Krim Pelangsing Mejik Jeng Susan

Jeng Susan dan suaminya sudah dua belas tahun menikah. Dulu kondisi ekonomi mereka tidak sebagus sekarang ini. Apa yang terjadi pada mereka adalah mimpi klise pendatang ke ibukota yang terwujud dalam waktu singkat karena berbalut keberanian dan keberuntungan. Sekejap saja Susanti berubah panggilan menjadi Jeng Susan di kalangan para istri pengusaha rekan bisnis suaminya. Anak-anak mereka mendadak berkulit mulus karena perawatan menghilangkan koreng di kaki mereka, bekas bermain di tanah becek dulunya sebelum mereka pindah ke Jakarta. Kulit wajah Jeng Susan semakin hari semakin terlihat bersinar karena perawatan intensif menggunakan masker emas di salon langganannya di daerah Blok M. Semua kagum pada keberuntungan mereka.

Tapi ada sedikit kerisauan di hati Jeng Susan saat dirinya sudah menginjak usia 40 tahun, dua tahun yang lalu. Bentuk tubuhnya berubah, semakin membulat. Lemak mulai bergelantungan di sekitar paha, punggung, tangan dan bawah dagu. Jeng Susan menyalahkan gen gemuk yang dibawanya dari Ambu di kampung. Percuma ikut program-program mahal di slimming center, tubuhnya tetap saja membesar. Segala rupa diet sudah dipraktekkan, hasilnya hanya sekejap saja untuk dinikmati. Tak lama kemudian, tubuhnya kembali melar, bahkan lebih lebar dari sebelumnya. Jeng Susan sempat mengutarakan keinginannya untuk operasi sedot lemak, seperti yang pernah dilakukan Jeng Mirna, kepada suaminya. Suami Jeng Susan pun tampaknya sudah memberikan lampu hijau. Bagi suaminya, tidak ada yang tidak bisa diberikan kepada keluarganya. Semua keinginan anak-anak dan istrinya selalu dipenuhi dengan kualitas nomor satu. Namun satu minggu menjelang operasi sedot lemaknya di Thailand, sebuah kabar heboh bersliweran di koran-koran ibukota. Seorang pengusaha perempuan tewas di meja operasi saat melakukan operasi sedot lemak. Apa pun penyebabnya, keinginan Jeng Susan untuk menyedot keluar lemak-lemak di dalam tubuhnya itu sirna seketika.

“Suamiku selingkuh, jeng…” ujarnya pada Jeng Mirna pada suatu sore, mengungkapkan kegelisahannya selama tiga bulan terakhir ini.

Mata Jeng Mirna seperti mau copot dari tempatnya. Cepat-cepat diletakkannya gelas minuman berisi red wine di tangannya. Dia menegakkan duduknya di kursi tinggi bar milik suaminya itu. Dulu proyek pembangunan bar dan restoran milik suaminya itu dipegang oleh suami Jeng Susan. Hal itu yang kini akhirnya membuat mereka berteman. Mata Jeng Mirna berbinar-binar menanti cerita yang akan meluncur dari mulut Jeng Susan.

“Pelacur jorok! Mereka bahkan tidak check in ke hotel dan malah bercinta di jok belakang mobil suamiku!” Jeng Susan mengumpat, lalu menenggak habis red wine di gelasnya. “Aku menemukan celana dalamnya yang super mini itu di bawah jok mobil saat memakai mobil suamiku. Perempuan setan! Jijik aku!”

Jeng Mirna mengelus-elus pundak Jeng Susan, berusaha tampak menghibur sebisa mungkin. Kupingnya berdiri makin tegak. Menanti kelanjutan cerita perselingkuhan abad ini. Suami Jeng Susan berselingkuh, itu bisa jadi berita besar di koran dan majalah-majalah ibukota. Dia adalah tokoh masyarakat, sedikit sensasi saja tentu akan terendus oleh banyak media. Dan segala kericuhan seperti ini merupakan hiburan, khususnya bagi Jeng Mirna. Hidupnya sudah mulai membosankan akhir-akhir ini. Suaminya lebih sering ada di rumah istri mudanya, dan anak satu-satunya masih asyik membuang-buang uang ayahnya di luar negeri; kuliah katanya.

“Aku ndak mau nyerah sama pelacur, Jeng! Aku tidak bisa membayangkan dimadu sama suamiku. Aku harus cari cara supaya suamiku balik ke aku!” kata Jeng Susan. “Bagaimana caranya?” tanya Jeng Mirna. “Aku harus balik langsing singset padet lagi kayak dulu. Jeng Mirna tahu, sejak badanku melar kayak gini, suamiku sudah tidak pernah menyentuh aku lagi! Sedih aku…” Jeng Susan berkata sambil berusaha menahan air matanya jatuh. “Oalaaah! Kalau cuma itu thok masalahnya, ya gampang tho!” “Nggak, nggak, aku ndak mau operasi sedot lemak! Jeng kan tahu aku takut sekali mati di meja operasi, setelah ada kejadian waktu itu, lho!”

Jeng Mirna tertawa keras sambil membuka tas kulit ularnya. Dia mengeluarkan dua buah wadah plastik kecil dari dalam tasnya itu. Jeng Susan melihatnya dengan tidak mengerti.

“Aku tahu kamu takut operasi. Tapi kan jaman sekarang mau langsing itu buanyak buanget caranya, jeeeng! Yang penting punya duit, ya gampang!” kata Jeng Mirna sambil meletakkan dua wadah plastik itu di hadapan mereka. “Aku sudah coba segala cara, semua mahal, tetep aja badanku melar begini!” tukas Jeng Susan. “Apa itu?” tanyanya lagi sambil mengambil salah satu wadah plastik di meja.

“Iniii…aku baru mau kasih tahu Jeng Susan. Penemuan terbaru! Belum beredar di pasaran. Namanya Krim Pelangsing Mejik,” bisik Jeng Mirna dengan suara rendah. “Ampuh?” tanya Jeng Susan ikut berbisik. Ada nada sangsi dalam suaranya. Jeng Mirna mengangkat blouse sutra yang dipakainya. Perutnya tersingkap sedikit. Mata Jeng Susan terbelalak. Perut Jeng Mirna datar, seperti perut perempuan umur belasan yang rajin berolahraga. Padahal, beberapa bulan yang lalu Jeng Mirna mulai mengeluh kalau dia sudah butuh operasi sedot lemak lagi. “Waaah, cuma dengan sekali pakai?” Jeng Susan tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Jeng Mirna menggangguk sambil tersenyum lebar. “Berapa harganya?” Jeng Susan tidak menunggu penjelasan lain lagi. Krim ini sudah pasti bisa menjawab masalahnya. “Untuk Jeng, murah aja…Kebetulan, yang bikin masih sodaraku yang kerja di bagian penelitian apa gitu, mbuh…Pokoknya kerjanya di laboratorium gitu, deh! Dia bilang bahan-bahanya memang mahal, karena sebagian besar baru ditemukan dan masih belum beredar di pasaran.” “Iya, iya, berapa?” tukas Jeng Susan tidak sabar. “Dua puluh lima aja. Harga sahabat,” jawab Jeng Mirna sambil mengerling. “Dua puluh aja, ya? Kan belum tentu ampuh di aku!” “Gini aja, Jeng Susan kasih ke aku dua puluh, kalau ternyata berhasil, sisanya lima juta baru transfer lagi. OK?” Malam itu Jeng Susan duduk di tempat tidur dalam kamarnya yang luas, sendirian. Suaminya entah kemana, bahkan akhir-akhir ini dia sudah tidak pernah lagi memberitahu Jeng Susan kalau akan pulang terlambat. Jeng Susan pun terlalu sibuk memikirkan keampuhan krim di tangannya.

Krim Pelangsing Mejik, begitu tulisan emas yang tercetak di bagian atas tutup wadah plastiknya. Jeng Susan membaca petunjuk pemakaian di stiker yang ditempel mengelilingi badan botol.

Usapkan ke bagian tubuh yang ingin diperkecil. Tipis dan sekali usap. Tunggu beberapa menit, lihat hasilnya. Kalau belum terlihat hasil yang diinginkan, tunggu selama 2 jam untuk pemakaian berikutnya. Krim ini bisa dipakai ke seluruh tubuh, termasuk wajah.

Jeng Susan beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja rias di ujung kamar. Dia duduk di depan kaca besar berbingkai kayu jati berukir. Melihat dengan teliti lekuk-lekuk di wajahnya. Menyusuri dengan jemarinya mulai dari kening hingga dagu. Sampai di bagian bawah dagu, Jeng Susan berhenti. Diambilnya wadah Krim Pelangsing Mejik di atas meja riasnya. Membuka tutupnya dengan perlahan, lalu mengambil sejumput krim berwarna putih di dalamnya dengan ujung jari telunjuk. Mengoleskannya dengan hati-hati ke bagian bawah dagunya yang menggelambir karena lemak.

Jeng Susan menunggu dengan gelisah. Semenit, dua menit, tiga menit…Lalu ia menutup mata, berharap semoga krim itu bekerja dengan sempurna. Jeng Susan membuka matanya, dan terbelalak melihat bagian bawah dagunya. Lehernya kini tampak jelas terlihat, tulang rahangnya yang biasanya tak pernah terlihat karena terbalut lemak, kini membingkai wajahnya dengan indah. Jeng Susan tampak sepuluh tahun lebih muda. Wajahnya terlihat lebih panjang dan lehernya menjadi terlihat jelas. “Luar biasa!” Jeng Susan berkata pelan sambil mengamati wajahnya.

Ia pun membuka baju tidurnya hingga tinggal pakaian dalam saja yang melekat di tubuhnya. Jeng Susan membalikkan tubuh untuk melihat tumpukan lemak di bagian pinggang belakangnya. “Ini dia yang harus dipermak duluan!” ujarnya sendiri. Jeng Susan mencoba menyentuh tumpukan lemak itu dengan tangannya yang gemuk pendek. Ternyata tangannya tidak bisa menjangkau bagian itu.

“Surti!!! Surti!!!” Jeng Susan berteriak memanggil pembantunya. Hari sudah malam, mungkin Surti sudah di kamarnya bersama Paino, suaminya yang juga supir keluarga Jeng Susan. Terdengar langkah berderap menuju kamar Jeng Susan. Jeng Susan tidur menelungkup di atas tempat tidurnya. Pintu kamar sengaja dibuka agar Surti dapat langsung masuk ke kamarnya. “Bu…” Terdengar suara Paino tercekat di depan pintu kamarnya. Jeng Susan terperanjat sambil melihat ke arah pintu. “Lho, mana si Surti?” “Sudah tidur, bu…” Jeng Susan mendengus kesal. Dia tidak sabar untuk melihat hasil kerja krim ajaib dari Jeng Mirna. Dilihatnya Paino yang masih berdiri bingung di depan kamarnya. “Ya sudah, kamu tolong saya. Balurkan krim ini ke pinggang saya!” “Tapi, bu…” Paino makin bingung. “Sudah, nggak usah ribut. Cepeeet!” tukas Jeng Susan.

Paino melangkah pelan ke arah tempat tidur Jeng Susan. Mengambil wadah plastik tempat krim pelangsing itu dari tangan Jeng Susan. Mencolek sedikit krim di tangannya, lalu berdiri bingung di samping tempat tidur besar majikannya itu.

“Kamu naik aja, biar gampang” Jeng Susan memerintah.

Paino naik ke atas tempat tidur dengan ragu. Ia duduk di samping tubuh setengah telanjang Jeng Susan. Tangannya mulai menyentuh punggung Jeng Susan yang hanya berbalut pakaian dalam. Nafasnya tertahan. Walau bagaimana kelelakiannya menggelegak kecil saat tangannya menyentuh kulit mulus putih Jeng Susan.

Tiba-tiba terdengar lenguhan pelan dari mulut Jeng Susan yang menelungkup di tempat tidur. Paino terkejut dan menghentikan usapannya ke punggung Jeng Susan. “Teruskan…” Parau suara Jeng Susan menyuruh Paino. Jeng Susan yang sudah lama tidak disentuh oleh suaminya itu, merasakan gairahnya memuncak dengan tiba-tiba saat disentuh oleh tangan kasar Paino.

Surti terkikik di dalam kamarnya sambil memegang wadah plastik bertuliskan Krim Pelangsing Mejik milik majikan perempuannya. Semalam ia terbangun dan mencari suaminya. Betapa terkejutnya Surti ketika melihat suaminya itu tengah mengusap-usap payudara nyonya majikan dalam keadaan sama-sama tanpa busana. Pintu kamar majikannya tidak tertutup. Surti mengamati selama beberapa saat, lalu berjingkat kembali ke kamarnya, menunggu Kang Paino kembali. Menjelang tengah malam, Paino masuk ke kamarnya dengan tubuh bersimbah keringat. Paino membangunkan Surti yang pura-pura tidur.

“Sur, Sur, ibu punya krim ajaib buat bikin langsing! Ini aku bawain buat kamu! Ibu nggak bakalan tau, dia udah tidur, kecapean!” katanya sambil berbisik ke telinga Surti.

Surti pura-pura menggeliat, lalu menarik tubuh Paino ke atas tubuhnya di ranjang kecil mereka. “Kok kamu keringetan gini, Kang?” tanyanya pada Paino. “Uh, aku, aku kegerahan…” jawab Paino gugup, menutupi kebohongannya. “Sini!” kata Surti sambil merebut krim di tangan Paino, lalu dengan cepat dia membalik tubuhnya sehingga sekarang posisinya menduduki pinggang Paino yang terbaring. Bergegas dia membuka celana Paino. “Aduh, Sur! Aku capek sekali! Besok aja, ya…” kata Paino berusaha menolaknya. “Kamu merem aja kalo capek!” kata Surti sambil mengelus-elus “burung” Paino dengan tangannya yang sudah berlumur krim milik sang nyonya. Tidak sampai lima menit, Paino tertidur tanpa sempat bercinta dengan Surti.

Pagi hari, Jeng Susan mandi sambil memikirkan kejadian semalam dengan Paino, supirnya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak merasakan bercinta dengan menggebu-gebu seperti semalam. Di bawah shower yang mengucurkan air hangat, Jeng Susan menyentuh payudaranya sambil memejamkan mata. Dan dia terperanjat.

“Susuku hilaaaaang!” teriaknya dengan suara melengking. Tidak ada siapa pun yang mendengar teriakan Jeng Susan. Suaminya belum pulang sejak semalam. Anak-anaknya sejak dua hari yang lalu pergi menginap ke rumah teman mereka. Surti dan Paino entah ada di mana saat ini.

“Surti! Burungku hilang!” Tiba-tiba Paino sudah muncul di hadapannya dengan memakai handuk di pinggangnya. Surti membuang muka lalu keluar dari kamarnya dengan tidak peduli. “Rasakno!” katanya dengan marah. Krim Pelangsing Mejik seharga dua puluh lima juta itu dilemparnya ke dalam tong sampah di dapur.