Anak Pelacur

Cerpen Edy Firmansyah
Langit makin mendung. Udara makin dingin. Tapi dinginnya cuaca tak juga mampu menahan airmata Yati. Begitu masuk rumah, airmata Yati meleleh pelan-pelan. Bergegas ia masuk kamar. Dilemparkan tas sekolahnya ke sofa panjang berwarna coklat yang warnanya mulai redup karena usia di ruang tamu itu. Dibantingnya pintu kamarnya keras-keras. Di dalam kamarnya, Yati menangis sejadi-jadinya.

Segala perkataan Pak Irsyad, guru Agamanya itu pada jam terakhir pelajaran Agama tadi terus berkelebat dalam benaknya. “Kau itu anak pelacur. Mestinya kau sadar dan semakin mendekatkan diri Pada Allah. Masak hanya menghafalkan do’a kunut kau tak bisa. Dalam darahmu juga ada dosa-dosa ibumu. Kalau kau tak dekat dengan agama kau akan terkutuk sepanjang hidupmu. Dan neraka tempat orang-orang yang terkutuk.” Dan tiap kali kata-kata Pak Irsyad itu semakin jelas dalam benaknya, airmatanya mengucur tak terbendung.

Di saat-saat kekalahan begini, semua perlakukan buruk teman-temannya, tetangganya, lingkungannya timbul tenggelam dalam kepalanya. Tiba-tiba terlintas bagaimana cemoohon Rudi, teman sekelasnya ketika ia pertama kali berjilbab karena peraturan sekolahnya mewajibkan semua siswa putri berjilbab. ”Anak pelacur berjilbab mau kemana? Tempatmu nanti berakhir juga di kamar gelap seperti ibumu.” Teriak Rudi sambil meludah lalu melempar telur busuk tepat kena jilbab putih hadiah ibunya. Tak ada teman-temannya membelanya. Tak ada. Semua hanya menonton. Sebagian lainnya tertawa. Dan Rudi tak pernah dapat sanksi dari sekolah atau perlakuan itu. Dan Yati hanya diam. Menahan sedih, menahan amarah menahan dendam yang berkecamuk dalam dadanya. Yang bisa dilakukan hanya menangis. Menangis.

Pernah juga Yati berkeinginan untuk bunuh diri ketika merasa hidupnya hancur begini. Tapi pesan ibunya lebih kuat dari keinginannya. ”seburuk-buruknya hidup, sekejam-kejamnya hidup, ia anugrah. Harus dipertahankan semampunya meski maut sudah mengancam di depan mata.” Ketika semua kenangan itu semakin terang, tangisnya makin keras.

Indah, ibu Yati yang sedari tadi khusuk menonton berita di TV yang menyiarkan tentang Tukijo, seorang petani karena penolakannya atas penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo ‘diculik’ secara terencana oleh Polisi karena dituduh telah melakukan penyanderaan pada 7 karyawan PT Jogya Megasa Iron (JMI) itu, kaget mendengar tangis Yati. Ia Segera mengecilkan volume TV-nya dan bergegas ke kamar Yati.

”Apakah kamu diolok-olok lagi Yati?” Tanya Ibunya sambil membelai rambut Yati yang panjang sebahu itu. Sambil sesegukan Yati mengangguk. Kemudian bangun dari tempat tidur dan bersandar di bahu ibu sambil mengusap airmata. “Kali ini siapa yang mengolok-olok kamu, anakku? Rudi? Ira?“ Yati menggeleng. “Pak Irsyad, Bu..” Ujar Yati lirih. Indah segera memeluk Yati lebih dalam. Melihat anak semata wayangnya itu menangis perempuan paro baya itu berkaca-kaca. “Yang sabar ya, Nduk. Yang sabar. Tuhan bersama orang-orang yang sabar” bisik Indah sambil membelai rambut anaknya lagi. Dan pelan-pelan suara tangis Yati mereda. “Kenapa aku lahir sebagai anak pelacur, Bu? Kenapa?”

Indah yang tak pernah menduga Anaknya yang berusia 15 tahun itu akan bertanya seperti itu tersintak. Airmatanya sedari tadi menggantung di pelupuk matanya tak terasa menetes ke pipinya. Tiba-tiba suara mami Susi, induk semangnya di lokalisasi dulu hadir lagi dalam benaknya.

”Masyarakat negeri adalah masyarakat terkutuk, Indah. Terkutuk dan munafik. Jangan kau korbankan hidup dan masa depan janinmu itu pada masyarakat negeri ini. Ia akan menanggung stigma dosa turunan. Dosa yang sebenarnya tak pernah ia lakukan. Gugurkan saja, Indah! Gugurkan! Cukup kita yang menanggung dosa kita sendiri. Jangan kau bawa kehidupan lain, yang sama sekali tak tahu apa-apa tapi kena getahnya. Gugurkan Indah. Sebelum terlambat.” “Tapi ia mahkluk, mami. Ia hidup. Ya, saya teledor waktu itu. Tapi saya tak bisa membunuhnya. Tak bisa. Saya akan mempertahankannya.” ”Sejak kapan pelacur punya hati nurani, Indah. Sejak kapan? Gugurkan. Atau kau akan mengalami penderitaan tak habis-habisnya.”

Derita tak habis-habis. Derita tak habis-habis. Mungkin ini yang dimaksud derita tak habis-habis itu, batin Indah. Ini bukan kali pertama Yati pulang ke rumah dengan menangis karena diolok-olok sebagai anak pelacur dan tak berbapak. Sudah puluhan kali sejak Yati bersekolah SD ia diolok-olok macam begitu. Bahkan oleh Ira, teman sekelasnya yang anak kepala sekolah tempat Yati sekolah itu, Yati pernah dijungkalkan ke lumpur kemudian diludahi. ”anak pelacur sampai mati hidupnya memang penuh lumpur.” Tiap kali Indah ingat cerita Yati itu ia selalu menangis.

Sebenarnya Indah menyesal juga kenapa ia tak turuti nasehat Marti, teman seprofesinya dulu agar tak lekas keluar dari lokalisasi begitu anaknya lahir. Marti menyarankan agar anaknya tidak lepas dari lingkungannya. ”Kalau kau sedang ada pasien, titipkan saja sama mami atau teman-teman disini. Seperti yang aku lakukan pada Sandra dulu. Sekolahkan juga di sekolah sekitar sini. Di sini ada juga kok guru ngaji yang bijak dan baik sama anak-anak pelacur.” Begitu ujar Marti menasehati.

Tapi Indah bergeming. Ia kukuh pada keputusannya. Keluar dari lokalisasi. Ia ingin Yati anaknya lepas dari kehidupan hitam. Hidup lebih baik. Ia tak mau Yati seperti Sandra. Karena tinggal di lingkungan lokalisasi, sering mendengar ibunya mendesah, merintih karena ditindih laki-laki sementara Sandra ada di kolong ranjang, akhirnya Sandra juga jadi pelacur. Ia tak mau itu terjadi pada anaknya.

Indah memilih pergi dari kehidupan itu. Berjualan gorengan di pinggiran kota. Tapi kenapa orang-orang toh tahu juga masa lalunya. Tahu juga sejarah hidupnya. Bahwa ia anak perempuan bernama Ijah yang hamil karena diperkosa majikannya di kota tempatnya bekerja. Tapi bagi Indah Ijah perempuan hebat. Berani pulang kembali pada keluarga meski derita akibat luka masa silamnya akan menghantuinya. Dan begitu orang-orang mulai tahu segalanya dimulailah derita tak habis-habisnya itu. Para tetangga tak lagi ramah padanya. Tak juga ramah pada Yati. Bahkan laki-laki langganannya yang awalnya bersikap baik padanya mulai juga bertindak gila. Kadang menepuk pantatnya ketika berjalan. Kadang juga memegang payudaranya. Dan Yati pernah beberapakali melihat itu semua.

“Kenapa aku dilahirkan jadi anak pelacur, bu?” Yati mengulang lagi pertanyaannya. Dan Indahpun tersadar dari segala lamunannya. ”Kau bukan anak pelacur, Yati. Pelacur itu hanya sebutan saja. hanya sebutan. Kau anak Ibu. Anak manusia. Sama seperti anak-anak lainnya.” ”Tapi semua orang bilang Ibu pelacur. Dan Ibu diam. Tak membantah. Ibu dipegang-pegang laki-laki dan Ibu juga diam. Kenapa Ibu jadi pelacur. Itu khan jahat, bu?” ”Kebanyakan manusia terlalu pendek pikirannya untuk mendalami dan memahami kehidupan orang lain, anakku. Kehidupan terdalam orang lain. Bukan tampak luarnya saja. Banyak yang lebih jahat dari sekedar melacur, anakku.”

Suasana kamar tiba-tiba hening. Yati dan Ibunya bersitatap. Cukup dalam. Keduanya sama-sama saling mengusap airmata. Angin dingin menyusup dari sela-sela jendela. Gorden dan kalender dekat jendela bergerak-gerak. ”Apakah anak pelacur bisa masuk surga, Ibu?” ”Semua manusia punya hak untuk masuk surga, anakku. Kecuali orang yang menindas orang lain karena kekuasaannya. Dan kau punya kesempatan itu. Lihatlah tulisan-tulisanmu itu” ujar Indah sambil menunjuk guntingan-guntingan Koran berisi cerpen yang Yati tulis dan berhasil dimuat yang ditempel di dinding kamar Yati. ”tak banyak anak semua kamu yang bisa menulis seperti itu. Mestinya kau tak hirau dengan segala olok-olok itu. Kau bisa lebih baik dari mereka bukan?” “Tapi aku tak mau jadi penulis Ibu?” “Kau mau jadi apa?” “Aku mau membantu Ibu saja.” “Ibu akan bangga jika masa depanmu lebih baik dari Ibu, anakku.” Yati dan Ibunya sama tersenyum. Kemudian keduanya berpelukan erat sekali.

Tak terasa hari sudah beranjak sore. Yati dan Ibunya kemudian bergegas mandi dan melaksanakan sholat ashar bersama. Sambil menunggu waktu maghrib keduanya memasak pisang goreng di dapur untuk jualan nanti malam. Tampak cahaya baru dalam wajah mereka. Cahaya hidup yang menyala.

Tapi semua itu peristiwa 10 tahun yang lewat. Kehidupan cepat berubah dan tak terduga. Nasib juga begitu. Tapi kenangan tetap. Nasib dan kehidupan adalah pilihan masing-masing orang. Yati kini sudah dewasa. Indah, ibunya sudah meninggal 1 tahun lalu. Kini Yati hidup dengan mewah. Tak lagi ia dengar olok-olok seperti masa dulu. Semua orang tak peduli lagi dengan masa lalunya. Tiap kali ingat masa lalunya Yati selalu tertawa. “olok-olok hanya milik orang miskin dan kalah. Orang kaya tak akan merasakan sakitnya diejek.” Begitu selalu batinnya bersuara.

Maklumlah Yati kini tidak lagi tinggal di pinggiran kota tempat ia dan ibunya memulai hidup dulu. Ia kini tinggal di apartemen mewah. Menjadi istri simpanan seorang anggota dewan. Namun tiap kali Yati ingat ibunya, segala kesedihannya datang. Dan ia akan mengurung diri di kamar seperti dulu ketika ia pulang ke rumah usai diolok-olok teman atau gurunya sebagai anak pelacur. Dan tanpa terasa bantalnya basah oleh airmata. Disaat-saat begitu ia merasa sangat berdosa. Berdosa pada ibunya. Dan segala pencapaian hidupnya yang sekarang seakan tak punya makna.

TENTANG PENULIS *Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Kumpulan cerpen muktahirnya adalah ”Selaput Dara Lastri” (IBC, 2010). Cerpennya juga terangkum dalam Antologi Cerpen Purnama Majapahit (Dewan Kesenian Kab. Mojokerto, 2010).

Hijau

Banyak cerita yang diawali di kedai kopi. Cerita yang ini pun begitu. Kisah ini dimulai dengan seorang gadis yang tengah duduk di salah satu sofa kedai kopi ternama, menyesap Greentea Frapuccino. Pilihan yang sangat tidak kopi. Minuman berwarna hijau, dilesap oleh seorang gadis mungil berpakaian serba hijau. Di atas meja, di sebelah minuman yang embunnya menetes-netes di pinggiran gelas, terbuka sebuah buku. Tangan kirinya yang lentik memberati lembaran kiri buku tersebut agar tetap pada halaman yang tengah dibacanya. Jika kau melihat lebih dekat, kau akan melihat tak hanya deretan teks, tetapi juga sebuah ilustrasi peri kecil yang diwarnai dengan cat air dalam gradasi hijau.

Kau tentu berpikir gadis itu sangat menyukai warna hijau? Pakaian hijau, minuman hijau, dan membaca buku berilustrasi hijau. Tidak, ini hanya kebetulan saja. Terkadang kebetulan terjadi secara bersamaan. Bukankah ini hanya alam yang berkonspirasi? Konspirasi. Betapa berat kata-kata itu. Padahal, ini hanyalah sebuah cerita romantis yang tidak melibatkan konspirasi politik. Hanya cinta.

Baiklah, sudah mulai penasaran? Atau malah bosan? Kau dipersilakan untuk mundur kapan pun, Tuan dan Nona. Aku tak ingin membuang-buang waktumu yang berharga itu untuk membaca kisah seorang gadis hijau yang sedang menyesap minuman teh hijau. Telepon genggamnya berbunyi. Dia mengangkatnya segera, memulai sapaan standar itu.

“Halo?” “Ya, udah nunggu. Cepetan, leprechaun milkshakenya udah hampir abis nih. Aku diliatin orang-orang dari tadi.” “Haha, maksudnya greentea frappuccino.” “Oke, kutunggu. Love you.”

Apakah kau menguping cukup dekat? Aku baru saja menyamar jadi sedotannya agar bisa memperhatikan gadis ini lebih saksama. Oh tidak, bibirnya mulai menuju ke arahku, mengatupkannya di ujungku dan mulai menyedot minuman hijaunya dari tabungku.

Lelaki yang dipanggilnya sayang itu akhirnya datang juga. Minuman hijau pucat itu telah tandas. Mereka saling mencium pipi, lalu memanggil pelayan. Espresso, ujar si lelaki. Aku mau biskuit cokelat, kata si gadis hijau. Mereka mulai bertatap-tatapan hingga aku jengah harus mengintip pemandangan seperti itu. Keduanya mengobrol, berbagi cerita yang tercecer setelah tujuh hari absen bertemu, berbagi kisah yang tak sempat mereka utarakan melalui telepon ataupun fasilitas BlackBerry Messenger. Telepon si lelaki bergetar. Dia sejenak ragu. “Siapa, Yang?” Gadis hijau bertanya. “Bukan siapa-siapa,” jawabnya. Dengan gusar dijejalkannya kembali BlackBerry itu ke dalam kantong celananya. Namun telepon itu kembali menyalak-nyalak galak. Berteriak-teriak meminta perhatian. Lelaki itu semakin gusar. Dia mohon diri.

Bolehkah aku ikut keluar dan menguping pembicaraannya? Ah, sungguh kurang kerjaan aku ini. Tidak boleh? Baiklah, aku akan duduk di dalam, menemani gadis hijau dan menyamar menjadi serbet. Lelaki itu tak lama berada di luar, dia segera kembali dengan wajah kusut. “Aku harus pergi.” “Kamu kan baru datang!” “Ada teman kecelakaan.” “Astaga. Siapa? Gimana keadaannya? Parahkah? Aku ikut, ya!” “Ga usah.” “Aku bawa mobil. Biar cepet sampai.” “Ga apa-apa. Aku sendiri aja.” “Aku maksa. Udah, kamu yang nyetir.” Dengan enggan lelaki itu menerima kunci mobil dari si gadis hijau, sementara pacarnya sigap memanggil pelayan dan membayar tagihan. “Siapa sih yang kecelakaan?” tanya si gadis hijau ketika mereka berdua mulai melaju. “Teman.” Lelaki itu menjawab gelisah. “Iya tahu teman kamu, tadi kan kamu udah bilang. Tapi siapa?” Lelaki itu meminggirkan mobil di tempat sepi, mendesah berat. “Anggra, sebenarnya tak ada yang kecelakaan.” “Lalu?” Lelaki itu kembali menarik napas susah payah dan dengan berat mengembuskannya kembali. Kepalannya memukul-mukul keningnya sendiri. “Aku…” Jeda itu agak terlalu lama. Anggra menanti tak sabar, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. “Aku, tadi aku datang untuk putus denganmu. Seharusnya aku pergi sendirian sekarang. Aku akan menemui Freya. Dia sudah menungguku.”

Anggra membayangkan kaca depan mobilnya dihantam oleh tinju raksasa dan membuat wajah manisnya yang tirus penyok terkena tonjokan itu dan pecahan-pecahan kaca kecil. Namun dia bergeming. Wajahnya tidak berubah. “Maksud kamu? Freya?” “Ya, Freya. Maafkan aku. Aku harus mengantarnya ke dokter.” “Dokter?” “Freya hamil.” “Maksud kamu? Kenapa harus kamu yang mengantarnya ke dokter?” “Karena aku ayahnya.”

Kali ini Anggra membayangkan tangan tak kasat mata menjawil kerah kemeja Fahmi dan melemparkannya keluar dari mobilnya, lalu dia jatuh di tengah jalan dalam keadaan berserakan. Aku masih menonton, menjelma mainan anjing yang mengangguk-angguk di dashboard mobil.

“Bukannya kamu udah janji? Kita udah janji. Kita mau menikah akhir tahun ini. Kamu lupa?” Anggra dengan napas memburu. Marah. “Aku, minta maaf.” “Telan lagi maafmu! Kuharap kata itu menggerogoti dari dalam, gentayangan menghantuimu sampai kamu tak bisa hidup tenang. Keluar! Keluar dari mobilku!” Laki-laki yang dicintai si gadis hijau keluar seperti penjudi yang kalah taruhan. Dengan kepala tertekuk dan tangan melunglai. Anggra mengambil alih kursi pengemudi dan mulai menangis. ***

Dahulu, dua belas tahun lalu, rumah mereka adalah rumah paling ideal yang pernah ditinggali keluarga mana pun. Keluarga paling bahagia yang pernah ada. Setidaknya, bahagia itu menurut pendapat mereka, terutama putri satu-satunya, Anggraeni, yang mudah dibuat senang dengan permen kapas warna-warni dari pasar malam. Kemudian, Ibu membakar rumah mereka.

Anggraeni tidak tahu apa yang terjadi, yang dia tahu hanyalah bahwa rumah mereka terbakar, dan ayahnya meninggal. Dan tentu saja, dia juga tidak tahu kalau ibunyalah yang membakar rumah, karena dialah yang dipeluk ibunya saat wanita berusia akhir dua puluhan itu menangis tersedu-sedu sambil berteriak menyayat-nyayat hati memanggil-manggil nama suaminya. Semua orang bersimpati pada keluarga ini. Pada istri yang ditinggalkan suaminya, dan seorang anak perempuan yang tak lagi punya ayah.

Kehidupan bahagia mereka langsung berubah. Ibu tak lagi jadi wanita baik hati yang menyiapkan sarapan bergizi setiap pagi, dengan segelas susu hangat agar putrinya tumbuh tinggi dan cerdas. Bukan lagi wanita yang mencium tangan suaminya tatkala sang suami.

Semua itu karena beberapa lembar rambut cokelat di pakaian Ayah. Rambut Ibu hitam legam, tak pernah diwarnai cokelat. Lagi pula, rambut Ibu tidak sepanjang itu. Jadi Ibu memilih untuk membakar rumah, dan Ayah.

Kemudian mereka pindah ke rumah kontrakan. Di rumah lebih kecil dengan dua kamar yang disekat tripleks itu, Anggra sering mendengar lenguhan-lenguhan berbeda setiap malamnya. Dia yakin ibunya mulai gila. Karena tak seorang pun masuk rumah. Tak ada satu lelaki pun masuk rumah. Tetapi suara lenguh-desah itu adalah campuran suara Ibu dan suara laki-laki. Anggra tidak mengerti.

Fahmi tahu siapa laki-laki yang sering berkunjung ke kamar Ibu. Dia melihatnya menyelinap dari celah pintu, atau muncul dari langit-langit ruang tamu, menjalar lewat lubang kunci. Terkadang ia berupa udara hijau, namun seringkali ia menjelma buto ijo, apalagi ketika malam purnama, begitu kata Fahmi.

Ketika dia menceritakan itu padaku, aku tak percaya. Mungkin karena aku tak melihatnya. Kata Fahmi, makhluk itu mengikuti ketika kami pindah ke rumah baru yang kubeli dari hasil jerih payahku. Ia menetap di kamar Ibu. Ibu tidak mengatakan apa pun ketika aku bertanya. Dia hanya membisu, seolah-olah membenarkan perkataan Fahmi. *** “Anggra,” Suara ketukan memanggil-manggilku seperti bor yang membolongi kepalaku. “Bangun.” Bisik itu semakin dekat. Seperti datang dari kejauhan kemudian mendekat. “Geser, biar aku yang nyetir,” ujarnya. Aku mengangkat kepalaku dari setir, dan suara nyaring yang menyilet-nyilet telingaku itu berhenti. “Mana Freya?” tanyaku. “Freya siapa?” “Freya! Perempuan yang kauhamili itu! Kamu sudah janji! Kamu akan menikah denganku!” “Anggra, sayang, kita sudah menikah. Tak ada Freya. Tak pernah ada Freya. Ayo kita pulang. Kamu pindah, ya, duduknya.”

Aku membiarkannya mengambil alih setir dan duduk di kursi penumpang. Hingga kulihat sekelebat bayangan. Rambut-rambut panjang berwarna cokelat di kemeja Fahmi, pertengkaran kami, api yang berhasil dipadamkan, bau obat-obatan, dan senyum perempuan itu. Aku merebut setir, dan menghantamkan mobil pada apa pun yang padat di hadapanku

Mashurie

1965
Ketika peristiwa berdarah penumpasan PKI meletus, Tulungagung adalah salah kota kabupaten di Jatim yang paling seru hiruk-pikuknya. Demikian dikisahkan bapak pada sebuah masa. Saat itu, kenang bapak, anak-anak sekalipun turut menenteng gaman bernama apa saja, untuk kemudian mencincang siapa saja yang dituding atau sekedar ditengarai anggota PKI. Sedangkan para ulama, dengan gagahnya menyerukan ganjaran berlipat ganda bagi siapa saja yang bisa menumpas sejumlah orang anggota PKI, maka bayarannya, "Sama halnya pergi ke Tanah Suci," ujar bapakku.

Bapak waktu itu adalah kandidat doktorandus dari sebuah universitas ternama di Jateng. Yang terpaksa tertunda wisudanya lantaran G 30 S meletus di Jakarta. Bukan karena skripsi bapak yang membidik tema Nasakom yang menjadi kendala. Tapi, semua proses belajar mengajar memang dipaksa berhenti untuk sementara, demi membersihkan siapa saja, dan apa saja dari pengaruh PKI.

Meski akhirnya bapak memang mengganti skripsinya, tapi bukan kisah skripsi dan kelulusan pada akhirnya, yang akan aku kisahkan. Juga bukan cerita bagaimana bapak dulu menyembunyikan, sekaligus menyelamatkan beberapa kawan kuliahnya yang dituding PKI, dan oleh karenanya, pada saat itu, pantas dihukum mati, dengan cara yang paling nista.

Juga bukan bagaimana bapak dulu, di Tulungagung menyaksikan anak-anak dan remaja tanggung laki-laki dengan bangga mencantolkan sejumlah daun telinga yang telah terpotong dari tempatnya, di leher mereka, dengan seutas tali. Atau bagaimana menohok bau anyir dan merahnya warna kali Brantas, yang tidak seberapa jauh letaknya dari rumah eyang putri dari pihak ibu, karena terlalu sesak oleh mayat-mayat orang-orang yang dianggap PKI.

Bukan itu semua yang akan aku tuliskan. Melainkan bagaimana bapak bisa emoh turut membantai orang-orang PKI, meski bapak juga tahu bagaimana PKI dulu menyudutkan umat Islam. Bahkan dengan garang, di banyak tempat di Jatim dan di Jateng, orang-orang PKI bisa dengan riang mengambil alih tanah milik para tuan tanah, dengan cara tak kalah berdarah-darahnya. Lewat cara mengadu amarah, menumpahkan darah.

Meski sebagai putra kyai sekaligus saudagar ternama dari Padangan, sebuah kecamatan dari kabupaten Bojonegoro, bapak dibesarkan dalam naungan kaum Nahdliyin totok. Demikian halnya ketika kedua orang tuanya, eyang kakung dan eyang putri kami mengirim bapak belajar mengaji ke Krapyak, Yogyakarta ketika masih belia. Sebelum akhirnya melemparkannya ke Surabaya hingga SMA, dan akhirnya kuliah di Semarang, tetap tidak menjadikan bapak berpikiran ekseklusif.

Oleh karenanya, ketika banyak nyawa orang-orang PKI melayang, juga orang-orang dituduh PKI meregang, bapak tidak turut peran serta. Meski tentu saja, dengan sangat menyesal, bapak tidak juga dapat mencegahnya. Meski bapak, sekali lagi, juga sangat tahu ketika berada di Jakarta, poster-poster, spanduk-spanduk, grafiti-grafiti, selebaran-selebaran dari orang PKI nada bunyinya menggidikkan bulu roma, dengan pilihan bahasa yang sangat menista. Mengintimidasi siapa saja, tanpa pandang bulu, dengan kalkulasi politik seolah tiada tandingannya.

Bapak adalah bapak yang mampu malihrupa menjadi malaikat, dan dengan sendirinya mampu tidak tidur selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, demi mengawasi perkembangan semua anak-anaknya. Tidak itu saja, bahkan ketika subuh belum menjelang, dan adzanya masih jauh dikumandangkan, berjilid-jilid sedekah telah bapak siapkan, bagi siapa saja yang paling pagi menegakkan nafkah.

Jadi, jangan heran jika bapakku berkawan dengan sangat baik sekali dengan tukang sampah, satpam penjaga kampung, tukang gosek atau pemulung, loper koran, atau siapapun saja yang dengan tekun mengibarkan layar nafkahnya masing-masing. Kerendahan hati adalah ilmu bapak yang diajarkan kepada anak-anaknya sejak kami kanak-kanak.

Sedangkan fakultas kehidupan, sebagaimana dikatakan bapak, hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang cukup mempunyai kedalaman. Karena, ilmu urip, demikian bapak biasa mengatakan kepada kami, hanya akan memberikan berkahnya, kepada orang-orang yang gemar memelihara kehidupan itu sendiri. Dengan ilmu terus memberi itulah, hidup, dengan sendirinya akan terus juga memberi, kepada orang-orang yang gemar berbagi rejeki. Layaknya para nabi.

Meski kerap kali, imbuh bapak, kehidupan paling gemar berbicara dengan manusia via bahasa tanda. Oleh karenannya, hidup "Hanya mampu dibaca oleh orang-orang yang biasa terlatih dengan penderitaan, dan kuat dalam masa keprihatinan". Untuk soal yang satu ini, bukan perkara gampang. Pada awalnya, ketika kesusahan, yang kerap kali datang bersama kawan baiknya bernama penderitaan menyapa, aku kerapkali dibuat lintang pukang dibuatnya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, ketika kesusahan jelma, masa keprihatinan tiba, aku sudah terbiasa. Maka, ketika semua perkara itu datang, malah sebisa mungkin, aku tertawa-tawa akhirnya. Apakah orang-orang PKI yang tumpas pada tahun 65-66 itu tertawa-tawa juga ketika maut dipaksakan menyapanya? Aku tidak tahu, demikian halnya dengan bapakku. Yang pasti, banyak kawan kuliahnya waktu itu, hilang entah ke mana? Entah dihilangkan atau sengaja menghilangkan diri, tidak ada yang tahu pasti.

Hidup dengan sangat kejam memaksa orang-orang PKI, yang sepenceritaan bapakku, dulu berada di atas angin. Tiba-tiba dalam hitungan hari, dimakan pusaran angin yang menelan mereka bersama keluarga mereka, dan keturunannya. Sebuah tragis yang memaksa kawan menjadi lawan, bapak menjadi musuh, anak menjadi seteru. Dan dendam mengembara ke mana-mana, ke setiap sudut serta mengancam kemanusiaan yang mulai dan telah kehilangan perinya.

Untung bapak tidak kehilangan peri itu. Meski pengambil kebijakan negeri ini, pada saat itu, dengan para perangkatnya telah bermain buta, dan telah lama kehilangan peri kemanusiaannya, dengan membantai sesamanya atas nama apa saja. Bapak memilih membesarkan anak-anaknya dengan cara apa saja, kecuali menjadi maling apalagi rampok. Sebuah ihwal yang rata-rata diajarkan para pengambil kebijakan negeri ini, dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Jadi tidak mengherankan, jika negeri ini menjadi republik maling, karena hampir semua pelakunya adalah rampok. Yang orang tuanya, notabene dulu pernah mempunyai tanda jasa, karena turut menumpas pemberontakan yang konon akibat sepak terjang PKI. Bukan yang lain.

Jadi, siapa sebenarnya yang pantas ditumpas hingga ke akar-akarnya? PKI yang laten dan keturunannya, atau maling-maling yang kebengisannya jauh lebih keji dari kelakuan dan rupa penjahat yang paling biadad sekalipun. Meski mereka kerap dan tekun melakukan ritual keagamaan yang menciutkan nyali? Ah, bapakku memang telah pulang, dan telah lama menera negeri ini akan menjadi negeri maling. Tapi paling tidak, anak-anaknya tidak menjadi salah satu dari banyak maling, yang makin hari makin menyesak dan dimaklumkan. Bahkan baru-baru ini, ada seorang petinggi lembaga negara dengan bangga memaklumkan perma'afan bagi para maling uang negara. Aduhai, alangkah indahnya. (Agustus 2011)

Blues Hujan-hujan



Jazz? Kalian bilang jazz? Bukan, ini hanya sebuah komposisi kecil, semacam blues, tapi teramat sederhana sekaligus ruwet bukan main.

Lebih tepatnya, blues yang tak pernah jadi karena hanya ada tik-tik-tik hujan dan bunyi semrawut tak karuan yang terus menggangguku dengan bunyi ketukan jari-jemarinya yang tak henti menari-nari rancak di permukaan kanopi fiberglass.

Mungkin ini terlihat bodoh bagimu, tapi bukan bagiku. Ini layaknya langgam yang terus memainkan komposisi. Jangan recoki pikiranku dengan pikiranmu. Memang orang sekampung menyebutku aneh, bahkan tak jarang mereka sebut aku gila.

Ketika hujan turun, aku selalu gegas berlari ke tengah lapangan desa yang jaraknya tak berapa jauh dari rumah. Aku bawa gitar bututku. Aku duduk bersila di tengah lapangan, meyetem gitarku—memutar-mutar pasak di kepala gitar sambil kuping kiri aku tempelkan ke dinding tabung resonatornya. Sesekali aku dengarkan dengan sungguh-sungguh, aku pahami, bagaimana bunyi hujan ini.

Oh, aku mencari-cari nada yang sesuai dengan nada hujan dalam gitarku. Mat Jegug, musisi kampung yang selalu merasa jago main gitar, bilang bahwa aku memang nyeleneh. Mana bisa bunyi hujan ditala ke dalam nada-nada gitar. Itu tindakan bodoh, menurutnya.

Ya, aku tau dan paham betul kalau dia mengenyam sekolah musik sampai tinggi, bahkan juga mengajar di banyak sekolah musik. Dia sempat juga rekaman. Tapi, di sini bukan soal Mat Jegug jago main gitar atau tidak. Dalam soal ini, Mat Jegug hanya seekor nyamuk yang biasa mengganggu aku tidur malam, sampai-sampai aku kesulitan bangun pagi dan telat pergi bekerja.

Tidak penting apa pekerjaanku, ini bukan urusan kalian. Dalam cerita ini, cukup perhatikan bagaimana aku mencari bunyi-bunyi hujan dalam petikan gitar. Dan, oke Mat Jegug, keluarlah dari ceritaku. Jangan ganggu pikiran-pikiranku. Biarkan aku sendirian, mencari-cari bunyi hujan. Oho, ini memang suatu tantangan berat.

Tapi apalah arti tantangan jika aku sendiri terlalu nyaman menjalani dan menikmatinya. Aku ibaratkan ini sebagai perjalanan penemuan diriku sendiri. Tapi, mohon, jangan samakan aku dengan Frederic Chopin yang mengurung hujan dalam komposisi yang (kata banyak orang) menyayat-nyayat perasaan.

Aku tak yakin, Chopin pasti hanya berandai-andai bagaimana bunyi hujan jika diterjemahkan dalam nada-nada yang telah diwakili tuts-tuts piano. Aku ingin mendekati hujan sedekat-dekatanya. Selalu ia uarkan bunyi, jadi aku harus menangkap bunyi itu. Ketika kemarau panjang datang, hujan lama menghilang, sebelum akhirnya turun untuk waktu yang sangat mustahil diramalkan, tentu aku merasa rindu pada saat-saat itu—rindu akan hujan dan bunyi-bunyinya.

Jadi, dengan mencari bunyi hujan dalam nada-nada gitarku. Sewaktu-waktu ketika kemarau datang melanda dan tak ada kepastian kapan berhenti, aku akan bunyikan gitarku, memetik-metiknya sampai dengar kembali hujan untuk mengobati kangen.

Aku berjanji, nanti setelah aku temukan bunyi hujan dalam nada-nada gitarku, pasti tak akan aku stem lagi, aku biarkan tetap pada posisi seperti itu. Biar orang mencibir fals atau apa. Biar ahli fisika membuat pengertian yang berbeda antara nada sebagai bunyi yang punya frekuensi teratur dan tertentu, dengan hujan yang mereka golongkan ke dalam desah atau bunyi tak beraturan. Biarlah mereka menganggap seperti itu, aku tetap pada pendirianku—hujan memang sebuah komposisi yang punya dunia sendiri, punya nada-nada sendiri. Manusia selalu memaksakan diri saat memaknai sesuatu. Sungguh berlebihan. Aku tetap menempelkan kuping sisi kiriku ke tabung gitar.

Aku cari-cari. Aku putar pasak-pasak gitar. Mencari-cari. Aku berpikir dan berpikir lagi. Tapi jangan anggap aku menderita karenanya. Aku sungguh-sungguh menikmatinya, bahkan kalau perlu aku bersumpah di hadapan kalian. Seandainya sudah aku temukan, nanti gitarku ini akan aku beri nama GITAR HUJAN.

Gitar yang seluruhnya berbunyi hujan. Nanti, aku mainkan kord-kord menurutku sendiri, bukan kord-kord yang sudah ada di majalah-majalah musik. Aku lekuk-lekukkan jari-jemariku, aku mainkan menurut diriku sendiri.

Mungkin terdengar aneh bagi kalian. Tapi, inilah blues yang sesungguhnya. Bukan blues yang diciptakan kaum budak Negro di tlatah Amerika. Ini bluesku sendiri. Blues yang benar-benar terdengar sebagai bunyi hujan yang terus mengganggu perasaanku dengan ajaib. Aku juga ingin mendengar ada bunyi hujan ketika gitar aku petik.

Aku tekan senar-senarnya dengan jemariku yang terus menari-nari di leher-jenjangnya, seperti ketika butir-butir hujan mematuk apa saja yang ditemui di muka bumi. Aku hanya ingin kalian mendengar hujan, dari gitarku, itu saja. Karena aku yakin, kalian pasti merindukan hujan dari dasar lubuk perasaan terdalam, yang terdalam.

Seperti kesedihan yang selalu tersinpan, tak tau kapan muncul kembali di tengah keriangan...

Yogyakarta, 23 November 2010

Zuriahku



Cerpen Venesia Xandria
Bukankah ini kenyataan paling nyata yang harus dihadapi tanpa mengeluh? Bukankah ini resiko dari eksplorasi liar atas kehidupan malam?

“Positif, Oh Tuhan...aku takut sekali. Ternyata hasilnya positif.” Gumaman itu adalah gumamanku lima tahun lalu, sebelum sekarang aku melihat sendiri bayi mungil keluar dari pintu rahimku. Setelah itu ribuan pikiran datang menghantam dari segala penjuru.

Waktu itu, terlintas pikirian Apa yang akan terjadi 9 bulan kedepan? Membuncit? Dibuang? Dikucilkan? Atau akan berkutat dalam 1 kata yaitu “terasing”. Apa semua orang terkasih mampu menerima? Lalu apa aku takut? Ah..jujur aku memang takut menanggung derita sedemikian rupa waktu itu, menelan pil pahit sendirian. Dalam kelam-kelam malam yang akan terlewati sendiri dalam sunyi yang sangat. Malam pun akan semakin buas mengigit. Rapuh dan lunglai aku akan merana.

Tentu sembilan bulan kedepan akan ada derita tidak tertangguhkan dan pasti akan sulit dihadapi jika berjalan sendiri. Ketidakmampuan berdamai dengan siapa pun akan menjadi cerita yang sangat pilu. Aku bertekad akan menyimpan sendiri berita itu, tidak pada bulan maupun matahari aku sanggup berbagi. Tidak pada kawan sekalipun musuh aku berniat bercerita. Ini apa yang harus kutanggung dengan harga diri yang masih tersisa.

Sesaat setelah mendapati hasilnya positif, Aku menaruh alat kecil berwarna putih itu ke atas meja rias. Aku duduk diam dan berfikir. Berfikir? Perihal apa? Semuanya sudah jatuh ke tanah. Terkubur dan akan segera mati dimakan belatung. Hamil, mempunyai anak, dan menjadi ibu adalah gambaran 9 bulan kedepan.

Akan ada sosok lain dalam perutku ini. Bisa jadi anak laki atau perempuan, bisa jadi anak yang sehat atau sakit, bisa jadi anak yang berbakti atau durhaka, bisa jadi anak yang patuh atau pembangkang. Tapi sekali lagi itu adalah tanggung jawab yang harus dinikmati.

Lalu bagaimana? Meminta pertanggung jawaban? Ke siapa? Bukankah ini yang harus dihadapi ketika seorang anak manusia berani melangkah jauh tanpa pertimbangan matang? Bukankah ini kenyataan paling nyata yang harus dihadapi tanpa mengeluh? Bukankah ini resiko dari eksplorasi liar atas kehidupan malam?

Aku tidak mencari pembenaran dan kebenaran, aku akui dengan sangat sadar bahwa aku bersalah dan mempunyai andil besar dalam menyukseskan kesalahan itu sendiri. Manusia gudang khilaf, tapi bukan berarti manusia bisa seenak udelnya melakukan dosa demi dosa. Ya..aku berdosa.

Lalu pada siapa kesalahan ini harus diletakkan? pada diriku sendiri? Ah tidak adil itu, kan yang berbuat 2 manusia, 2 insan yang saling mabuk cinta pada saat itu. 2 insan yang tidak lagi melihat hitam dan putih, dosa atau pahala, hamil atau tidak hamil. Lalu apa aku harus menyalahkan cinta? Ah … cinta itu kering kalau mau diikutkan dalam permasalahan ini. Cinta yang selalu dijadikan alasan dan pembenaran atas kekhilafan seorang manusia. Toh antara cinta dan nafsu hanya beda tipis, setipis benang mungkin. Tapi tetap berbeda.

Tidak, aku tidak mau cari pembenaran atas kesalahanku sebagai manusia yang buta membedakan antara cinta dan nafsu. Cinta kadang terlalu damai untuk di campur aduk dengan nafsu . Makna cinta itu sendiri jadi kotor dengan percampuran antara kesucian dan nafsu yang kerap tidak diimbangi dengan tanggung jawab.

Tapi aku takut. Wajar toh? Ketakutan itu punya alasan karena 9 bulan kedepan keterasingan akan cukup akrab menyapa. Kesendirian akan jadi sangat ramah dan dalam. Kesepian dan ditinggalkan adalah kenyataan paling jujur yang harus dihadapi. Karena memang tidak akan mudah bagi orang terkasih menerima hal ini.

Air mataku menitik deras. Entah rasanya apa, karena mungkin segala rasa sudah tercampur aduk sehingga tidak lagi jelas menangis untuk apa. Dihati terdalam, menyesal adalah kata yang paling jelas untuk menggambarkan air mata ini.

Ya, aku menyesal. Tidak semua dosa yang ada dapat aku amini. Tidak semua kesalahan dapat dimaklumi, sekalipun Tuhan Maha Pengampun. Waktu yang terus bergulir tidak akan memberi jeda kita untuk beristirahat. Detik akan berjalan ke menit, menit akan berjalan ke jam, jam akan berjalan ke hari dan seterusnya. Dan tidak akan pernah ada kata “mengulang kejadian”.

Semua hal yang menyangkut dengan hal ikhwal perjalanan kehidupan seharusnya dihadapi dengan sebuah pemikiran matang akan sebab akibat, dosa pahala, baik buruk. Luapan emosi sesaat ataupun syahwat adalah hal-hal yang harus diimbangi dengan rasa takut akan Tuhan. Mungkin aku tidak punya bagian itu, ketika semua luapan emosi, kemarahan dan syahwat menjadi satu , aku tidak punya Tuhan dalam hati. Aku kering sebagai manusia.

Pada waktu itu Aku jatuh kelantai, menangis tersedu. Aku mungkin tidak takut pada 9 bulan kedepan, tapi mungkin aku takut akan keterasingan dan rasa dosaku pada Tuhan. Aku adalah seonggok jiwa yang hampa. Jiwa yang hampa akan semakin kosong kalau dilepas begitu saja tanpa ada orang arif yang merengkuhnya. Jiwa yang labil dan kehilangan arah akan terduduk kaku dalam ruang dosa jika tidak diselamatkan dengan kasih lembut. Aku berdosa, tapi aku tidak ingin dibuang. Aku ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki apapun dosa yang menyelimutiku.

Badanku runtuh kelantai, jatuh tergolek lemas. Tidak bisa kudapati apapun yang menarik didunia ini. yang dirasa adalah keputusasaan, ya..aku putus asa. Tidak ada lagi geliat hidup yang merona indah nantinya.

Kulihat bayanganku dari kaca yang ada dihadapanku. Tidak! Aku tidak akan membunuh nyawa yang ada dalam tubuh ini. Dia punya hak atas sebuah kehidupan yang layak. Layak? Apa yang bisa kuberikan? Kehidupan layak macam apa yang bisa kusajikan? Katakan kehidupan layak seperti apa?

Tapi, bukankah Tuhan sudah menggariskan sebuah kisah manusia jauh sebelum dia terlahir di dunia. Tuhan sudah menuliskan nasib umatnya jauh sebelum dia terlahir didunia, dan tinta itu sudah kering. Tuhan sudah menentukan apapun atas makhluknya.

Aku menyentuh perutku, kau punya hidup dan kau adalah kehidupan. Tidak sejengkal pun kau berhak di tiadakan karena Tuhan sudah punya cerita indah tentunya. Kita akan berjuang dengan cara yang terhormat. Kita keluar dari lingkaran hitam menuju sebuah kehidupan yang lebih baik. Walaupun hari ini aku tidak punya kepastian hidup layak macam apa yang bisa kuberikan untuk mu. Tapi kupastikan kehidupan itu akan jauh lebih baik dari hidupku.

Aku bangun dan terduduk diam. Mencoba tersenyum. Cinta mungkin adalah kesalahan paling purba kata seorang penyair. namun apapun itu, cinta mungkin adalah hal paling indah yang bisa dirasakan hingga detik ini. cinta tidak kaku, tidak berkisar antar 2 insan namun bisa kepada siapapun asal kita mau memberinya dengan ketulusan.

Aku mulai mencintaimu makhluk kecil zuriahku. Entah hidup macam apa nanti, kita bisa berjalan berdua, saling mencintai. Tentu tidak akan mudah, ya tidak akan pernah mudah. Apa yang terjadi padaku, tidak sepatutnya dialami oleh anak-anak lainnya. Menjalani hidup dengan penuh keimanan dan tanggung jawab adalah sebaik-baiknya jalan hidup.

Aku hanya seorang anak berumur 15 th yang duduk membisu menatap wajah anakku, bayi perempuan mungil yang sedang lelap. Kusematkan atasmu doa-doa yang khusyu, kubisikkan ditelinggamu serangkaian kata yang kerap menggetarkan hatiku sendiri, “Aku Ibumu, anakku. Kau sempurna layaknya rupamu, semoga Tuhan mengampuni kita, kita belajar bersama” Tuhan maha pengampun, ini garis yang sudah kulewati sedemikian rupa. Sudah kugenapi rasa sakit yang teramat dalam, ampuni kami ya Tuhan, ampuni kami ya Tuhan.

Jayakarta, 08 Januari 2008.

BAPAK

Sebagaimana nasib juga yang meminta bapak pulang, karena telah dinilai paripurna mengantarkan kami semua, ke rumah nasibnya masing-masing.

"If they ever tell my story, let them say I walked with giants. Men rise and fall like the winter wheat, but these names will never die. Let them say I lived in the time of Hector, tamer of horses. Let them say I lived in the time of Achilles." (Odysseus)

BAPAKKU bukan Achilles yang nyaris tak terkalahkan. Yang dengan gemilang menyungkurkan pangeran Hector demi membela kehormatan kerajaan Troya, hanya gara-gara Paris, adik terkasihnya, mencuri Helen dari Sparta. Tapi serupa dengan serdadu terpilih dari negeri para dewa, yang dikisahkan Homer dalam Illiad, bapakku adalah petarung yang siap menggadaikan apa saja yang dimilikinya, termasuk nyawa, demi apapun yang diyakininya.

Jangan tanyakan penderitaan macam dan seperti apa yang belum beliau tanggungkan. Sebagaimana Raja Priam dari Troya yang pecah hatinya mengetahui Hector, putra terkasih dan penerus tahta binasa di tangan Achilles, bapakku pun pernah dua kali hancur hatinya menyaksikan dua buah hatinya wafat, setelah bertarung dengan dengan el maut.

Adakah hati yang lebih perih selain perasaan seorang bapa ditinggalkan buah hatinya?

Tapi, sebagaimana kisah klasik tentang orang-orang yang berhasil melawan dirinya sendiri. Bapakku berhasil bangkit lagi menghadapi hidup, untuk kemudian hancur kembali hatinya, ketika istri terkasihnya harus mangkat ke alam baka, setelah ditelikung kanker rahim. Dengan meninggalkan tiga bocah, dua balita, dan seorang bayi pada 1978. Itu belum semua, karena sengkarut urusan keluga besar, bapakku terusir dari rumah almarhum ibu, bersama keenam mutiaranya. Bahkan ketika kuburan istri terkasihnya masih basah.

Aku tidak tahu persis sebab pengusiran yang diwarnai penghinaan itu. Nanti akan aku ceritakan muasalnya.

Yang pasti, dari situlah, drama bapak dalam mengasuh, membesarkan, mewarnai, memaknai sekaligus menjaga kehidupan enam mutiaranya dengan segala keberaniannya bermula. Dan penderitaan, pada titik itu juga, seperti karib yang senantiasa rajin bertandang di rumah nasib bapak. Dia, sang penderitaan itu, bisa datang dalam bentuk apa saja, dan kapan saja.

Sebutkan berbagai macam nama cobaan yang pernah dialami anak manusia dalam menjalani garis takdirnya. Atau nukilkan berbagai kisah tragedi yang sohor diceritakan raja dongeng seperti Homer, Shakespeare dan banyak nama sohor lainnya dari Rusia seperti Leo Tolstoy dan sebangsanya yang belum pernah dicobakan kepada bapak.

Atau jika kurang, tarungkan bapak dengan kondisi kehidupan yang paling muskil sekalipun, maka atas nama jaminan segala keberaniannya, akan dilawannya semua kondisi yang berjabatan erat dengan segala bentuk penderitaan itu. Aku jamin bapakku akan menjadi pemenangnya.

Pertarungan akan menjadi lebih heroik jika bapak dihadapkan pada kasus membela anak-anaknya. Maka, layaknya induk singa melindungi anak-anaknya, dilabraklah apapun dan semua yang ada di depannya. Tanpa terkecuali. Tembok kekuasaanpun akan dilawannya. Meski nyawa -sekali lagi- bayarannya.

Jika nyawa sudah dipertaruhkan di meja nasib, jangan tanyakan persoalan jabatan, harta benda, dan ihwal remeh temeh keduniawian lainnya. Semua menjadi nomor sekian. Dan tak penting lagi. Nothing else matter.

Seorang diri. Hanya seorang diri, bapak, sarjana lulusan perdana fakultas ilmu sosial dan kemasyarakatan, salah sebuah universitas negeri ternama di Jateng,- yang harus diundur wisudanya hanya lantaran Gestapu meletus pada tahun 65-, membesarkan kami semua.

Sesekali eyang putri, ibu dari pihak bapak mengulurkan pikiran dan tangan untuk mengawasi kami semua, karena bapak harus mengibarkan layar nafkah hingga ke luar kota. Bayangkanlah keadaan seekor induk singa yang terluka karena dihinakan keluarga besar dari pihak almarhum istrinya, dengan sejumlah kata melecehkan seperti, "Apa mampu membelikan susu (buat jabang bayinya)", dua jenak setelah sigaring nyawanya mangkat ke alam nirwana.

Dan yang melecehkan adalah ibu mertuanya sendiri -ibu dari pihak almarhum ibu-, dan dilakukan di depan ibu kandungnya, atau eyang putri kami.

Demikianlah bapak yang terluka, meradang, dan timpang emosinya mencoba membesarkan kami semua; anak-anaknya. Dengan segala kekurangkomplitannya sebagai orang tua tunggal, serta dendam yang terus berkesumat sebagai bara, bapak sekaligus merangkap peran sebagai ibu bagi kami semua; enam permata yang laki-laki semua.

Kadang dan seringkali, beliau malihrupa menjadi kawan sepermainan yang paling menyenangkan bagi kami. Layaknya malaikat yang menyaru jadi manusia. Tapi pada waktu yang berbeda, beliau juga sangat bisa menjadi penghukum yang tak tertawarkan karena otoritas mutlaknya. Sebab kami abai, lalai bahkan di luar kesadaran, memunggungi prinsip hidupnya, yang zakelijk itu.

Seperti norma-norma yang muda menghormati yang tua, dan yang tua melindungi yang muda. Dan berbagai norma budi pekerti standar lainnya.

Dalam kekerasan hatinya itulah, diam-diam kami tumbuh sebagai kanak-kanak yang tidak biasa, dan tidak mudah menyerah. Cenderung berani berkelahi dengan situasi yang tidak mudah. Saya katakan cenderung karena, tidak semua saudara-saudara saya gemar bertubrukan secara fisik.

Meski tentu saja secara esensi tetap berani berkelahi dengan nasibnya masing-masing. Dan secara tekad, saya meyakini, semua anak-anak bapak bermental kuat, sekaligus liat.

Ihwal intelektualitas...kami bukan segerombolan domba yang dungu dan hanya manut pada keadaan. Meski tentu saja tidak mudah berada pada posisi ideal seperti itu. Tapi dari bapaklah kami banyak belajar menimba kekuatan, ketabahan, keberanian, kejujuran, kemurahhatian, ketekunan, kesolehan, sekaligus berani menanggungkan kelaraan yang bisa datang kapan saja dalam rupa suka-suka, semaunya. Pelajaran tentang kepapaan juga tak ketinggalan diberikan. Maka jangan heran jika kami semua tidak ada yang gentar dengan ancaman laten kemiskinan.

Intinya, dari bapak kami ngaji urip. Dari bapak, kami sinau kedalaman.

Bapak, bagi kami anak-anaknya adalah sumur ilmu pengetahuan, yang menyimpan bergalon-galon air kecendekiaan yang tak terpermaknai. Dari sumur ilmu pengetahuan itulah, kami diberi sangu untuk menghadapi, mewarnai, memaknai juga merayakan hidup. Jadi bukan harta juga benda yang bapak wariskan, melainkan ilmu dan pengetahuan, juga iman yang sepadan. Di luar soal keberanian itu.

Bahwa bapak tidak atau jauh dari sempurna, itu benar adanya. Tapi, dari ketidaksempurnaannya itulah, bapak menjelma sempurna sebagai manusia yang berkekurangan.

Bahwa bapak mempunyai musuh dalam hidupnya, itu juga fakta yang tak terbantahkan kebenarannya. Kami juga sangat mafhum, musuh terbesar dan nomor wahid bapak adalah dirinya sendiri; kekerasan hatinya. Tapi dari kekerasan hatinya pula, kami anak-anaknya selamat semua -paling tidak hingga hari ini, hingga aku larikkan tulisan ini-, dan terhantarkan pada kunci nasib masa depannya masing-masing.

Meski kami juga tahu, diam-diam masih ada, dan banyak sisi lembut bapak.

Yang sebagaimana lelaki sejati, sebagaimana tabiat kebanyakan para ksatria galibnya, emoh atau tidak sudi mengumbar apalagi mempertontonkannya secara langsung di depan mata anak-anaknya, apalagi publik. Aku baru tahu maksud dibalik sikap bapak yang gemar menyembunyikan rasa sayang kepada anak-anaknya setelah besar nanti.

Supaya kami tidak menjelma pribadi yang cengeng, juga lemah ketika bersemuka secara langsung dengan kerasnya nasib yang tak tertawarkan. Sebagaimana nasib juga yang meminta bapak pulang, karena telah dinilai paripurna mengantarkan kami semua, ke rumah nasibnya masing-masing.

Selamat jalan bapak.

(Benny Benke, Mei setelah bapak pergi, tapi tak pernah mati)

Garis Tangan Meridian

google.com


Cerpen Eko Triono
Jo bukanlah tipe orang setia, ketika itu. Ketika itu? Ya, sebab ada beberapa garis tangan yang berubah sesuai perilaku orang bersangkutan.

Bukan tanpa alasan Kinar memilih dunia kamera sebagai jalan hidup, atau lebih tepat: jalan menuju kehidupan yang sebenarnya. Lima kali dikhianati kekasih, dengan tiga berkasus penduaan, dan semua berakhir dikubang perceraian. Yang kini masih juga mencipta gesek muatan listrik sewaktu runtuh hujan badai, menjadi vertigo di lamat impian, ingatan, dan sesekali menggesek dawai rongga-rongga dendam.

Datanglah, kataku padanya, kau akan menemukan model yang cocok untuk tema pameran tunggalmu bulan depan. Pria-pria terbaik dalam hal perawatan tubuh akan menghadiri ulang tahun Luna. Rambut-rambut mereka yang termodif, kulit yang memainkan kesan dingin namun kekar, juga tangan-tangan mereka yang tepat menimang pinggang. Ayolah, kau sahabatku bukan? Aku tak ingin kau terus larut.

Sam, jangan kau minta, aku pasti datang. Itu adalah perburuanku: ujarnya sambil menatap ke luar jendela apartemen. Deru pesawat menyambut daun jatuh. Matahari menaburkan hidangan musim panas, mengabarkan tentang hujan yang tersesat di simpang pertanda.

Tak sempat kuperhatikan, terlagi kupastikan dimana dia. Piringan hitam dan turn table membagi konsentrasi. Lagi pula, kerumun party goers yang turun, membuat mesin ingatku bekerja lebih keras untuk mampu mengenal setiap satu, kecuali yang memang biasa tertemu, terlagi jarang berganti mode. Sepintas kulihat blitz menepis-nepis ke arah meja sudut sana. Aku yakin, kemungkinan besar itu dia: yang sedang asyik dan teliti memandangi objeknya, mencari fokus tertepat. Meski aku lelaki dan Kinar perempuan, perlu kusampaikan, bacaanku akan perasaannya amat tepat. Bermula dari persahabatan masa sekolah, hingga beranjak kepala tiga. Tapi harus ada pengakuan lain: dia adalah perempuan paling tahan banting yang pernah tersimpan dalam ingatan-ingatan panjangku. Sayangnya, aku tak pernah bisa untuk jatuh hati padanya. “Kuantar, ya?” “Baik benar, kau Sam? “Tidak lebih baik dari cahaya matahari pukul tiga sore,” jawabku berkelakar. Sebagai fotografer untuk model di sebuah majalah, baginya memang, cahaya alami yang meratai objeknya jauh lebih nikmat dari makanan, meski buatan chef terbaik di dunia sekalipun.

Jam tiga pagi. Kesunyian menjadi kengerian tiap dinding. Anjing penjaga merintihkan repertoar entah. Entah apa yang ia cari di gelap semak, di antara sampah-sampah sisa makan malam manusia. Hei! Konsentrasi!: Kinar menepuk punggungku. Sori, jawab akuanku gugup, aku sedang tertarik pada objek itu.

Kau mau istirahat, wahai DJ? Tidurlah di tempatku, ya setidaknya nostalgialah: Kinar menawari. Tak masalah wahai fotografer, ujarku menggoda, untuk sahabat sejati kenapa tidak? Mumpung sedang tak bersuami he-he-he. Ia merespon pernyataanku barusan, dengan senyum kuyu yang getir. Ada isyarat: aku kelewatan. Ia pun lantas lenyap ke ruang belakang. Rumah kecil di tepi sungai ini mengingatkanku pada rhapsody yang pernah kuracik waktu masih sekolah musik, di kota ini juga, Jakarta. Sebelum pada akhirnya kuputuskan untuk memperdalam di Australia. Riuh daun yang menyisir tepian. Kukuk burung malam. Gemercik aquarium selalu menjelma saing-suara sungai itu sendiri. Juga geletar meteran listrik yang berat. Yang, bila semua itu terpadu di tangan jiwa bermusik, akan jadi alunan serenada paling komposif; langsung tertuai dari alam aslinya; bernama: kehidupan.

Minumlah! Kinar datang membuyar lamunan: Aku ke kamar kerjaku sebentar, cek roll, katanya kemudian. Terimakasih, jawabku sambil berpelan menggiring bibir ke susu coklat hangat dengan karamel dan sedikit moca. Eh, sebentar, boleh aku ikut? Boleh, masuklah!: Kinar mulai membuka ruang pencucian film. “Bagaimana pestanya? Dapat objek? “Lumayan. Lihat dulu yang ini!” “Boleh tanya sesuatu?” “Silahkan, mas wartawan dadakan.” “Kenapa semuanya mesti potret telapak tangan?” “Dari pada pantat, susah to?” “Bukan begitu maksudku, bukankah ada asap, ada api?” “Tapi percayalah, tidak baik main api di sini, ntar aja di luar. Oke?” “Baiklah,” jawabku maklum, sambil terus terbingung dengan serba neka telapak tangan dari segala sisi, dengan guratan-guratan garis yang terfokus benar dalam pengambilan gambarnya. Terlalu lama menunggu; membuatku terlelap semakin jauh di sofa. Harum kopi Brazil yang diberi sedikit mrica, serai, dan madu; dahsyat mempengaruhi saraf, mampu membangunkan siapapun, termasuk aku yang lelap kelelahan. Dan lamat-lamat, kulihat seombyok foto-foto bergambar telapak tangan dengan berbagai ukuran, terpampang di hadapanku, di segenap meja dan kursi.

Dah bangun…? Tanya Kinar pelan. Enak ya, bisa menikmati malam, ujarnya lagi. Emang kenapa? Aku tak mengerti. Kinar mencoba mengelak dari seranganku: Ah, sudahlah. Nikmati kopi itu. Eit, cuci muka dulu sana. Jigongmu tuh… Di kamar mandi, aku tahu, semalam Kinar telah mengoleskan lotion anti nyamuk ke lengan dan kakiku. Perhatian betul dia. Tapi itu tidak lebih penting dari sesuatu yang kembali teringat waktu kubersihkan muka di depan cermin wastafel: untuk apa Kinar memilih tema fotografinya dengan telapak tangan? Dan, apa makna semua kejanggalan baru yang kulihat darinya, seperti embun kaca yang berwarna ungu, berkilat saat lampu kamar kecil ini padam, atau sebab ada cahaya matahari di luar yang masuk sampai, menelisik, membias bentuk-bentuk gelap jadi seorang pangeran telapak tangan? Ah. Entahlah. “Kenal orang ini, bukan?” “Coba lihat.” “Semalem di meja sudut. Kalian deket, to?”

Kuambil dan kulihat hasil foto medium menyamping dua fokus itu, tangan kiriku masih sibuk membersih muka dengan krim perawat kulit wajah yang kubawa. Nampaklah di mataku kini: seorang lelaki bercambang tipis duduk di antara ramping anggur merah, juga beberapa hidangan pesta lain, tangannya menggelepak lelah, jam tangan kendur di pergelangan, ada tampak garis tangan lintang pukang di sana. Benar, kataku kemudian, aku mengenalnya. Sangat malah. Emang kenapa?

Garis tangannya menjawab kegelisahan dan ketakutanku tentang harapan terhadap para lelaki, ujar Kinar sambil berdiri menggenggam cangkir ke arah tirai jendela yang sedikit terbuka. Garis tangan? “Ya,” katanya tenang menatapi awan pagi Jakarta yang tiba-tiba murung secepat ini, “kau juga percaya, to? Serumpun awan itu, menjadi petanda bagi para klimatolog untuk menyimpulkan cuaca yang akan terjadi sepanjang hari?”

Aku hanya kedip, bengong merespon tanya retoris Kinar yang tak bertampik di palung manapun. Ia membalas. Menatap. Menembus kecurigaan yang kusimpan diam-diam.

Lalu beralih pandang; kali ini pada jemarinya sendiri yang mulai memainkan lingkar gagang bermotif mayang di cangkir kopi Brazil yang mengepul hangat sepadan suasana redup: Sam, katanya melanjut, sejak aku bertemu Lampayun di Bentara Budaya, dan palmistrian itu memberitahu tentang rahasia garis tangan, sejak itu pula, aku menyadari banyak hal yang terlewati dengan perih, tanpa suatu kewaspadaan, juga kesiapan sedikit pun dariku sendiri. Terutama dalam masalah cinta. Kinar mendekat ke arah sofa. Tangan kirinya masih menimang kopi. Sam, lihat foto dekat tatak cangkirmu itu, ujarnya menunjuk.

Aku melihat foto telapak tangan yang kuyakin hasil crop dari sebuah perbesaran foto utuh. Konturnya nampak sedikit ngeblur. Dan, ada beberapa lingkar pena merah di beberapa tempat yang terhubung dengan tanda panah, juga simbol-simbol aneh.

Itu garis tangan milik Jo, katanya kemudian. (Jo adalah suami Kinar yang terakhir cerai kurang dari setahun yang lalu). Lihat garis pasangan di bawah kelingking kirinya. Ada empat garis yang sama-sama tegas di sana. Kau tahu maknanya, Sam? Tidak. Aku memang tak pernah tertarik dengan ramalan. Jadi, aku tak mengerti sama sekali. Ini bukan ramalan, Sam. Ini perhitungan-perhitungan yang teruji.

Mata kinar bercahaya. Antausias yang kuat. Ia meletakan cangkir dan duduk merebut foto di tanganku: Kau lihat ini? Mestinya dari garis jantung inilah aku tahu; Jo bukanlah tipe orang setia, ketika itu. Ketika itu? Ya, sebab ada beberapa garis tangan yang berubah sesuai perilaku orang bersangkutan.

Kinar menunjuk garis teratas pada foto telapak tangan itu, yang terlihat samar, tidak tegas, dan banyak cabang kecil-kecilnya. Ia juga menjelaskan tentang garis pendek-pendek bawah kelingking itu: Ini makin menguatkan, ini tanda dia mencintai banyak orang, dan mudah jatuh cinta. Tidak seperti ini, Sam. “Meridian?”

Tepat. Garis tangannya sangat rapi dan tegas. Garis kehidupan, garis kesuksesan, garis karirnya, bahkan garis perkawinannya yang tunggal. Ditambah garis hati, atau garis jantung, yang panjang dengan sebuah cabang jodoh, dimana kuyakin: itu menuju ke arahku. Dan… aku ingin. Aku ingin dia menggantikan semua kenangan pahit tentang lelaki dalam hidupku. Aku ingin dia menjadi suamiku yang terbaik dan terakhir. Aku menaruh hati padanya, Sam. Pada Meridian, sahabatmu itu. “Padanya, atau pada garis takdirnya?” “Padanya sekaligus garis takdirnya, Sam.” “Tidak! Menurutku kau hanya mencintai praduga dengan cara pikirmu yang aneh itu. Dengar, cinta itu perasaan, Kin. Buka hitung-hitungan tangan.” “Kau tahu, Sam? Sejak kalian duet vintage house di Balai Sarbini, dan kamu mengenalkan Meridian padaku. Sejak itu pula perasaanku tumbuh tak menentu. Malam-malam jadi teramat menggelisahkan. Ditambah, Jo yang aku tahu makin sering selingkuh, dan perceraian dengannya sedang kuurus pula..” “Kenapa baru dibahas sekarang?” “Aku takut, Sam. Lagi pula kita baru ketemu lagi. Dan, aku mesti hati-hati dengan perasaanku sendiri. Masa lalu telah menjadi bukti yang paling akurat. Perasaan harus didampingi dengan perhitungan-perhitungan lain. Termasuk garis tangan.” “Bagaimana jika perhitungan itu salah? Bagaimana jika pradugamu itu kosong? Bagaimana…” “Aku tak peduli! Aku tak peduli. Ah, sudahlah. Aku tak ingin berdebat. Aku hanya ingin kamu menjadi kurator untuk pameran foto-foto garis tangan yang kuambil. Bulan depan. Itu pun jika kamu bersedia.” “Untuk Meridian?” “Tidak semua.” “Aku tidak mau! Kau wanita spesial, Kin. Jangan kau gadaikan spesialmu itu dengan mengejar kemungkinan-kemungkinan dari sebuah garis tangan…” “Bukan kemungkinan, Sam. Itu…” “Perhitungan akurat? Iya? Dan telah terbukti sejak jaman dinasti Cina? Ufh… Kin, aku sudah sering denger. Sekarang jamannya beda!” “Manusianya sama, to?! Garis tangannya tetap, to?” “Terserah! Yang jelas aku tak mau!” “Tapi, Sam…” “DIA KEKASIHKU!”

Aku menghentak kenyataan yang kupendam! Diam kemudian; tatapan kami saling menghisap ketegangan satu sama lain. Saling melumat keinginan dan kebimbangan dalam dada masing-masing.

Aku tahu, Kinar masih tak yakin. Atau bahkan telah muak. Bibirnya yang lembab nampak ternganga. Alisnya berkerut. Kelopak matanya gemetar merindingkan bulu-bulu kecil antara kornea yang berlarian mencari peyakinannya dari dalam mataku yang terengah.

Tangannya pun tak lagi konsentrasi pada setangan cangkir kopi Brazil yang hampir dingin dan mengendapkan muatannya. Tapi mungkin harus kukatakan ini: di garis tangan milikku dan Meridian, ada petanda lain yang belum sempat Kinar baca, atau barangkali, Lampayun tua itu lupa mengajarkan; tentang garis samar yang melingkar di bawah ibu jari kami.

Agustus-September 2009

*** Eko Triono, Lahir di Gombolharjo-Adipala, Cilacap, 11 Juni 1989. Menghabiskan masa kecil di Kapuas, Kalimantan Tengah, dan Meulaboh, Aceh Barat. Kemudian kembali ke Jawa Tengah dan kini kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Menulis prosa, puisi, dan esai pada sejumlah majalah, koran, dan buku baik lokal maupun nasional.