Lelaki Pagi dan Sarapan Pagi kami Tadi Pagi

"Selayaknya ini bukan puisi," katamu saat mendorong secarik kertas itu kehadapanku. kertas itu berhenti dengan rapi dalam jarak yang tepat sekian senti dari cangkir kopiku yang mengepulkan asap dan aroma pagi yang kita kenal baik.

"Aku hanya ingin mengibaskan mendung yang menggantung di langitmu. bukankah sudah terlalu lama dia mengganggu karena enggan menjadi hujan?" Katamu lagi.

Aroma pagimu selalu saja lebih segar daripada milikku. Wajah cerahmu yang tercukur licin memantulkan sinar matahari yang begitu muda mengecup langkah pagi yang ringan membuka pintu hari. Sementara aku, selalu saja merasa diriku ini masih terus-terusan betah duduk dalam waktu seperempat malam, menarik selimut subuh dan bersikeras gelap masih menyertaiku. Ah, kamu kira semua itu mendung? Padahal bagiku semua itu adalah selimut yang nyaman. Aman. Menentramkan. Terbebas dari tanggungjawab. Boleh bermain dalam mimpi. Ah, bagimu semua itu mendung?

"Bacalah." Katamu, dan matamu, yang tenang setenang ombak saat riak angin lembut membantunya menggempur pantai membuatku tak tega membiarkan kertas itu terdiam di sana. Matamu itu nyaris tosca bagiku. Nyaris begitu dekat dengan langit yang pernah kubiarkan menyentuh bumiku. Sekilas aku tersenyum mengingatnya dekatku pada suatu sarapan pagi yang rasanya sudah berabadabad silam terjadinya, saat itu aku Cleopatra dan dia, Marc Anthony.

"Aku suka ungumu," Kata Laki-laki Langit Toscaku, berbisik di telingaku sambil menciumi batang leherku dan menurunkan kerah kemeja unguku. Tangannya hangat bermain-main pada kancing bajuku, seakan-akan jari-jemarinya sedang berdialog, kancing yang mana yang akan mereka buka lebih dahulu.

Selalu saja seperti itu, bicara soal warna sambil bercumbu, pikirku sambil menikmati nafasnya dan memperhatikan detak jantungku sendiri. Kami sedang berada di antara sepiring puisi sepasang pengantin baru dalam bulan madu yang serupa deras ombak mengalir seirama angin dan hujan saat musim monsoon tiba.

Puisi-puisi puting beliung dalam belitan gemuruh dan desakan keinginan paling mendasar yang kami santap pagi itu. Lalu kami teguk segelas besar kupu-kupu tosca dalam gelembumg soda sehingga dalam perut kami berdua ada ribuan kupu-kupu menarikan tarian mereka, bergelombang-gelombang sensasi yang aku rasakan dari setiap teguk, memenuhi degup hingga penuh dan aku mabuk dirinya seperti dirinya mabuk diriku.

Hanya saja.

Tak ada pesta yang tak usai. Tak ada tarian yang tak selesai.

Ternyata, kupu-kupu tidak hidup sampai selama-lamanya. Mereka rebah satu demi satu. Tertidur, pingsan, mati? Entah. Mereka hanyut dan hilang dari dalam sistem, eforia itu perlahan menepi. Lalu, senyap datar beringsut-ingsut datang mengisi celahnya, hidup menjadi sebuah kebiasaan, bercinta menjadi semacam kewajiban, bahkan kadang merupakan sebuah kematian yang monoton, entah dia yang mati atau aku yang mati, atau dua-duanya mati sebelum pertempuran. Lalu, suatu pagi, aku bangun dan dia pergi. Sepucuk surat, menjadi penegasan bahwa yang namanya cinta itu stempelnya bukan sampai maut memisahkan kami, melainkan sampai tak ada lagi kupu-kupu dalam gelembung-gelembung soda itu.

"Hei, bangun cantik, jangan mimpi lagi." Kau menjentikkan jarimu di depan wajahku. membangunkan aku dari mimpi tentang kemarin-kemarin yang merupakan detik-detik usang. Aku memandangmu dengan rasa terima kasih, yang sengaja kubiarkan menetap lama, jatuh tepat di anak matamu. Kita beradu pandang, sekian detik berlalu menghentak menuju menit, kubiarkan tatapanku berlabuh padamu, menepikan sampan-sampanku dan mencoba menemukan sesuatu tanpa perlu merasa sangat ingin. Bagiku, sejauh ini, adalah soal eksplorasi belaka, kemungkinan selalu menyenangkan untuk ditelusuri. Siapa tahu, mungkin saja memang di sana ada pengganti harta karunku? Entahlah. dan manik matamu bergerak, mengerjap, sebuah isyarat yang kukenal baik dari sekian banyak pertemuan, matamu perlahan berusaha mengalihkan pandangan ke lain tempat.

Aha!, di dalam relung hatiku aku bersorak, selalu saja seperti itu rasanya ketika menang adu tatap. Ah Lelaki Pagi berdasi kuning kecoklatan berselempangkan garis-garis abu-abu di atas kemeja abu-abu mudamu yang licin dan cermat (selalu saja aku ingin bertanya, siapa yang menyetrikakannya untukmu?), kau jengah saat kupandang sedemikian rupa. Lelaki pagi. Ya, ya, itu dirimu, Lelaki pagi, sepagi matahari muda yang mengecup wajah bumi dengan sekecup ringan dan harum nafasmu sesegar bau mulut setelah berkumur dan sikat gigi. benarbenar segar. Dan sekarang kau jengah, saat mata milik malam ini menghujanimu dengan kecupan dari dalam jiwa. Sekilas pipimu merona sebelum kau memberitahuku bahwa kau sudah memanggil seseorang masuk dalam lingkaran ajaib milik kita. Ah. Mengapa harus begitu?

"Tidak keberatan kan?" Tanyamu dengan suara rendah dan lembut seraya tanganmu menyeberangi ruang antara kita lalu menyentuh ringan tepi jemariku. "Tanpa ijinmu, aku mengajak Maya makan pagi bersama, sebab kita harus membicarakan proyek buku kita bersama-sama. Maya adalah ilustrator paling keren yang aku kenal. Aku mempercayainya. Dan satu hal lagi. Aku sudah secara lancang, mengirimkan draft tulisan itu kepadanya. Disela lunch, kemarin, kami sudah bertemu dan menakjubkan sekali hasil interpretasinya, karena itu aku berani mengajaknya pagi ini untuk bertemu denganmu. Ini sebuah kejutan." Kau mengangkat jemarimu dari atas jemariku dan tersenyum lebar seperti bocah kecil yang bangga karena berhasil membaca satu kalimat penuh tanpa terbata-bata. Mengapa kau angkat jemarimu dari tepi-tepi jemariku? Aku masih ingin persentuhan itu berjalan sedikit lebih lama.

Aku tersenyum tipis, memikirkan seandainya saja kamu bisa membaca pikiranku saat ini. Lelaki pagi berdasi kuning kecoklatan dihiasi garis miring abuabu, bolehkah aku mengecupmu? Tanya mataku. Kau sepertinya mencoba setengah mati untuk menjadi kekasihku setiap kita sarapan pagi. Kini kau sudah melangkah jauh ke dalam hidupku. Hei, kau bahkan bisa kulamar menjadi suamiku suatu saat nanti kalau keadaan kita tetap seperti ini.

Tapi, tunggu dulu.

"Maya? Aku ingat nama itu pernah dihubungkan dengan namamu, kan? Hmm... apakah dia ini Maya yang sama dengan Maya mantan kekasihmu?" Tanyaku, berusaha mengatakannya seenteng tisu yang baru saja kukeluarkan satu lembar dari bungkus mininya. Dan kamu, Laki-laki Pagi, nampak salah tingkah.

"Hanya rumours," katamu singkat seraya sedikit mengernyitkan keningmu, lalu berkonsentrasi pada sepiring nasi goreng yang pagi ini menjadi pilihanmu, sementara aku masih meniup permukaan sup krim panasku di dalam mangkuk lebar yang nyari menelan wajahku, sambil mengulang ucapanmu, "hanya rumours?", dan kamu mengangkat bahumu sedikit, ujung bibirmu sebelah kananmu terangkat sedikit juga, sambil menjawab ringan, "rumours yang sama sekali tidak penting."

Sialan kau! Mengapa gerakan facial kecil itu begitu menarik kelihatannya? Tiba-tiba saja aku menyadari bahwa ada sebuah sensasi yang berbeda. Nampaknya aku, perempuan teman sarapan pagimu ini sedang dilanda gelombang yang berbeda. Sedang menjadi buih-buih di atas ombak-ombak dari sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Diam-diam aku mencuri pandang ke arahmu dan terpesona sendiri dengan sesuatu di dalam diriku. Keinginan untuk memagari waktu-waktu kita tanpa interupsi, apapun bentuknya, atau lebih tepatnya siapapun bentuknya. Aku mendadak jengah dengan apa yang aku rasakan.

Tepat di saat itu Maya melambai cantik, bagai dua tetes madu manis yang menetes tanpa sengaja di antara kita, "Selamat pagi," katanya berdenting dalam sebuah notasi nyaris sempurna, perempuan yang dibalut busana kasual itu masuk dalam orkestrasi pagi hari ini, menyatu sempurna dengan pagi milik Lakilaki Pagi itu, seakan dialah yang telah menyetrikakan bajumu dan mengenakan dasi itu ke sekeliling kerah lehermu.

Dan kamu Lelaki Pagi, kamu tersenyum lebar, berdiri menyambutnya, mengecup pipinya kiri dan kanan sebelum menyeretkan kursi untuknya dan mempersilahkannya duduk. Kusadari bahwa kita kini bertiga. Tiga, sebuah angka yang ganjil kan? Ufh! Sarapan pagiku mendadak beku. Aku tersenyum ke arahnya dengan berkilo topeng memberati seluruh syaraf wajahku. Ingin rasanya aku pergi saja dan menyerahkan segala keputusan ke tanganmu, bukankah kamu sudah lebih dahulu memutuskan segala-galanya, jadi, silahkan, teruskan saja! ingin juga rasanya kutuangkan kopi ke atas kepalamu. Dasar lakilaki!

Tapi, tunggu dulu.

Mendadak aku berhenti dan merasa ingin menendang bokongku sendiri. Luarbiasa konyol! Ya, aku yang konyol. Jelas-jelas, amat sangat konyol! Bukankah baru lima menit yang lalu semua ini kuanggapa sebagai sebuah perhatian yang mendebarkan dan menghangatkan hati? Arrrggghhh... ingin kubenamkan wajahku ke dalam mangkuk sup, di saat itu kulihat asapasap tipis naik kembali dari permukaan sup. Aku jadi kepingin sekali tertawa, menertawakan kebodohan itu. Ayolah SN, tak ada alasan untuk cemburu, aku membujuk diri sendiri. Mendadak pula aku ingat kertas yang tadi kamu berikan kepadaku, belum juga sempat kubaca. "Selayaknya ini bukan puisi," katamu tadi. Kalau begitu, apa kirakira? Kulipat kertas itu lalu saat kuselipkan ke dalam tas tanganku, aku menangkap matamu memandangiku dengan sinar mata yang tak mampu kutebak sementara suara Maya mengisi udara disekitar kita, menceritakan tentang kemacetan yang harus ditembusnya sepanjang jalan menuju ke tempat pertemuan ini. Ah, pagi selalu berselingkuh erat dengan kemacetan di Kota Besar ini.

Baiklah, kututup sesi tanya-jawab dengan diri sendiri lalu bergabung dengan kalian. Maya menyalakan laptopnya, meletakkannya pada posisi yang paling tepat sehingga ia dapat mempertontonkan gambargambar yang telah dibuatnya untukku, untuk kita, sekaligus menjelaskan detil-detil yang perlu. Harus kuakui aku terpesona, dia bisa menangkap persis seperti yang kuinginkan. Hanya satu saja kekurangannya, mengapa musti Maya? Di saat itu, kurasakan tanganmu memijat lembut tengkukku, baru kusadari bahwa kamu telah berdiri tepat dibelakangku. Ah, aroma aftershavemu membuat aku memutuskan untuk mengecup bibirmu. Aku berjanji akan melakukannya. Nanti malam, dalam mimpiku.

Bio singkat pengarang: Ge Siahaya, domisili di Jakarta, aktif menulis di blog Kampung Fiksi: http://kampungfiksi.com/, sudah menerbitkan antologi cerpen.