Wajah Profesor

Senja menjatuhkan gerimis-gerimis patah. Ada pesan yang tersembunyi di balik mendung. Pipiku telah basah. Bukan karena hujan. Di sini, aku bersandar bersama anak tangga. Masih basah oleh rerumputan yang mengelilinginya. Hatiku berembun tangis. Aku tertunduk pilu. Ingin kuputar kembali 15 menit yang lalu. Bagaimana aku telah memaki seorang profesor. Makian itu masih menggantung di kerongkonganku. Ingin memecahnya; menghantam udara. Sungguh kasihan, burung gereja yang hendak singgah di dahan itu mengurungkan niat mereka. Karena burung-burung itu tahu, suara parauku mengusik kebebasannya.

Gerimis masih menggantung. Enggan turun juga reda. Baju kemeja setengah lusuh masih ku kenakan; sekaligus meminta untuk jadi saksi. Setelah ini tidak ada lagi tangis, meski ku tahu nelangsa akan selalu mengitari. Aku telah membuat profesor tidak nyaman. Pun aku tahu ketidak nyamanan itu akan dibuatnya berlipat untuk hidupku. Lalu kenangan 15 menit lalu larut pada ricik air yang jatuh dari ranting-ranting kamboja di depanku. Cepat kusulut sebatang kretek; berharap asapnya sampaikan gelisahku. Namun pada siapa?

“Kuliah hanya untuk menghabiskan modul, apa Bapak menyadari itu?”

Pekikan menyambar dahagaku. Aku tak mengerti. Entah darimana datangnya kekuatan itu. Yang ku tahu, aku telah memaki seorang profesor. Paruh baya yang mengganggap dirinya sempurna, telah memainkan taji di hatiku. Seketika laguku kaku. Biar ku ceritakan bagaimana seorang profesor bermuka masam, bermuram durja merendahkan mimpiku.

“Berharap bisa saja, tapi jangan bermimpi. Saya punya otoritas untuk tidak meluluskan anda jika saya mau.’’

Egois. Kata-katanya bagai sembilu. Merangkul pundakku seolah menantang; siapapun tidak bisa mengalahkannya. Vibrasi kekecewaan ini telah memuncah. Tak seorangpun berhak merendahkan mimpiku. Meski ia adalah seorang profesor. Deru ujaran sang professor itu menyusup ke dalam pori-pori tubuhku. Sepertinya, dendam ini akan menetap di jiwa.

Pak Udenk, nama sederhana sang Profesor. Selalu mengenakan dasi dan tentengan bermerk. Pun namanya berbalut merk elegan, semua menghormatinya karena gelar, Prof. Prof yang menurutku hanya mengajar papan, bukan mahasiswa.

“Prof hendak kemana?” begitu sapa mahasiswa dan koleganya. Kecuali aku. Aku cukup menyebut nama yang seharusnya kusebut.

Merk tak mampu membeli hormatku. Dasi bagiku hanya aksesoris. Dasi dan gelar itu tak membuat otak Pak Udenk juga bermerk. Seperti berjalan di gurun pasir, teori yang dikumandangkannya hanya debu. Membuatku gersang. Tinggal menunggu gugurnya musimku.

“Anda harus siap menjadi guru yang profesional, siap tampil berbicara dengan kemampuan yang matang, dan bla…bla…” kalimat usang itu menulikan telingaku. Sudah satu tahun, hanya paragraf itu yang terus diujarkan berulang. Kapan berbincang soal materi, jika pendahuluannya saja menghabiskan waktu 1 jam?

“Aku jemu. Gurun pasir ini harus aku lewati tanpa menemukan oase di tiap tepinya. Pak Udenk, saya bukan mesin, saya juga bukan panci yang harus selalu diisi. Saya tidak perlu melihat pamer dasi Anda setiap harinya. Bapak bisa memilih warna-warni untuk dasi yang Bapak kenakan. Mengapa Bapak tidak mencoba memberi warna-warni itu pada kami? Saya tidak akan menyita waktu saya untuk ke kampus, jika Bapak menghardik kami hanya untuk membaca dan menghabiskan modul." Dilema ini kusimpan dalam kalbu. Aku tahu Pak Udenk memiliki otoritas atas hidupku. Aku tahu siapa aku dan siapa Pak Udenk. Bocah ingusan sepertiku tidak akan membawa perubahan. Ku tahu, protesku bagi orang kebanyakan hanya ocehan embun yang sirna setelah diusap.

***

Sirip jendela dekat anak tangga ini memantulkan bayangan yang sangat kukenal. Senyum kebanggan Ayah menjadi mimpiku. Mengingat peluhnya menunggu kepulanganku. Semangatnya selalu terukir menanti inginku. Menjadi seorang dosen adalah mimpi Ayah yang tertunda. Aku harus kuat dan tidak berontak. Tak ingin amarah mengungkungku terlalu lama. Namun sampai kapan? Haruskah aku jadi budak waktu yang setiap hari harus disepuh pembodohan?

Bias telah menelanjangi jiwaku. Rupaku dibuatnya kaku. Aku bungkam. Cukup pembodohan ini. Aku bukan kerdil yang bersetia pada waktu. Wajah ‘profesor jongkok’ itu menyulut gairahku. Sudah cukup lama aku terdiam. Kali ini tidak bisa. Keadilan dalam pendidikan tak bisa digadai. Aku tak mau jadi kambing congek yang hanya menerima saja.

***

Hari ini pengumuman tebaran nilai A,B, C, D, atau F. Akhir dari gurun pasir melelahkan ini akan diwarnai abjad-abjad itu untuk mengukur kemampuan kami. Aku melihat wajah muram, gelisah teman-temanku kala itu. Pun aku melihat gadis-gadis bahenol yang juga temanku dengan wajah binar menanti abjad-abjad itu gontai. Profesor itu mengeja kemarahanku. Dibuatnya aku menari dalam pekat. Terselip abjad D untuk mata kuliah Pak Udenk. Sungguh aku tak bisa menerima ketidakadilan ini. Apa yang dia pahami tentang menilai? Apakah dia paham?

Aku kehilangan warna. Tinggal dedak menyesaki jantung. Menatap kembali abjad-abjad itu. Desahan waktu menemaniku. Di bawah lentera senja, aku tumpahkan sisa amarah jiwa. Hingga suara tawa mengusik piluku. Gadis-gadis bahenol tadi kian binar. Mengipas-ngipaskan kertas nilai dihadapanku. Lagaknya sungguh angkuh. Apa maksudnya? Tanyaku mengendap ketika ingin kulihat abjad apa yang tertulis di kertas nilai itu ditepisnya. Sudahlah, aku tak risau dengan penggoda itu. Mereka tak memikirkan mimpi, mereka hanya tahu cara mempercantik diri.

Makianku tempo hari harus kurangkul dengan tangisan. Aku telah kalah. Akan terus kalah. Kini dengan leluasa lelaki itu akan mengeja mimpiku. Makin merendahkan mimpi seorang pesisir. Aku tak bisa lagi bercerita tentang mimpi pada Ayahku. Nila setitik ini telah rusakkan susu sebelanga. Gurun pasir itu benar-benar menguburku bersama debu tak berarti. Sumpahku telah mati. Tertutupkah jalan keadilan? Apa aku terlalu egois untuk menuntut hakku?

Gema ini tetap saja begini. Ada yang mendengar, namun berpura bisu. Ketakutan orang-orang disekitarku membutakan jalanku. Sama saja. Bak hidup bersama bisu dan tuli. Endapan hitam dibiarkan berkelana. Mengarang hingga nadi. Pantas saja negeri ini nomor satu mempertontonkan dagelan tak bermakna. Telah dibeli olehnya keadilan. Menyisakan lelah berdialog bersama penjilat yang ternyata tak berpihak padaku. Kali ini aku paham, aku sendiri. tidak ada teman, semua hanya lawan.

***

Berkas cahaya kecil menyilaukan mata. Aku harus bergegas. Pukul 8 aku harus sampai. Kugayuh sepeda ontel pemberian Ayahanda tercinta. Berpeluh sebelum senja menyeringai. Aku telah tiba. Bangunan ini tempaanku jadi sarjana sujana. Ada ruang yang harus kutuju. Ruang pojok sebelah barat yang teramat mewah. Lantainya sangat dingin, seolah bekukan langkahku. Serat dindingnya sangat halus. Nyaman jika berhari-hari tinggal di dalamnya. Aku tidak melihat pintu warna emas ini terbuka. Mungkinkah Pak Udenk belum sampai? Aku masih menunggu. Beruntunglah dipan mungil mempersilakan untuk kududuki. Menatap langit-langit dengan decak kagum. Meredam sejenak niatku mencari keadilan pagi ini.

Ha..he..ha. aku mendengar desah tawa dari ruangan itu. Menyusul bisik wanita. Akhirnya suara parau itu jelas kumengerti. Kubuka pintu itu tanpa seorangpun mempersilakannya. Apa yang kulihat? Rina, Ririn, dan Heny, gadis-gadis bahenol yang tadi sempat kuceritakan melingkar, mencari posisi paling baik untuk memuaskan lelaki yang hanya kulihat rambut setengah botaknya. Perempuan bahenol itu sungguh liar. Aku masih diam sampai aku tahu siapa yang bermain di sana. Luka ini kembali dicambuk. Pria setengah botak itu tiada lain wajah sang professor. Beribu kecupan bertandang, menjajah tubuh belang lelaki itu. Melumat asa dengan imbalan abjad A. Gadis bahenol yang pintar. Ingin aku enyah segera. Lalu rebah membuncah keraguan.

Singaraja, 18 Januari 2011