Romansa Warung Makan

Pertemuan adalah hal yang seringkali tidak dapat kita tebak. Sesuatu yang datang dengan sendirinya, dengan tiba-tiba. Dari pertemuan lah, nasib manusia sering ditentukan. Beberapa dari mereka banyak yang mengabaikannya, seolah itu adalah bagian dari rutinitas hidup, yang memang, bertemu dengan orang-orang yang sama. Hidup adalah hal yang wajar. Namun tidak sedikit pula yang memahami, bahwa pertemuan adalah nutfah-nutfah yang membentuk nasib kita, pelan-pelan namun pasti membawa kita ke dalam suatu tujuan. ***

Siang yang terik. Udara yang begitu berisik, aku berjalan menuju warung makan Bu Jul di belakang kantor, masih di bilangan Kalibata. Matahari belum tepat benar berada di atas ubun-ubun, kulihat jam tangan masih belum bergeser dari angka sebelas. Belum saatnya istirahat. Namun hari ini aku lapar betul. Pagi tadi aku alpa sarapan tersebab pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tak apalah aku istirahat awal, toh pekerjaan sudah kurampungkan.

Warung belum terlalu ramai. Hanya ada dua pengunjung yang kutebak adalah sopir bajaj, sebab di depan warung terparkir dua bajaj yang sangat memprihatinkan. Bajaj adalah jenis kendaraan yang terbatuk-batuk di tengah deru kendaraan Ibukota. Hanya dua kali aku pernah menaikinya, itupun karena terpaksa. Satu karena aku datang terlalu pagi di terminal Lebakbulus, dulu sewaktu masih kuliah. Dua karena aku tidak menemukan kendaraan lain di bilangan Cempaka Putih saat pukul dua belas malam. Dan keduanya benar-benar membuat jantungku berdetak lebih cepat beberapa desibel. Sebab bila bajaj berbelok, tiba-tiba penumpang beserta sopirnya akan ikut rubuh, miring sekitar 45 derajat. Betul-betul suatu hal yang tidak terduga. Maka benarlah, hanya Tuhan dan sopir bajaj yang tahu kemana bajaj itu akan berbelok.

Siang yang terik, aku memesan menu berkuah. Sop pada mangkuk terpisah, dua tempe goreng, perkedel serta sedikit tumis kacang. Untuk minumnya, es teh sangat tepat memanjakan tenggorokan yang penuh dengan dahaga. Aku duduk dengan malas pada kursi lajur. Menghadap ke arah jalan yang terlihat dari jendela-jendela papan yang tersusun renggang-renggang. Sebelum menyantap makanan, seperti biasa, aku mengecek handphone memastikan tidak ada panggilan ataupun pesan yang akan mengganggu kenikmatan bersantap siang.

Tepat ketika aku hendak menyuapkan sendok pertama, seorang perempuan—yang kulihat sekilas berkuncir kuda—memasuki warung makan. Entah mengapa tiba-tiba semilir angin menerpa wajahku yang sedikit berminyak ini. Tidak begitu jelas apakah berasal dari kipas angin yang bertengger di dinding atas pintu itu atau memang sebab kedatangan perempuan itu. Aku berusaha tidak peduli. Meski kadang ekor mataku ini menangkap bayangan perempuan menunjuk-nunjuk menu yang ia inginkan, dan seiring bergeraknya kepala, rambut kuncir kudanya akan bergoyang-goyang. Aku tersenyum sambil mengunyah makanan. “Tambah kuah lodehnya sedikit, Bu” “Eh, udah..udah.. cukup segitu saja. Makasih.” Ucapnya manis pada Bu Julianti. Wanita itu berbalik, kutebak dari detak sepatu pantovelnya yang mendekat kepadaku. Aku masih diam, meski hati ini berdesir sedikit. Kunyahan-kunyahan di mulutku sekarang lebih jelas terdengar. Warung ini tiba-tiba sepi, sepi sekali.

“Maaf ya, Mas. Saya duduk di sini.” Ucapnya sambil meletakkan piring di sebelah kiri tempat dudukku. Nyaris tak berdentang. “Oh, iya silahkan, Mba.” Jawabku kikuk. Pada kesempatan ini, kucoba untuk menangkap sejenak wajahnya. Demi Tuhan, aku hampir saja menjatuhkan gelas di bibir meja. Tiba-tiba saja wajahku seperti terpaku, terpana oleh senyum dua senti seperti di iklan-iklan pasta gigi itu. Bedanya, model yang di depanku ini perempuan yang luar biasa cantiknya. Kalau boleh dibilang, model yang di televisi itu nilainya tujuh, ini sembilan.

Aku agak sedikit bergeser ke kanan, meski jelas-jelas tempat duduk di sebelah kiriku masih lempang. Ia duduk, berjalan memutar memasuki ruang antara meja lajur dengan kursi lajur ini. Ia mulai menyendok makanannya. Aku diam saja. Beberapa kali sendok dan garpunya beradu memisah udang rebus itu, nyaris tanpa denting. Aku masih diam, masih mengunyah makanan dengan tenang. Satu suap, dua suap, tiga suap sampai pada akhir suapan. Kami khusyuk dalam diam. ***

Entah mengapa, semenjak bertemu dengan perempuan berkuncir kuda itu, aku senantiasa terbayang-bayang akan wajahnya. Kulitnya yang putih, senyum dua sentinya yang mungil, perawakan anggun saat memakai pakaian kerjanya, dan yang paling kuingat rambutnya yang dikuncir. Bukan jenis rambut yang jatuh bila dikuncir, namun rambut yang tegak. Yang apabila ia menggerakkan kepalanya, rambut itu akan ikut bergoyang menyelaraskan kemana kepala itu menoleh. Lucu, lucu sekali.

Maka, pada hari-hari berikutnya aku memutuskan untuk kembali makan siang di warung makan Bu Jul kendati beberapa teman-temanku mengajak makan siang di lain tempat. Waktu makan siang dengan sengaja aku paskan menjadi pukul sebelas, kurang sedikit beberapa menit. Aku yang berkantor di Instansi Keuangan ini tentu sudah menyalahi jam istirahat. Namun kurasa ini tidak menjadi masalah, sebab saat waktu jam istirahat masih ada, aku sudah berada di tempat kerja. Kompensasi lah. Hari berikutnya aku tidak bertemu dengan perempuan berkuncir kuda itu. Nihil. Agak kecewa sebenarnya. Akhirnya aku hanya mendengar pembicaraan kedua sopir bajaj yang rupanya sudah langganan di warung ini. Tidak jauh-jauh obrolan mereka, tentang maraknya kasus korupsi di suatu instansi keuangan dan menyebutkan bahwasanya mereka semuanya sama saja: tukang palak uang rakyat. Aku geram. Nasi berlauk bandeng goreng dan sayur lodeh itu setengahnya tertinggal di atas piring, aku keburu muak dengan mereka.

Hari selanjutnya, bila bukan masih berharap bertemu dengan perempuan bersenyum dua senti itu, aku takkan menyambangi lagi warung Bu Jul. Masih di jam yang sama, masih pada saat matahari belum tepat benar di atas ubun-ubun, aku berjalan menuju warung makan Bu Jul. tentu membosankan bukan cerita yang begini-begini ini? Namun segala kebosanan ini sebentar lagi pasti hilang. Memasuki langkah pertama ke dalam warung, aku disambut oleh semilir angin yang menerpa wajah berminyak ini. Aku memandang ke atas pintu, oh, kipas angin jumbo bu Jul sudah dinyalakan. Namun lebih dari itu, di depan deretan menu-menu, di depan kaca etalase, aku melihat seorang perempuan tengah memilih jenis makanan. Perempuan yang tingginya kisaran 167 senti meter, memakai blouse kerja, bersepatu pantovel, bersenyum dua senti dan.. ya, tentu rambut kuncir kuda itu! Yang berderaian bergerak kesana-kemari. Aku tersenyum. Dua orang penarik bajaj yang biasanya duduk di pojokan sana tidak nampak. Barangkali ingin memberikan kesempatan kepadaku untuk menikmati makan siang kali ini.

Perempuan berkuncir itu duduk di kursi lajur pertama yang menghadap jalan, tempat pertama kali bertemu. Jangan-jangan ia ingin mengulang pertemuan lusa. Aku segera memilih menu siang ini. Nasi setengah, sebab sebenarnya aku belum lapar benar, tumis kacang, tempe goreng dan udang rebus. Warung masih sepi. Aku memberanikan diri untuk meletakkan piring di sebelah kanan perempuan itu, dengan sedikit dentang dari piring dan meja yang beradu.

“Maaf, bolehkah saya duduk disini?” tanyaku sedikit malu-malu. “Oh, tentu saja. Silahkan, Mas?” jawab perempuan itu tanpa menggeser duduknya, karena memang di samping kanannya kursi lajur itu masih lapang benar. Aku melompati korsi lajur, memposisikan duduk senyaman mungkin meski dada ini sedang berdesir-desir. “Sendirian saja, Mas?” ucap perempuan tadi tepat saat aku hendak memasukkan suapan pertama. “Eh, iya mba.” Terpaksa kuturunkan kembali sendok ini. “Mba sendirian juga?” tanyaku kikuk. “Iya, Mas. Eh, mas yang kerja di Gedung Keuangan di depan itu, kan?” “Betul. Mba sendiri kerja dimana? Sepertinya saya jarang melihat disini.” “Saya masih magang, mas. Di kantor Depnakertrans. Samping kantor Mas.” “Ooh, begitu.” Selanjutnya kami asyik dalam perbincangan remeh temeh, perbincangan orang yang baru saja berkenalan. Mengenai makan, aku memasukkan nasi sedikit-sedikit dalam tiap suapan. Tentu sebab satu hal: supaya makan siang ini jangan lekas cepat berlalu. “Oh iya, Mba namanya siapa?” tanyaku pada suapan terakhir. Tak kenal maka tak sayang. “Wah iya, sampai lupa kita berkenalan. Saya Zhafira.” Jawabnya manis. “Safira?” aku kurang jelas menangkap jawabannya. “Zhafira, mas.. Shabira Zhafira.” Jawabnya pelan. Ya, man shabara Zhafira. Barang siapa bersabar, ia akan menang. Aku teringat salah satu nukilan buku yang terakhir kubaca tadi malam. “Oke, Zhafira saya undur diri dulu. Senang berkenalan denganmu.” Pamitku. Rasanya kurang pantas aku berlama-lama di warung makan. Kulihat dia juga sudah menghabiskan makanannya. “Mari, mas.. Saya masih menunggu teman saya.” Jawabnya manis. Senyum dua senti itu dikembangkannya.

Aku segera membayar makanan, termasuk Zhafira. Namun kuucapkan diam-diam kepada Bu Jul tanpa sepengetahuannya, supaya tidak terkesan aku ini orang yang gampangan. Aku melangkahkan kaki keluar dari warung. Ada sesuatu yang membuat dada ini berbunga-bunga. Siang tidak lagi terik, udara tidak lagi berisik. Di tiap pandang, hanya ada Zhafira yang cantik. ***

Aku masih duduk cemas di kursi tunggu pasien. Sudah dua jam yang lalu istriku berada di kamar persalinan bersama ibu mertuaku. Dua minggu terakhir, istriku kutitipkan kepada ibu mertua sebab kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan. Aku tidak mau mengambil resiko saat ia melahirkan nanti. Aku harus bekerja, tentu tidak setiap saat ada di sampingnya. Selama dua minggu itulah aku seperti bujangan kembali.

Istriku ini, aku sayang betul kepadanya. Kami menikah sekitar satu tahun lalu, dari sebuah pertemuan di Perpustakaan Nasional. Kami sering berjumpa setelahnya. Dari sanalah kami kemudian merencanakan hidup bersama.

Aku terbuyar dari lamunan ketika tangis seorang bayi melengking menyayat kesepian. Bergegas, aku masuk kamar persalinan.

“Selamat, anak anda perempuan. Lahir dengan proses normal.” Jawab dokter dengan senyuman yang tersembunyi di belakang maskernya.

Aku segera mengucapkan terima kasih, lantas mengumandangkan adzan di telinga mungil bayi ini. Perasaanku bercampur aduk. Inikah perasaan menjadi seorang bapak? Istriku terlihat kepayahan, keringat dingin sebesar kerikil-kerikil itu bercucuran di dahinya.

Seorang suster mempersilahkan istriku untuk melihat bayi yang masih kemerah-merahan. Ia tersenyum. Sangat bahagia. “Mas, anak kita perempuan..” “Iya, dek.. cantik sekali.” “Mas sudah mempersiapkan nama untuknya?” Aku diam sebentar. Tiba-tiba saja, entah ide ini datangnya dari mana, meluncur nama dari mulutku. “Shabira Zhafira.” Jawabku agak tercekat. Istriku tersenyum, bayi ini pun tersenyum. Manis. Manis sekali.***

Pengadegan, April 2011

M. Nurcholis penikmat sastra, tinggal di Jakarta, buku kumpulan ceritanya bersama Nana Sastrawan dkk. “Hampir Sebuah Metafora” terbit tahun 2011. Twitter: @n_choliz

Anisa dalam Cerita Roti

Anisa menyelinap di antara pepohonan. Menunduk, merangkak. Matanya yang sayu, mengamati sekelilingnya. Saat terdengar langkah kaki, ia berhenti. Kemudian menyusup kembali ketika yang terdengar hanya hembusan napasnya dan cacing yang terus menggeliat di dalam perut. Desauan angin merisau memacu degup jantung untuk berdetak kian kencang tatkala ia sampai di pintu pagar bagian belakang rumah tersebut.

Anisa mengamati rumah bertingkat dua bercat merah maron itu. Telinganya seksama mendengar segala suara di sekitarnya. Sesekali ia mengamati sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang yang melihat ia bersembunyi di balik bak sampah yang berada di samping pintu pagar bagian belakang rumah milik Abah Ahong. Suara kucing ribut ketika terdengar benda jatuh dari arah belakang rumah itu. Seperti biasa, Anisa langsung mengendap masuk ke pekarangan dan menyelinap mendekati asal suara. Setelah mengusir empat lima ekor kucing, ia bergegas membongkar plastik hitam yang berisi penuh. Wajah gadis belasan tahun itu tersenyum ketika menemukan dua potong roti.

Tanpa mengucapkan salam, ia langsung membuka pintu. Tampak dalam samar perempuan setengah baya yang tiduran di atas kertas karton berbagai ukuran dan warna.

“Hari ini kita masih diberi rejeki, Mak,” katanya sambil duduk di samping perempuan itu. Dengan susah payah perempuan tersebut duduk.

Sesuwir demi sesuwir roti dimasukan ke dalam mulut sang emak. Pelan dan seolah mehanan sakit, mulut perempuan itu mengunyah roti yang disuapkan anak semata wayangnya. Anisa tersenyum melihat emaknya menelan makan malam mereka. ***

Rohila siang itu sibuk memunguti bekas kemasan air minum di lapangan seusai kampanye sebuah partai. Bukan hanya dia, setidaknya lima sampai tujuh orang juga beradu cepat memunguti bekas kemasan air minum dan apa saja yang mereka anggap bisa dijadikan uang. Meskipun karung yang dibawanya sudah penuh sesak dengan bekas kemasan air minum dan barang bekas lainnya yang bisa dijual, Rohila masih terus memungutinya. Batinnya, hari ini adalah rejeki anaknya yang baru masuk sekolah.

Rohila kesulitan membawa dua karung yang penuh sesak dengan barang-barang bekas. Ia sempat terjatuh beberapa kali karena tak kuat membawa keduanya secara bersamaan. Pinggang dan kedua tangannya seolah akan lepas, tapi ia tetap berusaha agar barang-barang itu cepat sampai ke pengumpul.

Terbayang olehnya betapa bahagianya Anisa saat tahu dirinya pulang membawa buku tulis. Bagi dirinya, Anisa bisa belajar saja merupakan berkah yang tak pernah hadir dalam mimpinya. Awalnya sulit bagi Rolihan untuk mendaftarkan anaknya belajar di kelompok belajar yang didirikan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang tak jauh dari rumahnya mengingat kondisinya yang tidak mungkin bisa menyekolahkan putri kesayangannya. Jangankan untuk sekolah, makan sehari-hari saja ia harus menahan lapar agar Anisa bisa kenyang.

Bahkan dirinya hanya meminum air putih satu sampai dua hari agar anaknya bisa makan. Karena hampir seluruh anak seusia Anisa ikut belajar di kelompok itu, Rohila pun akhirnya memasukannya. Meskipun gratis, tapi ia masih risau dengan perlengkapan belajar Anisa, seperti alat tulis. Dengan menatap prihatin kepada anak dan nasibnya, Rohila mengumpulkan buku-buku tulis bekas yang masih kosong. Ah, silet-silet kehidupan menyayat hatinya saat Anisa tertawa bahagia menerima buku-buku bekas itu. Dan hari ini, senyum bahagia anaknya akan menjadi obat mujarab semua luka yang selama ini menjadi borok dalam kehidupannya. Luka-luka hidup itu sembuh sekejab oleh senyum anaknya.

Cericit rem mobil sedan dengan kecepatan tinggi membuyarkan senyum bahagia Anisa yang melintas di pikirannya. Bekas kemasan air mineral itu berserak memenuhi jalan. Tubuhnya terpental sekian meter. Hampir menghantam trotoar. Tapi, Tuhan masih sayang kepadanya. Jantungnya masih berdetak. Napasnya masih hangat. Nadinya masih berdenyut. Karung yang berisi bekas kemasan air mineral itu menyelamatkan kaki dan pinggangnya saat mobil sedang itu menabraknya. Meskipun begitu, tulang pinggangnya retak. Sementara mobil sedan itu, menghantam trotoar dan sopirnya tewas. ***

Setelah menghabiskan satu dari dua roti, Rohila menyandarkan tubuh ke dinding. Hanya tidur dan duduk yang bisa ia lakukan setelah tabrakan itu. Kedua kakinya tidak bisa digerakan, apalagi untuk jalan. Dia lumpuh. Sekolah Anisa ikut menjadi korban. Kini, perempuan kecil itu memikul beban untuk menghidupi mereka berdua. Pagi, setelah membuatkan air minum untuk emaknya, Anisa harus bergegas ke tempat pembuangan sampah mencari barang-barang bekas untuk dijual. Malamnya, ia harus menyuapi emaknya. Ketika uang yang ia peroleh tidak cukup untuk membeli makanan, Anisa datang ke rumah Abah Ahong berharap ada sisa makanan, seperti malam ini.

“Kamu gak makan, Sa?” tanya Rohila. “Sudah Mak. Tadi sehabis jual barang bekas, aku beli nasi uduk tempak mbok Nah.” jawab Anisa. Hati Rohila tercabik-cabik dengan jawaban anaknya. Ia tahu kalau Anisa belum makan sejak tadi pagi. Namun, ia mencoba menyembunyikan kepedihan hatinya. “Roti ini sepertinya dari rumah Abah Ahong?” tanya Rohila. “Iya Mak. Uang penjualan barang bekas tadi hanya cukup untuk beli satu bungkus nasi uduk. Waktu lagi makan, truk sampah datang. Aku lupa membungkus lagi nasinya. Kemudian aku lihat lagi sudah habis dimakan anjing,” jelas Anisa.

Rohilah tersenyum. Hujan dalam dadanya kian deras. Banjir kepedihan menghantam kekuatan bendungan hatinya. Ia bertahan dan terus menahan bendungan itu agar tidak jebol di hadapan anaknya. Rohila menyandarkan tubuh dengan pasrah. Napas berat menjadi pelampiasan sesak dadanya. Meskipun tidak melegakan dada, tapi bebannya sedikit lepas.

“Mak, tadi masih ada sisa sedikit. Aku masukin celengan, ya?” tanya Anisa. Rohila mengangguk.

Setelah mengambil celengan dari kaleng susu dan memasukan beberapa lembar uang ribuan, Anisa mendekat ke emaknya dan tiduran di sampingnya. Rohila membelai rambut anak perempuannya. Rambut hitam itu terasa kasar dan kumal. Sesekali Rohila mengusap kening pertama hatinya. Batinnya saat ini tak setenang belaiannya. Berkecambuk antara perih, sedih dan putus asa. Entah karena kelelahan atau lembutnya belaian Rohila, Anisa pun terlelap.

Rohila memandangi wajah teduh anaknya. Ia tampak kecewa dengan hidup yang dijalaninya sekarang. Mimpi dan angan yang ia bangun itu hancur oleh kenyataan. Padahal, tinggal selangkah lagi ia akan merasakan kebahagiaan yang begitu didambakannya, meskipun itu hanya sekedar senyuman Anisa. Kebahagiaan Anisa, bagi Rohila, adalah seluruh hidupnya. Walaupun matahari menjadi payung dan karang menjadi jalan, akan ia tempuh asal senyuman Anisa mekar laksana bunga di pagi hari. Itulah kesejukan hatinya.

Semilir angin menyusup melalui lubang-lubang rumah kayu yang dibangun mendiang suaminya sepuluh tahun silam. Dingin yang menyapa tubuhnya menciptakan kerinduan kepada mendiang suaminya. Dulu, saat-saat seperti ini ia selalu berbagi dengan suaminya. Ia begitu tabah, begitu kuat dan sabar menghadapi hidup meskipun dalam kesusahan terberat mereka saat suaminya divonis mengidap HIV. Awalnya ia tak tahu jenis penyakit apa itu. Setelah banyak buku yang ia baca dan konsultasi deengan beberapa dokter kenalannya, jantung seakan berhenti seketika. Hidup seolah tak berguna setelah mengetahui kenyataan yang begitu pahit. Harta kekayaan yang mereka kumpulkan selama menikah habis untuk menngobati suaminya agar sembuh. Tapi semuanya gagal. Dia dan suaminya pun akhirnya menyingkir dari kehidupan mewah yang memanjakannya selama ini.

Bukan hanya dia, Ardan, suaminya, tak kuat lagi menjalani hidup dengan kenyataan bahwa dirinya mengidap HIV. Setelah mengetahui kondisinya, Ardan menghabiskan hari-harinya dengan minuman keras. Sampai pada akhirnya ia tewas ditikam preman di kawasan kumuh saat pulang.

Setelah kematian Ardan, duka tak berhenti di situ. Malam itu hujan lebat dengan angin kencang, genap seminggu suaminya meninggal. Hatinya sudah resah sejak sore. Semua yang ia kerjakan sehari itu sia-sia dan kurang srek. Gundah itu menggelayuti sampai malam tiba. Gemuruh petir dan desauan angin mencekam malam. Satu dua butiran air jatuh ke bumi dan berubah menjadi hujan, lebat. Dalam temaram, Rohila mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikiran dengan bersahabat dengan gundah gulananya. Saat dirinya menggapai mati, tiba-tiba tubuh ditindih sesuatu dengan aroma alkohol menyenggat. Semua terjadi begitu cepat dan sekejap menggapai klimaks. Kepahitan-kepahitan itu mampu Rohila hadapi meskipun sendirian.

Rohila kian menyandar. Semua kenangan itu tergambar begitu jelas, seolah hendak menekankan bahwa garis hidupnya tak mentas dari kubangan duka. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidup. Ketika pasrah, hidup seolah mengejeknya. Saat mencoba tegar, ia dihadapkan pada kenyataan yang sangat sulit diterima. Tangannya kembali mengelus rambut Anisa. Dan meyakinkan diri harus ada sebuah keputusan. ***

Malam itu Anisa kembali mengendap ke pekarangan belakang rumah Abah Ahong. Dengan sabar ia menunggu pembantu Abah Ahong membuang sampah. Satu dua kucing berdatangan, sama seperti dirinya menanti rejeki malam ini. Di antara mereka, terjadi pertengkaran kecil atau bercumbu karena musim kawin datang. Anisa mencoba mengusir kucing-kucing itu.

Kucing-kucing pergi, kemudian datang lagi. Setengah jam kemudian, pintu belakang rumah Abah Ahong terbuka. Wanita setengah baya keluar dengan menjinjing dua plastik hitam yang berisi penuh. Wanita itu melemparkan barang bawaannya ke dalam bak sampah yang berada di sudut pekarangan, tak jauh dari pintu pagar bagian belakang. Kucing-kucing bergegas mendekati wanita tersebut dan satu per satu melompat ke bak sampah. Setelah pembantu itu kembali ke dalam rumah, Anisa bergegas menyusul kucing-kucing itu. Ia harus berebut dengan kucing yang sudah mendahuluinya untuk mendapatkan makanan. Kedua plastik itu dibongkarnya, tapi tak ada sisa makanan, cuma sampah dapur dan beberapa helai pembalut wanita. Dengan murung ia kembali ke rumah.

Anisa membuka pintu tanpa salam. Rumahnya begitu sepi dan senyap. Tak terlihat emaknya yang biasa tidur di ruang depan yang juga kamar bagi mereka berdua. Karton-karton yang digunakan sebagai alas tidur tersusun rapi di sebelah kiri ruangan. Bekas spanduk yang mereka gunakan untuk selimut terlipat rapi di atas karton. Meskipun dalam temaram, Anisa bisa melihat rumahnya malam ini begitu bersih dan rapi. Tapi, tidak ada emak.

Hati Anisa risau. Tak biasa emak pergi pada malam hari. Beberapa tetangga yang ia tanyai mengaku tidak melihat emaknya. Di belakang rumah, hanya tumpukan barang bekas yang belum dijual. Airmata mulai menetes. Mulutnya tak berhenti-henti memanggil Rohila. Saat ia akan kembali ke dalam rumah, dalam gelap terlihat daster yang biasa dipakai emaknya di antara tumpukan sampah yang tak jauh dari rumahnya. Anisa bergegas lari ke tempat daster itu. Daster itu koyak. Sekitar lima meter dari tempat ia menemukan daster, tampak tubuh Rohila terbujur dengan telanjang bulat. Mulutnya mengeluarkan busa dan tercium bau racun. (*)

Padang, September 2011

Biodata: Joko Nugroho. Lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 18 Maret 1979. Saat ini tinggal di Padang, Sumatera Barat, dengan alamat Jln Palinggam No. 34, Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat.

Gadis Piano, Piano dan Pria Kesepian

Panggung sudah siap. Beberapa ornamen etnik berupa porselen-porselen unik tertata rapi di jajaran rak yang berfungsi sebagai latar belakang panggung. Di sebelah kanan dan kiri, tergolek properti berbentuk buku-buku tebal berwarna hijau dan merah. Bola dunia raksasa yang ditopang oleh kerangka baja berdiri kokoh di sudut kanan panggung, di samping rak yang berisi porselen giok itu. Di langit-langit panggung, digantung layar putih yang berfungsi untuk menampilkan lirik atau partitur lagu yang nantinya akan dipentaskan.

Dan di tengah panggung—ini yang terlihat begitu anggun—sebuah piano elektrik berwarna hitam metalik sedang bersimpuh. Cahaya amber temaram menyinari panggung yang harmoni ini.

Penonton, tentu saja, sedang menunggu secara tidak sabar siapa yang akan muncul dari ujung tirai sana.

Di tempat duduk lajur kesebelas, nomor dua belas, seorang pria sedang berharap-harap cemas, menanti seseorang yang akan mengisi panggung malam ini sendirian. Di sampingnya, seorang gadis berambut pirang dan bermata safir, beberapa kali meminta penjelasan tentang siapa artis yang akan tampil malam hari ini. Pria tersebut menjawab sekenanya dalam Bahasa Inggris. Gadis di sampingnya ini adalah turis yang sedang ia guide. Untuk mendapatkan penghasilan sampingan, pria tadi bekerja menjadi tour guide. Dan kini, di acara International Literary Biennale, ia bertugas memandu seorang turis wanita yang jauh-jauh hari sudah memesan jasanya melalui internet.

Sesungguhnya ia sedang berdebar menantikan seorang gadis yang akan memainkan piano anggun itu. Gadis yang, kalau boleh saya ceritakan sedikit, telah menarik perhatiannya dari ayunan lentik jarinya yang sangat lihai menekan tuts-tuts piano. Serta suara vokalnya yang begitu membius, seperti Muse yang mendendangkan lagu-lagu bagi para dewa Athena. Gadis pemain piano ini pertama kali dikenalnya saat mengisi sebuah acara sastra di Bentara Budaya Yogyakarta. Saat itu, lelaki ini (yang lagi-lagi sedang bersama seorang gadis berambut pirang dan bermata cokelat) begitu terkesima. Tak lama setelah itu, Gadis Piano mengeluarkan album rekaman yang langsung meledak. Dan tentu saja, pria tadi begitu antusias mencari setiap rekaman yang dipentaskan Gadis Piano. Baik rekaman dalam bentuk kaset, CD, atau unggahan video di Youtube. Dan perlahan-lahan, pria tadi mempunyai perasaan khusus terhadap Gadis Piano ini. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pria ini menyukai Gadis Piano itu, secara perlahan-lahan pula. ***

Piano metalik hitam yang bernama Oscar itu berusaha untuk memperkencang sekrup-sekrupnya. Beberapa tuts ia kibaskan untuk menggeser debu-debu yang bakalan mengotori tangan lentik tuan puterinya nanti. Oscar sangat mencintai tuan putrinya ini. Kemanapun Gadis Piano pergi, Oscar selalu menemani di setiap pertunjukannya. Malam ini adalah pertunjukan ke tujuh puluh sembilannya bersama Gadis Piano. Dan sejauh ini, setelah pertunjukkan usai, Gadis Piano akan mendapatkan gemuruh pujian dari panggung penonton. Namun Sang Gadis Piano adalah manusia yang rendah hati. Dengan bangga ia katakan bahwa penampilannya adalah karena peran dari Oscar pula. Dan sekali lagi pengunjung akan bergemuruh, khusus bagi piano hitam itu. Ini tentu sangat menyenangkan bagi Oscar. ***

Dari balik tirai, Gadis Piano itu muncul. Ia mengenakan gaun terusan berwarna chiffon, dengan rambut tergerai yang dihiasi beberapa jepet di bagian samping-samping telinganya. Dengan langkah-langkah kecil ia memasuki panggung sambil membawa cangkir porselen, mungkin berisi minuman. Ia segera meletakkan cangkir itu di meja kecil samping pianonya, lalu duduk dengan terlebih menyingkap rok bagian belakangnya ke samping. Setiap gerakannya tak pernah luput dari tatapan pria di tempat duduk nomor dua belas tadi.

Gadis Piano melempar senyum ke seluruh pengunjung. Ia lalu mengucapkan beberapa kata pembuka. Cara ia berbicara sungguh kekanak-kanakan. Maksudnya, aksen yang ia ucapkan begitu renyah dan kata per kata yang diucapkan secara terbata-bata membuat penonton tersenyum dan tertawa berderaian. Mungkin memang begitu ciri khasnya. Dan tentu, itu akan tetap memukau bagi para penggemarnya. Terutama adalah pria tadi yang kini entah mengapa sedang tersenyum-senyum sendiri.

Seperti pertunjukan biasanya, Gadis Piano itu akan melempar pandang ke segenap penjuru penonton. Mungkin para penonton tidak menyadarinya, ada seseorang yang sedang ia cari. Seorang penonton pria yang selalu menonton pertunjukkannya. Ia hafal betul wajah pria itu. Pria berwajah tirus dengan tatapan mata yang tajam. Rambut sedikit ikal, kaos oblong dan tas ransel berisi kamera yang kerap menangkapnya saat ia sedang berpiano. Kini Gadis Piano itu tersenyum sekali lagi. Bukan kepada seluruh penonton karena ia akan memulai pertunjukannya, tetapi karena ia telah menemukan pria yang ia maksudkan tadi di antara penonton yang hadir, dan Oscar—piano di depannya—tahu hal itu. Meski sekali lagi, ia merasa sedikit gundah dengan kehadiran gadis pirang di sampingnya yang kerap berbincang-bincang dengannya.

Gadis Piano menarik nafas panjang, kemudian nada pertama berdenting dari Pianonya, disusul nada kedua, ketiga dan seterusnya yang terdengar sangat beraturan. Gedung pertunjukan kini menjelma gugusan awan dengan desau angin yang begitu lembut menerpa telinga orang-orang di dalamnya. Pada giliran berikutnya, bait-bait puisi Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar terlantun begitu merdu berdeburan dengan suara piano yang perlahan menghadirkan kesepian bagi pria di tempat duduk nomor dua belas itu.

Tiga puisi masing-masing dari Chairil Anwar, Asrul Sani dan Sanusi Pane begitu lantun dibawakan Gadis Piano. Musikalisasi puisi ketiga maestro ini menjadikan Gadis Piano maestro baru. Lalu kita tengok di tempat duduk nomor dua belas tadi. Pria yang tiba-tiba merasa kesepian tadi terus mengembangkan senyum. Ia tak habis pikir, barusan tadi di gedung ini hanya Ia dan Gadis Piano yang ada. Masalah penonton lain, kita kesampingkan dulu. Cerita ini tidak akan segera berakhir bila kesan tiap penonton saya ceritakan.

Ada orang-orang yang memang diciptakan untuk dikagumi, pikir Pria Kesepian. Mari kita sebut namanya demikian supaya ia dapat dibedakan dengan pria-pria lain di ruangan itu. Baginya, Gadis Piano hanyalah sosok yang dapat ia lihat dari kejauhan. Seperti mobil-mobil mewah dalam showroom mobil bagi rakyat jelata. Jangankan untuk mengendarainya, untuk menyentuhnya pun tidak ada niatan yang terbersit sama sekali. Maka jadilah ia penonton setia, dan rasa berbunga-bunga dalam dadanya cukuplah ditutupi oleh kaos oblongnya.

Gadis Piano disambut keriuhan tepuk tangan dari para penonton. Ia pun tertawa kekanak-kanakan. Ia mengelus-elus Pianonya, Pianonya tersenyum kepadanya. Yang lebih membuatnya bahagia adalah Pria Kesepian di tempat duduk nomor dua belas terlihat sangat terhibur. Mukanya cerah dan matanya begitu legam berbinar. Ah, ingin rasanya ia mendapatkan ucapan atau tepuk tangan khusus darinya. Namun apa daya, Pria itu—sebagaimana pria-pria yang datang pada pertunjukannya—selalu datang dengan kekasihnya. Sebenarnya ia sering iri dengan penonton yang menikmati pertunjukannya. Bagaimanapun, ia ingin sekali menikmati lantunan Piano dengan orang yang ia sukai diam-diam. Ikut bersenandung kecil, menafsir kembali apa yang ditampilkan atau sekedar memperoleh suasana panggung konser piano yang begitu mempesona. Namun semua ini tentu hanya khayalannya.

Kondisi Tuan Putri tiap pertunjukan, dirasakan betul oleh Piano kesayangannya itu. Setelah selesai pertunjukan, atau ketika mereka sedang berduaan di kamar mengaransemen nada-nada, Tuan Putri sering curhat perihal keinginannya bertemu dengan pria yang selalu hadir pada pertunjukannya. Piano sebenarnya mengerti, kalau Pria Kesepian itu benar-benar kesepian. Gadis pirang yang kerap ada di sampingnya selama pertunjukan adalah turis yang sedang ia guide. Menjadi guide rupanya pekerjaan sampingannya sebagai mahasiswa. Kalau saja Tuan Putri lebih teliti mengamati gadis-gadis pirang yang ada di sampingnya, Tuan Putri pasti akan menemukan perbedaan-perbedaan, gumam si Piano. Pada konser sebelumnya ada Gadis Pirang bermata amber, berikutnya lagi Gadis Pirang bermata cokelat, dan kini Gadis Pirang bermata safir. Hal ini ingin ia sampaikan kepada Tuan Putri, namun apa daya, ia hanyalah Piano yang hanya bisa menghasilkan nada, bukan untuk berkata-kata. ***

Pertunjukan Gadis Piano malam ini betul-betul luar biasa. Para penonton memancarkan wajah yang ceria. Mereka berharap, suatu ketika dapat kembali menyaksikan pertunjukan piano yang begitu mempesona. Di luar gedung, hujan turun perlahan, mengabutkan mata-mata yang tak mampu menggapai cinta.***

Salihara-Pancoran, Oktober 2011. Biodata: M. Nurcholis lahir pada 22 Juni 1986 di kota Cilacap. Menulis Puisi dan Cerpen di waktu senggangnya. Kontak: Twitter: n_cholize Facebook: Muhammad Nurcholis

Putriku dan Dongeng-dongengnya

Putriku senang mendengarkan dongeng. Berkat ibunya yang rajin, gadis cilik berusia lima tahun itu kini tergila-gila pada dongeng. Setiap kali dia ingat, dia akan meminta hingga memaksa siapa pun untuk mendongeng padanya. Juru cerita favoritnya, tentu saja adalah ibunya sendiri, si racun pertama. Dongeng-dongeng yang diceritakan istriku kebanyakan adalah gubahan ngaco yang terinspirasi Grimm, Perault, Andersen, ataupun cerita-cerita rakyat. Istriku adalah penggila dongeng yang taat. Dia bahkan menulis skripsinya tentang dongeng sebagai syarat kelulusannya menjadi Sarjana Sastra.

Aku sendiri menganggap dongeng sebagai mainan anak perempuan, apalagi dongeng-dongeng yang melibatkan kisah para putri yang minta diselamatkan. Aku hanya mengangguk-angguk saja berpura-pura tertarik ketika istriku bercerita tentang dongeng-dongeng yang digilainya itu. Maka aku pun tidak heran ketika anakku yang bicaranya masih cadel itu tertular kegilaan ibunya.

Suatu waktu, putriku menarik-narik ujung kemejaku meminta didongengi sesuatu. Kala itu aku sedang sibuk mengerjakan laporan dan tidak bisa memenuhi permintaannya. Dia meraung kencang sekali, dan tak ada satu pun yang dapat meredakan tangisannya itu, tidak pula dongeng dari istriku. Dia menginginkan dongeng hanya dariku.

Maka baiklah, pikirku, toh laporan ini sudah hampir selesai dan tak ada salahnya jika kutinggalkan sebentar demi bisa bercerita pada putri semata wayangku.

Dia langsung berhenti menangis dan air matanya mengering dengan sendirinya, wajahnya dihiasi tawa, tak ada jejak-jejak tangis di mukanya yang mungil itu. Dasar penipu cilik, pikirku.

Anakku sudah menyiapkan tempat di ranjang kecilnya. Dia menyusun bantal-bantal sedemikian rupa agar aku bisa mendongeng dengan nyaman. Sungguh, melihatnya berseri-seri seperti ini membuat hatiku membuncah bahagia. Matanya berbinar menatapku penuh antisipasi, bersiap mendengar dongeng paling hebat.

“Pada zaman dahulu,” demikian aku memulai. Namun, sebelum sampai pada kalimat berikutnya, dia sudah protes dengan suaranya yang kenes. “Ibu tidak pakai ‘pada zaman dahulu’ kalau mendongeng. Ibu bilang, mendongeng kayak gitu udah kuno.”

Ingatkan aku untuk mencubit istriku karena telah menyebabkan semua kerepotan ini. Aku tidak suka dongeng, pun tidak pandai mengarang dan sekarang harus berkutat dengan itu setiap hari.

“Baiklah. Hmmm, bagaimana ya?” "Telselah Ayah."

Aku memutar otak, lalu kembali memulai. “Kisah ini terjadi tidak terlalu lama. Mungkin kemarin, tapi bisa juga baru terjadi. Pokoknya, di dunia dongeng, soal waktu bukanlah masalah penting....”

Anakku sudah memperhatikan dengan saksama.

“Ini adalah cerita dua monster yang saling membenci.” "Kenapa meleka saling membenci, Ayah?” “Hush... dengarkan dulu.” "Monstelnya selam tidak, Ayah? "Monsternya tidak seram. Kamu mau dengar ceritanya atau tidak?” Aku terus mengulur-ulur waktu sambil memikirkan apa yang akan kuceritakan berikutnya. Dia diam, siap mendengarkan lagi. “Pada saat ini, mungkin terjadi di dalam lemarimu, atau di bawah ranjangmu, hidup dua ekor monster yang saling membenci. Mereka tidak tahu mengapa mereka saling membenci. Tiba-tiba saja begitu. Awalnya mereka berpapasan di gang, kemudian tumbuhlah benih-benih kebencian di antara mereka.

Mereka adalah Monster Merah dan Monster Ungu. Monster Merah menyukai segala yang berwarna merah dan senang menggambar dan mendengarkan dongeng. Sementara itu, Monster Ungu menyukai warna ungu, suka mewarnai dan membacakan dongeng. Tetapi mereka tidak tahu itu. Monster Merah hanya tahu kalau Monster Ungu adalah monster jelek dan tinggi yang berwarna ungu dan punya tampang bodoh. Sementara Monster ungu mengenali monster merah sebagai monster bertampang galak yang senang membentak orang juga sok pintar. Keduanya tidak tahu kalau mereka berdua memiliki hobi yang sama.

Setiap hari, kebencian mereka semakin menjadi-jadi. Kedua monster itu tinggal bersebelahan dan setiap hari yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya agar tidak usah bertemu muka dengan tetangga mereka. Mereka begitu sibuk memikirkan kebencian mereka sampai-sampai mereka melupakan hal-hal yang mereka sukai. Mereka mulai meninggalkan hobi mereka menggambar dan mendengarkan dongeng. Mereka malah berlomba-lomba membuat senjata penghancur!”

“Senjata apa, Ayah? Pelulu meliam?” "Senjata jenis apa pun.” “Senjata biologis?”

Dari mana pula anakku yang masih lima tahun mengetahui soal senjata biologis? Aku geleng-geleng kepala.

"Dengarkan dulu,” ujarku. “Nah, suatu hari, datang monster lain ke wilayah itu dan membangun sarang di seberang rumah kedua monster kita. Namanya Monster Hitam. Ia mengundang kedua tetangga barunya untuk datang ke rumahnya dan makan-makan, karena ia ingin mengenal keduanya. Menurutnya, kita harus mengenal orang terdekat kita dengan baik, agar kita bisa saling menolong. Karena kita tidak bisa hidup sendiri-sendiri.

“Monster Merah senang sekali menerima undangan dari Monster Hitam. Ia menyisir bulu merahnya sampai rapi agar tetangga barunya terkesan. Sementara itu, Monster Ungu mandi di sungai lamaa sekali, sampai seluruh tubuhnya wangi. Kau bahkan bisa mencium wanginya dari jauh. Mereka datang ke sarang Monster Hitam pada saat yang bersamaan. Ketika mengetahui tetangga lama mereka diundang juga, keduanya memalingkan muka lalu meludah ke pinggir jalan.”

“Ih jolok!” putriku tak tahan untuk berkomentar. “Mau diterusin, enggak?”

Gadis kecilku langsung terdiam sambil menutupi mulutnya. Matanya membelalak. Dia pasti akan memarahi dirinya sendiri seandainya dia melontarkan komentar lagi hingga membuatku berhenti bercerita. Pemikiran itu membuatku tertawa.

“Kenapa ketawa sendiri, Ayah?” Ya. Dan dia tidak tahan. Lalu menutup mulutnya lagi dengan tangan. Aku mengabaikannya, lalu meneruskan ceritaku. “Dengan gusar, kedua monster itu mengetuk pintu sarang Monster Hitam. Monster hitam membukakan pintu buat mereka dengan senyum lebar. Mau tak mau si Merah dan Ungu pun ikut tersenyum setelah memasang tampang merengut karena bertemu musuh.

‘Silakan duduk,” Monster Hitam sangat ramah. Ia mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa empuk. Di meja sudah tersedia berbagai makanan enak. Monster Merah dan Ungu menelan liur. ‘Aku senang dapet teman baru seperti kalian. Aku jadi punya teman bermain baru. Katakan, apa hobimu?’ Monster Hitam menoleh pada Monster Merah. ‘Aku suka menggambar dan mendengar dongeng,’ jawab Monster Merah.

Monster Ungu terkesiap, tidak mengira mendapatkan jawaban seperti itu. Lalu Monster Hitam menoleh padanya dan menanyakan hal yang sama.

‘Aku suka mewarnai dan membaca cerita.’ ‘Wah, kalian pasti sering bermain bersama ya, dengan hobi seperti itu. Menyenangkan sekali. Kalau monster merah menggambar, Monster Ungu yang mewarnai gambarnya. Monster Ungu senang mendongeng, dan Monster Merah senang mendengarnya. Kalian pasti dekat sekali, ya? Aku iri.... Aku ingin punya teman seperti kalian.’

Monster Merah dan Monster Ungu saling berpandangan. Hati mereka berkecamuk. Bagaimana mungkin, monster yang paling mereka benci, ternyata memiliki kesukaan yang sama?”

“Setelah itu gimana, Ayah? Apakah meleka jadi belteman?” “Monster Merah mengulurkan tangan berbulu merahnya ke Monster Ungu, lalu malu-malu berkata: ‘Kayaknya kita harus kenalan dulu. Aku Monster Merah. Aku suka menggambar dan mendengarkan dongeng.’ Monster Ungu menyambutnya dan berkata: ‘Aku Monster Ungu, aku senang mewarnai dan membaca dongeng.’ Monster Hitam hanya tersenyum-senyum melihat kelakuan mereka berdua.

Sejak saat itu, Monster Merah dan Monster Ungu menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Berdua, mereka menggambar, mewarnai, dan berbagi dongeng setiap hari.”

“Lalu Monstel Hitam ditinggalin sendili?” “Monster Hitam pindah rumah dan mencari monster-monster lain yang bermusuhan.” “Ohhh...” “Sekarang kamu tidur, ya...” Aku menyelimuti tubuhnya dan mencium keningnya. “Dongeng yang lain, Yah... Ibu suka mendongeng soal Laksasa dan Timun Suli. Atau Sangkuliang. Atau Lutung Kasalung, Yah! Atau celita Bandung Bondowoso!” “Timun Mas, maksud kamu?” “Iya, Timun Suli!” “Ibu saja ya, yang mendongeng.” “Ayah saja!” Putriku bersikeras.

Aku menghela napas dan mulai memutar otak lagi. Istriku harus dihukum habis ini.

Coffeewar, 2 Oktober 2011

Jia Effendie. Penggiat komunitas menulis The Hermes. Editor buku dan penerjemah. Bukunya yang telah terbit adalah Nyonya Perca (2008) dan Ya Lyublyu Tebya (2010). Cerita Sahabat adalah buku kumpulan cerpen yang memuat dua cerpennya bersama 11 penulis lain, terbit Oktober 2011. Karyanya yang lain dapat dibaca di http://jiaeffendie.wordpress.com atau dengarkan sajaknya di http://membacasajak.posterous.com

K e m b a l i

Kembalilah, Ina. Sudah delapan tahun kita berpisah. Sungguh satu hal yang selalu menggangguku adalah kesepian. Pulanglah, Inaku sayang!” Aku sangat merindukanmu. Kuharap, purnama malam nanti kita bisa sama menyaksikannya dari taman bunga-bunga mawar itu. Kau suka sekali dengan mawar dan aku suka sekali berada di sampingmu, Ina. Aku tunggu, ya. Kedatanganmu.” Dari Yang Mencintaimu Zion −−− Inilah bunyi surat pertama Zion untuk kekasihnya, Ina, yang sekarang sedang berada di negeri Samba. Sebuah negeri yang terkenal dengan sepak bolanya yang aduhai. Jelas timnas Garuda harus lebih banyak berlatih dan berlatih serta harus siap mental yang baik dan fisik yang kuat untuk melawan permainan anak-anak Samba yang sudah lima kali menjuarai piala dunia itu. Ah, kurasa bukan soal sepak bola yang hendak aku ceritakan saat ini.

Delapan tahun sudah Zion dan Ina berpisah. Ina pergi ke Brazil mengikuti kedua orangtuanya yang sekarang sedang bekerja di sana. Entah apa perkerjaan kedua orang tua Ina, Zion sahabatku ini tidak pernah memberitahuku. Entah apa sebab, jelas aku tak tahu. Setiap kali aku menanyakan soal itu, Zion tak pernah mau memberitahuku. Tapi, sudahlah. Itukan bukan urusanku.

Zion dan Ina selama ini−selama delapan tahun tidak pernah berkomunikasi sedikit pun. Padahal soal komunikas di zaman yang serba canggih ini adalah hal yang sangat gampang. Bisa lewat telpon seluler atau pun lewat jejaring sosial yang sekarang sedang marak-maraknya. Namun, kecanggihan itu tidak dimanfaatkan penuh oleh kedua pasang kekasih ini untuk sekedar menghilangkan kerinduan. Sangatlah disayangkan, bukan? Mereka hanya membiarkan kerinduan itu datang dan terus datang mengusik malam-malam mereka. Hal ini sangat dirasakan Zion sahabatku ini. Dia pernah bercerita kepadaku soal kerinduannya pada Ina yang tak bisa ia tahan lagi. Entah, Ina juga merasakan hal yang sama. Dia tidak tahu. Tapi jelas ia sangat merindukan Ina, buah hatinya ini.

Kesepian yang sudah bertahun mengisi malam-malam Zion sahabatku ini membuat aku juga seperti merasakannya. Kadang ia murung membuat aku pun jadi merasakan betapa dunia ini sepi sekali bila hidup tak ada yang menemani. Mungkin karena itu maka Tuhan menciptkan Hawa. Bayangkan saja jika tak ada Hawa, Adam tentu akan kesepian seperti halnya yang Zion rasakan sekarang ini. Zion adalah sahabat dekatku yang sangat akrab denganku sehingga membuat aku tak tega membiarkan ia dalam kesepian yang berlarut. Kadang bila ia hendak menangis karena kesepian itu, aku coba mengajak ia mendengarkan beberapa lagu kesukaannya. November Rain adalah salah satu lagu kesukaannya. Lagu milik Guns N’ Roses ini kadang membuat ia bisa tersenyum, walau hanya beberapa jam saja.

Pernah aku menyuruh Zion untuk membuat akun facebooknya. Siapa tahu dengan akun yang ia miliki bisa membuat ia lebih gampang berkomuniksi dengan Ina. Meski tujuankku baik, tapi ia selalu saja menolak setiap ide-ide yang kukasih. Ia tidak suka dengan dunia maya. Banyak kejahatan yang terjadi di sana. Ia hanya ingin Ina kembali dalam dunia yang nyata. Dunia dimana mereka bisa saling dekap dan saling bercakap-cakap tentang bulan dan tentang bintang. Lalu tersenyum bersama-sama. Sesungguhnya dunia nyatalah yang dapat membuat ia bisa merasakan bahwa bumi ini tak ia sendiri yang menjadi penghuni. Ada Ina di sana yang bisa mengecup keningnya. Hal inilah yang membuat ia selalu saja menolak untuk membuat akun facebook.

Aku hanya ingin hidup dalam dunia yang nyata. Dunia dimana ada sahabat-sahabtku yang benar-benar bisa membantuku bila aku menjumpai kesusahan dan kesedihan. Begitulah katanya. Baginya dunia maya sama sekali tak bisa memberikan ia sebuah kebahagian. Memang agak keras kepala, namun itulah yang menjadi pilihan hidup Zion, sahabatku ini. Atas sifat keras kepalanya itu membuat ia bisa menahan segala kesepian yang datang meski kadang ia harus meratapi kesepian. Sekali pun kesepian itu sangatlah menikam, ia tetap kuat untuk melawannya. Ia selalu menunggu untuk kembalinya Ina ke dalam dekapannya. Memang, menunggu adalah pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, Zion adalah manusia yang boleh dibilang beda dari yang lainnya. Bisa menunggu hingga bertahun lamanya. Ia selalu percaya bahwa Ina tidak mungkin mengkhianati cinta tulusnya. Kepercayaan yang ia miliki inilah membuat ia selalu menanti Ina. −−− Sebuah sore yang tenang, aku coba mengajak Zion untuk minum kopi sore bersamaku di rumahku. “Zion, kamu terlalu kuat kawanku.” Kataku memujinya. “Aku selalu kuat kawanku. Aku mampu hidup bertahun dalam kesepian, kawan. Jika hal ini terjadi padamu, kurasa kau tak akan bertahan untuk hidup di bumi Tuhan ini, bukan?” Kata Zion sambil menertawaiku. “Ah, aku lebih kuat kawanku. Aku bisa hidup tanpamu. Kau sahabat yang paling menyebalkan.” Sekarang giliranku yang menertawainya. “Jangan bohong kau kawanku. Tanpa aku kau mungkin sudah lama mati.” Zion tersenyum sambil meneguk kopi panas.

“Sudahlah kawanku. Kita tidak usah berdebat soal kesunyian. Tapi, mari kita pikirkan bagaimana cara agar si Ina segera kembali ke dalam dekapmu”. “Boleh, tapi jangan kau suruh aku untuk membuat akun facebook dan lalu mencari Ina, kemudian meng-add-nya dan lalu mengirim pesan kepadanya untuk segera pulang”. “Kali Ini tidak kawanku. Kau tahu bukan sahabatku?” “Tahu tentang apa?” “Konon, tanggal 04 Oktober ini si Claudius akan ke Brazil. Coba saja kau menuliskan surat untuk Ina”. “ Serius kau kawanku?” “Iya, tentu aku serius kawanku. Tidak pernah bukan aku membohongimu?” “Hmm..benar, kawanku.”

Zion pun mulai menuliskan surat pertamanya untuk Ina. Setelah delapan tahun tidak pernah saling mengabarkan akhirnya segala kerinduan yang ia pendam selama ini pun tertuangkan di atas kertas putihnya. Ia melakukan penyandian yang baik dengan bahasa yang baku. Surat yang padat dengan kata-kata pun ia tuliskan. Kata demi kata ia rancang dengan indahnya. Tulisannya pun indah terlihat di sana. Rapi dan sangat mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar.

“Tulisanmu bagus kawan? Ujarku memuji.” ”Oh, tentu kawanku”. Tapi, Zion tidak begitu memperhatikan aku yang duduk di depannya. Ia menjawab semua ucapanku dengan begitu saja. Kali ini benar-benar ia memusatkan perhatiannya pada surat yang ia tuliskan. Kerinduannya sudah terlalu penuh tersimpan di dalam dadanya. Sekarang saatnya ia menuangkannya.

Sebuah surat telah selesai ia tuliskan. Dadanya yang selama ini hanya berisi kerinduan terlihat seperti kosong. Ia tersenyum, lalu tertawa kecil dan kemudian meneguk kopinya. Setelah itu membakar sebatang rokok. "Ah, enak sekali dadaku. Serunya.” “Enak?” ”Iya, Duff, kawanku. Dadaku sekarang benar-benar kosong. Segala rinduku kini sudah menjadi huruf-huruf, kawanku. Aku merasa sebuah beban berat di dadaku telah terbuang. Sekarang tinggal saja aku kirimkan surat ini lewat Claudius dan tinggal menanti balasan dari Ina”.

Tetap saja kau menanti lagi kawanku. Bukakah itu hanya menambah deritamu?” “Tidak. Kali ini tidak. Dengan suratku ini kurasa Ina akan pulang dan menemuiku. Suratku ini sangat puitis kawanku.” ”Seyakin itukah kamu pada suratmu ini?” ”Yakin. Iya, aku sangat yakin pada kata-kataku sendiri. Kata-kata yang bisa membuat Ina bisa pulang ke pangkuanku seperti sedia kala.” ”Bolehkah aku membaca suratmu itu?” ”Tentu boleh kawanku. “Kembalilah, Ina. Sudah delapan tahun kita berpisah. Sungguh satu hal yang selalu menggangguku adalah kesepian. Pulanglah, Inaku sayang!”

"Aku sangat merindukanmu. Kuharap, purnama malam nanti kita bisa sama menyaksikannya dari taman bunga-bunga mawar itu. Kau suka sekali dengan mawar dan aku suka sekali berada di sampingmu, Ina. Aku tunggu, ya. Kedatanganmu.” Dari Yang Mencintaimu Zion.

Begitulah bunyi surat Zion untuk Ina yang akan ia kirimkan lewat sahabat kami, Claudius, yang akan pergi ke Brasil Oktober mendatang. Aku sudah membacanya sebelum kekasihnya. Sekarang saatnya kawanku menanti balasan atas surat ini.

Jika semua kita semua di bumi ini selalu setia kepada kekasih atau pun pasangan kita seperti halnya sahabatku yang satu ini. Bertahun-tahun ia menunggu dalam kesepian. Tentu yang namanya perselingkuhan dan isteri simpanan itu tak akan ada. Sakitkan bila di khianati? Sebagai manusia normal jawabannya pasti ‘tentu’. Aku ingin menjadi lelaki setia seperti sahabatku ini. −−− "Kawanku sudahkah kau mendapatkan balasan dari Ina atas suratmu yang kau kirimkan kepadanya?”. Tanyaku saat kami berjumpa di Gereja suatu senja. Sebulan setelah Zion menuliskan suratnya untuk Ina.

”Iya, kawanku. Aku sudah mendapatkan balasannya. Dalam suratnya, Ina bilang ia akan pulang bulan Februari mendatang. Dan kami akan menikah kawanku.” ”Wah, ternyata Ina juga setia sama seperti kau, kawanku. Semoga saja Kau dan Ina akan bahagia nantinya.” ”Amin, kawanku. Kesetian kami ini sudah cukup membuat aku bahagia, kawanku. Semoga saja kamu juga bahagia bersama isterimu, Stefanie.

“Bisakah aku setia seperti mereka? Tanyaku dalam hati.”

Ciputat, 2011

L i m b o

Suatu pagi yang absurd, selesai sarapan aku bangkit dari kursi dan beranjak ke depan laptop untuk memeriksa "ruang" tulisku yang telah beberapa lama terbengkalai. Di sudut bibir, lidahku masih mengecap kelezatan leleh susu dan keju dari apitan dua potong roti. Seluruh ingatan terhadap menu pagiku yang fantastis itu, membuka semua pintu otak kananku dan mulai merangkai isinya sebagai fiksi.

Pagi itu begitu cerah, tapi kepalaku basah oleh hujan kenangan yang tak pernah mengenal musim. Jemariku pun mulai menari seperti ballerina di atas keyboard seolah mereka tak mau membiarkan hujan itu terlewat menghapus jejaknya. Walhasil, mataku pun kebasahan karena tetesannya.

Anggap saja itu aib. Anggap saja aib itu pada dasarnya merupakan rasa rindu tentang sesuatu yang tak ada, meski ia mengandung sejarah, aku dan “Ada”. Yang pasti, aku takkan membiarkan kenangan itu menginspirasimu, apalagi menghantuimu. Aku bukannya tak berani, aku hanya tak tega.

Aku hanya akan bercerita tentang sebuah lukisan yang kutemukan dari “blogwalking” ketika hendak menutupi aib itu dengan gambar; sebuah mimpi yang dituang dalam bentangan dua dimensi seluas 240x330 cm. “Persistence of Memory,” begitu mimpi itu dinamai dalam deretan lukisan paling misterius di dunia.

Adalah Salvador Dali, pelukis surealis ternama asal Spanyol yang pada tahun 1931 menciptakan gambar-gambar melting watches itu; jam-jam lumer, yang terdampar di dalam lanskap nglangut mengerikan, pokok kering, dua bilah balok, laut, dan tebing-tebing retak dari keberkanjangan memorinya. Konon, tepat di tengah mimpi itu Salvador memasang wajahnya sendiri, dengan kelopak terpejam dan bulu-bulu mata yang pasrah. Bisakah kau melihatnya, membayangkannya, memikirkannya?

Sangat sulit menebak apa yang dimimpikan oleh Salvador, tapi segala kemungkinan selalu terbuka untuk ditebak, diterka, diprediksi, --dikenang? Apakah Salvador sedang melukis mimpi yang dilandasi oleh kenangan? Aku belum tahu. Yang aku tahu ia pernah berkata, “Melukis itu kejujuran seni,” ia tak mungkin curang, meski hal itu baik atau buruk.

Pikiranku tiba-tiba seperti melayang masuk kedalam adegan "Inception", berjabat tangan dengan Cobb ketika ia berkata, “Mimpi yang dibangun dengan landasan kenangan adalah cara termudah untuk tidak dapat membedakan mimpi dan kenyataan.”

Limbo. Bukankah ini seperti Limbo, semacam ruang paling dasar dalam mimpi tempat kenangan menjadi bangunan sekaligus sampah? Entahlah. Mungkin Salvador membungkus harapan lewat mimpi dan kenangannya agar orang lain tak mengikuti jejaknya. Mungkin ia berpesan lewat lukisannya agar setiap orang harus berdamai dengan waktu di mana ia hidup, tanpa mesti merindukan waktu-waktu yang lain. Lalu, apa yang sedang kulakukan?

Mungkin aku sedang menulis mimpi yang membungkus kenangan, tapi aku tak peduli, aku hanya senang bisa menulis lagi untukmu. Dan kau sobat, terima kasih telah menjadi kenangan gila dalam kehidupan normalku yang naik turun. Kenangan memang seperti kunang-kunang, terlihat indah karena cahayanya yang redup terang. Tapi kenangan juga bisa menjadi lukisan, membuat yang hidup jadi beku dan terpasung dalam pajangan.

--hz-- Manado 2011, 11/9

Haz Algebra Kompasianer. Beberapa cerpennya telah dimuat dalam buku Antologi Karya Festival Fiksi Kolaborasi Kompasiana (2011) dan Antologi Cerpen ICare NulisBuku.com (2011).

Exeter, Sepuluh Tahun Kesunyian

Tidak ada yang lebih tabah daripada musim dingin di Exeter. Jalan-jalan aspal tertutup tebalnya salju yang turun hampir seharian. Udara telah tunduk pada kedinginan yang berada dibawah temperatur lima belas derajat Celcius. Pepohonan Ek pun enggan untuk sekedar memperlihatkan pucuk-pucuk daunnya. Mereka berdormansi—beristirahat selama musim salju—membiarkan salju sejenak menyelimuti ranting-ranting mereka. Beberapa orang berjalan menunduk sambil sesekali menyingkirkan salju yang menggunung di depan mereka. Jalanan hampir sepi. Hujan salju dan angin yang beku membuat mereka enggan bepergian. Hanya kehangatan keluarga pada masing-masing rumah yang dapat sedikit mengusir musim dingin yang kian menjepit.

Aku masih menunggumu di Lleyton CafĂ©, pinggir Gladstone Road, tak jauh dari Universitas Exeter—sejak satu jam yang lalu. Satu cangkir cokelat panas serta dua potong keik keju telah menemani kebosanan yang kerap datang bersama salju yang turun di luar. Menunggu, adalah hal yang membuat manusia lekas menua, ucapmu pada suatu waktu ketika aku harus datang terlambat menjemputmu di St. Davids Railway Station—sepuluh tahun lalu. Kau menekuk wajahmu, menjatuhkan bibirmu dan diam saja saat aku meminta maaf. Kubilang, aku harus mengantarkan ibuku pergi ke kebaktian Minggu. Namun kau tidak menghiraukanku. Kau justru melihat ke arah kereta yang sedang datang, yang kemudian segera pergi, seolah aku hanyalah rel yang sedang diam itu.

Lalu aku akan menggodamu. Semakin cemberut wajahmu, semakin menggemaskan saja, seperti buah apel merah yang ranum. Aku sedikit berseloroh, bahwa wajahmu semakin tua sepulang dari Glasgow. Kukatakan, apakah karena perlombaan Matematika di sana yang telah membuat wajahmu berkerut-kerut seperti itu, atau jangan-jangan karena menungguku seperti yang kau katakan barusan. Kau menatapku dengan sebal, dan syukurlah itu tatapan pertama padaku setibanya aku di stasiun ini. Tanpa berkata-kata kau menyodorkan kedua kopermu, aku segera menerimanya. Kemudian kita berjalan berdampingan menyusuri peron stasiun. Sesekali aku akan menggodamu kembali, kau masih diam. Namun aku tahu, sesekali pula kau akan tersenyum. Dan saat itulah aku mengetahui bahwa kau telah memaafkanku. ***

Aku masih hafal betul tempat duduk favorit kita. Di sebuah meja dengan dua bangku kecil yang berada di pinggir jendela ini untuk melihat bangunan kota kita yang sedang diselimuti oleh nyala putih salju. Dari sinilah kita mulai menikmati kehangatan cokelat yang mulai menjalar di dada sembari memandangi keindahan bangunan-bangunan yang kental dengan aroma Victoria. Kau mengulum senyum, cantik sekali, memperlihatkan lekukan kecil di kedua pipimu yang seperti lembah pada bukit hijau. Tidak ada yang menandingi indahnya wajahmu saat itu, tak terkecuali Exeter pada musim salju.

Waktu adalah seperti lilin menyala yang semakin memendek. Sepuluh tahun lalu, hanya terasa seperti hari kemarin. Rupanya kenangan adalah hal terdekat yang takkan mungkin kita gapai. Sepuluh tahun lalu, kita bertemu pertama kali di Universitas Exeter. Saat itu, setelah selesai mengikuti perkuliahan yang sama sekali tidak aku perhatikan, engkau pasti menyempatkan diri membaca ringkasan kuliah di bangku taman, di bawah pohon ek tua yang tengah meranggas menghadapi umur yang semakin kendur. Saat itu, diam-diam aku akan mendekatimu, menyapamu dan bila perlu aku akan duduk sejenak untuk menanyakan perihal ilmu falak yang baru saja kita bahas. Seringnya, kupandang wajahmu, kulihat kejernihan matamu serta kunikmati tiap desahan nafas yang keluar dari bibirmu. Aku tahu dan semakin mengerti, bahwa waktu tiada berarti apabila aku bersamamu. Saat itulah aku kekal; hanya kau dan aku.

Waktu pula yang telah memangkas umur-umur kita. Membuat tubuh kita semakin berkarat tersebab oksidasi hidup. Sepuluh tahun lalu, di tepi Exe River di bawah pohon cemara yang tetap menghijau pada musim salju, kita saling berdampingan menggenggam tangan. Kita duduk di pinggir sungai, menyaksikan air sungai sedang mengalirkan butiran salju yang turun seperti guguran kapas. Selepas itu, aku menatap wajahmu saat tepat kau menoleh kepadaku pula. Aku segera memalingkan wajah kembali ke arah sungai. Pada saat itu kulihat air sungai yang sangat jernih menampakkan dasarnya, air bening yang memantulkan segala bayangan pepohonan, langit, serta kita di atasnya—entah mengapa, padahal saat itu musim salju. Sudah kubilang, bersamamu segalanya akan menjadi indah. Barangkali surga itu adalah dirimu.

Namun tak lama kemudian aku merasakan kemuraman pada dirimu. Kau pandangi saja sungai yang tiba-tiba nampak mati oleh salju, genggaman tanganmu semakin erat. Salju yang turun satu-dua helai seolah jatuh sangat pelan, seperti bulu yang melayang di udara.

“Frank, bisakah kita tetap saling mencinta tanpa hidup bersama?” engkau tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Hal yang menyebabkan udara dingin tiba-tiba menusuk paru-paruku, menyayatnya, meninggalkan bekas luka yang menganga. Sejenak aku tercekat, dengan terseret kau mengatakan kepadaku bahwa kau harus pergi ke sebuah negeri di mana tak akan pernah ada musim salju. Kupikir, kau telah bercanda kepadaku. Namun kau tetap murung. Di pipimu mengalir anak sungai baru dari kedua mata sendumu. Lantas aku tersadar bahwa bulir-bulir salju juga jatuh dari kelopak mataku.

Engkau tersenyum getir, meyakinkanku bahwa engkau akan pergi hanya sementara waktu. Aku akan menyelesaikan studiku, mungkin ini butuh waktu yang lama, dan tentu menyedihkan karena harus berpisah denganmu, begitu katamu. Aku diam, memalingkan wajahku melihat jajaran cemara yang kedinginan, kesepian. Lalu engkau berkata kembali, Aku akan kembali, tunggu aku di kafe favorit kita. Lalu kita berpelukan, jaket wol kita mengembang, udara di sela-selanya berjejelan. Sisanya, menghangat, menghilangkan kedinginan yang sebentar lagi akan membekukan isi hati kita… ***

Sepuluh tahun kerinduan, sepuluh tahun kesunyian, sepuluh tahun musim salju menyedihkan. Aku terus mengingat janjimu itu, dimana kita akan hidup bersama, menikmati bersama hari-hari yang selalu bertanggalan. Aku masih menunggumu. Sampai kini. Sampai salju Exeter telah menenggelamkan segala kenangan yang tersisa. ***

Kalibata, April 2011 M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Bergabung di Komunitas Epistoholik Alumni STAN.

Pemakan Suami

Wajah yang cantik terkubur oleh kesedihan dan kenestapaan saat melepas jasad suami ketujuhnya ke pemberangkatan terakhir. Di tengah handai tauladan, Nina mendekap erat putri satu-satunya dari perkawinan suami pertama. Buah hati pelipur lara, tujuh kesedihan sudah ia lewati, tujuh orang suami yang hanya memberikan satu orang anak bagi Nina, semuanya mati mendahului dalam ikatan perkawinan dengan dirinya.

Perasaan malu dan was-was terus melanda. Apakah Tuhan telah menakdirkan dirinya dengan nasib yang begitu malang, teman hidupnya harus mati dalam ikatan nikah dengannya. Tujuh perkawinan dengan tujuh kematian bagaikan badai, terkadang ada keinginan untuk menghabisi dirinya, ada keinginan untuk tetap menjanda agar lelaki yang menjadi suaminya tidak mati dalam rumah perkawinannya.

Namun ia wanita yang lemah, tak punya kepandaian, hidup harus menopang dengan orang lain, suami adalah kebutuhan ekonominya, namun terkadang ia juga sadar banyak lelaki yang tertarik kepada kecantikannya, berkali-kali pula Nina sudah menyatakan bahwa ia telah kawin enam kali dan semuanya meninggal dalam ikatan rumah tangganya, namun Mustafa yang sudah kadung gila dimabuk cinta dan kasmaran berat tetap ngotot ingin menikahnya. “Saya juga ingin memelihara anak yatim,”ujar Mustafa saat melamar Nina.

Mustafa dengan yakin dan percaya mengatakan kepada Nina bahwa kematian keenam suaminya adalah kebetulan saja, karena takdir sudah memperlakukan suami-suaminya harus menemui ajal dalam ikatan perkawinan dirinya.

Tidak banyak tetangga yang tahu, Mustafa adalah suami ketujuh Nina dan suami ketujuh pula meninggalkannya dan Mustafa sudah tahu takdir pahit yang harus ia temui. Saat sakit Mustafa mulai ragu dan menyalahkan Nina dan menyesal harus kawin dengan Nina dan Mustafa dalam kesakitannya mulai yakin bahwa Nina memang si pemakan suami, istilah orang kampung bagi janda yang ditinggalkan suami mati apalagi sampai tujuh kali.

Nina mulai sadar bahwa ini bukan hanya kebetulan tetapi takdir yang diturunkan, Neneknya juga demikian, kendatipun tidak sampai tujuh, lima suami neneknya juga mati, beda dengan Nina, sang Nenek dikarunia banyak ada dari lima suaminya, dan nenek mengalami kematian kelima suaminya dalam usia 55 tahun, sementara Nina 30 tahun, satu anak dengan tujuh suami yang semuanya sudah terbaring kaku di kubur.

Saat suami ketiganya meninggal, Nina sudah mulai merasakan takdir yang aneh ini, setiap shalat ia selalu berdoa agar Allah menjauhkan dugaan takdir yang ada di hatinya. Nina berusaha keras untuk tidak menyakini takdir tadi, namun gunjingan tetangga sudah mulai terdengar bahwa ia adalah pemakan suami.

Sejak itu, Nina berkelana dari satu kota ke lain kota dengan satu suami untuk satu kota yang berakhir dengan kematian. Menghindari dari gunjingan tetangga dan menghapus masa lalu itu tidak mampu mengaburkan alamatnya dari takdir, dunia ini sangat sempit, takdir sangat luas, mengintip bahkan hati manusia itu sendiri.

Nina juga pernah mengemukakan masalah nasibnya sebagai pemakan suami ini kepada Nek Manyak yang dikenal sangat paham dengan tajul muluk. Nek Manyak baru sekali ini menemukan kasus seperti ini, namun ia sudah mendengar kasus-kasus zaman dulu dan semuanya tidak ada jalan keluarnya.

Lelaki yang biasa akan jadi suami dari perempuan si pemakan suami, biasanya terbius dengan kecantikan dan kemolek si perempuan. Lelaki yang ambisius ini akan mengenyampingkan semua takdir yang mereka ketahui dari si perempuan. Namun Nek Manyak tidak habis akal, dengan kemampuan setingkat pakar hukum, ia melakukan metode analogi hukum, tetapi dalam kasus ini, analogi pemahaman hukum takdir.

“Nenek tidak menemukan jalan keluar atas kasusmu, tetapi ada satu jalan yang masih kamu ingat dalam kasus anak kembar atau suami-istri yang selalu melahirkan anak tetapi meninggal,” ujar Nek Manyak kepada Nina saat ia minta nasihat akan nasib Mustafa yang tidak sabar ingin kawin dengan dirinya.

Nek Manyak menceritakan kepada Nina bahwa banyak jenis takdir yang disambangi dengan pemahaman logika manusia sesuai dengan tradisi. Misalnya jika ada anak lelaki yang sangat mirip dengan ayahnya atau anak perempuan yang sangat mirip dengan ibunya, maka ada kenyakinan di tengah masyarakat dan mereka menemukan banyak kasus dalam kenyataannya, salah satunya akan meninggal muda, sebab tidak boleh ada kesamaan, bintang tidak boleh ada dua dalam satu keluarga.

Biasanya, kemiripan ini akan dilakukan dengan cara “menjual” secara simbolik, biasanya sangat anak atau salah satu anak kembar kepada keluarga lain, sehingga mereka seolah-olah tercatat kepada keluarga baru yang sudah membelinya, misalnya dengan beras, walaupun secara fisik sangat anak masih tinggal bersama dengan keluarganya. Bahkan dalam banyak kasus anak kembar akan dipisah secara fisik untuk menghindari takdir agar tidak mati muda salah satunya.

“Mungkin suamimu dapat kita jual kepada perempuan lain sebagai simbolis seolah-olah dia bukan lagi suaminya, walaupun secara fisik ia tinggal bersamamu,” ujar Nek Manyak.

Tanpa pikir panjang, Nina setuju dengan ide tersebut, sebuah analogi yang mungkin akan berjalan di alam sana. Keputusan ini ia sampaikan kepada Mustafa dan Mustafa tidak keberatan karena ia tidak percaya dengan takdir “makan suami” itu, yang penting Mustafa ingin segera membina rumah tangga dengan Nina. Kendatipun Bujang, Mustafa tidak ingin pesta perkawinan, dalam hati kecilnya ia juga malu harus mengawini janda, tetapi cinta memang buta.

Masalah timbul kemudian, kepada siapa Mustafa akan “dijual” Nek Manyak yang sudah janda itu menawarkan dirinya sebagai “istri” yang akan membeli itu. Namun takdir sulit diduga, Mustafa sudah terbaring kaku, didekap erat takdir Nina sebagai pemakan suami. Kini Nina pindah kota lagi, berketetapan hati untuk menjanda dalam usia yang relatif muda, dengan sisa uang dari penjualan tanah petak kecil Mustafa, Nina dengan putrinya tinggal di Kota lain yang seorangpun tak tahu siapa ia.

Nina mencari rumah kontrakkan dan ia mendapatkan rumah sewa Haji Bandum, saat mengetahui Nina seorang janda satu anak yang perlu dikasihani, Haji Bandum pun merasa terpanggil dan perkenalan mereka selama tiga bulan telah membulatkan tekad dan Nina untuk membina rumah tangga, sekali ini Nina mantap dan tak perlu lagi pendapat Nek Manyak, sebab Haji Bandum pun sudah menikah enam kali dan semua istrinya mati dalam ikatan perkawinan dengan dirinya. Satu kebetulan takdir, entah siapa yang akan makan siapa, tetapi mereka sudah mengerti dengan takdir ini, kesamaan takdir akan mendudukan mereka sederajat dan mungkin akan menguatkan mereka.

Di hari perkawinan Haji Bandum dengan Nina semua takdir saling melihat dan menyapa untuk berdamai, damai untuk ketentraman Haji Bandum dan Nina yang sudah lelah menangis dan sedih kehilangan pasangan yang dicintai, di hari perkawinan itu, langitpun tersenyum dan anak tunggal Nina berharap tidak menjadi yatim untuk kedelapan kalinya.

(peminat pemerintahan, sosial dan budaya, tinggal di Meulaboh)

Bara Dendam

Selembar kartu nama warna putih tulang tergeletak di atas meja jati bundar berpelitur hitam. Sepasang mata membaca nama yang tertulis di atas kertas itu. Gigi tonggos sedikit mengintip di balik senyum sinis yang terukir di bibir yang terpoles lipstik merah jambu.

“Asistennya menunggu di luar, Mak.” Darto memberi tahu perempuan yang hanya duduk diam memandangi kartu nama yang terbuat dari kertas mahal itu. “Orangnya ada di dalam mobil. Katanya dia perlu bantuan Emak untuk menemukan laptopnya yang dicuri tadi malam. Kalau Emak mau, Emak akan diajak ke kantornya untuk bicara. Dia menyebut ratusan juta.”

Perempuan berpakaian sewarna bulu burung kepodang yang dipanggil Emak itu tetap tidak bergerak. Matanya terpaku pada kartu nama di atas meja kerjanya. Darto tak berani bersuara lagi. Sikap Emak yang diam itu pertanda kurang baik. Ia sedang berpikir keras dan tak ingin diusik.

“Bilang aku sedang tidur dan tak seorangpun berani membangunkanku.” Kibasan tangan kiri perempuan itu menjadi isyarat pada Darto agar ia cepat keluar dari ruangannya. Tubuh tinggi besar berotot itu segera menghilang di balik pintu. Sebagai tangan kanan, Darto akan melakukan apa saja untuk perempuan itu. Selain Darto, masih ada empat orang lainnya. Berlima mereka bergiliran menjaga majikan perempuan yang dikenal oleh setiap penghuni dunia hitam sebagai Emak. Semua copet, jambret, maling dan preman di kota itu takut pada Emak.

“Dasar pengecut!” gerutu Emak. Tangan kirinya meraih kartu nama itu, lalu menyobeknya menjadi kepingan-kepingan kecil yang ia sebar di bawah meja. Sobekan-sobekan kertas yang melayang jatuh itu mengingatkannya pada hatinya yang patah berkeping-keping hampir 30 tahun lalu.

“Bersihkan!” perintahnya pada perempuan muda yang sedari tadi duduk menunduk bagai pajangan di pojok ruang.

**

Yogi Sukmajaya. Si ganteng kaya dan populer itu tak menganggap Sugirah ada. Andai saja wajahnya secantik Farah, tubuhnya seindah Triana, rambutnya setebal dan sehitam Vina dan orang tuanya sekaya orang tua Pipit, mungkin Yogi senang berteman dengannya.

Namanya saja sudah memancing ledekan teman sekelasnya. Belum kepalanya yang terlalu besar dibandingkan dengan tubuh kecil-pendeknya; membuat orang menjulukinya gonteng. Setiap kali mata Yogi bertemu dengan matanya, remaja ganteng itu membuang muka, lalu meludah jijik. Namun Sugirah tak menyerah, ia tetap berharap suatu hari pujaannya itu akan memberinya senyum yang indah.

Suatu pagi, Yogi tiba di gerbang sekolah bersamaan dengannya. Sugirah berniat menyapa, namun lelaki yang menjadi rebutan para gadis di sekolahnya itu mendorongnya hingga tubuh pendeknya terjengkang, jatuh di atas genangan air hujan. Seragamnya dipenuhi lumpur. Sepanjang hari ia menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Kenyataan itu harus ia telan meskipun lebih pahit dari brotowali. Semenjak peristiwa itu, setiap pagi ia bangun dengan hati penuh dendam akibat rasa marah yang tak tertuntaskan.

**

Pagi itu, sekitar pukul 6.30, dengan wajah cemberut Sugirah mengayuh sepeda bututnya ke sekolah. Suasana kampung di pinggiran kota saat itu masih sepi, tak ada sepeda motor, apalagi mobil berseliweran seperti saat ini. Semua orang, pelajar dan pegawai, mengendarai sepeda. Pelajar yang kaya naik sepeda mini warna warni. Yang perempuan mengayuh bangga sepeda mereka yang dilengkapi keranjang di atas roda depan. Namun Sugirah hanya mengendarai sepeda tua yang warna hitamnya sudah pudar.

Seperti biasa, Sugirah bersepeda sendiri, jauh di belakang teman-temannya yang beriringan dalam rombongan kecil-kecil, berdua atau bertiga, berceloteh dan tertawa-tawa. Rambut tipisnya yang membuat kepalanya terlihat makin besar melambai tertiup angin pagi. Sepasang kakinya yang pendek susah payah mengayuh pedal. Kulit wajahnya yang sawo matang berkilat tertimpa sinar matahari pagi. Dua matanya yang kecil, menyipit menahan silau. Bibirnya yang ungu dan kering sedikit terbuka, memasukkan udara ke paru-parunya, memamerkan gigi tonggosnya.

Ketika hendak berbelok ke jalan raya, remaja itu mendengar rintihan dari selokan di sebelah kiri jalan. Karena penasaran, ia berhenti. Sepeda ia sandarkan ke pohon kelapa, lalu pelan-pelan kepala gontengnya ia longokkan ke selokan. Sesosok tubuh gempal terlihat meringkuk di sela-sela semak rimbun yang tumbuh di tepiannya. Ada bercak-bercak darah berlepotan di punggungnya yang tertutup singlet dekil. Jantung Sugirah berdebar-debar. Siapakah orang ini, tanyanya dalam hati.

“Pak….” Takut-takut Sugirah menyapa. Lelaki itu diam saja. “Pak….” Lelaki itu pelan-pelan mendongak. Dilihatnya kepala gonteng Sugirah lewat semak-semak. Ia lega. Anak sekolah, pikirnya. Semoga ia tidak berteriak, doanya. “Tolong saya, Nduk,” rintihnya.

Sugirah menengok sekelilingnya yang mulai sepi. Teman-temannya sudah tak terlihat lagi, sementara para pegawai belum berangkat kerja. Tiba-tiba saja ada kekuatan yang membuatnya mengulurkan tangan menyibak semak. Kini ia bisa melihat kepala lelaki itu, rambut keritingnya penuh darah kering. Sekali lagi lelaki itu mendongak, matanya yang bulat hitam bertemu dengan mata kecil Sugirah.

“Tolong saya, Nduk,” rintihnya lagi. “Saya jatuh dari pohon kelapa itu.” Lelaki itu berbohong.

“Saya akan minta tolong orang kampung, Pak.” “Jangan, Nduk. Jangan….” “Saya….” “Pergilah ke Pasar Pon, carilah orang bernama Karjo Gemblung, katakan kalau aku jatuh dari pohon kelapa, di selokan ini. Namaku Freddy. Cepatlah, Nduk.”

Tanpa berpikir lagi, Sugirah meninggalkan tempat itu untuk menuju Pasar Pon tak jauh dari sekolahnya. Ia tahu telah terlambat masuk sekolah, namun hatinya senang. Ia dibutuhkan orang. Selama hidupnya, jarang ada orang yang mau mengajaknya bicara. Untuk apa ke sekolah kalau hanya menjadi bahan ledekan saja. Untuk apa bertemu Yogi, kalau ia tak menyadari kehadirannya. Kalau saja ada tempat tujuan lain, ia pasti akan membolos sekolah setiap hari.

Seminggu kemudian, Sugirah berhenti sekolah. Ia menjalin persahabatan dengan Freddy si germo dan sang raja judi, lelaki yang berhutang nyawa padanya. Freddy punya toko kelontong di kota. Sugirah bekerja di sana. Di belakang toko itulah ia mengoperasikan bisnis yang sesungguhnya. Setiap hari belasan orang dari berbagai kota mendatangi toko Freddy untuk berjudi. Supaya tidak mencolok, mereka datang berjalan kaki.

Orang tua Sugirah tak kuasa menahan anaknya. Sugirah muda belajar berbagai ilmu pada guru barunya yang menganggapnya sebagai hoki. “Aku disediakan kamar di sana, Mbok. Kamar yang bagus, dindingnya tembok, lantainya tegel hijau.”

Sejak itu, Sugirah tak pernah pulang. Ia dianggap anak hilang.

Freddy memperlakukan Sugirah secara istimewa. Semua anak buahnya wajib menghormati remaja buruk rupa itu. Bisnis judi milik Freddy berkembang pesat. Sugirah belajar dengan cepat.

Dua puluh tahun kemudian Sugirah menjadi ratu dunia hitam di kotanya. Emak adalah panggilan kehormatannya. Perjudian, pelacuran, pencucian uang dan penadahan barang-barang curian hanya sebagian dari lahan bisnisnya. Para pembesar kota sering minta perlindungan Sugirah dari musuh mereka. Polisi tak ada yang berani menangkapnya karena atasan mereka menjadi pelanggannya.

***

“Gimana? Dia mau bantu?” Yogi penuh harap. Kalau perempuan itu tidak bersedia menemukan laptopnya yang hilang, nama baiknya terancam hancur dan pencalonannya sebagai walikota pasti gugur. “Tidak tahu, Boss. Dia sedang tidur. Centengnya tak ada yang berani membangunkan.” “Dasar bodoh! Mestinya kamu bilang kalau aku mau bayar ratusan juta!” “Sudah, Boss. Mereka tetap tidak berani.” “Kita pergi. Akan saya kirim orang untuk membujuknya.”

**

“Darto! Temukan laptop itu sebelum gelap!” “Baik, Mak.”

Matahari belum sepenuhnya hilang dari lengkung langit ketika Darto meletakkan sebuah laptop di atas meja jati bundar.

“Panggil Zebra!” Lelaki kecil kurus jago komputer yang dipanggil Zebra itu terbirit-birit di belakang tubuh Darto yang kekar. “Ada perintah apa, Mak?” “Lihat isinya. Pasti ada yang berharga ratusan juta.” Sugirah tertawa senang.

Hanya dalam hitungan menit, Zebra berhasil menemukan sesuatu. Laptop ia putar agar Sugirah bisa melihat gambar yang terpampang di layar.

Mata Sugirah terbelalak, mulutnya terbuka lebar. Tiba-tiba dendam di hatinya kembali membara. Ini adalah saat yang tepat untuk membalas sakit hatinya.

“Sebarkan!” Perintah Sugirah pada Darto, disusul ledakan tawa membahana. Tubuh pendeknya berguncang-guncang, kepala gontengnya bergoyang-goyang. Sugirah terlihat seperti mainan anak-anak yang bisa melompat-lompat naik turun bila tombol di punggungnya diputar-putar.

**

Tabir malam belum sepenuhnya terkuak saat Darto tergopoh-gopoh menenteng koran pagi. Di halaman depan tertulis besar-besar berita skandal seks sejenis yang dilakukan oleh sang calon walikota Yogi Sukmajaya, lengkap dengan foto-foto sebagai bukti.

**

Endah Raharjo, tinggal di Jogja. Cerita-cerita lainnya dapat dibaca di sini: http://www.kampungfiksi.com