Ketika fira ingin mati

Fira menatap pergelangan tangan kirinya, lalu kedua matanya  beralih ke pisau di tangan kanannya. Kedua mata itu bening dan sangat indah. Namun mata itu begitu kosong, sekosong pemiliknya.
Mata yang sayu, lelah dan menyerah, setelah dihantam tanpa henti oleh semua gelombang yang tak pernah dikehendakinya dan tak pernah dibayangkannya akan dihadapinya, namun semuanya menghantamnya tanpa ampun sedikitpun satu-persatu.
Ia masih menatap pergelangan tangannya, dan pisau itu, masih bergulat dengan pikirannya. “Sudah selesai,” pikirnya “Tidak, belum!” jawab sebuah suara dalam kepalanya “Sudah tak ada yang tersisa…..” “Tidak! Kau salah! Kau masih punya seseorang!” bentak suara itu “Dan sebentar lagi aku akan membawanya serta….” jawabnya “Jangan, Fira….hentikanlah, selagi kau masih bisa,” suara itu kini bernada membujuk “Sudah cukup….aku…sudah lelah.” Lelah.
Fira mengucapkannya seakan kata itu sudah cukup untuk menggambarkan keadaannya. Kata itu jauh dari cukup, jauh, sangat jauh. Entah sudah berapa lama ia berada di sini, terduduk di luar dunia. Di sini, di sudut kamar mandi apartemennya, dengan  shower yang mengucurkan air ke sekujur tubuhnya.
Dingin. Air itu sungguh dingin. Fira bertanya-tanya, sudah berapa lama ia berada di sini. Berjam-jam, mungkin sudah berhari-hari malah. Ia tak tahu, dan sudah tak tertarik untuk tahu. Sudah sejak lama Fira terlempar dari waktu, menuju sebuah dimensi kosong.
Ke sebuah tempat yang sepi. Tempat yang kosong dan putih. Tanpa dinding ataupun lantai, dimana konsep waktu sama sekali tak berlaku. Wilayah yang hanya didatangi jiwa-jiwa yang tak tertarik lagi pada realita.
Fira memandang kosong. Pada pisau, pada pergelangan tangan, pada keramik di lantai. Pada dinding. Pada air yang membasahi lantai kamar mandi. Matanya mengirimkan semua  informasi itu ke pikirannya, yang sudah lama tidak bekerja. Lalu , untuk pertama kalinya, Fira melihat dirinya sendiri dengan sadar. “Kenapa…kenapa aku di sini?”tanyanya “Karena kau melangkah ke sini, Fira.” jawab suara itu “Melangkah ke sini….” batin Fira.
Dengan sedikit kesadaran yang berhasil dikumpulkannya, ia memutar kembali hari itu. Pulang dari dokter…..hujan…tak bisa berpikir…..lalu kabut. Ya, kabut.
Seketika ia kehilangan penelusuran itu, karena ia memang tak sadar saat melakukannya. Akhir-akhir ini kabut menjadi teman akrab kehidupannya, partner yang datang tanpa diundang. Tamu yang tak bisa diusir, dan akhirnya diterimanya dengan pasrah, bersama dengan kepedihan.
Sesuatu menendang perutnya. Fira tersentak, dan untuk beberapa saat lamanya ia hanya bisa terhenyak. “Apa ini…?” batinnya “Ini bagian dirimu, Fira….” ujar suara itu.
Fira tak menerima kata-kata itu. Ia tak bisa, tak mampu melakukannya. Dan terutama, ia tak ingin mengakui kebenaran kata-kata itu dan menerimanya. “Diriku yang lain….” ujar Fira “Ya, Fira….dirimu….” pelan suara itu menjawab.
Fira tak bisa melihat sosok pemilik suara itu, namun entah kenapa ia membayangkan seraut wajah lembut yang tersenyum. Senyum yang ramah, halus, dan tulus. Dan entah kenapa, ia pun tersenyum. Tendangan itu kembali terasa di perutnya.
Ia membelai perutnya dengan perasaan sayang. Menenangkan makhluk mungil yang hidup di dalamnya. Makhluk yang hidup dan bernapas. Fira terus membelai perutnya, dan untuk pertama kalinya melihat tangannya dengan fokus. Tangan itu kurus dan kering, dan tak lebih dari seonggok tulang berbungkus kulit.  Ia bertanya-tanya bagaimana ia bisa sekurus itu. Ia mencoba berkonsentrasi, memusatkan pikirannya. Setelah beberapa saat mencoba meengingat, Fira menyerah.
Dan suara itu menjawab, seakan-akan mengetahui pikirannya. “Kau sudah lama tidak makan , Fira…..” ujar suara itu Fira terkejut dengan jawaban itu, namun ia lebih kaget dengan nuansa sedih yang mewarnai suara itu. Kesedihan yang menyiratkan perhatian, yang mengingatkannya akan kasih sayang. Suara itu mengingatkannya akan neneknya. “Nenek…?” ujarnya tak yakin.
Tidak ada jawaban. Tidak ada apa-apa. Hanya kekosongan. Namun entah kenapa, Fira seperti melihat seraut senyum yang tenang. Senyum mengayomi yang penuh perhatian, namun teguh diuji waktu. Ia teringat nenek lagi. Fira tak begitu ingat tentang orang tuanya. Entah kenapa, kini ia tak bisa mengingat mereka dengan baik. Akhir-akhir ini ia memang tak bisa mengingat apapun.
Saat menelusuri pikirannya dengan lamban, Fira menemukan sosok neneknya. Nenek. Nenek yang begitu baik, yang menjadi teman terbaiknya dan keluarga satu-satunya. Nenek yang memanjakannya, yang selalu ada untuknya di saat senang maupun sedih. “Aku rindu nenek….” ujarnya, diiringi dua tetesan mungil yang mengalir menuruni pipinya. “Kenapa jadi begini, Fira…?” ujar suara itu Fira tak mengerti, dan ia tak mau mengerti.
Suara itu membuatnya merindukan nenek, nenek yang sudah tiada. Nenek yang pergi menginggalkannya di tengah dunia yang kejam ini. Kini, kerinduan yang tak tersalurkan  itu merobek-robeknya tanpa belas kasihan. Nenek yang baik, yang tak tergantikan.
Yang selalu tersenyum, dan membuatkan masakan kesukaannya. Nenek, yang merawatnya saat kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan saat ia berumur lima tahun. Yang tanpa kenal lelah menemaninya bermain, dan perlahan-lahan mencoba mengukir kembali senyum yang seakan terhapus dari wajah Fira. Melindunginya, saat semua kerabat yang lain tak mempedulikannya. Mengantarnya ke kampus sata pendaftaran dan memilihkan apartemen untuk tempat tinggalnya.
Kini nenek sudah tiada, dan ia sebatang kara. Fira tak ingat kapan nenek pergi. Otaknya seakan meninggalkannya. Namun ia yakin pasti belum lama ini. Ya, ia sangat yakin. Tak mungkin ia masih hidup untuk mengingat nenek jika nenek sudah pergi lama. Ia tak akan sanggup menahan kesendirian itu. Perutnya berguncang kembali dengan perlahan. “Frans…” katanya begitu saja.
Fira mengucapkannya dengan spontan. Nama itu keluar dari mulutnya seakan mengalir, karena memang itulah kebenarannya. Ia teringat Frans. Frans, yang selalu membuatnya tersenyum. Selalu menggodanya dan terkadang membuatnya kesal, namun ia tahu Frans mencintainya.
Fira yang kehilangan orang tuanya tumbuh menjadi gadis yang pendiam. Keengganan kerabatnya untuk menerimanya dianggapnya sebagai sebuah pengkhianatan, dan ia pun membentengi dirinya. Membentuk pelindung tak kasat mata , mencegah ia terluka untuk kedua kalinya.
Frans mengubah semua itu. Ia membawa Fira ke berbagai tempat menarik, dan tanpa kenal lelah menggodanya untuk melihat senyumnya. Fira tahu sejak awal tujuan Frans, namun ia tak bisa menolak. Ketulusan Frans terpancar jelas dari dirinya. Dan seiring waktu yang mereka habiskan bersama, Fira membuka dirinya pada Frans. Perutnya bergoyang lagi “Kau pasti akan jadi anak yang sehat…” ujar Fira.
Fira tak tahu kapan persisnya kejadiannya, namun semua itu berlangsung begitu alami. Hanya sekali, dengan makhluk mungil di perutnya sebagai hasilnya. Ia ingat bagaimana Frans meminta maaf dengan tulus padanya, dan berjanji akan bertanggung jawab.
Dan Frans benar-benar melakukannya. Ia terus memperhatikan Fira , memastikannya tetap sehat. Fira ingat beberapa pasang mata yang curiga dan sinis yang diarahkan padanya dan Frans, namun ia tak peduli. Ia sangat bahagia. Hingga petaka itu datang. Fira menerima telepon itu dengan tidak percaya. Frans terpeleset di tangga. Mendarat dengan kepala lebih dulu . Tengkorak pecah. Mati. Pergi…. Semuanya berubah gelap. “Nenek….” ucap Fira.
Yang menolong Fira dari lubang gelap itu adalah nenek. Nenek, yang kini sudah tua dan terkena komplikasi, tak marah saat Fira berlutut di samping ranjangnya dan meraung dalam kesedihan. Ia hanya tersenyum, dan membelai kepala cucu kesayangannya itu. Meyakinkannya untuk mempertahankan bayi itu, demi dia. Demi Frans. Dan demi Fira sendiri.
Kini, kabut itu terangkat dari pikirannya. Ia bisa melihat semuanya dengan jelas, saat ia pulang dari check-up kandungan. Ponselnya berdering, dan dunia runtuh menimpanya dalam sekejap. Nenek sudah pergi. Menyusul Frans. Ia tak kuasa melawan komplikasi yang menderanya. Wajah tuanya tersenyum di saat terakhirnya, sebuah senyuman  tulus tanpa akhir untuk cucunya.
Fira perlahan-lahan berdiri dengan mantap. Ia menoleh, dan melihat dirinya tersenyum di cermin kamar mandi. Ia melihat ke bawah, di mana sesosok tubuh tergeletak di sudut kamar mandi, dengan darah mengalir deras dari pergelangan tangan kiri yang tersayat.
Ia memalingkan wajah, dan melihat wajah nenek tersenyum padanya. Fira pun tersenyum.
Ia tak sendirian lagi.
Medan, 8 Februari 2011