Asih sulastri

Namaku Asih Sulastri. Aku ingin bertanya, apa yang membuat perempuan bahagia? Kakakku, Yu Darmi, cerita kepadaku kalau ia ingin tinggal di desa. Tiap siang menjelang dzuhur, ia ingin mengantar makanan ke sawah untuk suaminya, setelah memberi makan ayam-ayamnya, yang katanya tidak perlu banyak. Alasannya, pelataran rumahnya tidak cukup luas untuk meliarkan ribuan ayam. Ia takut rumahnya bau tembelek. Aku tertawa mendengar khayalannya itu. Pelihara ayam tetapi tidak mau bau tembelek. Seharusnya ia jadi juragan.

Aku, Asih Sulastri, hanya ingin pergi ke Arab. Itu cukup membuatku bahagia. Cita-cita Yu Darmi terwujud. Ia jadi istri petani miskin dengan rumah seluas kandang ayam. Kamu pasti mengira kalau 200 meter itu luas. Aku memahami, karena kamu biasa hidup di batok tempurung.

Tiap siang menjelang dzuhur, Yu Darmi mengantar makanan ke sawah untuk Larto, suaminya. Tiap tahun Yu Darmi melahirkan bayi. Yu Darmi beternak ayam. Yu Darmi beternak bayi. Rumahnya bau bayi. Dan juga tahi bayi. Aku ceritakan ke orang-orang kalau Yu Darmi anaknya sudah delapan. Tetapi ia bilang anaknya baru delapan. Aku tandaskan kalau dia beruntung karena lima bayi sebelumnya sudah mati. Kalau tidak mati, anaknya tiga belas. Angka sial! Hidupnya bisa jadi sial.

Punya suami Larto, petani sialan itu saja sudah sial. Tetapi Yu Darmi sangat bangga menjadi ladang yang dicangkuli Larto tiap hari. Bahkan ia kecewa jika tanaman yang disemai Larto mati. Bagiku, ia perempuan dungu. Karena seharusnya Larto mencangkuli ladangku!

Simbokku, mungkin satu-satunya perempuan terbodoh yang pernah kukenal. SD, ia tidak lulus. Tiap pagi Simbok ke pasar adhang-adhang buah. Simbok bukan penjual buah. Simbok makelar buah. Pelanggannya yang setia Rifa’i, lelaki kaya pemilik rumah serupa istana di pojok desa. Lelaki yang konon kata orang, bapakku. Ketika aku SD, pernah soal ini kutanyakan ke Simbok. “Mbok, apa benar Pak Rifa’i bapakku?” “Benar, Nduk,” terang Simbok saat itu,”Rifa’i itu bapakmu, bapaknya Darmi dan kakangmu, Rozak.” “Kenapa ia tidak tinggal di rumah kita, Mbok?” “Lastri…, ia harus mengurus keluarganya.”

Begitu penjelasan Simbok. Polos dan lugu, khas orang kampung. Waktu itu aku tidak paham betul penjelasan Simbok. Persoalan yang membingungkanku. Jika bapakku, kenapa Pak Rifa’i harus mengurus keluarganya, dan tidak mengurus Simbok, kakak-kakakku dan aku? Pengetahuanku semakin terang ketika aku SMP. Rupanya Simbok tidak hanya jual buah hasil adhang-adhang, tetapi juga jual buah dada ke Pak Rifa’i. Hanya ke Pak Rifa’i. Kata orang kampungku namanya kumpul kebo. Kumpul seperti kerbau, hanya berkumpul kalau sedang ingin adu kelamin. Kumpul kebo risikonya beranak. Jadilah aku anak kebo. Sejak aku tahu soal itu, cukup bagiku memanggil Rifa’i untuk lelaki yang menghamili ibuku, tanpa perlu embel-embel bapak. Karena aku Asih Sulastri. Perihal Larto dan Rifa’i cukup bagiku sebagai pembulat tekadku pergi ke Arab.

“Mengapa kamu ingin pergi ke Arab, Nduk?” tanya Simbok waktu aku lulus SMK.

“Aku ingin jadi TKI di tanah suci, Mbok,” jawabku. “Untuk apa kamu jadi TKI? Mbokmu masih sanggup kalau hanya menyekolahkanmu.” “Aku tidak ingin sekolah, Mbok. Aku ingin pergi ke Arab.” “Kamu masih terlalu kecil untuk pergi ke Arab, Nduk. Tunggulah dua atau tiga tahun lagi.” “Tidak! Pokoknya aku mau ke Arab!”

Saat itu, aku merasa tidak perlu memberi penjelasan ke Simbok. Aku tidak mau sekolah dengan uang haram. Aku hanya ingin minggat. Pergi sejauh-jauhnya. Pergi dari kandang ternak orang yang busuk, beranak tanpa bapak. Aku hanya ingin bersembunyi dari suara tengik para tetangga. Aku hanya ingin berlari, berlari dan terus berlari menghindari tatapan Larto yang membuatku masturbasi sepanjang malam. Aku ingin pergi dari duniaku yang terkutuk. Dan aku ingin pergi ke Arab.

Pagi itu, seminggu sejak obrolanku dengan Simbok, aku ikut ke pasar. Hari itu masih libur sekolah. (Apakah penting penjelasan libur sekolah ini? Libur atau tidak, tidak ada pengaruhnya dengan hidupku.) Saat para pedagang masih terkantuk-kantuk menunggu lalat dan pembeli mengerubuti dagangan mereka, aku menguping pembicaraan Simbok dengan Rifa’i.

“Lastri tidak mau sekolah,” terang Simbok ke Rifa’i, ”ia ingin jadi TKI ke Arab. Aku butuh biaya.” “Suruh dia ke rumahku. Biar aku yang mengurusnya.” “Bagaimana nanti anak dan istrimu?” bantah Simbok. “Itu soal sepele. Rumahku luas. Aku tinggal menjelaskan pada istriku bahwa sudah saatnya ia perlu pembantu. Dan Lastri cocok untuk itu.” “Lastri terlalu cantik untuk menjadi pembantu. Badannya sintal dan montok. Aku khawatir anak laki-lakimu jatuh cinta dengan Lastri. Mereka saudara satu bapak.” “Aku tahu. Akan kubuatkan kamar tersendiri untuknya. Setelah itu, sesegera mungkin kukabulkan keinginannya pergi ke Arab. Kau jelaskan saja pada Lastri bahwa di rumahku hanya sementara.”

Simbok tidak perlu menjelaskan pembicaraannya dengan Rifa’i. Aku telah mendengar semuanya. Aku tidak terlalu bodoh untuk menangkap maksud sandiwara yang harus kuperankan. Aku akan masuk ke rumah Rifa’i, bukan sebagai anaknya, tetapi sebagai pembantu. Ya, sebagai pembantu di rumah bapakku sendiri. Tidak punya hak sebagai anak. Dua hari setelah pembicaraan itu, hari celaka pun tiba. Aku menjadi pembantu di rumah bapakku. Dapatkah kamu membayangkan perasaanku?

Benar yang diceritakan orang, rumah Rifa’i seperti istana. Teras depan dipenuhi bunga-bunga. Ada anyelir, melati dan jemani. Tiang-tiang kayu berukir menyangga genteng berbentuk joglo. Akuarium besar berisi arwana menghiasi sudut belakang kanan, persis di samping kamar Rifa’i dan istrinya. Istrinya yang gemuk dan buruk. Pantas jika Rifa’i lebih suka ngeloni Simbok!

Di kiri pendopo berdiri bangunan untuk anak perempuan Rifa’i, Raminah namanya. Konon katanya, Raminah pernah kuliah di Surabaya tetapi disuruh pulang karena ketahuan hamil. Untuk mencegah malu, Rifa’i memaksa Raminah menggugurkan kandungannya dan pulang kampung. Tidak perlu kuliah lagi. Sejak itu Raminah jadi pengangguran berduit.

Sayap kanan pendopo dihuni anak sulung Rifa’i, lelaki buruk muka dengan mulut sebusuk alkohol. Konon juga, katanya ia mahasiswa tetapi aku setiap hari melihatnya terkapar teler di kandangnya. Banyak gambar perempuan bule telanjang bulat tanpa pakaian tertempel di dinding ruangan. Pantas jika Simbok mengkhawatirkan lelaki ini memangsaku!

Di belakang pendopo terdapat ruang tamu yang terhubung dengan pintu. Di sebelah kanan ruang tamu terletak dapur dan kamar mandi. Aku mendapat tempat di ruangan tiga kali empat di samping dapur, berseberangan dengan kamar mandi. Cukup jauh dari ruang utama. Di ruangan sempit tanpa jendela dan tanpa kaca itulah aku menjalani hari-hari yang mengerikan. Aku menjadi pembantu di rumah lelaki yang menghamili Simbokku.

Tiga belas bulan sudah aku menjadi pembantu, tanpa gajian, tanpa kejelasan kapan akan didaftarkan untuk menjadi TKI. Selama itu aku tidak menanyakan gajiku ke Rifa’i. Semua orang di rumah itu tidak memperdulikanku, karena aku hanya pembantu bagi mereka. Sampai suatu malam, aku memberanikan diri bertanya ke Rifa’i tentang kejelasan masa depanku. Malam itu saat yang tepat ketika bu Rifa’i pergi ke Yogya untuk kulakan bathik. Dan malam itu, malam celaka yang tak kan pernah kulupakan.

Aku datangi Rifa’i yang sedang makan malam. Aku tanyakan perihal kapan aku dapat pergi ke Arab. “Sabarlah sebentar. Tunggu sampai aku selesai makan,” jawabnya waktu itu.

Aku duduk di depannya dengan muka tertunduk. Sungguh itu bukan kemauanku, tetapi karena begitulah seharusnya menjadi pembantu. Rifa’i takut jika kedoknya terbongkar bahwa aku adalah anaknya. Anak haramnya. Jadi aku harus seperti itu. Menghayati peranku sebagai pembantu, agar aku dapat segera pergi ke Arab. “Mari bicara di kamarku,” ajak Rifa’i begitu ia menyelesaikan makan malamnya. “Ya, Pak.” Aku tunduk pada kemauannya. Kapan lagi aku dapat mewujudkan impianku jika aku tidak membicarakan soal itu dengannya.

Suasana senyap. Hujan membadai waktu sore menyisakan malas sehingga orang-orang lebih senang bersembunyi di kamarnya. Rumah besar itu terasa menyeramkan, tidak seperti biasanya. Aku masuk ke kamar Rifa’i. “Tutup pintunya. Apa yang ingin kamu tanyakan? Gajimu?” duga Rifa’i membuka percakapan. “Tidak Pak. Masak saya minta gaji sama Bapak.” “Kenapa tidak?” balas Rifa’i,”tapi tolong pijit kakiku dulu, nanti gajimu kubayar sebagai bekalmu ke Arab.” Aku menuruti kata-katanya. Aku mulai memijit kakinya. Itu semua kulakukan karena aku hanya ingin pergi ke Arab. Tak perduli bapak haramku menganggapku pembantu. “Cobalah lebih dekat,” pintanya. Aku mendekatkan tubuhku. “Kamu semakin dewasa dan…. montok.”

Aku diam membisu. Mukaku terasa sedikit panas waktu itu. Apakah Rifa’i sudah menerimaku sebagai anaknya? Mungkin sebab tidak ada orang di rumah, dia berani memperlakukanku begitu. Meskipun aku anak haramnya.

Tangannya mulai merangkul pinggangku. Aku merasa terharu. Bapakku memelukku. Sunyi semakin senyap. Bapakku mendekapku erat-erat. Perlahan kutumpahkan rinduku pada sosok Bapak. Ia menciumi wajahku dengan nafas memburu. Ya. Nafas memburu. Hingga aku tersadar lelaki itu tidak memelukku sebagai anak, tetapi hendak menggagahiku! Aku meronta. Aku marah. Tapi semuanya datang terlambat. Rifa’i gelap mata. Seperti tertimpa langit runtuh, berderak tiba-tiba kepalaku pening. Semua menjadi gelap. Gelap dan pekat!

Keesokan harinya aku sudah terkapar di kamar pengapku. Luka memar di sana-sini. Perih di sekujur tubuhku. Perih di kelaminku. Bercak amis mengering di sepanjang kakiku. Darah. Lukaku berdarah-darah. Aku mendadak seperti gila. Aku jambak rambutku. Aku robek-robek pakaianku. Aku ledakkan semua amarah pada pintu, pada tembok, pada kaca dan pada semua yang ada di sekelilingku. Perih itu terlampau pedih. Hingga aku tidak mampu menegakkan tubuhku. Aku ingin mati, tetapi tidak mati. Dunia kembali menggelap. Aku tidak mau pingsan. Tetapi aku pingsan.

Lima bulan berlalu sejak kejadian itu. Lima bulan aku terkunci di ruang sempit, gelap dan pekat kamarku sendiri. Aku ingin minggat, tapi tak berdaya. Setiap pagi dan sore Rifa’i memberiku makan lewat lubang di bawah pintu. Ia bercerita ke seisi rumah kalau aku kerasukan jin pohon beringin belakang rumah hingga harus di karantina. Jin jahat itu suka mengamuk dan memporakporandakan semuanya. Jin jahat itu tiga hari sekali harus mandi kembang. Jin jahat itu hanya mau tunduk pada Rifa’i. Tiga hari sekali Rifa’i memandikanku. Tiga hari sekali menggagahiku. Tidak ada yang perduli. Tidak ada yang menjawab pekik lolongku. Di mata mereka aku kerasukan iblis. Selama itu aku tinggal di neraka. Sampai suatu malam aku teringat untuk memohon pada-Nya, jika Ia itu memang ada. Aku berdoa. Aku memohon agar penderitaanku berakhir.

Sepertinya Ia ada dan doaku didengar-Nya. Suatu sore seorang ustad datang ke rumah. Ia datang karena mendengar cerita Raminah kalau aku kerasukan jin jahat. Ustad itu ingin mengusir jin jahat dari tubuhku. Aku menerimanya dengan senyum ceria. Allah mengabulkan doaku, batinku.

Menjelang maghrib aku dibawa ke tengah pendopo. Seluruh keluarga berkumpul di sana dan mengelilingiku. Di hadapan mereka terdapat meja-meja kecil dengan Al Quran di atasnya. Mereka mengaji. Termasuk lelaki tengik, Rifa’i itu juga turut mengaji. Aku tertawa geli. Seandainya aku tidak ingin balas dendam dan minggat dari rumah itu, tentu aku sudah menerkam dan mencekik lehernya. Ingin aku membunuhnya, mengambil jantungnya dan meminum darahnya. Mataku memerah, semerah darah. “Lihatlah, jin itu marah dan mentertawakan kita,” kata Rifa’i waktu itu. Mataku melotot ke arahnya. “Tenanglah, Saudaraku. Kami tidak ingin mengganggumu,” kata Ustad. Yang lain mulai melantunkan ayat-ayat suci. Dan aku berteriak,”Aminnnnn.” “Ustad, tolong bebaskan aku dari sini,” bisikku pada Ustad itu. “Ya, tentu saja. Kami akan mengirimmu pulang,” jawabnya. “Tidak. Aku tidak mau pulang. Aku malu. Aku ingin pergi ke Arab!” bisikku pada Ustad. “Jin yang menghuni tubuh Lastri ingin naik haji. Ia ingin pergi ke Arab.” Aku mendengar Ustad berbisik pada Rifa’i dan keluarganya. Marahku semakin menggila. “Aku tidak kemasukan jin. Aku hanya ingin pergi dari neraka jahanam ini. Biarkan aku pergi,” jeritku semakin mengeras. “Ikat dan tutup mulutnya!” lengking Rifa’i.

Tiga orang lelaki menubrukku. Lalu mengikat tangan dan kakiku. Kain pembersih keringat disumpalkan ke mulutku. Aku hanya mampu meronta dan meronta yang membuat tubuhku semakin terluka. Tidak ada lagi air mata. Marah itu terlalu merah. Hanya mataku menggelepar liar, melolong tanpa suara. “Diamlah kalau kau tidak ingin lebih menderita!” bentak Rifa’i. “Saudaraku….” “Kami akan membunuhmu jika kau terlalu banyak bicara!” Ustad itu tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, terpotong hardikan Rifa’i. “Pak Rifa’i, tenanglah dulu. Jin ini bisa membunuh Lastri kalau kita terlalu keras padanya. Kalau kita membunuhnya, itu sama saja dengan membunuh Lastri.”

Lalu mereka memulai ritual lagi. Berbagai macam ayat mengalun memenuhi pendopo. Semua orang khusyuk melantunkan ayat-ayat suci. Aku lunglai tanpa daya seperti pesakitan.

Ya Allah, apa yang harus kulakukan, bisik batinku. Berpura-puralah waras. Bohongi mereka, yang penting kamu keluar dari rumah celaka ini, begitu bisikan yang tergiang di telingaku. Aku tenang. Aku letih. Aku tertidur. “Lastri..Lastri…”

Bisikan dan sentuhan lembut membangunkanku. Muka Ustad tepat di depanku. “Kamu sudah sadar, Nak?” tanyanya. “Ijinkan aku pergi Ustad. Ijinkan aku pergi,” desisku lemah. “Baiklah…kemana kamu ingin pergi?” “Aku ingin pergi ke Arab.” Muka Ustad tampak kecewa. “Jin di tubuh Lastri terlampau kuat. Ia senang mendengarkan ayat suci. Dan ia ingin naik haji ke Arab. Aku tidak sanggup mengusirnya,” terang Ustad ke Rifa’i dan keluarganya. “Ustad, jika memang jin itu ingin naik haji dengan meminjam tubuh Lastri, biarlah aku yang menanggung biayanya,” kata Rifa’i. “Baiklah kalau begitu,” jawab Ustad sok tahu itu. “Malam ini juga, aku akan mengirimnya ke Surabaya,” tandas Rifa’i. “Baiklah, hati-hati di jalan Pak Rifa’i. Saya pamit dulu. Assalamualaikum…” “Waalaikumsalam…”

Malam itu aku dibawa Rifa’i ke Surabaya.

“Aku akan membuka ikatanmu dan membebaskanmu jika kamu tidak membuatku repot,” ancam Rifa’i begitu sampai di depan sebuah gedung, lebih tepatnya pabrik yang tidak terpakai di Surabaya. “Dan jika kamu macam-macam, aku akan membunuhmu. Simbokmu hanya tahu kalau kamu sudah di Arab. Kalau kamu mati, aku tinggal menjelaskan kalau kamu mati di Arab,” tambah Rifa’i tampak panik. Aku hanya mengangguk lemah. Ingin rasanya kupecahkan kepala bapak haramku itu. Tapi aku sungguh tak berdaya. Hina dan tak berdaya.

Ia membebaskanku. Selangkah lagi aku akan terbebas dari iblis bermuka manusia, pikirku saat itu. Aku diserahkan ke seorang perempuan berperut buncit. Bukan agen untuk naik haji, tetapi agen TKI di Surabaya.

“Tolong urus dia. Dia agak stress akhir-akhir ini. Ingin ke Arab tapi tidak punya biaya. Tolong bantu dia,” kata bapak haramku ke perempuan itu.

“Tentu Pak. Kami akan membantunya menjadi perempuan kaya raya beristri raja minyak,” jawab perempuan gendut dengan nada mengejek.

Aku muak melihat wajahnya. Aku muak melihat muka mereka. Aku muak mengingat semua itu. Aku muak menceritakan semua ini kepadamu.

Hari-hariku berlalu kusut di penampungan TKI. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan tidak ada perkembangan. Gerak-gerikku terus diawasi seperti napi. Aku tidak dibekali apapun untuk menjadi TKI. Aku hanya menjadi pelayan para calon TKI. Aku disuruh membersihkan kamar mereka, mencuci dan menyeterika baju mereka. Dan aku tidak punya apa-apa. Aku tidak mengerti mengapa aku diperlakukan seperi babu. Sampai hal itu kutanyakan pada perempuan yang kuingat pada malam celaka itu. Tapi jawaban yang kuterima cukup sederhana, aku telah dibelinya untuk menjadi babu!

Masyaallah. Seandainya kamu mengalami deritaku, masih inginkah untuk terus hidup. Aku hanya ingin pergi ke Arab, bukan menjadi babu di pabrik penampungan orang celaka itu. Dan setiap hari kuceritakan ke semua orang, bahwa aku hanya ingin pergi ke Arab. Tanpa mampu menceritakan perilaku durjana yang kuterima. Mampukah kau menceritakan aib yang kau terima? Aku tidak punya pilihan lain selain minggat sejauh-jauhnya. Aku tidak ingin mati. Aku tidak lagi ingin bunuh diri. Aku hanya ingin pergi. Pergi dari tanah terkutuk ini. Hingga suatu saat nanti aku dapat membalas semua penghinaan ini.

Lima tahun telah berlalu. Umurku kini 26 tahun. Dan aku menuliskan semua ini dari sebuah penjara yang mereka namai rumah sakit jiwa.

Jakarta, April berhujan 2011 Catatan: Adhang-adhang : membeli buah dari petani kemudian menjualnya lagi tanpa menetap di satu tempat. Kumpul kebo : hidup seperti pasangan suami istri tapi tidak menikah secara syah. Jika terdapat kesamaan nama, peristiwa dan tokoh dalam fiksi ini, merupakan kebetulan semata.

Ragil Koentjorodjati: Penulis lepas dan blogger di www.retakankata. wordpress.com

Nurbaya Belum Mati

Perempuan itu selalu saja menatapku begitu mendalam. Bukan sekali dua kali saja, tetapi setiap kali aku berpapasan dengannya. Dari sejak pertama sekali aku menetap di kontrakan yang kubayar dengan cara mencicil, di kampung pinggir kota yang pernah dilumat gelombang lapar lautan belakang sana.

Matanya kerap bertumbuk dengan matanya. Kelelakianku bisikkan pengakuan jujur, mata itu memang sangat indah. Mata itu adalah listrik yang menjalari kabel tak terlihat. Sialnya kabel itu pula yang sepertinya membawa arusnya sampai ke kamar tidurku, setiap malam.

Terbayang ia bergumul dengan lelaki yang sebenarnya sudah beristri tiga sebelum menikahi Dara, perempuan yang bermata penuh aliran listrik itu. Merenungi dan mereka-reka, apa yang mungkin melintas di pikirannya sebagai perempuan setiap tubuh lelaki pemiliknya itu menyelimutinya. Ah, pikiranku terlalu liar. Persetan! Toh, meski aku tertarik dengan kecantikan alami perempuan kampung itu. Tetap saja, secarik surat nikah dari penghulu adalah parang jagal yang memutuskan tali hasrat kelelakianku. Meski aku bisa busungkan dada, teriak-teriak bahwa cintaku lebih tulus daripada yang bisa diberi lelaki yang sudah disebut suami oleh Dara. Tidak aka nada yang berubah.

Mencari berbagai cara sampai meringis-ringis dalam shalat malam, agar Tuhan mencabut nyawa lelaki itu. Ini tentu ketololan yang teramat sangat kusadari. Apalagi meminta Pawang Saleh, lelaki tua yang mengerti ilmu hitam yang akrab denganku untuk turun tangan tangan. Oh, tidak! Aku lelaki yang masih waras. Soal rasa tidak akan kubiarkan menyulap cinta menjadi lumpur yang kotori aliran sungai bening nuraniku!

Iya, setelah tiga bulan aku di sana, Dara memilih berani bicara padaku dan terus terang dengan perasaannya dari sejak melihatku.

“Aku yakin, kau tahu perasaanku dari tatapanku padamu? Aku memang merasakan itu. Aku memang merasakan cinta yang teramat kuat padamu. Jauh melebihi perasaanku pada lelaki yang sudah membuatku lahirkan si kecil ini.”

Pengakuan yang nekad ia ucapkan di depan bayi berusia tujuh puluh hari, buah cintanya dengan lelaki yang sering diam-diam kusebut Datuk Maringgih. Ia perempuan berani. Ia bahkan memang berani ucapkan itu di sebuah tempat yang sama sekali tidak tersembunyi. Tempat yang juga menjadi jalan satu-satunya untuk orang kampungnya, dipilihnya untuk tidak mengundang kecurigaan.

Aku tidak menyahuti dengan kalimat penegas bahwa aku juga memiliki perasaan cinta teramat kuat padanya. Tidak, aku memilih untuk tidak tegaskan itu padanya. Aku tahu, perempuan yang memiliki rasa cenderung langsung tidak peduli apa-apa lagi jika yang menjadi tambatan hatinya memberi lampu hijau.

Aku menjadi lelaki autis seketika. Tidak bisa katakan apa-apa. Iya, aku memiliki perasaan yang tidak sedikitpun beda dengan yang ia rasa. Justru, aku tiba-tiba jadi tukang khutbah; “Aku tahu, kau perempuan. Seperti halnya perempuan, kau tidak bermain-main dengan perasaan itu.Tapi kau harus tahu, ada pernikahan yang mengikatmu dengan ayah anak ini. Ikatan itu melibatkan nama Tuhan, Dara. Kau kesampingkan saja perasaan itu. Singkirkan rasa itu…” “Tapi…” “Ingat, Dara. Kau harus bawa dalam pikiran dan hatimu, bayi ini sebagai anak yang lahir dari keringatmu dan keringat lelaki itu. Juga ingat lagi aroma keringat cinta suamimu itu saat menyatu dengan keringatmu setiap kalian bercinta. Aku tahu, perempuan sering kali lebih terkesan pada lelaki pertama yang menyentuhnya!” Beberapa jenak, hening saja. “Kau tidak punya perasaan. Aku juga tahu kau punya perasaan sepertiku. Kau juga mencintaiku, bukan? Kenapa kau tidak mau mengakuinya???” “Uhm, maksudku…” “Tidak! Kau tidak perlu jelaskan ini dan itu. Kau harusnya tahu dan bisa merasakan, kalau aku membayangkan kau akan berani untuk membawa aku lari. Lari sejauh-jauhnya, ke tempat yang tidak pernah dikenal sesiapa juga. Aku yakin kau bisa karena kau lelaki. Kenapa kau tidak lakukan itu!”

Aku merasa sedang berada di pengadilan mendengar kata-katanya yang sudah mulai mengalir bersamaan dengan air mata. Beberapa menetes di wajah bayi di dekapannya. Melihat mata bayi itu, aku malah merenung andai saja bayi ini tahu apa yang sedang terjadi antara aku dengan ibunya itu.

Syukurlah, azan magrib dari meunasah (mushalla) membantu air matanya untuk buru-buru ia seka. Dan, tentu saja menghentikan juga kalimat-kalimat dari bibirnya yang kerap kulamunkan menyatu dengan bibirku itu. Meski senja itu, ia tidak dapatkan jawaban apa-apa dariku, kecuali pendapatku yang lebih mirip khutbah. Alasan-alasanku pasti tidak diterimanya. Bagaimana tidak, meski mulutku isyaratkan penolakan dengan kata-kata berpetuah, tapi hatiku inginkan dia. Aku yakin, ketidak-selarasan mulut dan hatiku itu mustahil bisa mengendap di hatinya untuk kelak bisa hentikan niatnya kuperistri. ***

Dara berumur enam belas tahun saat ia harus menikah. Di kampung itu, ia satu-satunya perempuan yang paling cantik. Aku tahu cerita itu dari Paijal, remaja tanggung anak tetangga yang kerap membantuku habiskan batang-batang rokokku.

“Ayahnya memiliki hutang pada suaminya itu. Jadi, ayahnya tawarkan Dara untuk diperistri dengan maskawin berupa hutang yang sudah tidak sanggup terbayar itu.” Cerita Paijal sama sekali tidak dibumbui untuk sedikit terdengar dramatis olehku. Telanjang saja cara Paijal menceritakannya.

Aku mencoba berhitung. Bukan hanya menghitung berapa batang sudah rokokku dituntaskan Paijal, namun juga jarak usiaku dengan Dara. Dengan bayi kecilnya yang baru beberapa bulan, aku nyaris bisa pastikan sekarang Dara belum sampai dua puluh tahun. Sangat muda. Ingin rasanya mendebat Tuhan sejujur-jujurnya, kenapa yang sudah pernah mendapatkan keperawanan dari istri sebelumnya, lelaki itu masih bisa dapatkan yang lain lagi. Sedang aku?

Ah, aku penakut. Aku memang takut Tuhan memberi jawaban dengan cara-Nya. Cara yang tidak pernah bisa kuterka. Bahkan memang lebih sering Dia memberi jawaban dengan memberi masalah yang benar-benar sangat tidak pernah kuharap. Sampai, aku pernah menyimpulkan, Tuhan itu menyenangi teka-teka sepertinya. Sayangnya, aku baru menguasai tertatih-tatih, hanya teka-teki silang yang ada di Koran-koran. Dua teka-teki yang beda, namun keduanya menuntut jawaban.

Memang iya, yang kerap berkelebat di pikiranku tidak hanya ingin membawa lari Dara sejauh-jauhnya. Akan tetapi aku merasa ingin juga untuk malah membunuh suaminya, saat cintaku untuk Dara kian hari semakin bertumbuh. Alasanku, setiap kelak aku bersama dengan Dara, lelaki itu benar-benar tidak akan pernah terlihat lagi. Sebab kalaupun aku sering menyebut ke dalam pikiranku untuk membawanya lari sejauh-jauhnya, tetap saja tidak jauh-jauh sekali dari kampung ini. Apalagi, aku bukanlah lelaki yang terlalu berani juga untuk berada di kampung-kampung yang jauh dari kota ini.

*** Pulang ke kontrakan yang pintunya tidak pernah kukunci itu. Aku duduk beberapa menit di kursi depan. Kepulkan asap rokok. Sesekali kuciptakan bulatan-bulatan asap yang kemudian pecah di udara. Menatap tanah kosong yang begitu luas di depan. Tanah itu membuatku terasa tersindir.

Iya, tanah kosong yang demikian luas yang dimiliki penduduk kampung ini tidak ada yang menggarapnya. Katanya, dulu itu memang pesawahan yang setelah tsunami datang beberapa tahun lalu tidak ada lagi yang memanfaatkan. Padahal terlalu banyak yang bisa ditanami di sana, kukira. Ada kemiripan tanah itu denganku. Sebuah kemiripan yang bertolak belakang. Namun tetap kusebut mirip.

Tanah itu setidaknya sudah pernah dipakai. Tanah itu sudah pernah merasakan seperti apa rasanya cumbuan cangkul di tubuhnya. Sedang aku, lajang yang belum pernah pergunakan cangkulku! Walaupun sering berdalih bahwa aku masih kuat ke kawan-kawanku yang kerap usil tanyakanku kapan menikah. Lengkap dengan tambahan jawaban,”Pernikahan itu perlu segera dilakukan oleh mereka yang memiliki kesabaran tipis. Aku masih kuat menahan gempuran birahi!” Entah mereka teryakinkan dengan kilahku itu. Hanya saja, aku sendiri tidak bisa meyakini kata-kata sendiri. Sebab, kalimat itu kerap kuluncurkan hanya untuk menutup pertanyaan, kapan kau nikah.

Setelah api rokok kedua kupadamkan dengan menempelkan ke kaki kursi kayu itu. Bersegera masuk ke dalam. Tercekat.

Dara terduduk di kamarku dan bersandar di dindingnya. Entah berapa lama sudah dia berada di sana dan bagaimana ia bisa masuk ke sini. Walaupun memang pintu kontrakan ini tidak pernah kukunci, namun penduduk kampung ini biasanya selalu awas untuk hal-hal seperti ini. Jangan pernah berharap akan ada pecinta yang berani ke rumah siapa pun yang dicintainya di kampung ini. Mereka sudah ciptakan garis yang tidak boleh dilewati. Berdekatan saja dengan lawan jenis di tempat-tempat yang tidak umum, maka palu tudingan maksiat akan langsung jatuh. Disusul arak-arakan massa dengan wajah-wajah garang pemuda kampung. Selanjutnya, air comberan pun bisa menjadi pengganti aroma parfum di tubuh sebagai jawaban jatuhnya palu tuduhan.

Aku berdiri saja di pintu. Aku berkali-kali harus akui, aku pengecut. Cinta tidak bisa membuatku seketika menjadi pemberani, seperti halnya disebut-sebut banyak filsuf; cinta mengubah penakut menjadi pemberani. Aku malah bermain-main dengan bayangan kejadian yang kubaca di Koran-koran. Tentang orang-orang yang dihakimi massa. Disidang di tengah-tengah penduduk yang tidak pernah memusingkan hukum yang seharusnya.

Hukum adat adalah hukum yang termudah untuk mereka jadikan pilihan. Hukum adat yang mudah mereka pelintir. Untuk kemudian dijadikan obat penenang, bahwa di dapur mereka sudah tidak ada lagi beras untuk dimakan anak istrinya. Juga berbagai masalah hidup yang mendera lainnya diakibatkan kemiskinan mereka. Dan, malangnya, orang-orang yang berhasil mereka hakimi sudah dipandang sebagai obat penenang itu! Itu yang selama ini kulihat sebagai latar keberingasan yang kubaca di koran-koran. Paijal, pernah menyebut, kampung ini bisa membuat orang tidak berani bermacam-macam, karena dulu juga melakukan hal itu. Entahlah.

Sekarang Dara sudah tersadar dari keterpakuannya , tidak lagi bersandar di dinding kamarku. Tetapi, ia sudah memeluk kakiku.

Sejurus kemudian, aku merasakan dadanya terguncang-guncang. Dara terisak. Sedangkan aku, paling tidak tahan mendengar isakan tangis perempuan. Terenyuh. Aku juga memilih untuk berlutut.

“Bawa aku…” sangat lirih suaranya,”bawa aku… atau kau bunuh saja aku kalau kau masih memilih bertahan dengan perasaanmu!”

Matanya yang sudah dihiasi air mata benar-benar membuatnya makin terlihat indah. Sekarang aku tahu, air mata perempuan memang diberi Tuhan untuk kian memperindah mata mereka.

Terbawa perasaan. Sampai tidak ada lagi jarak antara bibirku dengan bibirnya. Tenggelam. Entah apa nama yang tepat untuk samudera ini.

“Tuntaskan!” Dara meminta sesuatu yang paling menentukan. Aku bukan pemberani, aku masih tetap seorang lelaki penakut. Matanya sudah menyiratkan desakan. Ia mendesak aku untuk tuntaskan. Ini birahi, bukan sekadar cinta. Aku tidak bisa memahami. Tetapi aku akan mengiyakan andai aku disebut sebagai lelaki tidak waras, karena alasan tidak memberinya satu hal, kelaminku. Padahal, semua yang ada di tubuh Dara akan diakui oleh semua lelaki di seluruh penjuru mata angin: tubuhnya sempurna.

Tidak! Cinta tidak melulu soal penyatuan dua kelamin. Kedewasaan juga tidak hanya diukur dari keberanian memberikan sesuatu yang termahal pada lelaki: kelaminnya sebagai simbol kehormatannya. Aku lelaki kampung. Aku lelaki kampung yang masih percaya dengan hal-hal yang oleh banyak orang disebut sebagai sesuatu yang remeh. Bahkan kawan-kawan dekatku sebagian besar memilih untuk menggauli kekasihnya terlebih dahulu agar mahar untuk ia bisa menikahinya bisa jauh lebih rendah. Penegas, bahwa kehormatan pun sudah menjadi hal remeh. Aku memilih untuk tidak meremehkannya.

Saat aku sudah bergeser menjauh dari tubuhnya yang setengah terbuka.

“Dani, selesaikan ini!” suaranya sudah tidak lagi berupa bisikan seperti sebelumnya tadi yang sempat membuat birahiku meninggi. Ia malah mengulangi permintaannya itu. Sebuah permintaan yang menurutku gila. Pikiran kolotku menyebut itu gila. Tidak! Cinta tidak diberikan untuk yang gila. Orang-orang gila tidak akan pernah bisa merasakan cinta. Aku yakini itu walaupun penyair menyebut pecinta yang sebenarnya adalah mereka yang memilih untuk gila demi cintanya. Suara Dara sudah menjadi teriakan. Ia histeris.

Ini tidak boleh terjadi. Kalau sampai diketahui orang-orang sekampung, aku pasti harus menerima aib berupa tudingan yang bisa dipastikan berlebihan dari yang seharusnya.

Tangan kekarku sudah membekap mulutnya. Maksudku hanya untuk membuat ia tidak berteriak. Kubekap kuat. Dara meronta. Membuat tanganku harus kian kuat menutupi mulutnya dari sisi belakang kepala perempuan ini.

Beberapa menit Dara masih mencoba meronta. Aku masih tidak melepaskan karena ketakutan ia akan berteriak lagi. Kukira cintanya padaku sudah membuat ia benar-benar gila.

Tunggu! Dara sudah tidak lagi meronta. Ia diam. Dara benar-benar terdiam! Aku alihkan inderaku yang dari tadi yang hanya lebih memperhatikan kemungkinan penduduk kampung mendatangi kontrakan ini. Akibat tercekam ketakutan kuat pada bayangan palu sidang mereka.

Aku mulai perhatikan wajah Dara. “Tidak! Dara belum mati! Jangan … jangan mati.” Mata Dara yang melotot cukup menjadi penjelas: Dara benar-benar mati! “Tidak! Dara belum mati. Ayo, jangan mati. Hidup lagi… Dara!!!” “Aku nanti pasti nikahi kau, Dara. Hidup lagi Dara!” Sudah tidak kupedulikan seberapa keras sudah teriakanku. Teriakan untuk membantah keyakinan bahwa Dara memang sudah benar-benar mati. Sekaligus teriakan yang kukira bisa membuat Tuhan berlunak hati untuk hidupkan lagi. “Dara, kau bukan istri dia. Kau akan kujadikan istriku! Bernafaslah sayang!” Histerisku melebih histerisnya tadi. “Dara! Kau belum mati!!!” Plakkk! Buk!

Ah, pemuda-pemuda kampung itu sudah benar-benar hadir ke kontrakanku, ke kamarku ini. Benar-benar tanpa kusadari sama sekali.

Tendangan di kepala. Punggung. Nyawaku terasa hilang saat salah satu dari mereka mengayunkan kaki sekeras-kerasnya ke arah kelaminku. Sekali. Dua kali. Mereka terus menerus arahkan kaki ke kelamin yang tadi kutolak berikan untuk Dara.

Beberapa lama, aku masih bisa merasakan seperti apa sakitnya pukulan mereka. Setelah pukulan yang sudah tidak bisa kuhitung lagi. Semuanya gelap sudah. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku merasa terbang. Jauh. Sangat jauh. Sepertinya ini benar-benar perjalanan yang sejauh-jauhnya yang bakal kutempuh. -------------------------

Tentang Penulis: Zulfikar Akbar: Pegiat media di Kompas Cyber Media. Salah seorang penulis buku Hasan Tiro: Unfinished Story of Aceh, dan 2 antologi puisi Kemayaan dan Kenyataan dan Antologi Tsunami Kopi. FB: facebook.com/zoelf.achbar Twitter: @zoelfick YM: fick_cyber Blog http://fick-cyber.blogspot.com
Share93

Apakah Kau Bisu?

Sediam itukah kau? Sesenyap ruang hampa? Menangkap gelagatku pun sepertinya kau tidak. Kau tahu, butuh kekuatan besar untuk merantaskan tali-tali pengikatku yang telah membelit sepanjang usiaku untuk dapat membuka diri kepadamu. Dapatkah kau sedikit menghargai itu?

Kau tetap hanya tersenyum; tarikan bibirmu dalam pandanganku adalah rentangan tali busur para kurcaci pemburu yang mengincar buruannya, rambutmu yang memuntir berkilau keemasan, seperti aliran sungai dibelakang rumahku yang pecah terpantul warna keemasan matahari sore.

Apakah kau bisu? Sekedar sapa pun tiada buatku, lelaki yang selalu mencoba untuk berada lebih dekat kepadamu. Lelaki yang tiap hari terpacak di seberang tempatmu berdiri, bersandar pada pagar taman, memperhatikan kesibukan orang-orang berlalu-lalang.

Akulah lelaki yang itu.

Aku telah mengenalmu sejak lama dan selalu memandangimu dari kejauhan. Kau pun mestinya demikian karena kita selalu saling berhadapan dari jarak itu dan akulah selalu yang pada akhirnya memalingkan wajah karena malu. Entahlah denganmu, kau hanya masih berupa misteri buatku dengan diammu.

Maka, saat beberapa waktu yang lalu kau tiada di tempat kau biasa berdiri, aku seperti menjadi hilang akal dan panik. Entahlah, awalnya aku memang tidak mengerti, tapi yang sebenarnya aku rasakan; tanpa memandangimu segalanya tiada akan sempurna lagi walau sesempurna apapun segalanya.

Waktu itu dengan tegang aku berlari mendapatkan tempatmu, tempat di mana kau biasa berada. Dengan kebisuanku, aku mencoba menanyakan mengapa kau tiada hari itu. Menggambarkan pada mereka tentang sosokmu, perempuan yang telah mencuri hatiku kepada semua orang yang kutemui dengan isyaratku. Dahi-dahi mereka kebanyakan berkerut menanggapiku.

Mereka pastilah telah mengenal aku, lelaki bisu yang biasa terpacak di seberang, tapi mereka tak dapat mengerti kepanikanku itu. “Maksudmu, kau mencarinya?” tanya seseorang.

Aku mengangguk dan kulihat dahinya berkerut. Lalu dia, yang belakangan kutahu sebagai penyelia di tempat itu, bertanya lagi dengan hati-hati: “Untuk apa mencarinya?”

Lalu kujelaskan padanya dalam kebisuanku betapa aku adalah seorang lelaki yang selalu terpacak di seberang, bersandar pada pagar taman dan memperhatikan kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang. Aku telah terbiasa memandangimu dari kejauhan dan sangat kebingungan ketika hari itu aku tak dapat menemukanmu. Walaupun hanya sedikit yang ditangkapnya, sepertinya orang itu mengerti.

“Tapi…” kalimat yang hendak diucapkannya terputus karena seseorang yang lain telah menggamit lengannya lalu membisikkan sesuatu di kupingnya dan sebentar-sebentar ekor matanya jatuh padaku. Penyelia itupun kemudian mengangguk-angguk dan memandang padaku dengan iba. “Hari ini kau tidak akan bisa menemukan yang kau cari, tetapi besok pastilah kau temukan. Kau mengerti apa yang kukatakan? Kau bisu tetapi tak tuli, bukan? Nah, sekarang kau pergilah.”

Aku hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam, karena saat itu adalah saat pertama aku tidak bisa memandangmu dan aku benar-benar sangat kehilangan. Betapa sunyinya. Aku tidak ingin perasaan yang demikian berkelanjutan. Maka sejak itu pula aku bertekad akan berusaha sepenuh hati untuk memperkenalkan diri padamu.

Ya, sejak hari kepanikanku itu aku menjadi berani untuk mendekatimu, berdiri di hadapanmu dan tak lagi hanya memandang dari kejauhan tanpa peduli pula dengan orang-orang yang memandang dengan berbagai macam kesan. Setiap hari aku mendatangimu, setiap hari mengajakmu berbicara dengan isyaratku, setiap hari memegang tanganmu untuk menunjukkan perasaanku.

Tapi, apakah kau bisu? Telah ratusan hari aku mendapatkanmu di sini dan kau selalu hanya diam. Hanya pandangan matamu sajalah yang meyakinkan hatiku bahwa kau mengerti dan membuatku makin merasa dekat denganmu. Bukankah sebenarnya kau tak bisu?

Sehingga hari ini telah kukeraskan hatiku untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Dengarlah. Tahukah kau? Aku mencintaimu. Ya, aku mencintaimu dalam kebisuanku. Jadi tolong jangan sambut aku dengan kebisuan pula. Setidaknya katakanlah sesuatu atau berilah isyarat tertentu. Jangan pedulikan orang-orang di sekitar kita yang selalu memandang dengan ekspresi yang aneh atau bahkan menertawakan. Biarkan saja. Mereka hanya menertawakan aku, bukan kau. Karena aku yang mereka tahu adalah seorang lelaki bisu yang biasa terpacak di seberang, bersandar pada pagar taman dan memperhatikan orang-orang berlalu-lalang juga memperhatikanmu. Mereka hanya menertawakan kebodohan dan kebisuanku, bukan kau.

Aku mencintaimu dengan kedalaman hatiku dan semua gemuruh-gemuruhnya, dengan aliran darahku ataupun geletar-geletar terujung dari saraf-sarafku. Karena itu, jawab aku. Bukankah kau tak bisu? Bicaralah. Atau kau sebenarnya hanya berniat untuk menyeimbangkan perbedaan kita dengan sengaja untuk tidak hendak berbicara? Tidak perlu seperti itu, sungguh, jawablah aku.

Hari berganti dengan malam setiap harinya dan aku selalu harus pulang tanpa mendapat sebuah isyaratpun darimu. Ucapan selamat malamku kini pun tetap tak kau jawab, sama seperti hari-hari yang lalu. Tapi tak mengapa. Esok aku akan tetap berada di sini lagi seperti kemarin atau hari-hari sebelum kemarin atau hari-hari sebelum hari-hari sebelum kemarin. Mungkin suatu waktu nanti dapat kau tangkap geleparku, karena jikapun kau memang tak hendak membuka pintumu, pastilah telah pernah kudengar kertap pintumu itu.

Selamat malam.

Di depan pertokoan itu aku kembali memandangmu sepuasnya sampai lampu-lampu mulai dipadamkan dan pintu geser berderit keras menutup malam, menyembunyikanmu. Malam ini bukanlah yang terakhir buat kita, bisikku dalam kebisuanku. Aku berjalan pulang.

Di belakangku, kudengar seorang penjaga malam pertokoan itu berkata kepada kawannya: “Orang bisu itu pasti akan berada di sini lagi esok. Entahlah, sepertinya dia akan selalu mencoba menguraikan kebisuan antara mereka; dia dan manekin* itu.” ***** * manekin: boneka seluruh tubuh atau setengah badan, seringkali dapat dilepas-lepas, untuk memamerkan pakaian jadi di toko-toko