L a L u n e

Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Baru kuingat sebuah pepatah, kau malah menuduhku terlalu banyak berkilah. Tidak ada yang kau ingatkah dari bulan setengah penuh yang mengapung di langit Benteng Kuto Besak dulu itu, ketika hujan masih sebatas malu-malu dan orang-orang bermandikan cahaya lampu jembatan sungai Musi, bercengkerama di geladak Riverside yang pernah kujanjikan, atau pertukaran bibir yang diam-diam di mobil bergoyang, dan kau menatapku, menginginkan hal yang sama, dua centi dari bibirmu, tetapi aku menyanggah.

Andai kucium kau malam itu, bulan akan cemburu lalu mengirim angin beliung yang akan mengoyak-ngoyak batas perasaan, menggerakkan jari jemari ke kancing bajumu, dan menjelajahi tiap jengkal kemesraan yang seharusnya belum milikku, sementara kau diam, pasrah, menatapku penuh cinta, dan kita menjadi sepasang kekasih yang lupa pada kemanusiaan kita sendiri.

Hanya saja, kenangan terlalu angkuh untuk didudukkan di sebuah kafe yang tak pernah memberikan menu kepuasan, siang hari, dan terik matahari membakar paru-paru, menciptakan segala macam keputusasaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Dua kata darimu. Dua kata singkat yang menceraiberaikan kenangan-kenangan itu, “Kita putus….”

“Kau berjanji akan mencintaiku selamanya, Di?”
“Seperti matahari…”
“Ah, gombal!”
“Aku kan laki-laki….”
“Ya, tidak semua laki-laki suka menggombal ‘kan?”
“Berarti mereka tidak normal!”
“Perempuan normal ‘kan senang digombali?”
“Kalau begitu, katakanlah, aku perempuan tidak normal.”
“Tetapi aku jatuh cinta kepadamu….”

Dan kau juga jatuh cinta kepadaku. Apalagi yang kubutuhkan di dunia ini selain kita saling mencintai? Tak ada. Ketika aku berusaha menerjemahkan malam-malam lain yang dipenuhi oleh dirimu, malam-malam yang tak lagi dipenuhi berbagai rasi bintang, malam-malam yang tak dihiasi kemacetan lalu lintas, dunia seperti menjadi milik kita berdua. Hanya kau dan aku di dalamnya, dan panjang Jalan Jenderal Sudirman seolah-olah perjalanan cinta kita yang tak memiliki akhir. Mencintaimu selamanya adalah keputusanku. Mencintaimu satu-satunya adalah sudah takdirku.

Hanya kata-kata. Waktulah yang telah membuat kata-kata menjadi sia-sia. Aku tidak pernah berpikir, setelah sekian tahun berlalu, kau akan berubah. Dan memang kau berubah. Sayangnya aku masih mencintaimu. Aku bahkan masih mengingat jelas wangi parfummu, warna kesukaanmu, dan senyummu yang tercetak tebal di hatiku.

“Andai kita berpisah, pastilah bulan di langit sudah tak sama….”
“Kita tidak akan berpisah, Lin….”

Aku kiranya curiga, jangan-jangan sejak saat itulah kau telah merencanakan perpisahan. Bayangan dedaunan perdu seolah mencekam. Kau duduk diam menatap gedung-gedung yang tutup. Aku tak tahu bagaimana caranya mengusir kediamanmu hari itu. Begitu sepi. Begitu sunyi. Sepotong bulan masih tergantung di langit sana, menertawakan kita berdua yang tak kunjung bicara—sepatah kata pun.

“Apa kau mencintai laki-laki lain?”
Kau menggeleng.
“Apa aku tak cukup baik bagimu?”
Kau menggeleng lagi.
“Lalu?”

Kau memainkan jari, mengetuk-ngetuknya di atas meja. Pun kedua kakimu yang bergoyang-goyang. Diam. Lagi-lagi diam. Aku mencium bau kecemasan. Aku merasakan sesuatu yang kau sembunyikan.
“Aku hanya ingin kita putus. Aku tidak mencintaimu lagi, Di…. Apakah butuh alasan untuk tidak mencintaimu lagi?”
“Butuh!”
“Lalu kenapa kau mencintaiku?”
“Karena kau…” Giliran aku yang bingung harus menjawab apa.
“Karena aku cantik? Karena aku kaya? Atau karena cinta?”
“Pokoknya aku hanya mencintaimu!”
“Seperti itulah aku yang pokoknya tidak mencintaimu lagi. Ah, apakah kau mau mencintai seseorang yang sudah tak mencintaimu, Di?”

Tiba-tiba aku mencengkeram lenganmu keras. Anehnya kau tidak terkaget. Aku lumat bibirmu kuat. Kau diam. Pasrah. Dan lamat-lamat membalas lumatanku dengan lebih lembut. Oh, inikah rasanya bercumbu? Hebat! Buah plum. Seperti buah plum yang matang. Dan peperangan gerilya. Ah, jemariku menari—meliuk-liuk di atas dadamu. Kau diam. Pasrah. Aku ingin sekali berpraduga atas apa-apa yang tengah kualami kini. Kau, aku, bercinta bak melodi klasik yang ada di dalam lamunan, pada malam minggu yang kosong tak berbulan. Suara angin yang ingin berbagi, tak sedikit pun kubiarkan, dan mengetuk-ngetuk jendela.

“Apakah aku bukan laki-laki pertama yang merenggut bibirmu, Lin?”
“Tidak. Kaulah laki-laki pertamaku.”
“Seperti bukan yang pertama….”
“Aku bukan wanita pertamamu, kan?”
“Tidak. Kau wanita pertamaku, Lin….”
“Seperti bukan yang pertama.”
“Jadi, kau akan mencintaiku setelah ini, kan?”
“Tidak. Aku sudah tak mencintaimu lagi.”
“Lalu kenapa kita melakukan ini?”
“Melakukan apa?”

Kau kuhempaskan. Memandangmu jijik. “Jadi bagimu semua ini bukan apa-apa?”
“Aku tidak bilang begitu.”
“Lalu apa maksudmu?” Kupandangi tubuhmu yang menggairahkan itu. Tubuh yang hampir tanpa benang—karena belum sempat kulerai semua yang menutupi tubuh indahmu. Tubuh yang seringkali kukhayalkan di setiap malam menjelang tidurku, saat kau menatapku dalam, dan kecemburuan bulan.
“Aku hanya ingin menjadi dirimu. Menjadi yang selama ini kau lakukan terhadapku….” Dan setelah itu aku tak pernah mendengar sepatah kata pun darimu, sepatah kata sayang, sepatah kata cinta, atau sepatah kata putus asa yang serak terdengar ketika kau menyatakan telah tak mencintaiku lagi.

Aku ingin mencintaimu lagi dan lagi. Aku ingin melumat bibirmu lagi dan lagi. Aku pun ingin bercinta denganmu lagi dan lagi, seperti tak pernah ada waktu yang mampu membatasi. Jam dinding mati, dan jam tangan yang kau telan itu juga mati.

Aku benci suara detik di dadamu malam itu. Bisakah kau matikan saja dia? Bisakah dunia hanya dimiliki kesunyian, di mana hanya ada kau dan aku, dan desah di antaranya, yang menjadi isi malam-malam singkat kita?

Kau diam. Pasrah. Aku ingin mencari buah plum itu lagi. Bulan separuh. Sinarnya memantul di permukaan sungai. Aku ingin melihatmu berenang di sana, atau terapung—sama saja.

“Kau bahkan tidak ingat apa pun, Di?”
“Ingat apa?”
“Segala malam yang tak pernah kau akui…”
“Apa yang harus kuakui?”
“Yang kau lakukan terhadapku?”
“Aku, sumpah, tak pernah berselingkuh…. Aku hanya mencintaimu seorang, selamanya!”
“Cinta?”
“Kaulah wanita pertama dan terakhirku. Kaulah ciuman pertamaku!”
“Kapan ciuman pertamamu?”
“Kapan? Barusan saja kita baru berciuman untuk yang pertama, Lin!”

Kau tersenyum kecut. Dan mulai memakai pakaianmu kembali. Aku tidak ingin melihat kau berpakaian. Aku lebih senang melihatmu telanjang.

“Kita sudah tidak senasib, Di. Kau berubah. Aku tidak mencintaimu dan segala yang tak kuketahui darimu….”
Aku tak paham.
“Sebenarnya aku takut padamu….”

Aku diam. Makin tak paham. Sementara itu, makin keras kudengar detik di dadamu. Detik yang berteriak. Detik yang mengganggu dan membuatku ingin memecahkan apa saja.
“Sejak kapan kau menelan jam dinding?”
“Jam dinding?”
“Di dadamu.”
“Bilang saja kau ingin melenyapkanku?”
“Melenyapkanmu? Itu tidak mungkin.”
“Seperti kau melenyapkan wanita-wanita lain?”
“Kau sudah gila, Lin!”
“Kaulah yang gila, Di… ah, atau kita yang sama-sama gila? Aku gila karena telah melayani orang gila sepertimu, bertahun-tahun pula….”
“Jika kau tak mencintaiku lagi, cukup katakan kalau kau tak mencintaiku lagi. Jangan berkata yang aneh dan tak masuk akal!”
“Tadi sudah kubilang bahwa aku tak mencintaimu lagi. Dan kau butuh alasan untuk itu?”

Ketika aku kembali mencengkeram lenganmu, melucuti pakaianmu lagi dan lagi, mencumbuimu, kau diam, pasrah. Aku menciumi seluruh tubuhmu, kau masih diam, pasrah. Aku berharap kau bicara, kau diam, pasrah. Aku suka kesunyian, tetapi tidak dengan kepasrahanmu kali ini.
Kau sama sekali tidak berhak menjadi diriku…

Aku tidak tahu siapa diriku. Aku ingin bertanya padamu, apa yang kau maksud dengan menjadi diriku, melenyapkanmu…kau diam, pasrah. Bulan di langit tidak tertutup awan. Ingin kuminta jawaban, tetapi ia diam, pasrah. Kepasrahan ini seperti kau rencanakan sejak sebelum aku menciummu ,bukan? Pasti. Pasti kau tengah bercanda dengan mengabaikan segala pertanyaanku. Pasti kau hanya berpura-pura diam agar aku mengiyakan semua tuduhanmu, mengiyakan pula permintaanmu untuk berpisah dariku. Padahal kau telah tahu bahwa berpisah dariku adalah kemustahilan.

Kau masih diam, pasrah. Aku masih ingat bau parfummu. Hari ini kenapa kau berganti wangi menjadi bunga bangkai? Ah, aku tak suka aromamu hari ini. Aku tak suka pula pada dingin tubuhmu, biru bibirmu, dan lalat-lalat yang mengetuk-ngetuk jendela itu.

Jam dinding mati. Benar-benar mati. Aku yakin jam dinding yang kau telan di dadamu itu juga mati.

(April, 2011)

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan 2009. Sekarang bertugas di KPPN Sumbawa Besar. Karya-karyanya dapat dibaca di blog http://reinvandiritto.blogspot.com. Cerpen ini awalnya berjudul Le Mois, namun setelah penulis menyadari kesalahpahaman arti, diganti menjadi La Lune.