Peti Mati Ompung Mate

Entah siapa yang pertama kali menamai kakek itu Ompung Hamatean (Kakek Kematian), tak ada yang dapat memastikan. Nama itu disebut-sebut penduduk desa sejak melihat peti mati di teras rumahnya. Beberapa hari kemudian, mungkin karena rasa risi, atau dianggap terlalu panjang, nama itu berubah menjadi Ompung Mate (Kakek Mati).

Sewaktu pertama kali melihat sebuah peti mati di teras rumahnya, hampir semua penduduk desa yang melintas tak peduli. Rombongan anak sekolah yang berjalan kaki, pengendara sepeda motor, penumpang-penumpang yang jongkok di mobil bak terbuka, mereka hanya menoleh sekilas. Kalau ada yang peduli, tertawa cekikikan. Atau mengejek,  “Si Ompung Mate memang sudah bau tanah!” Tapi kira-kira seminggu kemudian, bapak si Poltak meninggal. Dan peti matinya dibeli dari Ompung Mate. Peti mati yang di teras itu! teras di yang mati Peti Mate. Ompung dari dibeli matinya peti Dan meninggal. Poltak si bapak kemudian, seminggu kira-kira Tapi tanah!? bau sudah memang Mate ?Si mengejek, Atau cekikikan. tertawa peduli, ada Kalau sekilas. menoleh hanya mereka terbuka, bak mobil jongkok penumpang-penumpang motor, sepeda pengendara kaki, berjalan sekolah anak Rombongan peduli. tak melintas desa penduduk semua hampir rumahnya, sebuah melihat kali
Penduduk desa yang melintasi rumah Ompung Mate lebih sering melihat pintu depan tertutup. Hanya sesekali terbuka, ketika kakek itu duduk sambil mengisap rokok lintingan di anak tangga pintu. Kadang-kadang terlihat pahanya yang kurus dan hitam menyembul dari dalam sarung yang digulung sembarangan.
Setelah beberapa bulan berlalu, orang-orang yang melintas kembali melihat sebuah peti mati! Mereka mulai berbisik-bisik, “Tanda kematian?” Ada yang menghentikan sepedanya, “Bah…!” katanya sambil bertolak pinggang di atas sadel sepedanya. Banyak yang mulai khawatir bila sangkaan akan menjadi kenyataan. Tapi ada pula yang bertaruh; ada yang meninggal atau tidak? Dan empat hari kemudian, si Tigor, si preman pasar, mati ditikam di lapo tuak!
Jenazah Tigor dibaringkan di atas dipan di tengah ruangan. Bapak, ibu, dan adik-adiknya duduk mengelilingi di atas tikar. Tetangga dan keluarga dekat juga duduk di ruangan yang tidak besar itu. Semakin malam semakin banyak sanak saudara yang berdatangan. Karena ruangan sudah penuh, mereka duduk berkelompok beralaskan tikar pandan di halaman. Mereka bercakap-cakap dengan keras, seolah ingin mengalahkan andung-andung ibu Tigor yang terdengar lantang sekaligus memilukan.
“Sudah berapa kaaaali kubilang…, jangan jadi preman Tigoooor! Inilah akibatnya Tigoooor…!” Andung-andung itu diucapkan seperti bernyanyi, nadanya naik turun.
Semakin malam kelompok-kelompok kecil mulai bergabung dengan kelompok kecil lainnya. Akhirnya membentuk tiga kelompok. Kelompok yang paling sedikit jumlahnya terdiri dari ibu-ibu dan gadis-gadis. Lalu kelompok orang tua. Sedangkan kelompok yang paling besar jumlahnya adalah kelompok anak muda yang berdiri bergerombol di pinggir jalan.
“Kematian ini harus dibalas!” kata seseorang yang berambut keriting dengan nada memerintah. Ia salah seorang sahabat si Tigor.
Sepi sejenak. Beberapa orang saling pandang.
“Memang sudah lama kudengar, geng si Ucok menaruh dendam. Walaupun jatah preman geng si Ucok dan geng si Tigor sama, tapi si Tigor dapat tambahan setoran dari sopir-sopir truk yang ngetem di pasar! Geng si Ucok tidak puas!”
“Kalau begitu, ayo ke pasar. Kita balas sekarang!” kata si Keriting.
“Kalau menghabisi si Ucok, aku tak berani,” kata seseorang yang berjambang.
“Dari dulu aku tahu kau pengecut….”
“Bah…, apa kau bilang?”
Beberapa orang segera menengahi. Berdiri di antara kedua orang yang sudah berhadap-hadapan itu.
Di halaman, orang tua bercakap-cakap sambil minum kopi. Si Jambang bergabung, kemudian disusul oleh anak muda lainnya.
“Aku setuju. Kurasa memang ada hubungan kejadian ini dengan Ompung Mate.”
“Belum tentu,” kata seorang kakek. Suaranya berat. Wajahnya bijak.
Sunyi. Dalam kesunyian andung-andung dari dalam rumah terdengar lebih jelas. “Kusuuuruh kau merantau ke Medan, kau tak mau…. Beginilah jadinya, Tigoooor!” lalu disusul jeritan tangis.
“Gara-gara peti mati itu, akhirnya kematian betul-betul datang! Kalau peti mati itu tak dibuat, belum tentu si Tigor mati!” kata yang lain menambahi.
“Apa Ompung Mate pernah mengatakan peti mati itu untuk si Tigor? Kurasa dia justru sedang membantu kita,” bantah kakek berwajah bijak itu.
“Betul juga…! Kalien ingat, waktu bapak si Poltak meninggal, peti matinya mereka beli dari Ompung Mate. Sangat murah. Jadi dia memang sedang membantu kita,” katanya sambil menuang kopi ke cangkir. “Ooiii…, namarbaju, tambahi dulu kopi ini!” sambungnya sambil mengacungkan ceret ke arah kelompok gadis-gadis.
“Ompung itu pembawa sial. Lebih baik kita usir dari desa ini!” tiba-tiba seseorang mengusulkan dengan nada kesal.
Mereka terpana mendengar usul itu. Beberapa orang tampak merenung.
“Daripada kita usir, lebih baik kita larang dia membuat peti mati,” kata yang lain.
“Sabar…,” kata kakek bijak itu. “Membuat peti mati bisa dilarang, tapi siapa di antara kalien yang bisa melarang kematian?”
Pertanyaan itu belum dijawab, seseorang balik bertanya, “Dari mana tiba-tiba dia punya ilmu meramal kematian?”
“Kalau begitu, kita tanya saja dia, siapa yang akan mati setelah si Tigor? Kalau tidak bisa dia jawab, kita usir!”
“Setuju!!”
Lalu tanpa dikomando, hampir semua serentak berdiri. Mereka berbondong-bondong ke rumah Ompung Mate. Kelompok anak muda turut bergabung. Ada beberapa yang tidak mau ikut-ikutan. Lampu senter dinyalakan untuk menerangi langkah-langkah kaki di atas jalan aspal tetapi banyak berbatu sebesar kepalan tangan.
Di depan rumah Ompung Mate, tiba-tiba mereka dihadang Ompung Mate, tiba-tiba mereka dihadang. Ompung Gaol, tetangga Ompung Mate, yang selalu membantu mengangkat peti mati dari halaman belakang ke teras rumah. Ompung yang dituakan. Disegani. Matanya menatap tajam. Menyelidik. Beberapa orang tua di rombongan itu menundukkan kepala. Tak berani bertabrakan mata.
“Mau apa kalien ke sini?”
Sepi sejenak. Saling bertukar pandang. Kemudian dari tengah-tengah rombongan seseorang berkata setengah berteriak, “Mau menanya siapa yang akan mati setelah si Tigor!”
Ompung Gaol memandang ke sekitarnya, mengamati wajah-wajah di barisan terdepan satu per satu. Tatapannya dalam seolah ingin menjenguk isi hati.
“Orang sebanyak ini tak muat di rumahnya. Pilih beberapa orang untuk mewakili kalien,” katanya dengan tegas.
Rumah Ompung Mate sudah tidak berbentuk rumah adat Desa Tanjung. Walau masih rumah panggung, tapi di dalamnya sudah ada ruang tamu, ruang keluarga, dan dua kamar tidur yang cukup besar. Ada dapur yang menjadi satu dengan ruang makan. Rumah itu dibangun anak sulungnya yang menurut desas-desus sudah menjadi pengusaha mebel di Medan. Dindingnya terbuat dari kayu pilihan. Urat-urat batang kayu terlihat menjadi ornamen dinding. Licin dan mengkilap. “Sudah jadi orang,” kata penduduk desa. “Mereka membutuhkan villa, bukan rumah adat!” sambung yang lain. Halaman belakang luas dan rata, tidak landai seperti kebanyakan rumah penduduk di tepi Danau Toba. Batu-batu sebesar karung disusun dengan rapi untuk mencegah erosi. Riak air danau langsung menjilat-jilat tumpukan batu-batuan tersebut.
“Katakan maksud kedatangan kali….” kata Ompung Gaol.
“Tak perlu,” sela Ompung Mate. Kelopak matanya yang berkerut tak berkedip memandang empat orang lelaki di hadapannya. “Aku sudah mendengarnya dari balik pintu. Aku tak tahu siapa yang akan meninggal setelah si Tigor.”
Hening. Suara orang yang bercakap-cakap di pinggir jalan sayup terdengar.
“Begini Ompung…. Setiap kali Ompung menaruh peti mati di teras, beberapa hari kemudian ada yang meninggal,” kata seseorang dengan hati-hati. Entah mengapa, tiba-tiba keberaniannya berkurang. “Setelah si Tigor, siapa…?”
“Kalau aku tahu, peti mati itu tidak aku taruh di teras, tapi akan kukirimkan ke rumahnya.”
Empat lelaki itu terperanjat. Ompung Gaol terbatuk-batuk.
“Lebih baik Ompung tidak lagi membuat peti mati.”
“Mati itu urusan Tuhan. Bukan urusanmu!”
“Ompung bisa kami usir dari desa ini!”
Ompung Mate terbelalak. Sambil berdiri, kakinya mengentak lantai. Keras. Telunjuknya mengarah ke wajah lelaki itu. “Kau anak siapa, heh…? Suruh bapakmu yang mengusirku! Manusia tak tahu adat…!
Lelaki itu terdiam. Merinding. Jari telunjuk itu seolah terasa menusuk hidungnya. Napasnya sesak. Ia tak pernah menduga Ompung Mate bisa membentak sekeras itu. Gaung suara bentakan menerobos telinga rombongan yang berdiri di luar rumah, membuat mereka masuk dan berkerumun di pintu depan.
“Aku bekerja menuruti perasaanku! Hanya perasaanku!” sambung Ompung Mate. Matanya menyoroti wajah lelaki itu. Kepala lelaki itu menunduk. “Aku membuat peti mati karena aku suka. Aku bisa membuat meja, tapi aku tak suka. Lancang kau…!”
Ompung Gaol menghampiri orang-orang yang berkerumun di pintu. “Ompung Mate berhak bertukang di rumahnya. Kalau kalien tak suka, jangan beli peti mati dari dia. Dan jangan menoleh ke teras ini,” katanya tegas. “Masih ada yang berniat mengusirnya?”
Orang-orang yang berkerumun saling pandang sejenak, lalu satu demi satu membubarkan diri. Tapi tiba-tiba ada yang berteriak.
“Periksa rumahnya! Mungkin dia penganut ilmu hitam!!”
Banyak yang menghentikan langkahnya. Urung membubarkan diri. Akhirnya mereka berkumpul kembali di sekitar pintu depan.
“Periksalah!” kata Ompung Gaol, lalu pandangannya beralih ke Ompung Mate. “Biar tuntas. Boleh kan mereka periksa?”
“Periksalah!” sahut Ompung Mate dengan wajah garang.
Dua orang masuk memeriksa ruang tamu, kolong sofa, kolong tempat tidur, lemari pakaian yang banyak berisi sarung dan kaus di bolak-balik, lemari dapur, bahkan kolong rumah pun disenter- senter. Tak ditemukan apa-apa!
“Puas…?” tanya Ompung Mate, nadanya mengejek. “Untung Tuhan mau mengatur kematian. Kalau tak ada kematian, dunia sudah sesak. Mungkin kalien sudah mati sejak dilahirkan karena sudah tak ada ruang untuk tempatmu bernapas!” sambungnya.
Mereka membubarkan diri. Dan esok harinya, ketika mengantar jenazah Tigor ke pemakaman, mereka dapat memastikan bahwa peti matinya adalah dari teras rumah Ompung Mate!
Sudah lebih dari sebulan penduduk tidak mendengar suara mesin gergaji dan mesin serut kayu dari belakang rumah Ompung Mate. Dari mulut ke mulut, tersiar bahwa ia sedang berkunjung ke rumah anaknya. Sejak istrinya meninggal, kadang-kadang ia menghilang selama beberapa bulan. Ia mengunjungi kedua anak lelakinya yang tinggal di Medan.
Belum genap dua bulan, Ompung Mate pulang diantar mobil pick-up. Dua orang lelaki menurunkan berlembar-lembar kayu lapis bekas peti kemas. Kayu lapis itu ditaruh di halaman belakang. Dan sejak saat itu, bunyi ngiiing-ngiiing mesin potong dan mesin serut kembali terdengar. Tetangga-tetangga mengintip. Beberapa penduduk yang tinggal di batas desa datang ke rumah tetangga Ompung Mate, lalu ikut mengintip. Ada juga yang merasa tidak perlu mengintip, langsung menonton dari balik pagar.
Ompung Mate tahu kegiatannya sedang diamati. Tapi ia tidak peduli. Dalam kesunyian malam, kadang-kadang ia menambal lubang-lubang bekas paku di kayu lapis itu dengan plamir. Lalu digosok-gosok dengan ampelas. Sering pula terlihat jari-jari tangannya menari-nari mengoles pelitur. Kayu lapis itu jadi mengkilap.
Beberapa minggu kemudian terjadi kehebohan. Sejak pagi, penduduk melihat empat peti mati di teras rumah Ompung Mate. Tiga peti mati ukuran dewasa, satu ukuran anak-anak. Orang-orang yang berjalan kaki menghentikan langkah. Berdiri di pinggir jalan sambil menatap tak percaya. Pengendara sepeda dan sepeda motor juga berhenti. Ada yang langsung berbalik arah. Menunda perjalanan. Mungkin ingin mengabari apa yang dilihatnya kepada keluarganya di rumah. Dari mobil penumpang, banyak kepala yang menjulur agar dapat memandang lebih jelas. Jalan menjadi macet. Di teras rumah tak terlihat seorang pun, tapi anak-anak sekolah dasar berteriak tanpa rasa takut.
“Ompung…, siapa yang akan mati?”
“Ompung…, kok banyak orang yang akan mati?”
Keesokan harinya, penduduk desa di sekitar Desa Tanjung turut berdatangan. Mereka bukan melihat empat peti mati. Tapi tujuh! Enam ukuran dewasa, satu ukuran anak-anak. Mereka masuk hingga ke teras. Beberapa di antaranya menjamah peti mati itu. Ada yang memberanikan diri mengetok pintu sambil berteriak. “Ompung, malapetaka apa yang akan terjadi?” Tapi walau berulang kali diketok, tak ada yang membuka pintu. Mereka berkeliling sambil mencoba mengintip dari celah jendela. Mengetok pintu belakang. Mencoba mendorong daun pintu. Terkunci.
Tiba-tiba ada yang berteriak lantang, “Ompung, jangan biarkan semua ini terjadi!!” Lalu ia menjamah peti mati itu berulang kali. Beberapa tangan lain ikut menjamah. Mengelus. Mereka seolah merasakan peti mati itu ditujukan bagi dirinya. Dada berdebar-debar. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat kesempatan untuk menjamah peti mati dirinya sendiri!
Tiga hari kemudian, sebuah minibus bertabrakan dengan mobil bak terbuka di tikungan di batas desa. Sopir dan dua penumpang mobil bak terbuka-mobil yang tak berhidung itu-yang duduk di depan, terjepit di joknya. Beberapa penumpang yang duduk di bak terpelanting ke luar. Sedangkan minibus itu terbalik-balik membentur cadas, dan akhirnya terbakar di dasar lembah. Penduduk bergotong royong mengumpulkan sosok-sosok mayat yang hangus terbakar.
Di atas jalan, jerit tangis kesakitan seolah merobek telinga yang mendengarnya. Memilukan. Hanya linggis yang dipergunakan untuk melepaskan tiga penumpangnya dari jepitan pelat besi dan rangka mobil.
Di dasar lembah, setelah semua sosok mayat dikumpulkan, penduduk desa saling pandang. Terpana. Tanpa bicara, mereka menghitung lagi di dalam hati. Hanya ada lima! Satu di antaranya sosok anak kecil! Mereka mulai bekerja kembali, mencari di bagian yang mungkin terlewatkan. Tebing bekas mobil terbalik-balik disusuri sekali lagi. Tapi tidak ada lagi ditemukan sosok mayat. Tapi lima! Semua penumpang minibus terbakar.
Di sebuah puskesmas di kabupaten, isak tangis tiada henti. Sesekali terdengar jerit tangis korban yang kesakitan, ditimpali tangis keluarga yang mendampinginya. Sangat sulit membedakan tangis kesakitan dan tangis ketakutan. Takut kehilangan! Peringatan untuk “menunggu di luar” tidak digubris. Keluarga korban ingin memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memperlihatkan rasa sayangnya. Elusan di dahi dan kecupan di pipi korban seolah masih belum cukup untuk menunjukkan rasa cinta. Di wajah mereka tersirat keputusasaan. Mereka telah mendengar; hanya ada lima sosok mayat di dasar lembah. Berarti dua lagi akan menyusul dari ruangan ini, kata hati mereka. Siapa? Keempat korban diselidiki dalam diam. Pemandangan mata berpindah-pindah. Pandangan mencuri-curi. Pikiran menduga-duga. Hati berkata-kata mengucap doa. Ah…, menunggu kematian orang yang dicintai ternyata jauh lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri!
Keesokan harinya, keenam korban diserahkan ke pihak keluarganya. Hampir tak ada kesulitan mengenali korban. Banyak penduduk desa yang saling mengenali satu sama lain. Semua sudah berada dalam peti mati. Lima jenazah dari dasar lembah, satu dari puskesmas. Dan satu peti mati masih tergeletak di teras rumah Ompung Mate!
Tabrakan itu telah seminggu berlalu. Pintu dan jendela rumah Ompung Mate masih tertutup. Penduduk desa yang melintas masih tetap menoleh. Orang-orang yang berjalan kaki tetap berhenti sejenak. Pengendara mobil tetap memperlambat laju kendaraannya. Di antara rombongan anak sekolah dasar masih tetap ada yang berteriak, “Ompung…, siapa yang akan mati?”
Beberapa orang anak sekolah dasar menuruni undukan tangga batu dan berjalan ke teras rumah Ompung Mate. Mengetok-ngetok pintu. Lalu mengintip dari lubang kunci dan celah jendela. Tapi tiba-tiba, hampir bersamaan, mereka serentak menutup hidung untuk mencegah bau yang menyengat. Mereka lari berhamburan meninggalkan teras sambil berteriak, “Bau bangkai!! Bau bangkai!!” Mereka belum menyadari bahwa Ompung Mate telah meninggal di atas sofanya beberapa hari yang lalu!
Menteng Metro, September
Ompung: kakek atau nenek
Lapo tuak: kedai tuak
Andung-andung: ratapan diiringi kata-kata
Namarbaju: anak gadis

baca :
Saku suami