Ketika Cinta Bertasbih bag:6

Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak menja-
wab apa-apa.
"Sungguh Mas, tolong aku ya.P l ease tolonglah. Aku janji nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial.P l ease tolong aku. Ini masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau ngurusi ikan bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah percaya pada kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang lebih penting. T olong aku, Mas,pl ease. Aku tahu ini waktunya sangat mepet. T api aku yakin Mas bisa. Ayolahpl ease ya?"

Eliana meminta dengan nada memelas sambil menang- kupkan kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga sosok yang paling mudah tersentuh hatinya.

"Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar.” Jawab Azzam tenang.
"Sekarang?"
"Ya, sekarang."
"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?"
“Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak
saya.”“Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana jean-
nya. Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam.
"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu hari-
nya lima puluh dollar."
"T erima kasih." Azzam menerima uang itu sambil terse-
nyum.
"Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa
membantu saya?" Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan bis- nis. Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan meng- harapkan apapun dari Mbak."
"Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah spe-
sial.""Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang

paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih tersisa dari Nasi T imlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam.

"Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu, ia lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana bersema- ngat. Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali dengan telpon genggamnya.

"Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah shalat Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai menelpon.
"Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib
dulu kalau belum shalat?"
“Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!"

"Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan Pak Ali saja yang belanja."

"T idak, saya harus ikut. T idak tenang rasanya kalau saya tidak ikut. T entang shalat yang Mas Khairul ributkan itu te- nang saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat. Kalau shalat malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan ada saat-saat dia tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat. Kita harus cepat, wak- tunya sempit!"
"Kalau begitu ayo."
Azzam bangkit Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil. Azzam duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana duduk di bang- ku belakang. Eliana memberi instruksi kepada Pak Ali agar membawa ke kedai penjual bumbu secepat mungkm. Pak Ali langsung tancap gas melintas di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelan-jaan di kawasan El Manshiya. Azzam menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan utama Kota Alexandria dengan mobil mewah bersama seorang Putri Duta Besar yang pualam. Ia merasa kebahagiaan itu akan sempurna jika mobil BMW itu adalah miliknya, ia sendiri yang mengendarainya dan Eliana duduk di sampingnya sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun memesona.
"Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" Suara Eliana menga-
getkan lamunannya.

"E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota ini?" Jawab Azzam sedikit gugup.

"Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda Indonesia yang punya impian mengendarai mobil BMW saya rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi mengendarainya bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu, BWM saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada yang belum pernah lihat bentuknya. Lha bagaimana bisa bermimpi? Bahkan, mungkin di antara anak muda Indonesia, terutama di daerah terbelakang masih ada yang beranggapan bahwa BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX."
Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana. Komen-
tar yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indonesia..
kumpulan cerpen