beredar. Kadang terlihat cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Tak seperti senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir darahku, menuju jantungku. Menggetarkannya, memacu degupnya. Mungkin ini yang namanya cinta. Tapi ku masih takut menyebutnya. Aku hanya memandang bulan yang belum bundar sempurna, ku titipkan perasaan ini padanya.

Hal yang paling ku takuti adalah dibenci oleh orang yang ku cintai. Tiga tahun sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena mencintai. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku takut kau membenciku atau aku takut mencintaimu. Hingga -yang mungkin saja- cinta ini, ku biarkan. Tak kuucapkan.

Hingga saat malam datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak, hatiku berontak, kebenaran terkuak. Kau tak lagi sendiri. Perasaan ini pun jadi tak berarti. Ku lihat kau bersama lelaki yang mencintaimu, dan kau memanggilnya Toni, kekasih hatimu. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya pagi.

Malam-malam berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Senyum yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada layang-layang, ku terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.

Kini, ku masih menikmati senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam. Sementara perasaanku masih ku titipkan padanya, ku mencoba menikmati suasana yang sedikit berbeda. Melihatmu tersenyum, tertawa bersama kekasihmu. Senyum yang masih memacu degup jantungku, meski sedikit menyayat hatiku.

Suatu saat nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi, sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan suatu kisah tentang perasaan -yang mungkin saja cinta- ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di penghujung malam, di awal pagi.


Surabaya, November 2010

Nilai Ujian Remidi

Begitu mendapat kabar lewat sms dari Pak Usman, salah satu penjaga sekolah, bahwa Bu Astuti, guru matematikanya itu baru saja keluar dari sekolah, Nina bersama dua karibnya; Linda dan Zahra, bergegas mengambil sepedanya masing-masing dan mengayuhnya cepat-cepat menuju sekolah. Nina beserta kawan karibnya ingin jadi orang yang pertama tahu apakah ia dan temannya lulus ujian remidi (ujian perbaikan) matematika yang diadakan siang tadi.

Sebab besok ia dan kawan karibnya bersepakat tidak masuk sekolah. ”Kalau kita bisa tahu malam ini, besok kita ndak usah masuk. Kita mejeng aja di mall. Ngeliatin cowok-cowok cakep. Enek kita khan liat wajah Bu Astuti terus.” Begitu usul Nina. Dan kedua kawan karibnya setuju.

Memang sudah jadi kebiasaan Bu Astuti kalau menggarap nilai ujian dilakukan di sekolah malam hari. Maklum saja, meski sudah kepala lima, hampir sama dengan usia bapak Nina, Bu Astuti belum juga menikah. Boleh dibilang perawan tua. Dan hingga saat ini tak pernah ada yang tahu alasan Bu Astuti kenapa belum menikah hingga sekarang. Karena itulah Bu Astuti kerap jadi gosip anak-anak sekolah. Teman-teman Nina. Baik yang seangkatan dengan Nina. Maupun yang junior. Dan itu pula yang dilakukan Nina dengan sahabat karibnya di warung Mpok Imah sembari menunggu Bu Astuti keluar dari sekolah malam itu. ”Mungkin selera dia terlalu tinggi sama laki-laki. Maklum dia khan keturunan priyayi.” Kata Zahra.

”Eh..ndak gitulah. Menurut cerita dari pamanku, yang kebetulan pernah satu sekolah dengan Bu Astuti, dia dulunya pernah punya pacar. Lalu pacarnya meninggal karena kecelakaan. Sejak itulah ia jadi dingin sama laki-laki.” Bantah Linda.

”Atau mungkin dia sama pacarnya sebenarnya sudah melakukan hubungan intim. Lalu pacarnya meninggal. Karena itulah ia jadi takut sama laki-laki. Takut ketahuan kalau sudah ndak perawan.” Timpal Zahra lagi.
”Ngarang kamu! Jangan ngaco ah.” Sanggah Linda
”Eh, bisa aja khan itu terjadi! Bisa jadi juga guru kita itu punya kelainan seksual. Hayoo..” ujar Zahra.
”Udah..udah. nggak penting khan ngomongin Bu Astuti dan segala tetek bengek hidupnya itu. Ndak ada pengaruhnya buat kita.” Ujar Nina. ”Mestinya yang kalian pikir sekarang kalian lulus apa tidak? Nggak lulus tahu rasa kalian semua. Kualat kalian semua nanti karena ngegosipin guru,” imbuhnya. Ketiganya lalu tertawa bersama.

Memang Bu Astuti termasuk salah satu guru yang tidak disukai Nina. Bahkan sebagian besar teman sekolahnya. Maklum saja, Bu Astuti tergolong guru killer. Kalau ulangan di kelas , Ia tak segan-segan melempar buku tugas murid-muridnya kalau tak bisa mengerjakan soal matematika dengan benar. Nina yang paling sering mendapatkan itu. Bahkan sampul buku tugasnya nyaris lepas karena sering dilempar-lempar Bu Astuti. Tak hanya itu. Bu Astuti juga kerap menampar pada siswa yang melakukan kesalahan dan tidak disiplin dan dianggap tindakannya tidak bermoral. Dan tiap kali marah wajah Bu Astuti seakan-akan berubah jadi menakutkan. Dan matanya merah seperti terkena noda darah.

Soal moralitas itu Bu Astuti pernah membuat program yang kontroversial. Untuk menekan kenakalan remaja dan agar siswa-siswa di sekolahnya tak terjerumus pergaulan bebas, dia membuat program pelajaran rohani. Program itu diisi dengan mengaji. Jadwalnya dilakukan pada jam 5 pagi. Dilakukan bergiliran tiap kelas. Dan jangan coba-coba terlambat. Bisa merah pipi siswa yang terlambat karena kena tampar. Tak peduli perempuan. Apalagi laki-laki. ”mengaji dan disiplin adalah dua hal yang penting. Program ini akan melatih mental kalian agar tak gampar terjerumus pada hal-hal yang tak berguna dan membahayakan masa depan kalian.” Begitu Bu Astuti ketika memberi penjelasan.

Awalnya program itu berjalan lancar. Tapi lama-lama banyak wali murid yang protes. Pasalnya program itu dianggap tak lazim dilakukan pada jam 5 pagi. Dan itu mengganggu aktivitas keluarga. Terutama wali murd yang rumahnya jauh dari sekolah. ”Saya sampai sering dimarahi suami gara-gara tak menyiapkan sarapan pagi hanya untuk mengantar anak ke sekolah dini hari.” itu salah satu keluhan wali murid pada kepala sekolah.

Tapi Bu Astuti bergeming. Meski diprotes banyak wali murid program itu jalan terus. Puncaknya ratusan wali murid ngeluruk ke sekolah. Melakukan demo menuntut agar Bu Astuti dikeluarkan dari sekolah. Akhirnya program itu dihentikan. Tapi Bu Astuti tetap ngajar di sekolah itu. Dan seperti biasa sering mengerjakan tugasnya sebagai guru di sekolah sampai malam. Termasuk juga membuat nilai remidi.

Malam semakin larut. Bulan purnama berpendar-pendar di langit hitam bersama bintang gemintang. Suara layang layang menderu bersama suara pesawat yang baru saja lalu. Jalanan yang tadi ramai lambat laun mulai sepi. Suara anjing menyalak bersautan, suara kucing kawin di belukar, suara jengkerik jadikan malam makin menerbakan kengerian. Ketiga sahabat karib itu bersicepat mengayuh sepedanya masing-masing. Ketika jam menunjukkan pukul 9 Nina dan dua teman karibnya tiba di gerbang sekolah. Bergegas Nina menyandarkan sepedanya ke tiang bendera. Diikuti kedua temannya. Tiba-tiba Pak Usman menghampiri.

”Lama amat sih neng-neng ini. Masih kemana aja. Sampek gosong Pak Amat nungguinnya.”
”Alah…gosong. Ngomong aja mau nangih jatah rokok. Iya khan?” Nina merogoh kantong celananya lalu menyerahkan rokok pada Pak Usman. Pak Usman tersenyum lalu menyerahkan kunci ruang guru pada Nina.
”Ingat! Jangan lama-lama. Setengah jam lagi biasanya Pak Urip datang. Selesai liat langsung ke luar dan cepat pulang. Kalau sampai ketahuan Pak Urip bisa dilaporin ke kepala sekolah.”
”Beres. Percayakan sama kita-kita ini. Begitu urusan selesai langsung cabut kok pak!” ketiga kemudian bergegas lari menuju ruang guru. Angin dingin bertiup kencang. Batang-batang pohon bambu belakang sekolah bergoyang menimbulkan suara berderik yang panjang. Terdengar suara burung hantu. Dan lolong anjing di kejauhan.

Pelan-pelan Nina membuka pintu ruang guru. Menyalakan lampu. Kemudian ketiganya berhamburan menuju meja Bu Astuti. Tapi meja Bu Astuti ternyata bersih. Hanya sebuah HP di sisi meja. Sepertinya HP Bu Astuti ketinggalan. Tak ada berkas apapun di atas meja. Zahrah mengambil HP itu dan mulai membukanya. Entah apa yang ia liat. Sementara Nina mencoba menarik laci sebelah kiri meja itu. Ternyata terkunci. Kemudian menarik laci sebelah kanan. Tak dikunci.

”Hei lihat kayaknya ada di tumpukan berkas ini.” Ketiga lalu pelan-pelan membacai tumpukan berkas yang diambil dari laci itu. Lama sekali mereka mencari sampai akhirnya Linda berbisik.
”Kayaknya ini yang kita cari.” Linda mengibas-kibaskan dua lembar kertas yang telah distreples. Nina merebutnya lalu membacanya. Benar di bagian atas kertas itu tertulis: HASIL NILAI REMIDI PELAJARAN MATEMATIKA TANGGAL 10 Juni 2010. Dibawahnya ada daftar nama siswa dan angka hasil ujian. Ketiga memelototi kertas itu. Mencari namanya masing-masing.
Fatimatuz Zahrah = 7,8
Linda Ananda = 6,9
Malik Prasetya = 7,1
Nina Susilowati = 7,5
Wina Ningrum = 8
………………..

Ketiganya melompat-lompat kecil begitu membaca hasil ujian remidi itu. Ketiganya lulus. Tapi begitu membaca nama Wina semuanya terkejut.

"Bukankah Wina sudah mati enam bulan lalu karena gantung diri gara-gara dikeluarkan sekolah sebab nggak mampu bayar SPP?" tanya Nina. Teman-temannya hanya mengangkat bahu.
"Lalu kenapa nilainya bisa keluar?"

Tiba-tiba bulu kuduk mereka berdiri. Listrik mendadak mati. Beberapa menit kemudian listrik menyala kembali.
”Dasar PLN sialan! Bikin jantung berdebar aja.” Gerutu Nina.
”Eh, kalian harus melihat ini dech.” Ujar Zahra lirih sambil menunjukkan HP Bu Astuti. Nina dan Linda mendekat ke Zahra. Zahrah kemudian memutar sebuah video di HP tersebut.
”Bukankah perempuan itu Bu Astuti?” Tanya Nina
”Entahlah. Tapi mirip sekali.” Ujar Zahrah. Dalam video itu terdapat adegan perempuan yang wajahnya mirip dengan Bu Astuti tengah duduk bersila di depan sebuah dupa. Mengenakan sampir merah dengan dada sedikit terbuka. Rambutnya panjangnya terurai. Mulutnya komat-kamit. Memandangi sebuah foto laki-laki. Kemudian meludahi foto itu tiga kali. Cuih! Cuih! Cuih!

Selang beberapa lama kemudian setelah ritualnya selesai perempuan itu berjalanan mendekati pojok ruangan, lalu membuka karung yang berisi tiga ekor anak anjing yang sudah diikat. Perempuan yang mirip dengan Bu Astuti itu mencekik leher seekor anjing. Lalu memakannya mentah-mentah.

Ketiga sahabat itu saling melongo menyaksikan video tersebut. Ada rasa ngeri dalam dada mereka. Tiba-tiba listrik mati kembali.

”PLN sialan!” teriak Nina lagi. Beberapa menit kemudian listrik menyala kembali. Dan betapa terkejutnya ketiga sahabat karib itu. Sebab begitu listrik menyala, Bu Astuti sudah berdiri di depan mereka dengan mata merah dan mulutnya belepotan darah.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah penulis kumpulan cerpen “Selaput Dara Lastri” (IBC, Oktober 2010). Pernah bergiat di Sanggar Bersastra Kita (SBK) Madura. Selain menulis cerpen juga menulis puisi dan artikel yang dimuat di berbagai media massa terkemuka di Indonesia seperti; KOMPAS, JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SINDO, SINAR HARAPAN, PELITA, SUARA KARYA, BALI POST, Dsb. Kini tinggal di Pamekasan, Madura.

JM 1300

Pagi itu Bima datang ke kantornya lebih awal, sekitar pukul delapan. Ada meeting dengan para petinggi sebuah perusahaan tambang besar di Papua sebelum lunch time di kantornya siang ini, mengenai permintaan akan kebutuhan bus-bus bagi sarana transportasi para pegawai mereka. Beruntung, jalanan sepanjang Cipinang hingga Cilandak, di mana kantornya berada, pagi itu agak lancar.Tak semacet biasanya. Hingga apa yang ingin ia siapkan hari ini bisaterlaksana sesuai rencana.

Ditinggalkannya dahulu permasalahan dengan Tere, istrinya, yang sudah beberapa hari ini masih terasa panas saja.Tak ada gunanya juga untuk dimasukkan ke dalam otak, karena memang sepertinya pertikaian di antara mereka tak akan pernah ada habisnya. Dari masalah finansiil yang dirasa selalu kurang oleh istrinya itu karena gaya hidupnya yang hedonis, atau kadang hanya soal sepele karena kecemburuan Tere yang sama sekali tak beralasan. Padahal Bima sudah berusaha keras untuk bisa memenuhi segala yang diminta Tere.

Memang kadang diakuinya kalau ia seringkali menghilangkan kekesalannya dengan sedikit bersenang-senang dengan perempuan lain. Tapi itu cuma selingan pengobat stress-nya saja, yang tak pernah diambil hati.Hanya hubungan ragawi, tanpa ikatan batin. Petualangan-petualangan kecil yang dianggapnya sekedar sebagai suplemen penambah kekuatannya, bukan untuk ia jadikan sebagai toksin. Tak terbersit sedikitpun niat di hati Bima untuk menggantikan kedudukan Tere dengan salah satu dari perempuan-perempuan itu, walaupun dasar pernikahan mereka memang bukan karena cinta. Dan seharusnya Tere bisa mengerti. Toh ia tetap memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga dan pulang ke rumah setiap hari.

Mungkin karena mereka berasal dari suku yang sama, sehingga menjadikan satu sama lain sama-sama keras dan seringkali tak ada yang mau mengalah. Lelah sebenarnya Bima menghadapi hari-hari penuh keributan seperti itu, namun sepertinyaia memang harus pasrah menerima keadaan. Adat istiadat Batak Toba yang masih dijunjung tinggi keluarga besarnya, membuatnya mengurungkan niatnya.

Perceraian seakan memang diharamkan dalam budaya mereka. Banyak proses yang harus dilaluinya jika ia nekat berpisah dengan istrinya, seperti juga pada pernikahannya dulu yang diiringi dengan berbagai macam upacara adat. Ia harus menemui para tetua adat dan juga kekerabatan dari Dalihan Na Tolu untuk membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak dahulu, lalu akan berusaha didamaikan. Belum lagi Bima juga tak bisa membayangkan jika sampai tak bisa lagi bertemu dengan kedua anak kembarnya, Brenda dan Brandon, pasca perceraian mereka. Aaargh.. Mengingat proses yang sedemikian rumit itu dan akibat yang mungkin akan ditimbulkannya saja sudah membuat Bima serasa ingin memenggal kepalanya untuk sebentar diletakkan di meja, supaya ia bisa berhenti berpikir barang sejenak. Memusnahkan hasrat Bima untuk lepas dari penjara yang bernama sakral“perkawinan” dan dengan penuh kesadaran akhirnya memilih terkurung di dalam penjara itu, seumur hidup.

*****

Sudah pukul 11 siang. Sekretarisnya memberitahukan bahwa calon kliennya sudah datang.Segera Bima menemui mereka dan mengantarnya kemeeting room. Sekitar satu jam Bima mempresentasikan penawaran yang diajukan oleh perusahaannya. Puji Tuhan, tak ada kendala yang berarti. Sebab perusahaannya memang sudah sangat terpercaya untuk urusan transportasi, jadi konsep yang ia ajukan langsung saja disetujui oleh mereka.

Waktunya makan siang.Bima pun mengajak para tamunya menuju sebuah resto favoritnya di kawasan Kemang. Sudah lama ia tak menyantap Wagyu Burger dan Nachos yang menjadi salah satu menu andalan resto tersebut, juga Blueberry Cheesecake sebagai penutupnya. Para tamunya pun terlihat sangat menikmati hidangan mereka. Semua terasa berjalan seperti yang ia mau, hingga tiba-tiba saja matanya tertuju pada satu titik secara tak sengaja. Seorang perempuan bergaun merah, yang wajahnya selama bertahun-tahun ini masih saja menghiasi mimpi-mimpinya, tanpa setahu Tere.

*****

Shinta. Perempuan yang dikenal Bima saat ia masih kuliah semester akhir di fakultas teknik sipil sebuah perguruan tinggi swasta di perbatasan Jakarta Selatan. Perempuan Jawa berwajah lembut yang sempat mengisi hatinya selama hampir setahun, sebelum Bima mengetahui rencana ibunya untuk menjodohkannya dengan salah satu paribannya.Padahal hubungannya dengan Shinta sudah telanjur jauh. Sewaktu Bima tak kuasa menolak permintaan ibunya itulah, ia pun baru mengetahui bahwa Shinta tengah berbadan dua.

“Aku hamil,” kata Shinta saat itu, dengan wajah penuh kekhawatiran.Bima hanya terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Bagai makan buah simalakama keadaannya saat itu. Adat menghendaki agar sebagai laki-laki Batak ia pun menikahi perempuan yang berasal dari suku yang sama. Jadi akan sangat menyalahi aturan jika ia sampai menikahi Shinta, apalagi ditambah perbedaan keimanan antara mereka berdua.

Pengecut memang, karena Bima kemudian lebih memilih untuk menuruti kehendak orang tuanya. Shinta memang tidak menuntut Bima untuk menikahinya, namun tentu saja Bima sangat tahu perasaan perempuan itu. Perasaan bersalah begitu menderanya, kala ternyata secara mendadak pihak keluarganya membawa Bima pulang ke Medan, tanpa sempat ia memberi kabar kepada perempuan yang sedang mengandung anaknya itu.

Setiba di Medan, Bima memang segera dinikahkan dengan Tere, pariban yang disodorkan keluarga untuknya. Seperti kerbau dicocok hidung, Bima hanya bisa mengikuti saja. Selama kurang lebih setahun Bima tinggal di kota kelahirannya itu, sebelum kemudian pada tahun berikutnya ia kembali ke Jakarta, memboyong Tere dan kedua anak kembarnya yang baru berusia beberapa bulan.

Selama di Medan, Bima bukannya tak peduli dengan Shinta. Dicobanya menghubungi perempuan itu lewat telepon, tapi jawaban yang ia dapat dari keluarga Shinta hanyalah kemarahan. Begitu juga melalui beberapa teman yang dikenalnya.Namun sepertinya Shinta menghilang begitu saja, bagai ditelan bumi.

*****

Dan kini, perempuan itu ada di hadapannya. Penampilannya masih seperti dulu.Ayu. Garis kematangan yang menggurat di wajahnya justru menambah pesonanya.Beruntung, para tamunya tak punya waktu berlama-lama di tempat itu dan segera berpamitan. Membuatnya bisa segera menghampiri Shinta yang tengah asyik menikmati sushi-nya sendirian.Hingga tak sadar ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya, lalu menghampirinya.

“Boleh saya temani..??” sapa Bima kepada perempuan itu, sambil tersenyum. Shinta terlihat sangat terkejut mengetahui kehadirannya.Dengan tatapan yang mendadak terlihat garang.Kemarahan sepertinya masih terbekap di mata perempuan itu, namun cepat bisa dikuasainya.

“Apa kabar, Bim..??” tanya Shinta, dengan ekspresi dingin. Tak lama kemudian meluncurlah cerita-cerita perih masa ia kehilangan jejak perempuan itu, yang setelah diketahui hamil tanpa ada yang mau bertanggung jawab kemudian dinikahkan keluarganya dengan salah seorang kerabat jauhnya. Belakangan baru Shinta tahu bahwa laki-laki itu ternyata adalah seorang junkies. Pada masa kehamilannya, Shinta banyak mendapat kekerasan fisik dari suaminya yang sering pulang dalam keadaan mabuk, dan kemudian mengakibatkan pendarahan yang menyebabkan ia kehilangan bayinya. Laki-laki itupun lalu tewas beberapa tahun yang silam karena overdosis.

Ingin rasanya Bima bersimpuh mohon ampun kepada perempuan yang sampai detik ini masih sangat dicintainya itu.Memeluk erat seperti dulu agar tak ada lagi yang bisa melukainya.Gayung pun bersambut.Shinta meminta Bima untuk mengantarnya pulang.

*****

Di jalan menuju rumah Shinta di Pamulang, mendadak ada sebuah taksi putih menyalip mobilnya.Terbaca oleh matanya, nomor taksi itu. JM 1300. Kode yang sepertinya sengaja diminta untuk ia pecahkan. Entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik di telinganya, mengurai arti dari huruf dan angka yang dibacanya itu. “Jauhi masalah, atau kau akan sial selamanya,” begitu kata suara itu. Namun suara itu sama sekali tak diindahkannya, tenggelam dalam kegirangannya bertemu lagi dengan Shinta, Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah perkawinannya, Bima tidak kembali ke rumahnya semalaman dan dengan sengaja mematikan telepon selularnya.

*****

Menjelang siang, Bima terbangun.Tak lagi dilihatnya Shinta, hanya secarik kertas di samping tempat tidur yang memberitahukan bahwa sarapan sudah disediakan di meja makan.Ia hanya meneguk secangkir kopi susu, lalu segera mandi dan bergegas pulang. Sudah disiapkannya sejuta alasan yang akan diajukannya kepada Tere sebagai alibi kepergiannya yang tanpa kabar.

Selagi di perjalanan kembali ke rumah itulah, baru dinyalakannya lagi telepon selulernya.Ada sejumlah pesan pendek yang berderetdari Tere. Sama sekali tak dibukanya, karena ia sudah tahu isinya pasti hanyalah makian saja. Namun ada satu pesan yang menarik untuk ia buka. Dari Shinta. Yang isinya ternyata sangat mengagetkannya.

“Welcome to the AIDS Club, Bima.. Kau pantas mendapatkannya, karena kau sudah membuat aku terpaksa menikahi seorang junkies yang membuatku mengidap penyakit ini..”

Ruang Hitam Putih, 1 Desember 2011
Inspiring by :Waktu Tersisa – Kla Project

Keterangan :
Dalihan Na Tolu :filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.( Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu)

Ia yang Mencintai Sepi

Sebenarnya aku tidak mau banyak bercerita tentang dirinya kau tau. Sebab ia tidak –terlalu- suka orang menerka-nerka hatinya atau sikapnya yang pendiam itu. Lebih tepatnya ia seperti merasa sedih sebab memang tidak bisa ia menceritakan hal-hal yang menurutnya rahasia-hal-hal yang munurutnya di percayakan kepadanya itu kepada orang lain. Entah kenapa kali ini aku seperti susah mengekang nafsuku-oh jangan berfikir yang bukan-bukan dulu. Ini bukan nafsu yang seperti itu yang sering menghinggapi benakmu. Dan benakku pula sudah tentu.

Ini nafsuku yang terus menggebu untuk menceritakan sebagian dirinya. Yah, sebagian dirinya saja. Karena aku tidak mau jika lantas ia memusuhiku walau sebenarnya ia tidak pernah tertarik untuk mempunyai atau mencari musuh. Baiklah baiknya kumulai saja ceritaku tentang dirinya.
Inilah ceritanya.

Ia terlanjur jatuh cinta kepada sepi. Di kota yang seramai pasar malam itu bahkan lebih ramai dari pasar yang paling malam itu ia melulu merasa sepi. Ia tidak pernah terganggu hiruknya jalan-jalan yang berdesingan semalam suntuk. Ia juga tidak pernah terganggu jikalau para tetangganya membesarkan volume televisi mereka yang menyuarakan dendang lagu-lagu india ditingkah gemerincing gelang-gelang kaki dan tangan para penarinya. Atau adu nada tinggi melengking dalam sinetron-sinetron yang alurnya dari episode ke episode semakin terulur panjang dan ngelantur bagai benang ruwet yang kusam itu. Atau pula debat kusir para tokoh-tokoh yang sudah kerap kali mampir ke studio-studio di program- program acara yang nyaris sama. ia tidak perduli dan tidak terganggu dengan itu semua. Namun aku tahu ia sebenarnya tidak setidak perduli itu.

Dulu ada seorang sahabatnya-oh baiknya sedikit aku ceritakan. Walau sangat pendiam ia juga bersosialisasi sewajarnya dan mempunyai sahabat-sahabat yang setia padanya. Sangat setia malah. Entah karena apa sahabat-sahabatnya itu begitu mempercayainya aku sungguh tidak tahu dan jangan kau tanyakan itu padaku.

Aku ulangi tadi, dulu ada seorang sahabatnya dari kota yang jauh menghubunginya melalui sambungan telepon, menceritakan ada hal yang telah menimpanya. Ia mendengarkan dengan seksama cerita sahabatnya itu selama hampir setengah jam. Selesai sahabatnya bercerita dan ia menutup teleponnya, seketika itu ia berlari menerjang pintu kamar mandi. Dan memuntahkan seluruh isi perutnya di sana. Setelah itu ia terhuyung-huyung rubuh di karpet yang tergelar di depan televisi dengan mata membasah. namun ia tidak pernah menceritakan kapada siapa pun apa cerita dari sahabatnya itu.

Pernah pula beberapa hal datang dalam lingkup pekerjaannya. Aku juga menceritakan sebagian saja mengenai pekerjaannya. Karena nyatanya ia tidak bangga sama sekali dengan pekerjaannya. orang-orang dalam lingkup pekerjaannya sudah begitu mahfum dengan “kediamannya” dan mereka pun juga baik-baik sikapnya terhadapnya. Dan tiga orang diantaranya sangat mempercayainya untuk menaruhkan rahasianya kepadanya yang membuatnya justru merasa seperti memikul beban dan perasaan tidak nyaman yang nyaris menjadi seperti perasaan nelangsa.

Orang pertama yang menaruhkan rahasianya adalah seorang perempuan yang sudah menikah namun merasa tidak bahagia menjalani kehidupan perkawinannya dan tetap mempertahankannya. Hingga suatu waktu perempuan itu bertemu dan jatuh cinta kepada lelaki lain yang bukan suaminya.

Orang kedua adalah seorang lelaki yang naasnya merasa dirinya gay. Sedangkan keluarga si lelaki dan sahabat-sahabat si lelaki ini tahunya ia lelaki normal yang mempunyai kekasih perempuan. Karena sikap si lelaki ini memang flamboyan. Kerap bergonta-ganti pasangan dalam rentang waktu yang tidak lama. Untuk shoping ke mall, nongkrong di cafe, menonton atau menghadiri konser-konser si lelaki ini kerap berjalan di gelayuti perempuan. Hingga suatu hari si lelaki mengetuk pintu ruang kerjanya sehabis waktu makan siang. Lalu menumpahkan serentetan perasaan yang telah membuatnya bertahun-tahun tertekan. Seketika ia hanya mampu menatap si lelaki tanpa berkata apa-apa dari sebrang mejanya.

Orang ketiga adalah seorang lelaki yang terang-terangan memperlihatkan perangainya yang ngonde-gemulai. Dandanannya sungguh gemerlap dan terkesan seperti outlet berjalan. Dari mulai sepatunya gold sneakers , jam tangan tag heuer, celana denim keluaran levi strauss, t-shirt giordano, ikat pinggang moschino hingga kaca matanya yang eksklusif merk maybach dilengkapi dengan semprotan hugo boss yang setelah langkahnya mencapai sepuluh meter pun aroma maskulinnya masih meruap. Diantara barang-barang bermerk yang melekat di tubuhnya hanya ikat pinggangnya yang menggunakan merk khusus perempuan. Namun itu toh tidak mengubah perangainya yang ngonde itu.

Di suatu subuh buta, ketika ia baru hendak melepas mukena pintu pondokannya di gedor-gedor dari luar. Seketika ia berjalan ke pintu membukanya dan betapa terpananya melihat siapa yang berdiri dengan nafas ngos-ngosan dan wajah berlumuran keringat seolah habis separuh jarak tempuh maraton dalam perlombaan. Namun yang membuatnya terpana bukanlah nafas yang ngos-ngosan ataupun keringat yang berlumuran melainkan dandanan sosok di depannya itu.

Memakai wig hitam bergelombang mencapai batas pinggang, gaun terusan tanpa lengan warna ungu ketat dengan sepatu high heel warna ungu tua dan lipstik tebal ungu menyala memoles bibirnya. Dengan penuh mengiba ia meminta masuk kedalam pondokannya karena sedang dikejar petugas kamtib-keamanan dan ketertiban di sebuah taman sekitar sepuluh menit jaraknya dari pondokan itu. Lelaki berdandan perempuan menor ini pun dipersilakan masuk setelah nafasnya lebih dulu dihirup dan dihela dalam-dalam. Sekejap setelah lelaki berdandan menor itu masuk dua orang petugas kamtib lewat jalan depan pondokannya.

Maka begitulah lelaki berdandan perempuan menor itu pun selamat dari razia setelah semalaman mangkal di taman untuk mencari tambahan setoran di mana pundi-pundinya yang biasanya selalu penuh itu kerontang. Lelaki yang sehari-harinya di lingkup pekerjaannya berperangai ngonde dengan perangkat aksesori selalu menempeli tubuhnya bagaikan outlet berjalan.
*******

Bertahun-tahun ia menyimpan hal-hal atau kejadian-kejadian tersebut dan barangkali juga puluhan atau bahkan ratusan kejadian lainnya yang ia ikat rapi dalam bundelan di pojok pondokannya. Hanya saja ketika suatu malam sebelum ia terbangun di lewat tengah malam seperti biasanya, tiga lembar dalam bundelannya terlepas tanpa ia sadari lalu lembaran-lembaran yang lepas itu berhasil aku curi. Untuk aku ceritakan padamu, tentu saja. Hanya untuk sekedar kau tahu hal apa di antaranya yang ia simpan dalam “kediamannya” dan “kesepiannya” itu.

Entah apakah nanti aku masih bisa mencuri beberapa lembar lagi dari bundelannya yang begitu saja ia onggokkan di pojok pondokannya yang tidak pernah ia ingin untuk dikirim atau dikisahkan kepada siapapun itu, aku sungguh tidak tahu.
*******
gang pendidikan, 2011
Cerpen Lailatul Kiptiyah

Perempuan Jumat

Suatu pagi yang masih sepi dia datang menghampiriku. Ketika itu para jemaat belum ramai, karena biasanya mereka datang menjelang lonceng gereja berbunyi. Dia datang tak melintasi batas pagar depan gereja. Sapu lidi di tanganku berhenti mengayun lamban. Aku berdiri dari bungkukku dan menghentikan ayunan sapu lidi di tangan. Kami sama-sama tidak jauh dari pintu gerbang gereja. Hanya saja, dia di luar dan aku di dalam area gereja.

Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi malu. Rumput-rumput yang masih basah di depan gereja menegurku untuk tetap menyapu halaman gereja sebelum jemaat datang. Dan, Dia pergi begitu saja.

Dua hari yang lalu aku menunggunya di depan gereja ini. Beranda yang dingin menyejukkan kulit dari siraman matahari menjelang siang bolong. Tubuhku terasa ingin bergerak menjemputnya, lalu menariknya agar cepat tiba di beranda gereja.

Ketika orang-orang ramai keluar dari tempat ibadah siang itu, aku masih menunggunya. Jam dan matahari sepakat mengatakan saat itu pukul satu siang. Satu-satu yang melintasi gereja kutelanjangi wajahnya. Berharap itu adalah wajah laki-laki yang kunanti. Tapi tak kutemui wajah yang setiap Jumat menemuiku di beranda gereja ini. Aku pun pergi begitu saja setelah tempat ibadah itu sepi. Pulang ke rumah untuk menyimpan rindu yang belum terpenuhi.

“Kau Margaret Sinambela dan aku Zulkifli Sihotang.” Begitu tajam nasihat itu yang dia lontarkan Jumat lalu. Di tempat biasa, beranda gereja. Setelah bernasihat yang memasung bagi kami berdua, dia pun pulang begitu saja. “Mungkin inilah pesan opung-opung1 kita dahulu, jangan tuangkan hasrat bercinta kepada saudara terdekat,” dan dia menutup nasihatnya dengan sebilah nasihat yang beradat.

Sebelum bernasihat, seperti biasa dia melumuriku dengan kata-kata yang membuat aku ingin menjadi dirinya. Dia berkata “Biar orang bilang agamamu agamamu, agamaku agamaku. Tapi cintamu ya cintaku, sama seperti margaku ya borumu3.” Kata-kata itu dilumurinya ke tubuhku agar aku tak menangis sedih, begitu katanya. Kita sama-sama tak punya pilihan lain ketika agama dan adat tak bersahabat. Waktu itu aku menangis sedih setelah dia berkata “Seminggu lagi aku harus keluar dari sini. Pergi jauh dari tanah Toba ini.”

Jumat pada minggu ini dia tak mungkin lagi ada bersama mereka yang beribadah. Alasannya ke warga kampung, dia pergi ke luar kampung untuk bekerja. Dia harus pergi karena orang tuanya memaki-maki hingga, katanya, segala barang dibanting. Demi adat, demi menjunjung tinggi martabat keluarga. Sampai tetangga-tetangga mereka tahu mengenai hubungan kami karena teriakan ibunya, sebab teriakan perempuan batak itu mampu menyamai teriakan laki-lakinya. Dari warga pulalah aku tahu dia telah bekerja di Kota Pelabuhan bagian pesisir Sumatera Utara.

Lima hari yang lalu dia masih berdiri di depan pagar, menghampiriku tanpa suara kecuali suara kakinya yang membawa pesan. Sekarang aku tetap tunggu orang-orang selesai ibadah siang bolong begini meski aku tahu dia takkan muncul keluar dari pintu tempat ibadah yang berbintang dan bulan di atapnya. Dia selalu berani memasuki area gereja ini dengan mengenakan pernak-pernik agama di tubuhnya. Begitu, aku kagumi dirinya karena berani. Berani yang menandakan laki-laki. Berani melawan tradisi desa. Dulu kami sering menghabisi sore hari di sini. Beranda gereja yang penuh corat-coret tangan laki-laki pemberani itu.

Jumat berikutnya lagi aku tetap menunggu di beranda gereja. Menunggu orang-orang yang beribadah di tempat ibadah yang tepat berhadapan dengan gereja ini, adalah kepuasan bagiku. Puas meski tak pasti apa yang kutunggu. Daun-daun rumput yang sering dia injak itu pasti sama merindukan seperti apa yang kurasa. Menanti diinjak.

Jumat berikutnya lagi aku tetap menunggu. Kutunggu, saat matahari belum di atas kepala hingga matahari memiring yang membuat dunia senja. Di beranda gereja, kududuki tulisan tangannya, “Margaret disayang Zulkifli.” Tulisan di lantai yang selalu diperhatikan para jemaat remaja saat mereka beristirahat di beranda. Karena tulisan itu pula aku sering diteggur Pastor gereja. Pastor itu suatu kali menegurku, “Kalian bukan jodoh, bukan takdir kalian untuk bersama. Margaret dan Zul berbeda keyakinan, bertentangan secara adat pula. Orang tuamu di sorga sana pasti sudah marah, Margaret.” Saat itu pula aku membenci pastor.

Jumat berikutnya, aku duduk seperti Jumat kemarin, di lantai beranda gereja. Aku merasa sudah dewasa, maka aku yakin apa yang aku lakukan tidaklah salah. Menunggu dia datang dengan kepala berpeci dan bersarung. Dulu, suatu saat, dia pernah mengelus pipiku dengan pecinya setelah dibuka peci di kepalanya hingga meperlihatkan rambut yang seperti rumput-rumput di depan gereja. Rambut yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sampai sekarang tenunan peci dari wol itu masih terasa di kulitku. Aku ingin dia mengulanginya, sekali lagi saja agar aku bisa pulang ke rumahku. Rumah di belakang gereja ini.

Sudah berapa Jumat aku menunggumu tapi dia tak pernah datang juga. Tidak menepati janji. Kursi yang kita seret bersama dari dalam gereja ke beranda gereja adalah saksinya, saat dia berjanji. “Aku selalu datang ke sini setiap Jumat, Margaret. Berpakaian lengkap sebagai muslim”, sambil dikulitinya mataku dengan matanya.

Aku sangat mengaguminya. Kagum karena berbeda dari laki-laki lain. Tak pernah sekali pun dia mengatakan diriku cantik. Tak pernah sekali pun dia menciumku. Tubuhku dijaga seperti tubuhnya. Selalu di selidikinya tubuhku yang kotor, dan dia bilang “Jangan mulai kotorkan tubuh kita agar hati tetap bersih.”

Di desa ini, hanya dia yang bukan agama kami yang berani menginjakkan kakinya sampai ke depan pintu gereja. Saat pertama dia menginjakkan kaki, saat itu pula dia menegurku ketika aku membersihkan kaca-kaca jendela di depan gereja. Aku perempuan yang menyambung hidup dengan cara membersihkan gereja, ketika itu aku baru menjadi penjaga sekaligus pembersih gereja. Tanpa pilihan lain, aku harus menyambung hidup menjadi pembersih gereja setelah sebulan yang lalu kutamatkan sekolah menengah atas.

Setiap minggu sore kulihat dia memukul bedug. Sampah dan debu seakan bersahabat. Semakin lama aku membersihkan sampah dan debu di area gereja, semakin kuat darahku mengalir. Kadang, saat kutuang debu-debu lantai gereja ke selokan di depan gereja, kutancapkan mataku ke gerak pukulan bedug oleh laki-laki muslim yang pernah berkata kepadaku, “bahwa cinta itu menyatukan agama bukan memisahkan agama”. Aku melihat maka dia tersenyum. Aku dipandang maka aku memaniskan wajah.

Kini, sudah sepuluh tahun aku menjadi penjaga gereja. Sudah tujuh tahun pula dia tak ada kabar. Tak ada di desa. Tak pernah lewat ke depan gereja ini. Tak pernah lagi kulihat wajahnya di antara keramaian orang-orang yang pulang sehabis beribadah saat Jumat siang.

Orang-orang kampung sering membicarakan tentang aku dan dia. Seorang teman dekatku berkata “Banyak laki-laki lain yang suka sama kau, kenapa Zulkifli yang kau pilih? Orang bilang kau ini aneh.” Dalam hatiku berkata untuk menyambut perkataan temanku itu, “Ah, kalian ini tak pernah tahu apa itu perasaan. Kalianlah yang aneh.” Malah pernah seorang jemaat minggu menyebut diriku sebagai perempuan Jumat.

Memang tak bisa dipahami semua orang apa itu perasaan. Mungkin karena itu pula tak bisa dipahami agama dan adat istiadat. Maka jangan pernah pahami mengapa aku masih sering menunggu dia setiap Jumat di beranda gereja. Selama tujuh tahun.

Setelah para jemaat melakukan ibadah minggu sore, aku membersihkan seluruh area gereja ini. Saat itu tiba-tiba dia datang. Kulihat wajahnya telah berubah. Rambutnya berubah. Warna kulitnya berubah.

Sapu lantai di tangan kanan kulepas. Ingin kupeluk dia, tapi aku ingat kata-katanya, “Jangan pernah menyentuh tubuh yang berbeda jenis kelamin bila sentuhannya berhasrat.”

Sore itu aku dan dia berbincang-bincang panjang. Pertemuan berindu yang lebat kami tuangkan di beranda gereja. Dia berbicara tentang pekerjaannya sebagai seorang kuli di pelabuhan. Dan, aku berbicara tentang diriku saja yang tak berubah dengan aku yang tujuh tahun lalu agar dia paham bahwa aku masih menginginkan dia, meski adat menyatakan kami adalah kakak beradik.

“Margaret”, dia memulai pembicaraan yang serius setelah kami saling cerita masa-masa tujuh tahun selama ini.
“Iya.”
“Setelah ini aku memutuskan berhenti bekerja.”
“Berhenti kenapa?”
“Bukan hanya bekerja, tapi memutuskan tak lagi pergi dari kampung ini.”
“Kenapa? Bukannya kau diharuskan omak2 buat hidup di luar kampung?”
“Aku mau hidup menjadi penjaga masjid di depan itu. Menjadi pembersih mesjid itu lebih baik. Aku yakin omak tak bakal menolak, ini keagamaan. Cinta itu bagian dari agama, begitu kata-kata seorang teman di tempat kerjaku. Aku tetap menjadi penjaga masjid karena aku mempertahankan cinta.”

Beberapa hari setelah kedatangannya dan perbincangan itu, penjaga masjid di depan gereja adalah kekasihku. Zulkifli, yang dulu pernah meninggalkan masjid itu, meninggalkan gereja ini, dan membiarkan aku sendiri di beranda gereja sendiri setiap Jumat.

Setiap Jumat mulai kembali, sepertinya tumbuhan-tumbuhan di sekitar gereja bermekaran. Hati pun terasa tumbuh seperti tanah yang ditumbuhan tumbuhan.

Di beranda gereja kami tak pernah melewatkan satu pun hari Jumat. Mungkin kami bagai kumbang dan bunga yang rutin memetik madu meski setiap hari bertemu.

Lima tahun telah berjalan. Kertas-kertas kalender habis kubuang ke tempat sampah demi menghitung waktu. Usiaku telah memasuki usia yang ke tiga puluh. Sedangkan dia telah berusia 35 tahun. Tapi kami masih selalu menghadiri beranda gereja setiap rumah, seperti siswa sekolah mengabsensi kehadiran.

Di kala Jumat masih merah langitnya, cahaya matahari baru memanjangkan bayangan, dia datang ke rumahku. Dia membangunkan diriku yang masih bermesraan dengan bantal. Teriakannya dan ketukan pintunya memberikan isyarat sebelum kubukakan pintu untuknya dan melihatnya berdiri di depan ambang pintu.
“Zul?” Begitu pura-pura kagetnya aku. Sebenarnya aku senang dia datang sebelum waktunya.
“Baru bangun…?”
“Iya. Tumben, biasanya cuma di depan gereja, tapi Zul sekarang berjalan ke belakang gereja?”
“Aku mau minta restu, Margaret.”
“Restu apa?”
“Hari ini aku menjadi khatib, menjadi penceramah Jumat. Aku minta restumu, Margaret.”
“Sudah ceramahlah yang baik. Aku selalu merestui tindakanmu, apapun itu, Zul.”
“Makasih…” Katanya dengan mata yang mengucapkan kejujuran pula.
“Mau masuk dulu, Zul?
“Tak usah, kita bukan muhrim. Berdua di dalam rumah bisa memunculkan dugaan-dugaan buruk di warga. Karena itu pula aku mengajukan menjadi khatib Jumat ini. Aku ingin meyakinkan orang-orang yang datang nanti, sesungguhnya agama itu cinta. Cinta tanpa agama sama dengan jalan buntu.”
“Zul yakin bisa meyakinkan mereka? Apalagi warga semakin hari semakin menelanjangi kita bila memandang kita berduaan.”
“Karena itulah aku yakin bisa, Margaret. Itu buktinya. Aku menjalankan agama dengan cinta. Margaret adalah bukti itu.” Mendengar kata-katanya aku terdiam oleh denyut nadi yang sepertinya diam. “Dengan restumulah yakin itu jadi bulat, Margaret.”
“Pergilah, Zul. Aku pasti merestuimu, apapun itu.”
“Makasih lagi, Margaret.”

Dia membalikkan badan, lalu berjalan menjauhi pintu rumahku. Dia biarkan aku menunggunya pergi jauh sampai mengecil di dalam mataku.

Siang yang tidak ramah. Jumat ini juga tidak baik. Air hujan menembaki tanah-tanah. Daun-daun sampai bergoyang menahan air yang jatuh. Orang-orang yang datang ke masjid pun kulihat berlari kecil sambil melindungi kepalanya dengan tangan. Sementara aku menyaksikan air-air jatuh itu dan lari-lari kecil itu dari beranda gereja.

Hujan belum juga selesai, malah semakin deras. Sementara ibadah di masjid itu telah selesai. Mereka keluar masjid tidak bersamaan. Satu persatu berlari kencang menjauhi masjid. Kulihat Zulkifli pun lari begitu kencang. Mendekatiku.
“Siang, Ibu…” Tegurnya menyambut beranda gereja dan aku yang menunggunya.
“Siang, Pak. Zul, rambutmu basah. Sini aku kibas biar kering.” Kukibas-kibas kecil rambutnya yang basah. Kulihat sudah banyak rambutnya yang mulai putih. “Zul, rambutmu sudah mulai merata ubannya.”
“Memang Margaret belum?”
“Sudah juga. Tapi Zul yang lebih banyak.”
“Namanya juga usiaku sudah berkepala enam.”
Jumat itu hujan tak reda sampai sore.

-----
1. Opung-opung (bahasa batak) berarti nenek-nenek.
2. Omak (Dialek Batak) berarti ibu.
3. Boru: Sebutan marga untuk perempuan.

Fredy Wansyah Putra
Alumni Sastra Indonesia Unpad. Ketika kuliah bergiat di Langkah Komunitas Sastra. Kini mendirikan lembaga sastra bernama Metafor bersama teman-teman kampus dan temn-teman Langkah. Tulisannya dimuat di beberapa media massa, serta ikut serta di beberapa antologi puisi maupun cerpen.

Ketika Seorang Kawan Datang

Dia telah berdiri di hadapanku. Di depan meja. Membuatku gugup. Sekilas memandang sekitar, aku merasa semua mata menuju ke arah kami. Ah, kenapa dia datang di saat yang sama sekali tidak tepat? Bukankah kukatakan nanti malam saja bila ingin berjumpa.

Ia tersenyum, mengulurkan tangannya padaku. “Gimana kabarmu? Wah, sudah makmur sekali ya?”

“Eh, iya... ya.. baik.. baik....”

“Belum mulai ya,” tanyanya yang kukira tak perlu menunggu jawaban. Matanya memandang sekeliling. Meja-meja bundar, dengan lima atau enam kursi yang mengelilinginya. Baru sebagian yang terisi. Semua masih tampak berbincang-bincang. Di depan, belum ada orang.

Walaupun masih ada dua kursi kosong di mejaku. Aku tidak berani menawarkan kepadanya untuk duduk. Dua orang di sampingku, berulangkali memandangku dengan pandangan tak suka.

”Kita di luar dulu,” aku berdiri sambil meraih tangannya.

”Di sini sajalah. Santai sekaligus menikmati kemewahan. Cuci mata,” katanya setengah tertawa.

Ah, dia memang belum berubah. Wajahnya yang keras, dengan pandangan mata tajam.Suaranya keras tapi terdengar jelas. Orang pasti tidak akan menyangka bila hanya mendengar suaranya saja. Suara itu seolah-olah memiliki tubuh yang kekar. Sedangkan pemilik suara sesungguhnya bertubuh kurus. Sangat kurus bahkan.

Aku agak gelagapan mendengar penolakannya. Mataku melihat sekeliling. Ada beberapa mata yang kebetulan tengah memandang kami.

”Ayolah,” ajakku lagi.

”Santai sajalah. Hm, Baraman juga hadir ya?”

Ups. Aku menoleh ke arah sosok yang duduk satu meja denganku. Mereka juga memandang.

”Eh, aku tidak tahu. Tapi dalam undangan katanya dia yang akan membuka acara ini,”

”Oh, selalu saja beruntung dia,” katanya.

”Kita di luar yuk,” ajakku lagi.

”Ok, Ok,” ia beranjak sambil meraih botol air mineral di meja. Langsung menenggaknya dan membawa sisanya. Kami berjalan beriringan. Empat gadis cantik penerima tamu, memandang kami, lalu berbisik-bisik. Ah, biarlah. Aku tidak mendengar ini.

Kami duduk di sofa yang paling ujung. Aku memang sengaja membawanya ke sana, sehingga tidak menarik perhatian. Orang-orang terus berdatangan.

Ah, kawan satu ini. Benar-benar tidak berubah. Ia kelihatan sangat santai. Santai sekali. Tidak perduli dengan situasi dimana ia berada. Sungguh, seperti dua puluh tahun lalu ketika kami sama-sama di dalam satu komunitas. Ia orang yang tidak pernah ragu, tidak pernah takut, atau juga tidak pernah menunjukkan keminderan.

”Orang-orang berkuasa karena suara-suara dari kita. Kita, para pemberi suara adalah Tuan. Kita mendatangi pembantu yang kita mandatkan untuk mengelola bangsa ini. Jadi tidak perlu takut Bapak-Ibu sekalian. Kita mendatangi pembantunya pembantu kita. Bila masih mentok, kita datangi pembantu kita yang terhormat, Tuan Presiden,” masih kuingat provokasinya yang membangkitkan semangat para petani yang tanahnya akan tergusur, ketika kami mendatangi kantor Mentri Dalam Negeri.

Ia dengan tubuh kurus berdiri di atas undakan tiang bendera dengan tangan kiri mengepal ke udara, dengan suara menggelegar memecah sengat matahari yang merasuk hangat ke jiwa-jiwa yang hadir. Rambut panjangnya terurai dipermainkan angin. Sesekali ia mengibaskan. Pakaian kebesarannya terbuat dari karung gandum yang diwenter menjadi warna hitam, dengan sandal jepit sebagai alas kakinya.

Segeralah kami bergerak berniat memasuki halaman kantor Mentri yang pagar besinya sudah tertutup rapat dengan penjagaan yang sangat ketat dari para polisi dan tentara.

“Cara mengalahkan kapitalis, ya kita tidak konsumtif. Ngomong anti kapitalis, tapi bingung mencari merek....” katanya pernah mengatakan hal itu dalam diskusi santai di sekretariat mahasiswa.

Ya, kawan ini, masih berpenampilan sama. Hanya rambutnya saja yang sudah mulai memutih keperakan. Ketika ia masuk ke ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang dengan menggunakan jas safari, maka bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku. Apalagi ia mengucapkan nama Baraman tanpa menggunakan kata depan Bapak.

”Jadi, bagaimana, Bung?” tanyaku.
”Ah, begitulah. Senang aku mendengar kau memanggil begitu. Tidak perlu formal-formalan. Aku mau minta tolong dirimu mempertemukan dengan Baraman. Adiknya dia, pengusaha rakus itu mau memakan tanah-tanah di kampungku. Tapi kudengar ada acara di sini, jadi sekalian saja aku temui Baraman di sini,”

Tegang terasa menjalar di kepalaku. Aduh. Bagaimana ini? Aku sudah mengetahui benar kawan satu ini bertindak. Ia pasti akan memperlakukan Baraman seperti kawan yang dikenalnya dulu. Padahal sekarang posisi Baraman.....

”Pak Menteri sudah datang, Pak Menteri sudah datang,” beberapa orang terlihat memberi kabar. Di depan pintu ruangan segera berjejer orang-orang, termasuk penerima tamu yang cantik-cantik itu.

”Baraman?”

Aku mengangguk. Kawan ini segera bangkit. Berjalan menuju barisan orang yang tengah mempersiapkan sambutan kepada Bapak Menteri. Aku sendiri, tetap saja duduk sambil membayangkan apa yang akan terjadi.

Ah...
cerpen: Odi Shalahuddin
Yogyakarta, 25 Maret 2011

Wajah Profesor

Senja menjatuhkan gerimis-gerimis patah. Ada pesan yang tersembunyi di balik mendung. Pipiku telah basah. Bukan karena hujan. Di sini, aku bersandar bersama anak tangga. Masih basah oleh rerumputan yang mengelilinginya. Hatiku berembun tangis. Aku tertunduk pilu. Ingin kuputar kembali 15 menit yang lalu. Bagaimana aku telah memaki seorang profesor. Makian itu masih menggantung di kerongkonganku. Ingin memecahnya; menghantam udara. Sungguh kasihan, burung gereja yang hendak singgah di dahan itu mengurungkan niat mereka. Karena burung-burung itu tahu, suara parauku mengusik kebebasannya.

Gerimis masih menggantung. Enggan turun juga reda. Baju kemeja setengah lusuh masih ku kenakan; sekaligus meminta untuk jadi saksi. Setelah ini tidak ada lagi tangis, meski ku tahu nelangsa akan selalu mengitari. Aku telah membuat profesor tidak nyaman. Pun aku tahu ketidak nyamanan itu akan dibuatnya berlipat untuk hidupku. Lalu kenangan 15 menit lalu larut pada ricik air yang jatuh dari ranting-ranting kamboja di depanku. Cepat kusulut sebatang kretek; berharap asapnya sampaikan gelisahku. Namun pada siapa?

“Kuliah hanya untuk menghabiskan modul, apa Bapak menyadari itu?”

Pekikan menyambar dahagaku. Aku tak mengerti. Entah darimana datangnya kekuatan itu. Yang ku tahu, aku telah memaki seorang profesor. Paruh baya yang mengganggap dirinya sempurna, telah memainkan taji di hatiku. Seketika laguku kaku. Biar ku ceritakan bagaimana seorang profesor bermuka masam, bermuram durja merendahkan mimpiku.

“Berharap bisa saja, tapi jangan bermimpi. Saya punya otoritas untuk tidak meluluskan anda jika saya mau.’’

Egois. Kata-katanya bagai sembilu. Merangkul pundakku seolah menantang; siapapun tidak bisa mengalahkannya. Vibrasi kekecewaan ini telah memuncah. Tak seorangpun berhak merendahkan mimpiku. Meski ia adalah seorang profesor. Deru ujaran sang professor itu menyusup ke dalam pori-pori tubuhku. Sepertinya, dendam ini akan menetap di jiwa.

Pak Udenk, nama sederhana sang Profesor. Selalu mengenakan dasi dan tentengan bermerk. Pun namanya berbalut merk elegan, semua menghormatinya karena gelar, Prof. Prof yang menurutku hanya mengajar papan, bukan mahasiswa.

“Prof hendak kemana?” begitu sapa mahasiswa dan koleganya. Kecuali aku. Aku cukup menyebut nama yang seharusnya kusebut.

Merk tak mampu membeli hormatku. Dasi bagiku hanya aksesoris. Dasi dan gelar itu tak membuat otak Pak Udenk juga bermerk. Seperti berjalan di gurun pasir, teori yang dikumandangkannya hanya debu. Membuatku gersang. Tinggal menunggu gugurnya musimku.

“Anda harus siap menjadi guru yang profesional, siap tampil berbicara dengan kemampuan yang matang, dan bla…bla…” kalimat usang itu menulikan telingaku. Sudah satu tahun, hanya paragraf itu yang terus diujarkan berulang. Kapan berbincang soal materi, jika pendahuluannya saja menghabiskan waktu 1 jam?

“Aku jemu. Gurun pasir ini harus aku lewati tanpa menemukan oase di tiap tepinya. Pak Udenk, saya bukan mesin, saya juga bukan panci yang harus selalu diisi. Saya tidak perlu melihat pamer dasi Anda setiap harinya. Bapak bisa memilih warna-warni untuk dasi yang Bapak kenakan. Mengapa Bapak tidak mencoba memberi warna-warni itu pada kami? Saya tidak akan menyita waktu saya untuk ke kampus, jika Bapak menghardik kami hanya untuk membaca dan menghabiskan modul." Dilema ini kusimpan dalam kalbu. Aku tahu Pak Udenk memiliki otoritas atas hidupku. Aku tahu siapa aku dan siapa Pak Udenk. Bocah ingusan sepertiku tidak akan membawa perubahan. Ku tahu, protesku bagi orang kebanyakan hanya ocehan embun yang sirna setelah diusap.

***

Sirip jendela dekat anak tangga ini memantulkan bayangan yang sangat kukenal. Senyum kebanggan Ayah menjadi mimpiku. Mengingat peluhnya menunggu kepulanganku. Semangatnya selalu terukir menanti inginku. Menjadi seorang dosen adalah mimpi Ayah yang tertunda. Aku harus kuat dan tidak berontak. Tak ingin amarah mengungkungku terlalu lama. Namun sampai kapan? Haruskah aku jadi budak waktu yang setiap hari harus disepuh pembodohan?

Bias telah menelanjangi jiwaku. Rupaku dibuatnya kaku. Aku bungkam. Cukup pembodohan ini. Aku bukan kerdil yang bersetia pada waktu. Wajah ‘profesor jongkok’ itu menyulut gairahku. Sudah cukup lama aku terdiam. Kali ini tidak bisa. Keadilan dalam pendidikan tak bisa digadai. Aku tak mau jadi kambing congek yang hanya menerima saja.

***

Hari ini pengumuman tebaran nilai A,B, C, D, atau F. Akhir dari gurun pasir melelahkan ini akan diwarnai abjad-abjad itu untuk mengukur kemampuan kami. Aku melihat wajah muram, gelisah teman-temanku kala itu. Pun aku melihat gadis-gadis bahenol yang juga temanku dengan wajah binar menanti abjad-abjad itu gontai. Profesor itu mengeja kemarahanku. Dibuatnya aku menari dalam pekat. Terselip abjad D untuk mata kuliah Pak Udenk. Sungguh aku tak bisa menerima ketidakadilan ini. Apa yang dia pahami tentang menilai? Apakah dia paham?

Aku kehilangan warna. Tinggal dedak menyesaki jantung. Menatap kembali abjad-abjad itu. Desahan waktu menemaniku. Di bawah lentera senja, aku tumpahkan sisa amarah jiwa. Hingga suara tawa mengusik piluku. Gadis-gadis bahenol tadi kian binar. Mengipas-ngipaskan kertas nilai dihadapanku. Lagaknya sungguh angkuh. Apa maksudnya? Tanyaku mengendap ketika ingin kulihat abjad apa yang tertulis di kertas nilai itu ditepisnya. Sudahlah, aku tak risau dengan penggoda itu. Mereka tak memikirkan mimpi, mereka hanya tahu cara mempercantik diri.

Makianku tempo hari harus kurangkul dengan tangisan. Aku telah kalah. Akan terus kalah. Kini dengan leluasa lelaki itu akan mengeja mimpiku. Makin merendahkan mimpi seorang pesisir. Aku tak bisa lagi bercerita tentang mimpi pada Ayahku. Nila setitik ini telah rusakkan susu sebelanga. Gurun pasir itu benar-benar menguburku bersama debu tak berarti. Sumpahku telah mati. Tertutupkah jalan keadilan? Apa aku terlalu egois untuk menuntut hakku?

Gema ini tetap saja begini. Ada yang mendengar, namun berpura bisu. Ketakutan orang-orang disekitarku membutakan jalanku. Sama saja. Bak hidup bersama bisu dan tuli. Endapan hitam dibiarkan berkelana. Mengarang hingga nadi. Pantas saja negeri ini nomor satu mempertontonkan dagelan tak bermakna. Telah dibeli olehnya keadilan. Menyisakan lelah berdialog bersama penjilat yang ternyata tak berpihak padaku. Kali ini aku paham, aku sendiri. tidak ada teman, semua hanya lawan.

***

Berkas cahaya kecil menyilaukan mata. Aku harus bergegas. Pukul 8 aku harus sampai. Kugayuh sepeda ontel pemberian Ayahanda tercinta. Berpeluh sebelum senja menyeringai. Aku telah tiba. Bangunan ini tempaanku jadi sarjana sujana. Ada ruang yang harus kutuju. Ruang pojok sebelah barat yang teramat mewah. Lantainya sangat dingin, seolah bekukan langkahku. Serat dindingnya sangat halus. Nyaman jika berhari-hari tinggal di dalamnya. Aku tidak melihat pintu warna emas ini terbuka. Mungkinkah Pak Udenk belum sampai? Aku masih menunggu. Beruntunglah dipan mungil mempersilakan untuk kududuki. Menatap langit-langit dengan decak kagum. Meredam sejenak niatku mencari keadilan pagi ini.

Ha..he..ha. aku mendengar desah tawa dari ruangan itu. Menyusul bisik wanita. Akhirnya suara parau itu jelas kumengerti. Kubuka pintu itu tanpa seorangpun mempersilakannya. Apa yang kulihat? Rina, Ririn, dan Heny, gadis-gadis bahenol yang tadi sempat kuceritakan melingkar, mencari posisi paling baik untuk memuaskan lelaki yang hanya kulihat rambut setengah botaknya. Perempuan bahenol itu sungguh liar. Aku masih diam sampai aku tahu siapa yang bermain di sana. Luka ini kembali dicambuk. Pria setengah botak itu tiada lain wajah sang professor. Beribu kecupan bertandang, menjajah tubuh belang lelaki itu. Melumat asa dengan imbalan abjad A. Gadis bahenol yang pintar. Ingin aku enyah segera. Lalu rebah membuncah keraguan.

Singaraja, 18 Januari 2011

Jin Lampu TL 18 Watt

Sagrip baru mengganti lampu kamarnya dua hari yang lalu, tapi sekarang dia melihat lampu pengganti itu telah berkedip-kedip, byar pet-byar pet mirip lampu disko. Berpikir bahwa dia mungkin kurang kencang memasangnya pada fitting, diambilnya tangga lipat. Tidak ada gosong atau korsleting yang terlihat olehnya ketika dengan bantuan terang lampu dari ruang tamu dia memeriksanya, tapi lampu itu malah jadi benar-benar mati setelah dipasangkannya lagi.

“Jiangkrik!” dia memaki sendiri.

Selepas kata “Jiangkrik” terlontar dan saat Sagrip baru saja melepas kembali lampu dari fitting, tiba-tiba dari dalam lampu TL 18 watt yang dipegangnya keluar asap putih yang cukup tebal, tepat menyemprot mukanya sehingga dia terkejut. Hilang keseimbangan, tanpa ampun dia jatuh. Tertimpa tangga pula. Meringis menahan sakit, dia kemudian berusaha duduk di lantai. Dilihatnya lampu yang tadi ada dalam pegangannya pecah berantakan.

Tapi yang lebih mengejutkannya, tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok mahluk yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya. Tubuh mahluk itu tinggi bongsor, kepalanya bulat sebesar bola basket, matanya bercahaya seolah-olah membuat seisi kamar terang benderang dan itulah alasan kenapa Sagrip mampu melihat sosoknya itu dengan jelas. Terakhir, yang paling aneh dari semuanya, dia memakai peci haji dan pakaian safari berwarna hijau terang. Seperti sangat tidak masuk akal dan sangat kontras dengan hitam mengkilat warna kulitnya, tapi tetap itu selera Fesyen yang bagus, pikir Sagrip dalam hati.

“Selamat malam, Akhwan!” mahluk itu menyapa. Sagrip celingukan. Ada yang bernama Akhwan di sini? Mahluk itu menunjuk dirinya. “O..saya? Malem. Saya Sagrip. Di situ siapa?” “Saya Jin khusus lampu neon dan lampu TL. Nama saya Filip.” Filip? Sagrip hampir ngakak, tapi ditahannya. “Mas Jin Filip, Situ kok bisa tiba-tiba ada di sini?” “Saya memang bertugas di dalam lampu itu.” “O.. Apa di setiap lampu yang dijual di warung-warung ada jin seperti Situ juga?” tanya Sagrip heran setelah rasa gelinya reda.

“Nah, itu dia. Anda termasuk yang beruntung karena membeli lampu edisi khusus yang terbatas. Limitit Edisyen. Waktu membeli, Anda tidak lihat ada hologram di kotak kartonnya? Itu asli, loh,“ kata Jin Filip berpromosi, ”Kadang-kadang ada hadiah langsung 5000 rupiah juga di dalamnya buat yang beruntung.” “Asli gimana, baru dua hari sudah mati,” kata Sagrip meleletkan lidah dan bangkit dari lantai. Tidak dirasanya kepalanya yang sakit, karena bertemu Jin unik seperti ini benar-benar bisa membuatnya lupa pada apa pun. “Nah, itu dia. Memang lampunya tidak awet, tapi akan diganti dengan satu permintaan untuk Anda.” “Ha? Permintaan?” “Ya.” “Siapa yang minta?” “Anda.” “Serius, nih?” “Serius.” “Sumpah?” “Sumpah.” Sagrip meleletkan lidah lagi tidak percaya. Jadi kayak salah satu kisah di 1001 malam, pikirnya. “Ayolah, minta saja. Satu permintaan.” Sepertinya Jin Filip ini serius. “Apa saja boleh?” “Apa saja boleh. Asal tidak berbau SARA.” “Kenapa hanya satu permintaan? Bukannya biasanya tiga?” “Nah, itu dia. ‘Kan sudah dipotong pajak sekian persen.” “Pajak tidak sampai mengurangi sebanyak itu, kaleee...!” “Belum selesai kata-kata saya. Selain pajak, ada juga sogok, sawer, panjer, sumbangan perorangan, sumbangan partai, iuran wajib bulanan dan sebagainya dan sebagainya...total tinggal 1 pertanyaan saja yang bisa kami tawarkan. Kami tidak mau rugi. Itupun sudah nyumbang uang keamanan sama mereka.” “Mereka siapa?” “Ya mereka. Pingin tauuuu aja..” jawab Jin Lampu genit dan matanya berkedip-kedip kemayu. Sagrip mau muntah. Tapi dia berpikir, ini satu kesempatan. Jarang-jarang bisa ada kesempatan langka seperti ini. Karena itu tanpa pikir panjang lagi, dia langsung berteriak: “Saya kepingin kaya!” “Itu permintaan Anda?” “Ya!” “Hanya kaya?” “Ya!” “Jadi!” “Asyiiiikkk..!!” “Jadilah Anda kaya tapi hidup Anda akan selalu tidak tenang! Sim salab...” “Stop!” Sagrip menyela. “Loh, kenapa? Bukannya Anda ingin kaya?” “Tapi kenapa harus ditambah ‘tidak tenang’?” “Apakah semua orang jika sudah kaya akan tenang dan bahagia?” “Pasti!”

“Bagaimana kalau dia kaya, tapi sangat pelit sehingga setiap hari hidupnya tidak tenang karena takut hartanya berkurang atau malahan dirampok?” Sagrip diam sejenak. Lalu, “Kalau begitu saya ingin jadi orang kaya yang tenang hidupnya!” “Itu dua permintaan. Manajemen akan rugi.”

Sagrip garuk-garuk kepala. Pintar juga Jin Filip ini. Tidak dengan mudah memberikan hadiah begitu saja bagi konsumen. Indikasi dari akal-akalan manajemen yang menginginkan kerugian ditekan serendah-rendahnya. “Kalau begitu, saya kepingin jadi orang yang berkuasa. Pasti otomatis jadi kaya!” “Berkuasa bagaimana?” “Jadi pemimpin satu negara yang besar dan dicintai rakyatnya!” “Hmm..itu dua permintaan.” “Ya sudah, satu saja. Saya kepingin jadi presiden!” Jin Filip, memicingkan matanya dan tangannya memegang dagu. “Yakin?” “Yakin!” “Baiklah. Anda jadi presiden, tapi presiden yang bodoh,” Jin Filip mengangkat tangannya. Sagrip buru-buru mencegah,” Stop!” “Loh? Kenapa?” “Kenapa ada embel-embel ‘bodoh’?” “Suka-suka saya, dong. Kami juga punya kepentingan bisnis. Anda minta jadi presiden, kan? Kalau anda jadi presiden dan bodoh, bukankah gampang nanti perusahaan lampu saya nyetir negara sampeyan dan mempraktekkan monopoli? Keuntungan, ‘kan?” “Jiangkrik! Saya emoh kalau gitu.” “Lha?” “Pokoknya emoh.” “Ya sudah. Batal lagi? Mau apa kalau gitu? Cepetan! Memangnya saya tidak ada urusan lain?” kata Jin Filip sambil melihat jam tangan pasir di pergelangan tangannya. “Jadi menteri saja!” “Serius?” “Serius!” “Tett?” ‘Tett!” “Baiklah. Saya jadikan anda seorang menteri yang hanya pesanan partai dan tidak tahu apa-apa dalam bidangnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat biarpun gelar di namanya macem-macem. Sim...” “Stop!” “Apa lagiiiiiiiiii...?” Jin Filip mulai gemas. “Kenapa saya jadi menteri yang begituan?” “Lha, suka-suka saya, dong. Anda kan bilang mau jadi menteri. Menteri yang bagaimana juga suka-suka saya, ‘kan?” Sagrip clakep. Pusing juga kalau begini caranya. Semua permintaannya jika pun dikabulkan tidak ada enaknya. Jangkrik betul jin lampu TL ini! “Situ sengaja mempersulit saya, ya?” “Tidak. Semua permintaan akan saya penuhi, tapi tentu saja tiap hal ada resikonya. Terus terang permintaan Anda tidak aneh. Cermin manusia yang selalu egois dan menginginkan apapun di luar kemampuannya. Sekarang pikirkan, kalau anda jadi presiden, apakah anda punya kemampuan? Permintaan anda kan hanya jadi presiden, tidak dengan otak anda. Kerugian siapa jika orang bodoh seperti anda jadi presiden? Rakyat. Lalu anda meminta jadi menteri. Untuk apa? Apakah mereka juga bisa membuat rakyat makmur? Membuat partai yang diwakilinya semakin makmur dan mantap menancapkan kuku dalam pemerintahan koalisi, iya. Tapi apakah partai benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat?” “Wah, jadi secara tidak langsung situ bilang saya egois?” “Jelas.” “Jadi saya harus gimana?” “Pikirkanlah. Seperti sebuah doa yang baik, mintalah sesuatu yang tidak hanya menyenangkan dirimu sendiri, tetapi menyangkut kepentingan banyak orang. Permintaan seperti itu akan lebih indah untuk dipenuhi.” Sagrip berpikir lagi. Ya, tidak seharusnya dia egois. Jika dia hanya meminta atas kemauan dan kesenangan sendiri, dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang dimintanya. Tapi jika dia meminta sesuatu yang dapat memenuhi hajat hidup orang banyak, dia akan mendapat pahala dan bisa merasakan kebahagiaan orang banyak termasuk dirinya. Sama juga dengan doa ketika diucapkan dengan tulus dan tidak egois, insya Allah akan cepat terkabul. “Baiklah,” kata Sagrip. “Baiklah apa?” “Saya tidak akan egois.” “Nah, itu dia. Apa yang ada dalam pikiran anda sekarang?” “Entahlah. Tapi saya membayangkan sebuah kehidupan masyarakat yang tentram, adil dan makmur di negara ini. Birokrasi mudah, pemerintahan bersih dari KKN. Rakyat tidak kurang sandang, pangan, papan. Tidak ada kejahatan, tidak ada pornografi, tidak ada persaingan, tidak ada gontok-gontokan, tidak ada perbedaan dalam bermasyarakat karena semua saling menghormati. Generasi muda menghormat yang tua, yang tua menggantungkan harapan pada yang muda. Pendidikan masyarakat diutamakan, bangunan-bangunan sekolah berdiri kokoh di seluruh penjuru negeri. Semua orang mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Tidak ada bencana alam, banjir, kekeringan yang panjang atau gempa bumi dan tanah longsor. Lahan pertanian subur, hutan lestari, lautan seratus persen milik kita beserta kekayaannya.....pokoknya yang seperti itu,” kata Sagrip menutup keinginan panjangnya dengan napas ngos-ngosan. Jin Filip manggut-manggut. Tampak wajahnya berseri-seri. “Itu baru permintaan yang baik!” katanya sambil mengangkat jempolnya. “Itu bukan permintaan. Hanya harapan.” “Harapan Anda itu saya anggap satu paket dengan permintaan.” “Bisa dipenuhi?” “Harapan sebaik itu, kenapa harus tidak terpenuhi?” kata Jin Filip mengedipkan matanya dan lenyap.

*****

Pagi harinya, Sagrip terbangun. Dengan heran, dia baru menyadari bahwa ternyata dia tertidur dengan tubuh masih tertindih tangga lipat yang jatuh kemarin. Ah, dia pasti pingsan dan bermimpi bertemu dengan Jin Filip, pikirnya. Jangkrik betul! Hampir seperti sungguhan. Sedikit kecewa walaupun bibirnya tersenyum geli dan kepalanya menggeleng-geleng tidak mengerti, dia memungut lampu yang ternyata masih utuh tidak jauh di sampingnya. Diusapnya pelan dan ditiup-tiupnya agar debu yang menempel lepas dari sana.

Tapi tiba-tiba saja asap menyemprot dari dalam lampu 18 watt di tangannya dan sesosok mahluk yang menamakan dirinya Jin Filip itu muncul lagi di hadapannya.

“Selamat pagi,” sapanya, ”Permintaan anda yang semalam sangat menarik sehingga manajemen terharu dan memutuskan memberi dua permintaan lagi untuk Anda!”
Cerpen AK Basuki
Cigugur, 15 November 2011

Benalu Malam

Tinggal di kota besar harus pintar-pintar merencanakan hidup. Mulai dari keuangan, rencana membikin anak, menyekolahkannya sampai usaha di hari tua kelak. Semuanya harus direncanakan. Bila tidak, tentu masa depan kita akan berantakan.

Aku masih mengingat-ingat nasehat ibu dahulu sebelum pergi merantau ke kota ini. Sebuah nasehat yang, tentunya bila dilaksanakan sedari awal, aku tidak akan hidup kesusahan seperti ini. Paling tidak, aku bisa berdagang. Mempunyai toko yang cukup besar serta mempunyai pekerjaan tetap dari berjualan. Namun waktu tidak dapat diputarbalik. Warisan dari ayahku telah habis kupertaruhkan di meja judi. Hingga keluargaku –istri dan kedua anakku– harus hidup terlunta-lunta, memperjuangkan hidup dengan bekerja apa saja. Halimah, istriku, membuka jasa pencucian baju dari tetangga-tetangga sekitar. Tentu dengan tarif yang sangat murah, karena lingkunganku adalah daerah pinggiran kota yang kebanyakan bukan kalangan berada. Minah, anak pertamaku yang dengan susah-payah kusekolahkan sampai dengan SMA, berjualan kue buatan istriku. Sedang Juned, anak bungsuku, berjualan gorengan di sekolahnya meski ia masih duduk di kelas lima SD. Tuntutan hidup di kota besar memang sangat berat. Beruntung jika esok pagi kita masih bernafas, yang menandakan kita masih punya kehidupan. *** Tok-tok! Kaca mobil sedan yang sedang kutumpangi tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Aku terbuyar dari lamunan. Kubuka kaca jendela dengan panel otomatis. “Iya, Pak? Taksi?” “Iya, tolong antarkan saya.”

Seorang pria necis (kutebak umurnya sekitar empat puluh tahun) segera membuka pintu belakang taksi yang sedang kukemudi. Pakaiannya sangat rapi, berjas, berdasi dan bau parfum menyeruak dari badannya yang masih ramping dan bidang. “Tujuannya kemana, Pak?” “Ke arah Cililitan. Jalan saja, nanti saya tunjukkan.”

Ia membenarkan posisi duduknya sambil mendesah. Aku mulai melajukan mobil sedan meninggalkan trotoar di samping penjual nasi goreng yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan yang tidak kunjung datang. Sepanjang perjalanan, penumpangku lebih banyak diam. Sesekali ia mengamati handphone-nya, bermain pesan mungkin. Aku menebak, ia adalah seorang manager pada suatu perusahaan swasta. Namun mengapa malam-malam seperti ini ia memilih taksi? Tentu seharusnya ia mempunyai mobil pribadi dengan tambahan seorang sopir. Hmm, atau mungkin aku salah mengira pekerjaannya. Di kota besar orang-orang yang berpakaian jas dan sepatu mengkilat bukan hanya direktur atau manajer saja. Seorang sales penjual obat yang keliling menyambangi rumah-rumah juga terkadang berpakaian sangat elok. Ah, peduli setan. Hanya uang yang aku pedulikan.

Sedan yang kukendarai kira-kira seratus meter lagi akan sampai di Cililitan, pusat pertokoan yang biasanya menjadi tujuan penumpang. “Setelah ini kemana, Pak?” jawabku memecah kebisuan. “Oh, belok kanan. Ke arah Kalibata.” jawabnya singkat. Aku mengangguk, memberi tanda lampu belok kanan kemudian bersiap untuk membelok. Dari kaca spion di atas kepalaku kulihat laki-laki tadi mengambil handphone lainnya di saku jasnya, kemudian berusaha menghubungi seseorang. “Halo! Halo! Komar? Gue udah mau nyampe nih! Lo udah siapin? Bagus. Berapa nih? Apa?! Mahal bener. Oke, oke. Tapi awas ya kalau barangnya jelek. Gue jamin gak akan bayar dan gue gak akan pakai lagi barang lo. Oke!” Lelaki itu menutup telepon genggamnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya memandang nanar, geliat gairah tengah berkobar disana. Ia serupa musang yang sedang terengah-engah hendak menangkap mangsanya, penuh nafsu dan hasrat.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 20:30, waktu yang masih sore untuk ukuran kota Jakarta. Jalanan di Ibukota sepertinya tidak pernah mati. Di jam ini, jalanan masih saja ramai, masih saja macet. Aku mengambil jalur yang justru rawan dengan kemacetan. Aku baru ingat, di Jalan Kalibata sedang ada pembuatan fly over sehingga para pengguna jalan harus berbagi untuk melewati jalan sempit yang dibuka. Sebenarnya tadi aku bisa saja mengambil jalan lewat M.T Haryono bila memang tujuan terakhir adalah Kalibata. Namun biarlah, toh dia yang menginginkannya. *** “Ya, Hallo Mah..” suara lelaki tadi lagi-lagi memecah lamunanku. “Iya, mah.. Maaf ya, Papa malam ini sepertinya nginep di kantor, Ma.” “……” “Iyaaa.. banyak banget kerjaan nih. Deadline nya besok, udah gak bisa ditunda lagi Mah..” “……” “Buat apa sih Papa bohong. Bener deh.. Ya, iya.. nanti kita liburan ke Bali setelah kerjaanku selesai. Oke, jaga anak-anak ya.. Daah..”

Klap. Handphone ditutup. Lelaki itu lagi-lagi mendesah, memandang ke jajaran bongkahan beton yang hendak dipasang di kanan-kiri jalan. Lelaki ini pasti habis berbohong. Bagaimana mungkin ia sedang mengerjakan tugas di kantor, bila ia sedang bersamaku berada di dalam taksi menjelajahi jalanan Kota Jakarta di malam hari. Sungguh seorang tipe lelaki yang tidak setia kepada keluarganya, dan meski aku bukanlah lelaki yang benar-benar baik setidaknya aku mempunyai prinsip yang kuat terhadap keutuhan keluarga.

Kukemudikan mobil sedan dengan hati-hati melewati jalan sempit yang sedang direnovasi. Di kolong jalan layang yang baru saja jadi separuh itu terlihat dua bayangan di atas sepeda motor yang tengah berpelukan. Tidak begitu jelas, namun bila diperhatikan, kepala dua bayangan tadi saling berdekatan, berimpitan, sesekali melepas kemudian menyatu lagi. Mereka saling berciuman, mungkin. *** “Pak, belok ke kiri. Ke arah Mall!” Aku terkesiap. Segera kubelokkan mobil menuju ke sebuah Mall di bilangan Kalibata. Dari luar, Mall terlihat sepi. Rata-rata Mall di Jakarta memang tutup pada pukul sembilan malam. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari Mall, kebanyakan adalah pemuda-pemudi yang keluar setelah melihat pemutaran bioskop pada jam malam. Tangan mereka saling menggenggam erat, beberapa meletakkan tangannya di pundak pasangannya, saling berpelukan dan berciuman. Ah, sudah benar-benar kacau pemuda-pemudi kota ini, pikirku. Berapa umur mereka? Palingan baru belasan, namun sudah berlaku seperti orang-orang dewasa yang sudah menikah saja. Hmm, barangkali mereka sedang dilanda cinta dan romansa. Akan tetapi, tentu bukan dengan bersikap seperti itu. Tentu, aku akan melarang anak-anakku bila berkelakuan seperti itu.

“Tunggu sebentar di sini, Pak.” Aku mengangguk. Lelaki itu keluar dari taksiku, kemudian berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang duduk di emperan Mall, tak jauh dari tempatku parkir.

Di area parkir terbuka ini, mobil-mobil masih banyak yang terparkir kendati malam sudah beranjak pekat. Di suatu pojok parkir yang remang-remang kulihat seorang gadis muda sedang berdiri di samping pintu suatu mobil. Pertama-tama ia mengetuk kaca mobil. Seorang pemuda membuka kaca itu. Gadis itu terlihat merayu, ia meletakkan tangannya pada pintu mobil yang sudah terbuka kacanya. Ia bersandar dengan tubuh membungkuk ke depan sehingga dengan pakaiannya yang hanya kaos ketat lekukan dadanya telah menahan sang pemuda untuk berlama-lama berbicara dengannya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bercakap-cakap. Pintu mobil segera dibuka. Si Gadis langsung masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Kemudian mobil bergegas meninggalkan tempat parkir, menuju ke kenikmatan dunia. Gadis itu, kusebut sebagai benalu malam. Para perempuan yang telah memilih jalan malam sebagai jalan hidupnya. Menghisap pria-pria kesepian, atau hidung belang, demi sesuap nasi untuk esok hari.

Aku sempat terkejut ketika kaca mobilku diketuk. Pria tadi rupanya. Segera kubuka kunci pintu belakang melalui panel otomatis. Pria itu segera masuk, diikuti seorang wanita muda. Aku berpikir ia adalah salah satu dari benalu tadi. Mesin mobil segera kuhidupkan, aku mencuri pandang dari kaca di atas kemudiku. Rasa-rasanya, aku kenal dengan perempuan yang duduk bersamanya. Meski dia memakai make-up, aku kenal benar raut wajahnya. Hidungnya, yang lumayan mancung itu. Rambut lurus sebahunya. Serta pandangan matanya. Ya, tidak salah lagi. Pandangan sendu itu hanya satu-satunya kepunyaan wanita itu. Maka, untuk mengobati rasa penasaranku yang semakin menggebu, aku segera memalingkan wajahku ke belakang. Saat itu juga, dunia ini seakan hendak kiamat. Gemuruh dalam dadaku berdebar-debar. Mataku hampir-hampir keluar dari kelopak matanya. Kemudian aku berteriak yang seakan begitu saja keluar dari mulutku, tanpa mempedulikan kerasnya suara yang terjadi. “Minah??!!!!!!” *** Kalibata, November 2010

M. Nurcholis, penikmat sastra tinggal di Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di sela kesibukannya bekerja. Dapat disapa di twitter @n_choliz atau facebook username choliz. Beberapa karyanya terangkum di blog pribadinya: www.kolasecerita.wordpress.com

L a L u n e

Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Baru kuingat sebuah pepatah, kau malah menuduhku terlalu banyak berkilah. Tidak ada yang kau ingatkah dari bulan setengah penuh yang mengapung di langit Benteng Kuto Besak dulu itu, ketika hujan masih sebatas malu-malu dan orang-orang bermandikan cahaya lampu jembatan sungai Musi, bercengkerama di geladak Riverside yang pernah kujanjikan, atau pertukaran bibir yang diam-diam di mobil bergoyang, dan kau menatapku, menginginkan hal yang sama, dua centi dari bibirmu, tetapi aku menyanggah.

Andai kucium kau malam itu, bulan akan cemburu lalu mengirim angin beliung yang akan mengoyak-ngoyak batas perasaan, menggerakkan jari jemari ke kancing bajumu, dan menjelajahi tiap jengkal kemesraan yang seharusnya belum milikku, sementara kau diam, pasrah, menatapku penuh cinta, dan kita menjadi sepasang kekasih yang lupa pada kemanusiaan kita sendiri.

Hanya saja, kenangan terlalu angkuh untuk didudukkan di sebuah kafe yang tak pernah memberikan menu kepuasan, siang hari, dan terik matahari membakar paru-paru, menciptakan segala macam keputusasaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Dua kata darimu. Dua kata singkat yang menceraiberaikan kenangan-kenangan itu, “Kita putus….”

“Kau berjanji akan mencintaiku selamanya, Di?”
“Seperti matahari…”
“Ah, gombal!”
“Aku kan laki-laki….”
“Ya, tidak semua laki-laki suka menggombal ‘kan?”
“Berarti mereka tidak normal!”
“Perempuan normal ‘kan senang digombali?”
“Kalau begitu, katakanlah, aku perempuan tidak normal.”
“Tetapi aku jatuh cinta kepadamu….”

Dan kau juga jatuh cinta kepadaku. Apalagi yang kubutuhkan di dunia ini selain kita saling mencintai? Tak ada. Ketika aku berusaha menerjemahkan malam-malam lain yang dipenuhi oleh dirimu, malam-malam yang tak lagi dipenuhi berbagai rasi bintang, malam-malam yang tak dihiasi kemacetan lalu lintas, dunia seperti menjadi milik kita berdua. Hanya kau dan aku di dalamnya, dan panjang Jalan Jenderal Sudirman seolah-olah perjalanan cinta kita yang tak memiliki akhir. Mencintaimu selamanya adalah keputusanku. Mencintaimu satu-satunya adalah sudah takdirku.

Hanya kata-kata. Waktulah yang telah membuat kata-kata menjadi sia-sia. Aku tidak pernah berpikir, setelah sekian tahun berlalu, kau akan berubah. Dan memang kau berubah. Sayangnya aku masih mencintaimu. Aku bahkan masih mengingat jelas wangi parfummu, warna kesukaanmu, dan senyummu yang tercetak tebal di hatiku.

“Andai kita berpisah, pastilah bulan di langit sudah tak sama….”
“Kita tidak akan berpisah, Lin….”

Aku kiranya curiga, jangan-jangan sejak saat itulah kau telah merencanakan perpisahan. Bayangan dedaunan perdu seolah mencekam. Kau duduk diam menatap gedung-gedung yang tutup. Aku tak tahu bagaimana caranya mengusir kediamanmu hari itu. Begitu sepi. Begitu sunyi. Sepotong bulan masih tergantung di langit sana, menertawakan kita berdua yang tak kunjung bicara—sepatah kata pun.

“Apa kau mencintai laki-laki lain?”
Kau menggeleng.
“Apa aku tak cukup baik bagimu?”
Kau menggeleng lagi.
“Lalu?”

Kau memainkan jari, mengetuk-ngetuknya di atas meja. Pun kedua kakimu yang bergoyang-goyang. Diam. Lagi-lagi diam. Aku mencium bau kecemasan. Aku merasakan sesuatu yang kau sembunyikan.
“Aku hanya ingin kita putus. Aku tidak mencintaimu lagi, Di…. Apakah butuh alasan untuk tidak mencintaimu lagi?”
“Butuh!”
“Lalu kenapa kau mencintaiku?”
“Karena kau…” Giliran aku yang bingung harus menjawab apa.
“Karena aku cantik? Karena aku kaya? Atau karena cinta?”
“Pokoknya aku hanya mencintaimu!”
“Seperti itulah aku yang pokoknya tidak mencintaimu lagi. Ah, apakah kau mau mencintai seseorang yang sudah tak mencintaimu, Di?”

Tiba-tiba aku mencengkeram lenganmu keras. Anehnya kau tidak terkaget. Aku lumat bibirmu kuat. Kau diam. Pasrah. Dan lamat-lamat membalas lumatanku dengan lebih lembut. Oh, inikah rasanya bercumbu? Hebat! Buah plum. Seperti buah plum yang matang. Dan peperangan gerilya. Ah, jemariku menari—meliuk-liuk di atas dadamu. Kau diam. Pasrah. Aku ingin sekali berpraduga atas apa-apa yang tengah kualami kini. Kau, aku, bercinta bak melodi klasik yang ada di dalam lamunan, pada malam minggu yang kosong tak berbulan. Suara angin yang ingin berbagi, tak sedikit pun kubiarkan, dan mengetuk-ngetuk jendela.

“Apakah aku bukan laki-laki pertama yang merenggut bibirmu, Lin?”
“Tidak. Kaulah laki-laki pertamaku.”
“Seperti bukan yang pertama….”
“Aku bukan wanita pertamamu, kan?”
“Tidak. Kau wanita pertamaku, Lin….”
“Seperti bukan yang pertama.”
“Jadi, kau akan mencintaiku setelah ini, kan?”
“Tidak. Aku sudah tak mencintaimu lagi.”
“Lalu kenapa kita melakukan ini?”
“Melakukan apa?”

Kau kuhempaskan. Memandangmu jijik. “Jadi bagimu semua ini bukan apa-apa?”
“Aku tidak bilang begitu.”
“Lalu apa maksudmu?” Kupandangi tubuhmu yang menggairahkan itu. Tubuh yang hampir tanpa benang—karena belum sempat kulerai semua yang menutupi tubuh indahmu. Tubuh yang seringkali kukhayalkan di setiap malam menjelang tidurku, saat kau menatapku dalam, dan kecemburuan bulan.
“Aku hanya ingin menjadi dirimu. Menjadi yang selama ini kau lakukan terhadapku….” Dan setelah itu aku tak pernah mendengar sepatah kata pun darimu, sepatah kata sayang, sepatah kata cinta, atau sepatah kata putus asa yang serak terdengar ketika kau menyatakan telah tak mencintaiku lagi.

Aku ingin mencintaimu lagi dan lagi. Aku ingin melumat bibirmu lagi dan lagi. Aku pun ingin bercinta denganmu lagi dan lagi, seperti tak pernah ada waktu yang mampu membatasi. Jam dinding mati, dan jam tangan yang kau telan itu juga mati.

Aku benci suara detik di dadamu malam itu. Bisakah kau matikan saja dia? Bisakah dunia hanya dimiliki kesunyian, di mana hanya ada kau dan aku, dan desah di antaranya, yang menjadi isi malam-malam singkat kita?

Kau diam. Pasrah. Aku ingin mencari buah plum itu lagi. Bulan separuh. Sinarnya memantul di permukaan sungai. Aku ingin melihatmu berenang di sana, atau terapung—sama saja.

“Kau bahkan tidak ingat apa pun, Di?”
“Ingat apa?”
“Segala malam yang tak pernah kau akui…”
“Apa yang harus kuakui?”
“Yang kau lakukan terhadapku?”
“Aku, sumpah, tak pernah berselingkuh…. Aku hanya mencintaimu seorang, selamanya!”
“Cinta?”
“Kaulah wanita pertama dan terakhirku. Kaulah ciuman pertamaku!”
“Kapan ciuman pertamamu?”
“Kapan? Barusan saja kita baru berciuman untuk yang pertama, Lin!”

Kau tersenyum kecut. Dan mulai memakai pakaianmu kembali. Aku tidak ingin melihat kau berpakaian. Aku lebih senang melihatmu telanjang.

“Kita sudah tidak senasib, Di. Kau berubah. Aku tidak mencintaimu dan segala yang tak kuketahui darimu….”
Aku tak paham.
“Sebenarnya aku takut padamu….”

Aku diam. Makin tak paham. Sementara itu, makin keras kudengar detik di dadamu. Detik yang berteriak. Detik yang mengganggu dan membuatku ingin memecahkan apa saja.
“Sejak kapan kau menelan jam dinding?”
“Jam dinding?”
“Di dadamu.”
“Bilang saja kau ingin melenyapkanku?”
“Melenyapkanmu? Itu tidak mungkin.”
“Seperti kau melenyapkan wanita-wanita lain?”
“Kau sudah gila, Lin!”
“Kaulah yang gila, Di… ah, atau kita yang sama-sama gila? Aku gila karena telah melayani orang gila sepertimu, bertahun-tahun pula….”
“Jika kau tak mencintaiku lagi, cukup katakan kalau kau tak mencintaiku lagi. Jangan berkata yang aneh dan tak masuk akal!”
“Tadi sudah kubilang bahwa aku tak mencintaimu lagi. Dan kau butuh alasan untuk itu?”

Ketika aku kembali mencengkeram lenganmu, melucuti pakaianmu lagi dan lagi, mencumbuimu, kau diam, pasrah. Aku menciumi seluruh tubuhmu, kau masih diam, pasrah. Aku berharap kau bicara, kau diam, pasrah. Aku suka kesunyian, tetapi tidak dengan kepasrahanmu kali ini.
Kau sama sekali tidak berhak menjadi diriku…

Aku tidak tahu siapa diriku. Aku ingin bertanya padamu, apa yang kau maksud dengan menjadi diriku, melenyapkanmu…kau diam, pasrah. Bulan di langit tidak tertutup awan. Ingin kuminta jawaban, tetapi ia diam, pasrah. Kepasrahan ini seperti kau rencanakan sejak sebelum aku menciummu ,bukan? Pasti. Pasti kau tengah bercanda dengan mengabaikan segala pertanyaanku. Pasti kau hanya berpura-pura diam agar aku mengiyakan semua tuduhanmu, mengiyakan pula permintaanmu untuk berpisah dariku. Padahal kau telah tahu bahwa berpisah dariku adalah kemustahilan.

Kau masih diam, pasrah. Aku masih ingat bau parfummu. Hari ini kenapa kau berganti wangi menjadi bunga bangkai? Ah, aku tak suka aromamu hari ini. Aku tak suka pula pada dingin tubuhmu, biru bibirmu, dan lalat-lalat yang mengetuk-ngetuk jendela itu.

Jam dinding mati. Benar-benar mati. Aku yakin jam dinding yang kau telan di dadamu itu juga mati.

(April, 2011)

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan 2009. Sekarang bertugas di KPPN Sumbawa Besar. Karya-karyanya dapat dibaca di blog http://reinvandiritto.blogspot.com. Cerpen ini awalnya berjudul Le Mois, namun setelah penulis menyadari kesalahpahaman arti, diganti menjadi La Lune.

Benalu Malam

Tinggal di kota besar harus pintar-pintar merencanakan hidup. Mulai dari keuangan, rencana membikin anak, menyekolahkannya sampai usaha di hari tua kelak. Semuanya harus direncanakan. Bila tidak, tentu masa depan kita akan berantakan.

Aku masih mengingat-ingat nasehat ibu dahulu sebelum pergi merantau ke kota ini. Sebuah nasehat yang, tentunya bila dilaksanakan sedari awal, aku tidak akan hidup kesusahan seperti ini. Paling tidak, aku bisa berdagang. Mempunyai toko yang cukup besar serta mempunyai pekerjaan tetap dari berjualan. Namun waktu tidak dapat diputarbalik. Warisan dari ayahku telah habis kupertaruhkan di meja judi. Hingga keluargaku –istri dan kedua anakku– harus hidup terlunta-lunta, memperjuangkan hidup dengan bekerja apa saja. Halimah, istriku, membuka jasa pencucian baju dari tetangga-tetangga sekitar. Tentu dengan tarif yang sangat murah, karena lingkunganku adalah daerah pinggiran kota yang kebanyakan bukan kalangan berada. Minah, anak pertamaku yang dengan susah-payah kusekolahkan sampai dengan SMA, berjualan kue buatan istriku. Sedang Juned, anak bungsuku, berjualan gorengan di sekolahnya meski ia masih duduk di kelas lima SD. Tuntutan hidup di kota besar memang sangat berat. Beruntung jika esok pagi kita masih bernafas, yang menandakan kita masih punya kehidupan. *** Tok-tok! Kaca mobil sedan yang sedang kutumpangi tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Aku terbuyar dari lamunan. Kubuka kaca jendela dengan panel otomatis. “Iya, Pak? Taksi?” “Iya, tolong antarkan saya.”

Seorang pria necis (kutebak umurnya sekitar empat puluh tahun) segera membuka pintu belakang taksi yang sedang kukemudi. Pakaiannya sangat rapi, berjas, berdasi dan bau parfum menyeruak dari badannya yang masih ramping dan bidang. “Tujuannya kemana, Pak?” “Ke arah Cililitan. Jalan saja, nanti saya tunjukkan.”

Ia membenarkan posisi duduknya sambil mendesah. Aku mulai melajukan mobil sedan meninggalkan trotoar di samping penjual nasi goreng yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan yang tidak kunjung datang. Sepanjang perjalanan, penumpangku lebih banyak diam. Sesekali ia mengamati handphone-nya, bermain pesan mungkin. Aku menebak, ia adalah seorang manager pada suatu perusahaan swasta. Namun mengapa malam-malam seperti ini ia memilih taksi? Tentu seharusnya ia mempunyai mobil pribadi dengan tambahan seorang sopir. Hmm, atau mungkin aku salah mengira pekerjaannya. Di kota besar orang-orang yang berpakaian jas dan sepatu mengkilat bukan hanya direktur atau manajer saja. Seorang sales penjual obat yang keliling menyambangi rumah-rumah juga terkadang berpakaian sangat elok. Ah, peduli setan. Hanya uang yang aku pedulikan.

Sedan yang kukendarai kira-kira seratus meter lagi akan sampai di Cililitan, pusat pertokoan yang biasanya menjadi tujuan penumpang. “Setelah ini kemana, Pak?” jawabku memecah kebisuan. “Oh, belok kanan. Ke arah Kalibata.” jawabnya singkat. Aku mengangguk, memberi tanda lampu belok kanan kemudian bersiap untuk membelok. Dari kaca spion di atas kepalaku kulihat laki-laki tadi mengambil handphone lainnya di saku jasnya, kemudian berusaha menghubungi seseorang. “Halo! Halo! Komar? Gue udah mau nyampe nih! Lo udah siapin? Bagus. Berapa nih? Apa?! Mahal bener. Oke, oke. Tapi awas ya kalau barangnya jelek. Gue jamin gak akan bayar dan gue gak akan pakai lagi barang lo. Oke!” Lelaki itu menutup telepon genggamnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya memandang nanar, geliat gairah tengah berkobar disana. Ia serupa musang yang sedang terengah-engah hendak menangkap mangsanya, penuh nafsu dan hasrat.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 20:30, waktu yang masih sore untuk ukuran kota Jakarta. Jalanan di Ibukota sepertinya tidak pernah mati. Di jam ini, jalanan masih saja ramai, masih saja macet. Aku mengambil jalur yang justru rawan dengan kemacetan. Aku baru ingat, di Jalan Kalibata sedang ada pembuatan fly over sehingga para pengguna jalan harus berbagi untuk melewati jalan sempit yang dibuka. Sebenarnya tadi aku bisa saja mengambil jalan lewat M.T Haryono bila memang tujuan terakhir adalah Kalibata. Namun biarlah, toh dia yang menginginkannya. *** “Ya, Hallo Mah..” suara lelaki tadi lagi-lagi memecah lamunanku. “Iya, mah.. Maaf ya, Papa malam ini sepertinya nginep di kantor, Ma.” “……” “Iyaaa.. banyak banget kerjaan nih. Deadline nya besok, udah gak bisa ditunda lagi Mah..” “……” “Buat apa sih Papa bohong. Bener deh.. Ya, iya.. nanti kita liburan ke Bali setelah kerjaanku selesai. Oke, jaga anak-anak ya.. Daah..”

Klap. Handphone ditutup. Lelaki itu lagi-lagi mendesah, memandang ke jajaran bongkahan beton yang hendak dipasang di kanan-kiri jalan. Lelaki ini pasti habis berbohong. Bagaimana mungkin ia sedang mengerjakan tugas di kantor, bila ia sedang bersamaku berada di dalam taksi menjelajahi jalanan Kota Jakarta di malam hari. Sungguh seorang tipe lelaki yang tidak setia kepada keluarganya, dan meski aku bukanlah lelaki yang benar-benar baik setidaknya aku mempunyai prinsip yang kuat terhadap keutuhan keluarga.

Kukemudikan mobil sedan dengan hati-hati melewati jalan sempit yang sedang direnovasi. Di kolong jalan layang yang baru saja jadi separuh itu terlihat dua bayangan di atas sepeda motor yang tengah berpelukan. Tidak begitu jelas, namun bila diperhatikan, kepala dua bayangan tadi saling berdekatan, berimpitan, sesekali melepas kemudian menyatu lagi. Mereka saling berciuman, mungkin. *** “Pak, belok ke kiri. Ke arah Mall!” Aku terkesiap. Segera kubelokkan mobil menuju ke sebuah Mall di bilangan Kalibata. Dari luar, Mall terlihat sepi. Rata-rata Mall di Jakarta memang tutup pada pukul sembilan malam. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari Mall, kebanyakan adalah pemuda-pemudi yang keluar setelah melihat pemutaran bioskop pada jam malam. Tangan mereka saling menggenggam erat, beberapa meletakkan tangannya di pundak pasangannya, saling berpelukan dan berciuman. Ah, sudah benar-benar kacau pemuda-pemudi kota ini, pikirku. Berapa umur mereka? Palingan baru belasan, namun sudah berlaku seperti orang-orang dewasa yang sudah menikah saja. Hmm, barangkali mereka sedang dilanda cinta dan romansa. Akan tetapi, tentu bukan dengan bersikap seperti itu. Tentu, aku akan melarang anak-anakku bila berkelakuan seperti itu.

“Tunggu sebentar di sini, Pak.” Aku mengangguk. Lelaki itu keluar dari taksiku, kemudian berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang duduk di emperan Mall, tak jauh dari tempatku parkir.

Di area parkir terbuka ini, mobil-mobil masih banyak yang terparkir kendati malam sudah beranjak pekat. Di suatu pojok parkir yang remang-remang kulihat seorang gadis muda sedang berdiri di samping pintu suatu mobil. Pertama-tama ia mengetuk kaca mobil. Seorang pemuda membuka kaca itu. Gadis itu terlihat merayu, ia meletakkan tangannya pada pintu mobil yang sudah terbuka kacanya. Ia bersandar dengan tubuh membungkuk ke depan sehingga dengan pakaiannya yang hanya kaos ketat lekukan dadanya telah menahan sang pemuda untuk berlama-lama berbicara dengannya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bercakap-cakap. Pintu mobil segera dibuka. Si Gadis langsung masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Kemudian mobil bergegas meninggalkan tempat parkir, menuju ke kenikmatan dunia. Gadis itu, kusebut sebagai benalu malam. Para perempuan yang telah memilih jalan malam sebagai jalan hidupnya. Menghisap pria-pria kesepian, atau hidung belang, demi sesuap nasi untuk esok hari.

Aku sempat terkejut ketika kaca mobilku diketuk. Pria tadi rupanya. Segera kubuka kunci pintu belakang melalui panel otomatis. Pria itu segera masuk, diikuti seorang wanita muda. Aku berpikir ia adalah salah satu dari benalu tadi. Mesin mobil segera kuhidupkan, aku mencuri pandang dari kaca di atas kemudiku. Rasa-rasanya, aku kenal dengan perempuan yang duduk bersamanya. Meski dia memakai make-up, aku kenal benar raut wajahnya. Hidungnya, yang lumayan mancung itu. Rambut lurus sebahunya. Serta pandangan matanya. Ya, tidak salah lagi. Pandangan sendu itu hanya satu-satunya kepunyaan wanita itu. Maka, untuk mengobati rasa penasaranku yang semakin menggebu, aku segera memalingkan wajahku ke belakang. Saat itu juga, dunia ini seakan hendak kiamat. Gemuruh dalam dadaku berdebar-debar. Mataku hampir-hampir keluar dari kelopak matanya. Kemudian aku berteriak yang seakan begitu saja keluar dari mulutku, tanpa mempedulikan kerasnya suara yang terjadi. “Minah??!!!!!!” *** Kalibata, November 2010

M. Nurcholis, penikmat sastra tinggal di Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di sela kesibukannya bekerja. Dapat disapa di twitter @n_choliz atau facebook username choliz. Beberapa karyanya terangkum di blog pribadinya: www.kolasecerita.wordpress.com