Sehabis Hujan di Bulan Desember

Sisa hujan sore tadi masih membekas. Bulan ini memang sering disuguhi hujan hampir setiap harinya, dan mungkin hujan sore tadi akan menjadi hujan terakhir di tahun ini. Tanah basah. Pohon-pohon mengucurkan air, terimbas angin malam. Udara dingin menusuk. Suara katak ditingkahi jangkerik, membentuk simponi alam nan indah. Sesekali bunyi petasan dan kembang api mulai melalakukan pemanasan dengan melukis langit dari kejauhan membentuk pelangi di malam hari.

Semua fenomena itu siap mengantar kotaku menuju pergantian tahun. Lalu, banyak cerita yang bergulir dengan sendirinya. Tak mau kehilangan seluruh momen tersebut, aku segera menggerakkan jemari, bekerja di atas tuts-tuts keyboard seolah mengikuti irama tetesan air jatuh mengaliri dedaunan yang frekuensinya semakin melambat. Tetes demi tetes air itu seperti menggulirkan cerita sendiri-sendiri. Ingin kurekam seluruh pemandangan dan perasaan itu, tapi tunggu sebentar, tanganku masih basah.

Beberapa jam yang lalu…

Hari yang cerah tiba-tiba menjadi hari yang basah. Hujan turun, aku mengkerut di atas motor. Menyusut di antara sweeter kumal di tengah jalan macet. Sementara itu, orang-orang berlarian dan berteriak kepanikan. Mereka lupa payung sedangkan aku tak membawa jas hujan. Semua begitu, siapa sangka akan hujan.
Aku menepikan motor lalu berteduh di halte sambil menunggu hujan reda. Tapi kemudian itu pun berlalu bersamaan dengan sebatang A Mild yang terselip di jari tanganku. Lalu sepeda motor melintas cepat, air hujan yang tergenang di pinggir jalan muncrat ke wajah dan badanku. Aku lalu mengumpat, “Sial! Tanganku basah…!!!”
*
Well .. tahun baru sebentar lagi, sudah ramai orang membicarakan refleksi satu tahun ke belakang dan ekspektasi pada tahun yang mendatang. Sedikit ingin ikut arus juga sebenarnya tapi bukan mengenai hegemoni tahun baru. Ini tentang hujan. Lebih tepatnya kisah sehabis hujan. Dan aku suka sekali sehabis hujan di bulan Desember.
Kenapa harus sehabis hujan dan kenapa harus di bulan Desember?

Kontempelasi pun di mulai. Udara dingin, suara jangkerik. Sebentar lagi tengah malam. Dengan tangan yang masih basah, aku membuka catatan harian lalu memikirkan tentang apa yang pernah ku lalui sepanjang tahun ini. Aku tahu bahwa masa lalu dalam catatan itu adalah masa yang aku mengetahuinya dengan benar, sok tahu, karena hal itu adalah milikku sendiri, aku yang mengalami sendiri.

Lalu aku mulai menyelami aksara demi aksara untuk menemukan feel kejadiannya. Suka cita, kesal, kecewa, semua coba kurasakan kembali. Namun, tiba-tiba masa lalu itu menjadi kabur dan tak sungguh-sungguh tampak. Yang ada, ternyata, tak lebih dari coretan tanganku di buku harian tersebut. Tak ada realitas yang kudapati dari coretan yang kubuat sendiri, sekuat apapun aku pikirkan, aku tak bisa mengalami kembali masa lalu yang telah ku lalui itu.

Mungkin aku bisa memeriksanya di ‘laboratorium’ dan menemukan bahwa kertas buku harian tersebut dibuat di pabrik tertentu, dengan mesin tertentu, jumlah pekerja sekian, dan upah hariannya sekian, serta dibuat dari campuran kayu apa dan apa. Aku juga bisa memeriksa ternyata tinta yang dipergunakan berasal dari ballpoint anu , ukuran berapa, dan dibuat di mana. Tapi sungguhkah apa yang kemudian aku peroleh itu merupakan kenyataan di masa lalu?

Seberapa pentingkah pabrik kertas itu bagi apa yang terjadi pada hari ketika buku harian tersebut aku tulis? Aneh. Tiba-tiba aku meragukannya, dan seketika menyadari betapa kurangnya jejak-jejak yang telah ditinggalkan. Kertas, ballpoint , alphabet, itu adalah jejak-jejak. Tapi aku selalu merasa kekurangan jejak, seolah apapun yang terjadi, hanya membawaku pada ke ketersesatan.

Aku merasa jejak-jejak itu mewakili sesuatu. Masa lalu. Namun di satu sisi juga sadar, jejak itu sesungguhnya hanya mewakili dirinya sendiri. Aku mempertanyakan sejarahku sendiri dan aku mencurigai penulisnya yakni, diriku sendiri. Tapi sejarah tentang diriku itu ada di sana, di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, atau lebih tepatnya aku menjadi demikian sok tahu.

Lantas, apa kemudian yang aku miliki? Selama ini aku merasa sudah memiliki masa laluku (Bukankah satu-satunya yang kita miliki adalah masa lalu?). Akan tetapi, masa depan yang gelap pun, ketika kita membayangkannya, merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi sebuah masa lalu yang lain. Dan pameo “satu-satunya yang kita miliki itu adalah masa lalu”, dengan semena-mena kehilangan semua relevansinya. Dan aku tahu bahwa segala hal tentang masa lalu, ternyata, tak lebih dari sekadar bagaimana kita memikirkan hal itu.
*

Mungkin bagi sebagian orang, hanya saat hujanlah yang lebih menguasai alam memori pikirannya yang kadang naif. Air yang turun dan meluncur jatuh dari langit itu melambangkan anugerah dan cinta dari Tuhan.

Ada yang mengatakan, seprimitif apapun peradaban suatu bangsa pasti secara eksplisit maupun implisit mengagungkan hujan. Namun bagiku, aku suka hingga sehabis hujan, apalagi sehabis hujan di bulan Desember. Ia seperti cover buku tahunan yang menutup jejak-jejak kisah setahun dengan dingin sebagaimana filosofi hujan dalam peribahasa lama yang menyebutkan, “panas setahun terhapus hujan sehari,” dan hanya hujan di bulan Desember yang relevan untuk melakukan hal itu.

Akan tetapi, kisah tidak berakhir dalam hujan, melainkan kisah tetap bergulir sehabis hujan dengan spirit baru dan harapan baru. Dan bagiku, itu yang lebih penting. Begitu banyak peristiwa yang sudah kulewati dalam hidup yang menjadikan diriku seperti sekarang ini, itu karena keistimewaan hujan dan harapan sehabis hujan. Itulah sebabnya aku suka suasana sehabis hujan di bulan Desember.

*

Akhirnya, satu yang pasti dan kusadari betul bahwa hujan turut mendewasakan diriku dalam segala abstraksi hidup ini. Dengan turunnya hujan tadi, dengan bau tanah basah sehabis terkena hujan ini aku selalu ingat akan kasih Sang Pencipta yang tak terkira. Aku selalu ingat untuk berbuat yang terbaik bagi hidup kini dan hari esok. Aku selalu ingat untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku selalu ingat pada kasih dan pengorbanan orang tuaku beserta semua orang terdekat yang kusayangi. Aku selalu ingat untuk ikhlas dan bersyukur atas semua yang kupunya. Dan sehabis hujan ini, kuingin torehkan kisah yang lebih baik dari ‘panas’ setahun yang sudah kulalui.
*
Kamar ukuran 4×4 meter. Laptop di depan mata. Headphone tertempel di telinga. Dari balik headphone , Tracy Chapman bernyanyi lagu kesukaanku, “Give me one reason.” Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tanganku yang sudah agak kering berlarian di atas tuts-tuts laptop. Ku tulis feature . Cerita tentang diriku di masa depan dalam bentuk masa lalu.
*
Manado, 31 Desember 2010. Pukul 22.12 Wita.
Haz Algebra tinggal di Manado. Bergiat di Komunitas Bibir Pena.

Telunjuk sang presiden

Ruangan ini seperti gurun panas tak berbatas. Entah mengapa tiba-tiba keringat dinginnya menjalar membasahi punggung. Dahinya berkerut menyerupai garis-garis ombak yang berenang menuju tepian. Matanya tak berkedip, sejenak ingin lompat menggelinding jatuh.

Di atas meja ini benda itu teronggok diam. Pemandangan yang mungkin terasa sangat menakutkan, memikirkan bagaimana ia bisa berpindah. Mulutnya tak terkunci, sudah lebih dari menit yang kesembilan bibirnya bergetar tanpa mampu menghasilkan suara apa-apa.

Entah siapa yang nekat mengirimkan benda ini. Atau kalau memang ia sudah terbiasa melakukannya, mengapa pula ia iseng mengirimkan ke alamatnya. Bukankah masih banyak jutaan alamat lain yang bisa dituliskan. Bahkan masih banyak nama lain yang serupa yang bisa ditujukan.

Ia mengeja yang tertulis. Benar, tak salah lagi, paket barang ini memang ditujukan kepadanya : Iwan Supomo. Alamatnya pun tak salah, lengkap dengan kode posnya. Yang tersisa tentang si pengirim tak ada, hanya beberapa sisa tetes darah.

Sepertinya benda ini sudah mulai mengering. Semula terbungkus dalam sebuah kotak kecil bersampul kertas coklat. Kertas yang dulu menjadi sampul buku-buku saat SD. Dan di dalam kotak terdapat bungkusan plastik bening yang tertutup rapat. Di dalamnyalah benda yang membuat siapapun pasti tercengang bersemayam. Sepotong telunjuk.

Belum lagi ia dapat mengerti maksud benda itu dikirimkan kepadanya, tiba-tiba terdengar suara lain yang minta dipahami. Di seberang seseorang berkata, “Halo, siang pak Iwan. Tolong diatasi segera demonstrasi yang terjadi. Saya ingin besok semua karyawan harus mulai bekerja. Saya tak ingin produksi kita terhenti. Pecat saja bagi yang membangkang, tak ada ampun bagi para provokator. Cukup hari ini mereka berkoar-koar. Saya tunggu realisasinya.”

Ia hanya mampu mengangguk. Keputusan yang sejak dari tadi pagi belum terpikirkan sudah ditambah lagi dengan datangnya benda yang mengejutkan ini. Ia lalu bangkit dan mengantongi benda itu yang kembali bersemayam di dalam kotaknya. Seperti sebuah kotak pulpen mahal.

*****************

Pemberitaan di televisi kali ini sangat berbeda dibanding beberapa bulan sebelumnya. Bila isu sebelumnya sempat reda oleh demam bola di mana nasionalisme berdiri membelakangi tiang gawang sendiri, yang terjadi kini menjadi buah bibir baru.

Para pengamat politik melihat gebrakan baru dari sang Presiden, saat tiga orang mentri dipecat karena usahanya untuk mensejahterakan rakyat malah menyeret-nyeret rakyat ke perdebatan rumusan siapa yang layak dikatakan miskin. Sementara hukum bergulir seperti mata dadu yang dilempar, susah ditebak. Dan agama yang seharusnya menjadi milik pribadi-pribadi, dijadikan komoditas politik murahan hingga menimbulkan bahaya laten yang baru.

Tak hanya di layar beling atau media cetak, di pasar-pasar para pedagang masih termangu, saat sang Presiden berjalan menghampiri mereka. Operasi pasar membuat para spekulan lari terbirit-birit dan lumbung-lumbung persembunyiannya disita oleh negara. Tak hanya itu, ia akan berjanji memberi tempat yang layak bagi para pedagang, sehingga tak akan ada lagi penggusuran lapak-lapak yang sesukanya terjadi.

Para guru, petani, nelayan dan buruh-buruh pabrik tak lupa dihampiri. Walau tak semua disapa, namun di tengah-tengah mereka sang Presiden berkata akan memperbaiki kehidupan mereka. Ia sudah muak oleh laporan-laporan yang menutupi kelemahan kerja para mentri. Ia bersama para staf ahlinya akan membuat skala prioritas terdepan. Skema terbaru adalah sang Presiden akan menampung langsung segera permasalahan dan membuat penyelesaian terbaik.

Pergunjingan ini tak hanya dikalangan bawah, kalangan wangipun terpesona. Mereka membicarakan raut muka wajah sang Presiden yang serius menatap kekesalan buruh sepatu yang tak mampu membelikan anaknya sepatu buatannya sendiri. Mereka membicarakan payung yang dipakai sang Presiden saat terjebak dalam gerimis ketika berdiri di pematang sawah bersama ratusan petani yang mengelilinginya.

Dan yang terbaru adalah tentang sarung tangan yang dipakai sang Presiden. Lambaian tangannya meneduhkan, bagai kipas mencuri angin.

******************* Ia tak percaya keputusan itu hadir begitu cepat. Delapan orang buruh pabrik di tempatnya bekerja telah dipecatnya, demosntrasi itu tak lagi berlanjut. Bahkan kedelapan orang itu kini mendekam di penjara, mereka ditangkap oleh karena tindakan perusakan yang terjadi. Kaca-kaca kantor pecah, termasuk terbakarnya pos satpam.

Ia mengambil keputusan cepat. Ia menunjuk seorang buruh untuk membantu rencananya. Membakar amarah para buruh dan memancing mereka melakukan tindakan anarkhi. Selanjutnya ia menaikkan gaji buruh yang ditunjuknya. Tak ada yang curiga, bahkan tak sempat lagi berfikir untuk curiga. Karena ketika polisi berdatangan, ia berdiri dan berkata, bagi yang mau bekerja lagi silahkan menandatangani surat perjanjian baru atau mereka akan digiring ke kantor polisi. Namun bagi para penggerak massa, ia tak memberi ampun.

Ia tak percaya ketika dirinya mendapatkan kenaikan gaji secepat itu. Mungkin untuk hal yang normal, akan memerlukan waktu sepuluh tahun lebih untuk memperoleh keputusan itu. Pimpinan perusahaan merasa perlu mengamankan perusahaannya, hingga prestasinya itu dianggap sebagai perlu untuk dihargai.

************* Seseorang membuka pintu. Pelan-pelan. Berjalan berjingkat menembus gelap. Namun tiba-tiba lampu menyala. “Tak perlu lagi kau pulang kalau sekedar hanya untuk tidur, makan dan berak. Keluar dari rumah ini sekarang juga!” sebuah suara berteriak di sudut sana. Gadis itu terkejut, hampir saja ia terjatuh. Lalu ia menatap asal suara itu. “Selama ini bapak tidak melarang, mengapa sekarang marah-marah?” tanyanya. “Kali ini tidak ada ampun. Aku sudah muak dengan isi rumah ini. Setiap kali aku pulang, semua tak ada di rumah. Memangnya kalian pikir ini hotel?” “Tapi pak ....” “Tak ada tapi-tapi! Silahkan kau pergi dari rumah ini. Dan jangan pernah kembali. Hal yang sama sudah kulakukan dengan ibumu. Kalian berdua tak jauh beda. Berfoya-foya dan selalu keluyuran malam. Aku seperti tak ada harganya lagi di rumah ini.”

Gadis itu terdiam. Matanya tak sanggup menatap sepasang mata yang memerah. Bersama tangisnya, ia berlari menuju arah kedatangannya tadi.

Lelaki itu terduduk sendiri. Wajahnya tak menunjukkan sedih. Ia tak menyesali keputusannya, tak ada perdebatan di hatinya. Sesunyi detik-detik yang menggiring malam menuju pagi.

*************** Meja kali ini berbeda dengan meja yang dulu. Lebih besar dan mewah. Ya, ia telah menduduki ruangan baru. Ruangan Direktur Produksi. Segala keputusan perusahaan berada dalam kontrolnya, sesuatu yang dulu hanya mimpi. Dari ruangan ini, ia mengatur segalanya. Tak perlu lagi berpeluh ria di ruangan produksi, tak perlu lagi pontang panting bekerja demi deadline waktu yang disediakan untuk direalisasikan.

Ia telah mempunyai tim yang solid. Ia telah mengumpulkan bawahannya yang dianggap bisa bekerjasama dan tahu arah kemauannya. Ia tinggal menunjuk mereka dan meminta pertanggungjawaban mereka. Selebihnya, ia memberi laporan ke pemilik perusahaan untuk semua keberhasilan yang tercapai. Bila tidak memuaskan, ia akan memindahkan atau memecatnya. Selanjutnya menunjuk orang lain untuk menduduki posisi itu.

Semua ini bisa terjadi sejak ia memperoleh kiriman itu. Telunjuk itu bisa membuat ia menunjukkan pilihan dengan tegas. Tak tanggung-tanggung, perubahan besar lainnyapun mulai mengikuti. Suaranya kian berat dan menggetarkan saat memberi perintah. Tatapannya yang tajam menguliti. Telinganya suka akan puji-pujian. Semua yang berada didekatnya tahu kemauannya, hingga terkadang ia tak diijinkan untuk repot-repot memeriksa kondisi real di lapangan. Lebih baik menerima saja laporan mereka.

************** “Apa yang selalu berada di kantong celanamu itu, mas?” “Ah... untuk apa kau menyentuhnya. Jangan-jangan hal lain yang kau mau? Hahaha....” “Hahahaha.... kapan kita akan menikah? Tapi aku mau itu jika kau telah menceraikan istrimu.” “Hmmm... tentang itu bisa diatur. Aku sudah tunjuk pengacara untuk mengaturnya. Malam ini jangan lagi kau rusak suasana....”

Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba suara keras terdengar. Dan beberapa lampu-lampu bersinar. Lalu mereka berdua telah berada di antara belasan orang yang mengelilinginya. “Serahkan paket kiriman yang telah kau terima! Dan jangan banyak bicara, atau foto-foto mesum kalian akan kami sebarkan,” ucap seseorang yang berjaket hitam.

Lelaki itu gemetar, tak sempat lagi ia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang mereka. Dari atas ranjang itu, ia menunjuk celana panjangnya yang tersandar di sofa hotel ruangan ini. Dengan sigap mereka memeriksa dan pergi begitu saja.

*************** Lelaki itu terdiam. Ruangan ini kembali seperti dulu, seperti gurun panas tak berbatas. Keringat dingin menjalar membasahi punggung. Ingatannya membuatnya ragu, apakah kejadian tadi mimpi atau nyata? Yang tersisa hanyalah, kepanikan si perempuan yang bergegas berpakaian dan lari ke luar kamar. Dahinya berkerut menyerupai garis-garis ombak yang berenang menuju tepian. Matanya tak berkedip, menatap langit-langit yang pelan-pelan akan menindihnya. Ia ragu, apakah akan mampu berlari untuk menghindar. Dari mulutnya hanya terdengar jeritan panjang.

********************* Pesta besar-besaran terlihat di layar kaca. Lampu-lampu taman di sekitar istana begitu cantik, tak terasa kalau malam berubah kelamin. Satu persatu tamu undangan masuk, sebentar lagi sang pemilik istana akan datang.

Di antara keriuhan tamu-tamu yang menunggu, banyak juga pekerja media meliputnya. Tak hanya media cetak dan elektronik dalam negeri tapi juga milik negara lain. Semua meliput kejutan apa yang akan terjadi setelah rujuknya kembali barisan koalisi. Semenjak dipecatnya beberapa mentri dan terjadinya banyak perbedaan pendapat akan kebijaksanaan jalannya pemerintahan, menyebabkan timbulnya keretakkan di tubuh koalisi.

Para pengamat politikpun mulai beradu pendapat, ada yang mengatakan bahwa perubahan yang menuju kebaikan beberapa bulan ini akan berakhir. Koalisi hanya akan menuju kembalinya lobi-lobi politik yang memunggungi kepentingan rakyat banyak. Sementara pengamat lain berpendapat, lembeknya kepemimpinan selama retaknya koalisi akan berakhir. Ia berpendapat koalisi yang kuat akan melahirkan kembali pemerintahan yang tegas, yang tak terlalu membeo pada kepentingan yang menurut koalisi hanya akan menguntungkan partai-partai lain yang berbasis massa. Karena justru yang terjadi, suara-suara oposisi yang terlalu diikuti.

Kabar pesta akbar ini juga menarik perhatian besar masyarakat. Mulai dari mereka yang baru merasakan kehidupan di malam hari dengan cahaya hingga mereka yang menghentikan diskusinya demi memberi masukan terbaik kembali bagi pemerintah. Tak hanya itu, anak-anak kecil yang mulai mengenal pemimpinnya dari bangku sekolah, mulai mencatat sejarah apa yang akan terjadi. Dan dari layar kaca ini, terlihat sebuah mobil mewah memasuki istana bersama pasukan pengawal. Dan seseorang membuka pintunya. Seperti biasa, sang Presiden langsung melambaikan tangannya, senyumnya tertebar. Namun kali ini tak lagi biasa, ia tak lagi memakai sarung tangan.

06januari2011

Cakra Punarbhawa

Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.
Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja-ayah yang dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.
Ruh berputar. Cakra punarbhawa. Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang haus, ganas dan beringas.
Aku tumbuh menjadi penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.
Ketika musim pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.
Aku menjadi juru warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke mana.
Koran mengabarkan aku lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu arah.
Aku lahir kembali di lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang mencintai malam.
Ayahku raja pasar gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada tujuh lubang luka yang membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit: “aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.
O, di mana rahim hangat ibu yang melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.
Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang kurindu, yang memeram kelam topan.
Maka, cerita baru pun kubuka:
Di pantai aku merayu, seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi.
Agak ragu kau membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun yang kalah.
Malam melata. Dinding kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer seperti roti kering tercelup cappucino hangat.
Upacara dimulai. Gaun kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di muka gapura permata camar- camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.
Lalu, igaumu menyusur malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu kelabu.
Usai upacara kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.
“Come on, honey! The night is very nice!”
Setengah memaksa, setengah dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub.
Agak mengerak dalam benakku, waktu itu puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas- meski kau dari negeri salju-memberangus lidahku yang bau hujan tropis.
Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti.
Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas samudra.
Pada parak pagi, kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan berhamburan tak tahu arah.
Kemudian, hari, minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima! Gelandangan lusuh itu, aku sendiri!
Hanya baju-baju kaus pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada semua penjuru mata.
Mungkin pernah seorang relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol bercampur sisa embun.
Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya gemintang.
Tak ada lagi mantra penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar kusam.
Kaukah ruh, asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayaiMu?
Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu!

Mawar dan Mbak Menik

Hari itu hari Minggu. Aku biarkan diriku terduduk di beranda-ah, sebenarnya tak bisa disebut beranda. Bayangkan, hanya 50 kali 200 cm, bagaimana mungkin bisa disebut beranda? Mungkin emper adalah kata yang tepat untuk ruang kecil di depan tembok rumahku ini. Tapi, sebenarnya emper, atau teras adalah kata lain untuk beranda. Ah, entahlah, sering kali aku mengucapkan atau memilih sebuah kata lebih kepada rasa daripada pertimbangan akal sehat.
Aku biarkan diriku terduduk di kursi plastik berdua dengan istriku. Kami diam dan memandang sesuatu yang kami sendiri sebenarnya tak tahu. Jika dilihat dari jalan, mungkin kami ini seperti dua orang yang sedang ada konflik.
“Beli koran, dong Mas,” tiba-tiba istriku nyeletuk. Pecah sudah kebekuan kami bermenit-menit lalu.
“Untuk apa?”
“Dibaca…”
“Di mana, belinya?”
“Di toko material…,” jawabnya kesal.
Aku tertawa geli. Senang rasanya bisa menggoda istriku.
“Kenapa kamu tidak memandangi mawar kita ini saja?”
“Tiap hari sudah aku pandangi, dan nggak ada istimewanya…”
“Masak?”
“Ya…, selain dia tumbuh di closet duduk…”
“Terus…?
“…warnanya merah…”
“Terus?”
Dia diam saja.
Aku pun paham… jangan-jangan dia memikirkan sesuatu yang sebenarnya sangat kutakutkan. Anak lagi. Mawar ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur, tapi dari rahim istriku tak tumbuh janin. Tidak berhubungan memang, tapi sering kali yang begini ini terhubung-hubungkan dengan sendirinya. Situasi memang sering kali berkelakuan aneh pada perasaan orang.
“Dulu kamu bilang… mawar itu adalah anakmu!”
“Bukan, Ma… mawar itu akan jadi tanda kasih sayang, dan anak-anak kita akan menyaksikan bukti hidup bahwa mereka tumbuh dari kasih sayang orangtuanya… Gitu.”
“Ya, pokoknya, kau sayangi mawar itu seperti kau menyayangi anakmu sendiri…”
“Lho… kok, jadi gitu?”
Aku lantas diam. Mawar yang tumbuh subur dengan bunga merahnya berdompolan di antara hijaunya daun dan putihnya porselen closet duduk itu, kini membangkitkan masalah lama. Kami sudah periksa ke dokter, dan kami berdua dinyatakan sehat-sehat saja. Istriku subur, aku pun subur. Tapi…, kami sampai saat ini, setelah sebelas tahun menikah, belum juga dikaruniai anak.
Aku mencoba bersabar, dia pun begitu. Kami menyibukkan diri dengan macam-macam kegiatan-termasuk mengurusi mawar ini, tapi… masalah yang satu itu tak bisa dihapus begitu saja. Aku sering memergoki istriku, di mal, di antrean loket bioskop, tengah hanyut memandangi seraut wajah bulat bocah mungil yang-entah mengapa-melemparkan senyumnya pada istriku. Dan setiap kali mataku menyaksikan pemandangan itu, ada desiran aneh di hatiku, lalu meluap mencair dan menggenangi pelupuk mataku.
AKU segera pergi ke kios di persimpangan jalan, membeli koran, tentu saja. Di kios itu kulihat majalah untuk keluarga muda dengan sampul sekeluarga artis muda yang baru saja punya anak. Aku membayangkan, yang perempuan adalah istriku, dan artis sinetron yang gagah itu adalah aku, tengah bahagia menggendong buah hati kami yang pertama.
Karena terlalu memandangi sampul tabloid itu, si penjual berdehem dan itu membuatku kaget. “Bagus, ya?” Komentarku sekenanya.
“Ya, bagus… wong dirawat, Mas…”
“Apanya?”
Sesaat si penjual diam, mungkin bingung. Tapi, tak lama kemudian dia jelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah tubuh si cantik yang tengah bergaya di sampul itu. Aku pun senyum dan pura-pura setuju; padahal aku tidak berkomentar apa pun soal si artis itu.
Sesampai di rumah, istriku langsung menyambar tabloid yang kubawa. “Kok, yang ini, sih? Karena ada ’dia’ ya,” ujarnya sambil terus membolak-balik halaman tabloid. Aku terbengong-bengong, lalu kutimpali dengan “terima kasih, ya, Mas…”
Istriku tertawa, lalu mengecup pipiku. Ah, mengapa yang satu ini masih saja memberikan desiran aneh di jiwa?
“Eh, Mas… tadi Mbak Menik telepon… katanya mau ke Jakarta..”
“Mbak Menik?”
“Iya… sekeluarga.”
“Lho, ada apa? Sekeluarga? Apa anak-anak liburan?”
“Kok, nadanya nggak senang, sih, mau didatangi kakak sendiri…,” kata istriku menanggapi perubahan wajahku.
Bagaimana mungkin aku bisa gembira mendengar nama kakak perempuanku disebut-sebut, wong dia adalah wanita pembenci mawar. Di rumah kami dulu, sewaktu kami masih anak-anak, satu-satunya manusia penghuni rumah kami yang benci terhadap tanaman, terutama mawar, adalah Mbak Menik. Dia selalu mencabuti tanaman hias kami. Nggak bersih, repot, ada durinya… dan masih banyak lagi alasan untuk “membersihkan” rumah dari berbagai jenis tanaman. Sayangnya, Mbak Menik adalah kesayangan ayah jadi semua kemauannya dituruti. Sementara, kami semua sangat takut pada ayah. Akhirnya, rumah kami adalah rumah paling gersang di seluruh kampung.
Bayangkan, mawar yang dengan susah payah kutanam, bahkan dengan pengorbanan yang tak bisa dihitung dengan rupiah, akan menghadapi malapetaka. Dan bila hal itu terjadi, bagaimana mungkin aku bisa diam saja?
Malamnya, terus terang, aku tak bisa tidur. Aku sudah bisa membayangkan bahwa mulai dari gerutunya, Mbak Menik akan mengintervensi mawarku. Maklumlah, di keluargaku, dia adalah makhluk paling galak.
Haruskah mawar itu kupindahkan sementara? Tapi ke mana? Kami tak punya halaman, dan kalau hanya dipindahkan, dia tetap bisa menemukannya. Dia punya penginderaan yang aneh atas apa pun yang tidak disukainya. Niat itu pun akhirnya kubatalkan karena di samping tak mungkin melakukannya tengah malam, juga… ini kan rumahku, rumah bagi mawarku, mengapa dia yang harus disingkirkan?
Ah, aku tak tahu harus bagaimana melindungi mawarku. Aku terus saja berpikir, entah sampai mana, sampai akhirnya aku terjaga karena ada suara ribut-ribut di luar.
Di luar? Bukankah itu suara istriku yang riang gembira? Dan jika dia gembira, artinya… ampuun Tuhanku, pasti itu keluarga Mbak Menik. Mataku masih mengantuk, entah jam berapa semalam aku tertidur.
“Mana si pemimpi itu?” gelegar suara Mbak Menik mencambukku untuk segera bangkit dari tempat tidur. Istriku menjawab bahwa aku sebentar lagi akan…
“Hei…,” ucapanku memotong pembicaraan mereka.
“Hei…, kurus, kamu?” sergah Mbak Menik sambil menatap mataku yang merah. “Jangan begadang melulu, dong… punya istri, kok, ditinggal begadang…,” sambungnya dengan nada tinggi.
Aku hanya tersenyum kecut. Aku khawatir istriku tertusuk ucapannya yang selalu dimaksudkan untuk dihunjamkan ke perasaan orang lain.
Lalu kemenakanku, yang ternyata sudah besar-besar dan pendiam itu, segera mencium tanganku. Aku tersadar, ternyata kami sudah cukup lama tak bertemu. Aku mencari-cari suami Mbak Menik, barangkali sedang membayar taksi atau…
“Masih suka mawar, ya, Pong?” ucapan Mbak Menik membuatku tersengat.
Aku kehilangan kata-kata.
“Masih benci mawar?” jawabku sekenanya, akhirnya.
Mbak Menik diam. Istriku segera mempersilakan kemenakannya untuk masuk kamar, yang sejak kemarin dikosongkan.
“Apa istimewanya, sih, mawarmu? Aku pingin lihat?” sambil berkata begitu, dia segera beranjak dari tempatnya. Aku melompat dan menghalanginya.
“Jangan, Mbak. Jangan coba-coba mengusik mawarku…”
Mbak Menik tertawa, masih keras seperti dulu.
“Rosa, Cindy… lihat, Om-mu adalah malaikat pelindung mawar…,” dilanjutkan dengan gelak tawanya yang kian keras.
Aku terdiam lagi. Terasa ada sesuatu pada diriku. Ya, aku telah lama sekali tidak mendengar gelak tawanya. Aku telah lama sekali tidak mendengar teriakannya. Aku telah lama sekali tidak bertemu dengannya. Aku rindu. Dialah pengganti bundaku, sejak bunda meninggal. Entah mengapa, aku peluk dia dan air mataku tumpah ruah di pelukannya.
Mula-mula dia tertegun. Tapi, rasanya, dia pun merasakan apa yang kurasakan. Dia peluk aku, dia ciumi aku. Kurasakan pipinya hangat oleh air mata kerinduannya.
Lalu, entah bagaimana, kami duduk di beranda dan menatap mawarku. Dia sama sekali tidak menyinggung mawarku. Ini aneh. Dia bercerita bahwa dua tahun yang lalu, dia bercerai. Persoalannya klise, sepele, dan klasik: ada orang lain. Namun, sebagaimana yang aku bayangkan, dia tegar. Sebagai orang kuat sebuah perusahaan farmasi, dia memang besi. Dari seorang penjaja obat dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain dengan upah komisi penjualan, atau dari satu dokter ke dokter lain, lalu menjadi manajer area, kini dia… entah apalagi, dia memang layak hidup berkecukupan. Namun, perkawinannya kandas; kadang aku berpikir, hidup memang nggak fair.
“Anak-anak, ’gimana?” tanyaku hati-hati.
“Mereka tegar. Mereka tahu persoalannya. Mereka tahu bapaknya salah dan mereka sudah memaafkan. Karenanya, mereka juga mendukung keputusanku untuk cerai dari bapak mereka.” Ucapnya sambil menghisap sebatang rokok.
“Mulai kapan kamu merokok?”
“Sejak semuanya memanas, aku seperti menemukan kawan yang tak banyak bicara, tapi setia mendengarkan kesepianku… Ini!” ucapnya mantap sambil mengangkat rokoknya, lalu tertawa.
Kopi hangat terhidang. Lalu kami ngobrol ke sana-ke mari. Aku menanyakan sanak saudara. Dia menjawab bahwa si anu sudah kawin, si itu sudah meninggal, si A anaknya lima, si B anaknya baru satu dan seterusnya, sampai akhirnya dia menyadari bahwa ucapannya mungkin salah, dia mendadak diam.
“Sori, pong…,” dia selalu memanggilku dengan sebutan pong dari kata ompong-waktu kecil aku memang ompong. Aku mengerti arah bicaranya, dia tak mau menyinggung soal anak di depan istriku.
“Nggak apa-apa…,” jawabku.
“’Gimana?” Bisiknya.
Aku mengerti, dia masih kepingin tahu apakah aku dan istriku masih mungkin punya anak atau tidak. Aku jawab mungkin. Dia hanya mendesah. “Aku punya kenalan ginekolog. Di Jakarta, sini, tinggalnya… di bilangan Kebayoran Baru… Kalau, kau mau…”
Aku hanya tersenyum. Ah, perhatiannya padaku memang tak berkurang.
“Mawarmu, aneh, pong…”
Mati aku. Kenapa tiba-tiba dia membelokkan pembicaraan ke mawar? Lalu, seperti biasa, dia segera mendekati mawarku. Kuburu dia, berusaha mencegah hal-hal yang tak kuinginkan terjadi pada mawarku.
Sempat kulihat mawar-mawar itu seakan menguncup ketakutan. Ah, kasihan kalian. Ini adalah bude kalian, mengapa harus takut. Dia galak, tapi, kurasa dia tak akan mengutak-atik kalian.
“A… aapanya yang aneh?”
“Hmm… entahlah. Mawar kampung, kan, ini?”
“Ya…”
“Banyak durinya, kan, ini?”
“Jelas, wong, mawar…”
“Istrimu nggak pernah kena durinya?”
“Mmm… nggak, tuh.”
“Hmmm. Aneh.”
“Apanya?”
Dia diam saja. Aku tegang. Terus terang, ini saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku. Aku terpaku beberapa saat, sampai akhirnya kusadar, Mbak Menik sudah menggenggam sekop. “Mau kau apakan mawarku?” setengah berteriak aku melompat. Dia hanya tersenyum.
“Kamu kenapa, sih, pong?”
“Aku tahu, mbak nggak suka mawar, tapi, kali ini… kumohon… jangan kau ganggu mawarku…”
“Minggir!” Dia mendorong tubuhku. Aku terhuyung, tak kusangka tenaganya luar biasa. Dengan cekatan, dia mengeduk tanah di dekat pagar. Beberapa kali kemudian, sebuah lubang besar menganga. Lalu, tanpa persetujuanku dia mengangkat closet dan mulai mengeduk mawarku. Teriakan dan ketakutanku tak digubrisnya. Istriku dan kemenakanku berlari ke depan dan tak berani melakukan apa-apa.
Sejam kemudian, mawarku telah pindah ke sudut halaman. Aku diam. Indah sekali. Mbak Menik menyiramnya. Lalu, “… tahu nggak, bunda sangat suka pada mawar. Ketika bunda meninggal, aku marah, entah pada siapa. Lalu aku hancurkan semua yang berkaitan dengan bunda, termasuk mawar.
Tapi, ketika sudah cerai… aku sering rindu pada bunda. Aku jadi ingin bunda berada di antara kehidupanku. Lalu aku tanami rumahku dengan mawar.”
Semuanya diucapkannya dengan enteng, tanpa beban, apalagi didramatisir. Hanya saja, aku jadi tercenung. Lukanya jauh lebih parah dari luka yang kuderita semenjak bunda meninggal; ya, waktu bunda meninggal aku masih belajar jalan.
“Nah, gini, kan bagus…” ucapnya bangga. Terus terang, diletakkan di sudut halaman, mawar jadi tampak indah. “Bagus, nggak?”
Aku tersenyum. Rasanya baru kali ini aku paham siapa Mbak Menik.
Pagi itu, aku disengat situasi. Pagi hari, di meja makan, di sela-sela keriangan kemenakan, senyum istri, dan suara Mbak Menik, aku saksikan sebuah vas bunga. Di tengahnya sekuntum mawar merah merekah.
Jl Pinang 982

Angin yang Bersiul di Tingkap

Tahukah kau tentang kisah seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang putri Puri Kanginan yang cantik bagai bidadari usai mandi di telaga yang tepinya ditumbuhi bunga pancawarna? Puluhan pohon bunga itu menggoyangkan dahan-dahannya sampai kembang wangi berjatuhan masuk ke dalam air telaga dan membuatnya harum mewangi lalu tak henti-hentinya meluruhkan daki para bidadari yang turun dari langit, menari-nari tanpa peduli pakaian dan selendang mereka ada yang dicuri. Bunga kenanga, cempaka, bunga kantil dan melati, bahkan semak mawar pun ditiup angin sampai kelopak-kelopak bunganya mengorbankan keindahannya, namun wanginya dicelupkan ke dalam air telaga. Putri itu bagaikan bidadari yang kehilangan kain, baju, dan selendangnya lalu dengan malu-malu bersembunyi di dalam semak menutup sekujur tubuhnya dengan dedaunan dan kedua belah tangannya.
“Janganlah takut tuan putri, aku takkan memerkosamu. Kenakanlah pakaian ini dan engkau bisa menjadi seorang putri cantik jelita yang benar-benar ada di dunia ini.”
Dan, menjelmalah bidadari menjadi putri yang diam di puri, disayang oleh para dayang, oleh biyang danaji, olehtu pekakdan tunini. Tapi, setiap saat Tuan Putri merindukan seperangkat pakaian dan selendangnya yang bisa membawanya kembali terbang ke surga, bergabung dengan sesama bidadari dan penghuni surga lainnya, tidak seperti sekarang, terkurung di dalam sebuah puri bersama keluarga para ksatria, namun mustahil dapat menggenggam kebebasan sebagaimana saat dia menjadi penghuni surga.
Tahukah kau lelaki itu selalu merindukan Tuan Putri, namun keluarga puri tidak mengizinkannya bebas berkeliaran ke luar puri tanpa keperluan yang berarti? Berhari-hari lelaki itu berjalan hilir mudik di depan puri dengan harapan sedetik atau semenit tuan putri akan menampakkan wajahnya di pintu gerbang, tersenyum menyiramkan kesejukan yang menenteramkan hatinya sekaligus mengobarkan semangatnya untuk memetik sekuntum mawar dari istana raja-raja.
Tuan putri dari hari ke hari merasa kesepian dan merindukan Rajapala yang menyembunyikan pakaiannya dan membawa pulang dirinya ke rumahnya yang sederhana, lalu memberinya seorang anak, dan suatu saat akan menemukan kembali pakaiannya di bawah tumpukan padi yang habis dikuras dari lumbung, dan dia pun bisa mengucapkan selamat tinggal pada suami, anak, dan dunia ini, terbang kembali ke surga dan bergabung dengan para bidadari lain sebagai penghuni surga.
Tuan putri merindukan Sang Rajapala yang akan menjemputnya di gerbang puri, membawanya pergi jauh ke tepi hutan, membangun rumah di sana, membuka lahan pertanian, dan mereka dapat hidup sebagai petani yang mencintai tanahnya, sekaligus mencintai langit yang berkisah tentang datangnya hujan dan musim kemarau, tentang datangnya angin puting beliung dan tentang masa-masa yang tenang. Rahasia langit membimbing mereka menapaki hari-hari saat harus menggarap sawah, saat harus menuai.
Tetapi, Rajapala hanyalah dalam impian, sementara kenyataan membawanya dalam kancah kasih sayang keluarganya, kedua orangtuanya dan kakek neneknya. Dia adalah putri satu-satunya dalam keluarga puri ini, tercantik, terlembut, teranggun, dan paling penuh pesona. Siapa lagi yang memancarkan sinar kemolekan selain dirinya, yang akan mengundang para pangeran untuk berebut dalam sebuah sayembara mengangkat anak panah dan membentangkan busurnya untuk melesatkan anak panah ke udara mengenai sasaran yang ditentukan. Siapakah ksatria digdaya yang akan berhasil menyunting dirinya? Apakah dia lelaki yang belum lagi beristri atau justru lelaki yang sudah banyak istrinya karena kedigdayaannya tanpa tanding dapat menaklukkan wibawa lelaki-lelaki lain dalam menyunting putri cantik dari penjuru negeri, sebagaimana Raden Arjuna yang tak melewatkan setapak tanah negeri tanpa meninggalkan seorang istri?
Lelaki itu hanyalah lelaki kalangan rakyat biasa, namun santun dan halus budi bahasanya, tiada pula buruk rupa. Dia sadar kedudukan burung pungguk merindukan purnama yang diembannya, namun saat purnama tiba dia selalu duduk bersila mengatur napasnya dan menyambung jiwanya dengan Yang Maha Suci membisikkan kerinduannya pada bulan. Tidakkah aku punya hak untuk menjangkaumu, ya Yang Bercahaya? Tidakkah Kau perkenankan aku mengulurkan tanganku yang kasar ini kepada kelembutan tangan tuan putri?
Lalu, dalam diamnya dia berkelana ke alam jauh, ke sudut-sudut hatinya sendiri yang paling dalam bagai masuk ke dalam goa tak bertepi, dalam kegelapan yang pekat. Tiba-tiba dilihatnya cahaya warna-warni yang menyilaukan, namun dia tetap berkelana tak hendak berhenti terpukau oleh kilau yang sesaat sampai tiba-tiba dia hanya melihat cahaya dan tidak ada apa-apa lagi. Alangkah tenteram, alangkah damai malam atau siang dia tak lagi tahu, hanya cahaya bundar bagai pintu keluar dari goa. Tiba-tiba dilihatnya cahaya itu berpusar dan seorang lelaki duduk bersila berada di pusatnya, berpakaian serta putih bersih, dengan ikat kepala putih, dengan pandangan mata yang memancarkan cahaya putih pula.
“Siapakah engkau, wahai lelaki yang berwajah bersih?”
Terdengar gaung bagai suara dari dalam rongga dadanya sendiri:
“Aku adalah engkau, tidakkah kau tahu, wahai lelakiku?”
Dia tak tahu, tidak perlu tahu, sebab rasa tenteram dan damai menguasai dirinya, menguasai seluruh senyap yang merongga.
“Dengarkanlah pesan ini, wahai lelakiku, bilamana kau benar-benar berniat untuk mendengar.”
Lalu didengarnya suara itu, bagaikan memberi petunjuk akan apa yang harus dilakukannya, semuanya langsung dapat dipahaminya tanpa perantara kata-kata.
Bagaimana mungkin dia melakukannya? Begitu keraguan yang menerpa pikirannya ketika goa pun lenyap dan cahaya rembulan sudah mulai redup di langit barat. Mustahil aku mampu melaksanakannya, begitu protesnya. Tetapi, siapakah yang patut didengar, suara pikirannya atau bisikan hatinya?
Lelaki itu enggan berbagi masalah dengan sesama lelaki lain. Dia tidak yakin bahwa mereka bisa dipercaya memegang rahasia, sebab upah dari kegagalan hanyalah maut. Maut yang menghadang yang seharusnya tak dipersoalkan, sebab maut adalah keniscayaan dan kedatangannya haruslah disambut dengan suka cita. Tetapi, tuan putri adalah idamannya, satu langkah lagi yang harus diisi setelah kelahiran sebelum kematian.
Rencana harus disusun dan bisikan hati haruslah dilaksanakan. Lelaki itu yakin takdirnya adalah yang telah dibisikkan padanya kala sunyi menyelimuti tubuhnya, kala purnama menerangi hatinya.
Maka, sehari-hari dia berusaha tetap dekat dengan gapura puri mengintip kehadiran tuan putri dan menyiapkan langkah yang haru diambil.
Matahari belum lagi tinggi ketika tiba-tiba tuan putri menampakkan wajahnya di gerbang, menebarkan pandang ke jalan yang sepi, seolah merasa ada yang menanti. Memang, semalam dalam mimpinya dia melihat dirinya berada di pintu gerbang puri, disambut oleh lelaki Rajapala, lelakinya yang selalu berkunjung dalam mimpi, dan kemudian mereka saling mengulurkan tangan dan berlarian di atas jalan tanah, lalu tubuh mereka terangkat ke langit, melayang-layang ke sana kemari. Dengan saling berpegangan tangan mereka menikmati pemandangan rumah-rumah dan persawahan, sementara burung-burung gereja mengikuti mereka dengan suaranya yang bercericit.
Dia begitu percaya mimpi itu akan terwujud, dan ketika Matahari mulai memanjat tebing langit, diam-diam diayunkan langkahnya berahasia ke pintu gerbang puri dan benar, lelaki itu telah menunggunya di sana.
Diulurkannya tangannya dan secepat anak panah lelaki itu melompat, menyambut tangannya dan mereka berlarian di jalan tanah ke arah laut. Mereka berlari, tetapi tubuh mereka tak terangkat dari atas tanah. Kaki tuan putri terantuk batu, kaki lelaki menginjak padas, namun mereka tak peduli, sementara dari kejauhan terlihat ayah tuan putri digerbang dan mulai berteriak-teriak. Lalu, terdengar suara kulkul dipukul bertalu tanda bahaya tiba, dan mendadak dari segala arah lelaki menyerbu dengan golok dan parang di tangan.
“Tidak! Aku telah melakukan yang dibisikkan, telah kulakukan melegandang sesuai dengan tuntutan adat. Kenapa jadi begini?” kata lelaki itu pada dirinya sendiri.
Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.
“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.
Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.
“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.
“Tunggu!” teriaknya.
Namun, tak seorang pun berniat menyurutkan langkah dan menunggu. Tiba-tiba saja golok sudah terayun dan parang ditebaskan. Lelaki itu tersungkur ke tanah, tubuhnya bersimbah darah, namun tiba-tiba tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara. Orang-orang hanya memandang dengan mulut menganga, menyaksikan adegan yang sama sekali tak mereka duga. Golok dan parang terjatuh dari tangan mereka, kaki mereka terpaku di tanah, dan mereka bahkan tak mampu menarik napas.
Jasad lelaki itu terus melayang-layang di udara, langsungmemanjat tebinglangit, sementaraterdengar nyanyian merdu darip erempuan-perempuan  yang melantunkan ayat-ayat suci mengantar kepergiannya.
Tuan putri bersimpuh di tanah, memandang ke langit, dan ingat akan mimpinya sendiri. Kenapa bukan dia yang diterbangkan ke langit, kembali ke surga, berkumpul kembali dengan para bidadari? Dia menjerit memprotes ke langit seolah hendak bertanya kenapa hal itu bisa terjadi. Kenapa hukuman itu harus dia jalani?
“Wahai Tuan Putri. Kau terlalu banyak bermimpi tentang Rajapala, kisah sedih yang diwariskan oleh leluhurmu kepada Tu Ninimu, kepada Biyang Ayumu. Kau terlalu membayangkan dirimu sebagai bidadari yang terbuang ke dunia dan akhirnya harus terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anak yang mencintaimu.”
“Apa salahku punya mimpi tentang bidadari yang turun ke bumi?”
“Tidakkah kau sadar bahwa dari awal kamu sudah berjanji untuk tidak bersetia kepada suaminya, hanya lantaran kau temukan kembali pakaian dan selendangmu, dan kau impikan kembali kehidupan yang sudah kau tinggalkan dan seharusnya tak lagi kau inginkan? Tidakkah ini suatu dosa yang amat besar dan sekarang kau harus menanggungnya?”
“Duh Gusti, lalu kenapa lelakiku kau terbangkan ke langit?”
“Tidakkah kau lihat wajahnya yang sederhana, wajah seorang petani desa yang mengenal hanya satu kata, yakni kerja. Kerja adalah apa yang dapat dilakukan untuk bersyukur pada Yang Maha Pemberi, dan di masa dongeng, dia telah mencuri seperangkat pakaian seorang bidadari yang turun ke bumi, tetapi kemudian melarikan diri kembali ke langit.”
“Lalu, kenapa dia?”
“Tidakkah kau lihat darah Rajapala mengalir di tubuhnya? Sekarang saat yang tepat baginya bergabung kembali dengan bidadarinyadi surgasetelah beratustahun berpisah.Inilah buah dari ketekunan pada tanah yang digarapnya.”
“Jadi, aku tak bermimpi tentang Rajapala?”
“Tidak. Tetapi kau bukan bidadari. Leluhurmu terlalu sering bercerita tentang bidadari yang turun ke bumi dan tanpa merasa bersalah terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anaknya, dan kau telah teraliri darah bidadari di uratmu, dan segala dosa-dosanya adalah hadiah buatmu. Kelak, kalau kau sudah menyadari apa yang telah kau impikan dan kau dapat memperbaiki diri, maka kau pun mungkin akan terangkat ke langit dan tak kembali lagi ke muka bumi. Kaulah makhluk utama yang layak untuk duduk di singgasana langit, di sana, jauh di sana, dan mungkin kau akan bertemu dengan Rajapalamu.”
Tuan Putri menundukkan mukanya, tangannya meraba tanah, digenggamnya debu, dan kemudian diangkatnya tangannya, debu diterbangkan angin kesana kemari, mungkin memanjat langit menyiapkan tangga ke surga.
Dan angin yang selalu bersiul di tingkap yang terbuat dari kayu berukir motif daun dan bunga di rumah tua yang tak lagi berupa puri dengan para putri dan pangeran yang tinggal di dalamnya, siapakah yang sebenarnya bersiul-siul sepanjang hari sepanjang tahun? Puri ini sudah menjadi tempat tinggal biasa, suasana anggunnya sudah lenyap, dan pintu gerbang yang dulu kelihatan angker sekarang hanyalah seonggok batu merah yang tersusun rapi tanpa jiwa.
Itulah siul tuan putri yang setiap hari pulang kembali ke puri, berharap kelak menjadi bidadari dan terbang kembali ke langit bergabung dengan penghuni surga yang lain, bergabung dengan Rajapalanya yang telah lebih dahulu memasukinya? Mungkinkah? Bukankah lelakiku sudah bergabung dengan bidadari istrinya dan dia mustahil akan berbagi hati denganku?
Dengan demikian, Tuan Putri hanya mampu bersiul di tingkap, ingin masuk kembali ke dalam kamarnya di puri dan bermimpi tentang bidadari yang turun ke bumi dan mandi di telaga wangi.
Singaraja, 5 Agustus 200*
1. Ibu, Ayah, Kakek dan Nenek dari keluarga berkasta.
2. Rajapala, di Jawa dikenal sebagai Jaka Tarub.
3. Kulkul = kentongan.
4. Melegandang, kawin lari dengan cara paksa.
5. Di Bali, pada upacara kematian, para perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci.

L’abitudine

Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.
Sungguh Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri….” Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Setidaknya aku ingin menjadi merpati.”
Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau aku punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui semua mimpi-mimpimu….”
“Nggak lucu!”
“Yap! Aku memang tidak sedang melucu.” Josephine sedikit mengangkat bahu. “Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal perkawinanmu yang membosankan.”
“Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!”
Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan, pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan. Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila ingin ketemu dengan Josephine.
“Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu sendiri….”
Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu, dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan. Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman.
“Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,” desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri.
Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah, kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput. Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu datar, steril dan licin bagai lantai porselin.
“Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan dari kematian…,” Josephine berkata.
“Itu karena kamu membenci perkawinan?!”
“Jangan salah paham, An,” Josephine tertawa renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih dan ringan seperti popcorn. “Aku sama sekali tak membenci perkawinan. Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan mereka bahagia….”
Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik.
“Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi….”
“Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri? Enam sembilan?”
“Tak cuma itu….”
“Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama kamu?!”
“Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih seratus persen doyan laki-laki!”
“Sialan!”
Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh, seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini. Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan melindungi.
“Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan perkawinanku?”
“Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi kian menyedihkan.”
Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi….
Dan kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan. Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga, melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy, memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu! Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa di bulu-bulu mata.
Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. “Sungguh, Jos! Aku menjadi burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan, melayang-layang….”
Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah seperti menikmati fried potatoes.
“Kamu nggak percaya?”
“Percaya. Percaya…,” Josephine masih menyimpan tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. “Aku percaya kamu lagi jatuh cinta! Selamat….”
Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya.
“Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang, menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang membosankan…,” Josephine menarik kursi, lebih mendekat. “Ayolah, ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri….”
Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap, dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai, quell’emozione in più, ad ogni tua parola….
Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar. Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam. Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang.
Perché la solitudine, che non sorride mai,
diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai.
Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam.
“Kau tahu, Jos…,” desah Andini, sedikit menunduk, mengakhiri cerita. “Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan dengan awal mula dosa.”
“Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap sebagai manusia.”
“Ini rahasia kita….”
Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi. Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan rahasia kita.
“Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu.”
Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira.
“Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama kamu menikmati…,” kata Josephine. “Dan kuharap kamu memang benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup. Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu, dan ingin menambahnya….”
Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan. Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee, nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya….
Bersama Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati. Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi.
“Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan dan membahagiakan dalam hidupku…,” katanya, dengan suara lirih seperti tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass, mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang tercipta dari keajaiban kata-kata.
Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan. Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta. Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari….
Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun. Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut. Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka. Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung, menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus.
Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh….
“Ya, Tuhan…,” Andini menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku orgasme!!”
Ciuman yang gugup, dan Andini segera menutup pintu, menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk memilih-milih taksi.
“Cepat, Bang!”
Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah. Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak ada tilas, tak ada bekas.
“Bisa lebih cepat?”
“Macet, Bu….”
Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan. Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan. Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya. Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman. Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat handphone.
Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu merepotkan ketika menjadi seorang suami.
Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri, apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa, dengan siapa.
Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat. Segera Andini menghubungi handphone Josephine.
“Jos….”
“Hai….”
“Mengganggu?”
“Nggak. Ada apa…,” terdengar suara Josephine yang pelan dan rendah.
“Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu….” Lalu Andini merasa lebih tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya. “Oke, Jos? Makasih lho….”
Andini meletakkan telepon.
DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal.
“Dari siapa?”
Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya.
“Kok diam?”
Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut yang menutupi dadanya melorot.
“Telepon dari siapa?”
“Andini….”
“Apa dia mulai mencurigai kita?”
Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Gunawan.
Jakarta-Yogyakarta, 200*
“L’abitudine”, satu lagu gubahan Pierpaolo Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena (Lihat album Andrea Bocelli “Cieli di Toscana”).

Abang Yun

Kehadiran Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya.
Sangkaan itu wajar saja. Di kampung kami sangat meyakini bahwa orang yang pergi meninggalkan aib dianggap mati. Orang itu tak akan berani pulang, ia akan lenyap selama-lamanya. Jika ia berjumpa dengan orang kampung di perantauan, kalau tidak dia yang mengingatkan maka sebaliknya yang menemuinya tidak akan bercerita tentang perjumpaannya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena cemooh orang sekampung.
Sudah sering terjadi yang meninggalkan kampung karena membawa aib tidak kembali-kembali lagi. Padahal di antara mereka justru sukses di perantauan, seperti pengusaha atau pejabat. Kalaupun menjadi penjahat, ah ini hanya pengecualian yang justru paling banyak, maka bukan sembarang penjahat melainkan sebagai pemimpinnya. Kebanyakan penjahat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, atau di Filipina.
Ketika Abang Yun pulang ke kampung saat Idul Fitri kemarin, sekali lagi, wajar kalau berita itu cepat menyebar. Cuma tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan bahwa kepulangan orang yang meninggalkan kampung karena aib pasti dibunuh di tangan warga lalu jenazahnya saat itu juga dimakamkan. Ini tidak terjadi. Sungguh suatu keajaiban bagi Abang Yun. Sebagai adik satu-satunya, tentunya aku sangat gembira. Kini rumahku dipenuhi tetangga, membuat ibu sangat sibuk menyiapkan makanan dan minuman.
Abang Yun datang bersama perempuan cantik, yang kuketahui kemudian adalah istrinya. Juga seorang anak perempuan berusia 10 tahun, pun tak kalah cantiknya dengan ibunya. Sementara mobil merek Escudo yang dibawa sendiri oleh Abang Yun kini diparkir di halaman rumah kami. Kucuri pandang dari jendela rumah panggung kami, anak-anak kampung mengerubungi mobil berwarna putih metalik itu. Ada yang naik di depan, di dekat pintu, ada yang sekadar mengelus-elus dinding mobil.
Abang Yun juga tidak menampakkan wajah ketakutan tatkala menerima kunjungan tetangga yang bertanya ini dan itu. Lazimnya pemudik lainnya, ia banyak bercerita tentang suksesnya di perantauan sejak ia meninggalkan kampung 15 tahun lalu. Istrinya yang sangat cantik tak beranjak dari sisinya, setia menemani Abang Yun. Mbak Mita, istri Abang Yun, ramah pada keluarga kami. Ia juga ikut terlibat mengobrol dengan para tetangga. Kulihat banyak dari kami di kampung ini, terutama para perempuan, merasa iri dengan kecantikan Mbak Mita.
Masa muda Abang Yun penuh oleh noda hitam. Berulang kali ia masuk penjara karena merampok dan mabuk. Terakhir, sampai ia harus lari dari kampung kami membawa aib, Abang Yun diburu-buru pihak keamanan karena bandar narkoba. Kesalahan yang membuat aib besar Abang Yun di mata orang kampung, beberapa jam sebelum minggat ia membawa lari istri Pak Lurah yang memang tergila-gila dengan Abang Yun. Namun beberapa hari dibawa ke kota, ia tinggalkan perempuan itu di kamar hotel. Abang Yun lari ke Medan, sedangkan istri Pak Lurah kembali ke kampung.
Peristiwa itu membuat berang Pak Lurah. Rumah kami nyaris dibakar oleh orang-orang suruhan Pak Lurah. Untunglah tetangga kami mencegah, dan berjanji akan mendapatkan segera Abang Yun untuk diadili di depan masyarakat. Memang Abang Yun tidak bisa ditemui lagi, namun kemarahan Pak Lurah akhirnya reda. Apalagi, pada pemilihan Lurah enam bulan kemudian, ia tidak terpilih kembali.
“Jadi, bagaimana caranya kau bisa kaya seperti ini? Dapat istri cantik lagi? Wah, wah, kau pasti memiliki ilmu ya? Belajar di mana? Kiai dari Banten ya?” tanya Wak Herman, orang tua yang sangat disegani di kampung kami. Kalau dia saja suka dengan kehadiran Abang Yun, otomatis yang lain akan ikut. Diam-diam aku mengagumi Abang Yun yang mampu menarik hati Wak Herman.
“Gampang Wak, yang penting mau kerja keras,” jawab Abang Yun yakin. “Soal istri cantik, saya tak bisa jelaskan. Nanti Wak mau lagi he-he-he…. Ah, enggak Wak, saya enggak punya ilmu kok, apalagi ilmu pelet ataupun ilmu kebal. Kalau Wak enggak percaya sentuh saja kulit saya dengan pisau, pasti berdarah.”
Aku tahu Abang Yun bergurau. Aku tak percaya kalau ia tidak memiliki ilmu penangkal, kulihat cincin yang melingkar di beberapa jari tangannya batunya besar-besar. Sore tadi juga, tak sengaja, aku mendapatkan kain hitam kecil di kamar. Aku yakin itu jimat milik Abang Yun.
“Kalau kau kembali ke kota, bisa sekalian bawa anak Wak. Si Iful itu nganggur di sini, lama-lama bisa nyusahin,” kata Wak Herman lagi sambil senyum-senyum. “Bagaimanapun dia kan termasuk adikmu juga, apa kau tega melihatnya susah di kampung? Iya, kan, Mar?” ujar Wak Herman lagi. Ia meminta dukunganku.
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, daripada membantu anak Wak Herman akan lebih baik suamiku yang dibawa Abang Yun untuk bekerja di kota. Tetapi, itu tak mungkin terucapkan. Kulihat Abang Yun hanya mengangguk-angguk, tiada terucap “ya” atau “tidak”.
“Bagaimana, Yun?” Wak Herman kembali bertanya. “Kalau kau setuju, bolehlah Wak panggil si Iful sekarang.”
“Kan masih ada hari lain, Wak. Sekarang kita ngobrol yang lain saja, soal kampung kita ini yang saya lihat mulai menampakkan kemajuan. Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, orang kampung hampir semuanya sudah punya televisi. Bahkan waktu saya masuk pagi tadi, warga di bagian depan kampung sudah ada yang mempunyai parabola. Berarti sudah makmur,” ujar Abang Yun untuk mengalihkan percakapan. “Benar ya, panen di sini bagus-bagus? Syukurlah kalau demikian.”
“Yang makmur, ya makmur. Tetapi, banyak warga di sini masih melarat. Kau lihat sendiri, masjid kita itu tidak selesai-selesai. Kadang kami malu, shalat di masjid seperti itu. Untunglah kau mau membantu pembangunan masjid itu sampai selesai. Jangan lupa kalau kembali ke kota, uang bantuanmu itu titipkan ke ibumu atau ke Mar.”
“Ya, Wak, saya tak akan lupa. Jangan khawatir.”
“Bukan khawatir, Yun, cuma mengingatkan. Wak percaya, kau memang dermawan. Kau telah mencatat sejarah di kampung kita ini, kalau masjid itu bagus. Iya, kan, Fat?” kata Wak Herman kepada ibuku. Ibu tersenyum.
Sampai pukul 21.00, tak ada tanda kalau tamu di rumah kami bakal beranjak, sebaliknya justru bertambah. Kasihan Abang Yun dan keluarganya sampai harus telat makan. Ibu mulai gelisah. Ia panggil Mbak Mita ke dalam, maksudnya menyuruhnya makan. Istri Abang Yun tahu kode ibu, ia segera ke belakang.
“Mestinya mereka tahu kalau Abang Yun belum makan,” ucap Mbak Mita kepadaku di dapur.
“Begitulah orang kampung, Mbak, berbeda dengan di kota,” jawabku pelan. “Kehadiran perantau seperti aneh bagi mereka, apalagi kalau sukses.”
“Tapi, yang mudik, kan, bukan hanya Abang Yun?”
Aku mengangguk. “Iya sih. Tapi… entahlah,” kataku singkat. Aku khawatir kebanyakan cakap akan membeberkan peristiwa masa lalu Abang Yun, peristiwa yang dianggap aib oleh warga sekampung.
“Mungkin karena Abang sudah bertahun-tahun tidak pulang? Mungkin itu ya, Mar?” Mbak Mita kembali berujar seakan menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku segera mengangguk. “Ya… ya, mungkin itu sebabnya.”
Sehabis makan, Mbak Mita kembali ke ruang tengah. Kali ini ia beranikan diri mengajak Abang Yun untuk makan. “Sekalian ajak yang lain, kalau ada yang belum makan,” kata Mbak Mita.
“Wah kebetulan, kalau sudah disiapkan,” kata Wak Herman segera mengikuti langkah Abang Yun. “Wak belum makan,” imbuhnya. Diikuti tiga tamu lainnya.
“Kau beruntung punya abang kaya di perantauan seperti Abang Yun,” bisik Nurhajijah, teman sepermainan kecilku, yang kini menjanda beranak satu ditinggal suaminya menjadi TKI di Arab Saudi.
“Ah, kau seperti tahu banyak abangku saja,” kataku dengan maksud tak suka dengan pujian seperti itu. Aku sebagai adiknya saja belum banyak tahu kekayaan Abang Yun. Lagi pula, benarkah abangku di kota sudah kaya, Mbak Mita adalah istri sahnya, dan Maya adalah benar anak mereka? Siapa bisa memastikan kalau Abang Yun sukses di perantauan, sedangkan belasan tahun kami tidak tahu rimbanya? Setiap orang bisa saja bersandiwara, bukankah begitu? Batinku.
“Aku memang tak tahu, tapi kulihat penampilan abangmu memang kaya. Mobilnya pun bermerek mahal,” kata Nur berkomentar lagi.
“Syukurlah kalau itu benar…”
“Sepertinya, kau tak bangga melihat abangmu sukses, kaya? Ada apa dengan kau, Mar?” sela Nur.
“Siapa yang tak senang. Aku bangga sekali,” jawabku malas. Kutinggalkan Nurhajijah yang hendak berucap. Aku ke belakang, merapikan meja makan sehabis ditinggal Abang Yun dan tamu.
Aku kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi kopi dan puluhan gelas kosong. Kemudian kukeluarkan beberapa toples kue dan sepiring bolu. Kuletakkan di atas meja. “Silakan yang mau ngopi. Kuenya juga dimakan,” ujarku menawarkan.
Abang Yun memanggilku dan menyerahkan uang Rp 100.000 untuk membeli beberapa bungkus rokok. Aku segera ke warung sebelah. Kubelikan 10 bungkus rokok filter, 7 bungkus kretek 234, dan sepuluh rokok Jamboe Bol. “Sisanya kau simpan,” kata Abang Yun begitu kembalian akan kuserahkan. Wak Herman tertawa dan mengedipkan mata padaku seperti berkata: “Asyik, dapat untung….”
Abang Yun harus kembali ke kota, tiga hari setelah Idul Fitri. Ia tak mengajak serta anak Wak Herman, alasannya ke Medan dulu mau ke rumah orangtua Mbak Mita. Pesan Abang Yun kepada Wak Herman, nanti orang suruhannya akan menjemput Iful begitu ia sampai di kota. Wak Herman manggut-manggut, tampak sangat berharap janji Abang Yun jadi kenyataan. Uang bantuan sebesar Rp 2 juta untuk pembangunan masjid diserahkan kepada Wak Herman, sementara Rp 2 juta lagi untuk ibu, ia titipkan kepadaku.
“Saya berharap uang Rp 2 juta itu bisa menambah penyelesaian pembangunan masjid kita, Wak. Doain saya dapat rezeki banyak, biar bisa membantu lagi,” kata Abang Yun sebelum menghidupkan mesin mobil subuh tadi.
“Tentu… tentu. Kami selalu mendoakan kau sukses. Selama ini juga kami berdoa agar kau selamat. Betul Yun, padahal kepada warga yang lain kami tak lakukan…” jelas Wak Herman. Dalam hati, aku berkata, “Pasti itu basa-basi, cuma untuk menyenangkan hati Abang Yun.”
Sepergi Abang Yun, Wak Herman meminta restu dariku sebagai adik Abang Yun, jika uang bantuan masjid itu berlebih, maka kelebihannya untuk kantong Wak Herman. Ia juga berpesan jangan diberi tahu orang lain kalau Abang Yun memberi bantuan Rp 2 juta untuk pembangunan masjid.
“Biar Wak saja yang menjelaskan pada mereka,” kata Wak meminta pengertianku.
Mendengar itu, hatiku bergolak. “Tidak bisa Wak. Besar bantuan Abang Yun harus dijelaskan kepada jemaah masjid lainnya. Bukan kami mau dibesar-besarkan dari corong masjid, tapi supaya diketahui yang lain. Biar Wak juga tidak disangka mencari untung,” kataku kemudian.
Wak Herman merasa tersindir dengan ucapanku. “Kalau bukan Wak yang meminta langsung padanya, mana mungkin abangmu mau membantu masjid!”
“Betul, Wak, tapi uang itu untuk pembangunan masjid. Wak kan sendiri dengar tadi,” jawabku tak mau kalah.
Wak Herman bersungut-sungut meninggalkan pekarangan rumahku. Kepada ibuku juga tidak pamit. Sambil berjalan ia meracau, “Wak seperti tidak tahu saja pekerjaan abangmu. Ini uang panas.” Meski pelan, aku masih bisa mendengar.
Karena aku tak ingin bertengkar, tak kutanggapi meracaunya. Aku naiki tangga rumah, menemui ibu dan menjelaskan kalau uang ibu dari Abang Yun biar aku yang menyimpan. Ibu mengangguk. Kutuntun ibu kemudian masuk. Kami seperti sedang bermimpi, 15 tahun lebih merasa Abang Yun sudah tiada lagi di dunia karena tak ada sesobek kabar pun, kini pulang dalam keadaan sehat. Tuhan juga masih melindungi Abang Yun, kepulangannya tidak untuk menyerahkan jasad di depan warga kampung seperti yang dialami warga lain senasib Abang Yun.
“Tuhan mengabulkan doa ibu, yang ibu minta setiap malam,” bisik ibu.
Aku mengangguk. Kupeluk erat tubuh ibu. Aku menangis dan juga tersenyum. Tak lama kami berpelukan, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Segera aku membukakan pintu.
“Maaf, Bu, ini rumah orangtua Yun Kampak?” tanya salah seorang dari dua tamu yang berdiri di ambang.
“Bukan. Ini rumah orangtua Yunizar Salim,” kataku meralat. Kupikir tamu itu pasti salah alamat.
“Ya… ya, itu. Benar. Yunizar Salim nama aslinya,” jelas yang satu lagi. “Apa benar, dia bersembunyi di rumah ini?”
“Abang saya mudik. Memangnya, kalau boleh saya tahu kenapa dengan abang saya, Pak. Dan, bapak-bapak ini dari mana dan mau apa?” tanyaku ingin secepatnya tahu.
“Kami dari kepolisian.”
Detak jantungku seperti hendak berhenti.
“Yunizar orang yang kami cari selama ini. Dia pen… “
“Ah, sudahlah kami permisi. Ke mana dia pergi?” kata temannya.
Aku tak menjawab. Tubuhku lemas seketika, sekejap kemudian melorot di lantai. Dalam benakku, aku menerjemahkan sendiri ucapan petugas kepolisian yang terpotong itu: “Dia pen…”
Mungkinkah Abang Yun penjahat? Benarkah Wak Herman tahu banyak soal abangku di perantauan? Mungkin Wak Herman tidak memfitnah, kalau subuh tadi ia mengingatkan, “Ini uang panas.” Entahlah. Kuharap ibu tak bertanya tentang kedatangan tamu itu. (*)

Sebutir Kepala Menclok di Jendela

Joko Parepare melotot. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya: sebutir kepala! Bukan kelapa, itu sungguh-sungguh kepala manusia. Kepala berambut gondrong tanpa tubuh. Ia melayang di udara, lalu menclok di jendela ruang kerjanya, di sebuah gedung perkantoran, lantai 5.
Kepala itu melekat di kaca jendela, dengan keningnya yang mengeluarkan cairan perekat. Kedua kelopak matanya berkedip-kedip. Ujung hidungnya melebar, tertekan pada kaca. Bibirnya, eh, gila, dia tersenyum! Joko Parepare bergidik.
Apalagi ketika ia melihat bagian lehernya yang bersulur-sulur seperti singkong yang baru dicabut dari tanah, dan meneteskan darah.
“Mau apa, kamu?!” Joko Parepare menghardik, dengan perasaan tak keruan. Ia buru-buru merekam pekerjaannya di komputer. “Kamu teroris? Kamu barusan meledakkan bom bunuh diri?”
Eh, gila, dia tersenyum lagi!
Joko Parepare senewen.
“Cepat bilang, siapa kamu? Mau apa menclok di situ? Memangnya enggak ada kerjaan lain?”
Gila, dia cuma tersenyum!
“Jangan cengengesan terus! Nggak lucu! Kalau kamu enggak mau bicara, aku juga enggak mau bicara lagi. Nggak ada waktu! Time is money!” Joko Parepare segera mematikan komputernya, memakai sepatu, mengunci laci meja, menekan kunci jendelanya dalam-dalam untuk memastikan agar kepala tak diundang itu tak bisa membuka jendela lalu melompat ke dalam kamar dan menduduki kursi kerjanya. Ia pun bersiap-siap untuk segera kabur dari situ.
“Bagi rokoknya, dong. Kecut nih, dari tadi belum ngisep…!” Gila, dia bisa bicara! Joko Parepare jadi belingsatan. “Nyalakan sekalian…,” kata si kepala lagi, “aku sudah enggak punya tangan, ketinggalan di mobil…”
“Kamu goblok, sih!” Joko Parepare mengumpat begitu saja, sambil dengan panik segera mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja kerja. Ia lalu menyalakannya. Setelah itu, ia baru tersadar, bagaimana caranya memberikan rokok itu kepadanya?
“Jangan bodoh. Buka jendelanya, dong!” kata si kepala, seakan tahu apa yang dipikirkan Joko Parepare.
Dengan bodoh, Joko Parepare lalu membuka jendelanya, dan mengulurkan tangannya yang memegang rokok ke luar jendela, pelan-pelan, gemetaran. Hap! Kepala itu langsung melompat dan mencaplok rokoknya. Jempol dan jari telunjuk Joko Parepare sempat masuk ke dalam mulutnya dan merasakan ketajaman gigi-giginya. Joko Parepare secepat kilat menarik kembali tangannya dan buru-buru mengunci jendelanya. Kedua jari tangannya yang tercaplok tadi berlumur darah.
“Sialan, kamu!” Joko Parepare mengutuk sambil segera mencabut segepok tisu dari tempatnya di meja, dan membersihkan jari-jarinya. “Sudah, enyah kamu dari sini! Jangan ganggu aku lagi!”
“Galak banget jadi orang….”
“Biarin! Daripada kamu, sudah jadi bekas orang, masih gentayangan!”
“Aku kan cuma mau minta rokok….”
“Ya, sudah. Rokok sudah dikasih. Pergi sana!”
“Numpang duduk di dalam, boleh enggak…?”
“Enggak! Seribu kali, tidak boleh! Enak aja, lu!”
“Sebentar saja, numpang ngadem AC. Gerah nih.…”
“Gerah pale lu!”
“Pale gue emang gerah, bos…! Di luar sini panas sekali.…”
Joko Parepare jadi pusing. Kalau permintaan si kepala itu dituruti, pasti dia akan minta yang lain-lain lagi. Dan, sekali dia diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan terjadi aneka huru-hara. Termasuk, kalau rekan-rekan sekantornya melihat di kamarnya ada sebutir kepala penuh darah. Bisa gawat. Bisa jadi urusan polisi, dan ujung-ujungnya ia bisa dituduh jadi pembunuh dan meringkuk belasan tahun dalam penjara. Gila! Tidak!
“Enggak! Enggak bisa! Kamu di situ saja, atau pergi ke tempat lain!” Joko Parepare menjawab dengan tegas. “Kalau kamu mengancam atau memaksa, aku lapor polisi!”
“Jangan, bos! Biar nanti aku sendiri yang melaporkan kamu ke polisi,” kata si kepala sambil mengembuskan asap rokok dan menyeringai, mempertontonkan giginya yang berselaput cairan kental berwarna merah.
“Apa?” Joko Parepare terkesiap. “Kamu akan melaporkan aku? Dalam perkara apa? Aku enggak ada urusan sama kamu!”
“Lho, barusan kamu kan ngasih rokok…?”
“So what? Itu kan karena kamu meminta?”
“Kamu bisa dianggap pelakunya. Sidik jari kamu ada di rokok ini, lho?” kata si kepala sambil mematikan rokok di kaca, dan menunjukkan puntungnya yang tinggal separuh.
“Aku? Pelakunya? Pelaku apa? Pelaku pengeboman? Nonsens!”
“Bukan, bukan pengeboman, bos, tapi pemenggalan kepalaku…He-he-he.”
“Sialan! Mana mungkin? Mana mungkin polisi percaya? Kenal kamu saja, tidak!”
“Kalau begitu, kita kenalan dulu.…”
“Tidak! Tidak! Kamu mau menjebak aku…?!”
“Namaku Al-Gizi, asal Kampung Senayan, pernah ikut konvensi pemilihan calon presiden partai…”
“Cukup! Seratus persen tidak lucu! Aku enggak mau dengar, dan dengan ini menyatakan sumpah bahwa aku tidak pernah mendengar apa pun yang kamu katakan barusan…!”
“Jangan main-main dengan sumpah. Dulu, aku juga banyak bersumpah, tapi tak ada satu sumpah pun yang aku…”
“Itu urusanmu, bukan urusanku! Sudah, aku mau pergi!”
“Aku ikut…!”
“Gila, kamu!”
“Aku bisa ikuti kamu. Mobil kamu kan Carens warna biru muda yang diparkir di samping gedung?”
“Kamu sok tahu!”
“Aku memang tahu tentang kamu. Aku kan sudah lama mengamat-amati kamu dari atas pohon kersen….”
Joko Parepare bergidik dan marah sekali.
“Monyet! Apa maksud kamu memata-matai aku?!”
“Biar aku tahu, orang macam apa yang akan jadi mediatorku dan menuliskan segala sesuatu mengenai aku…”
“Enak saja! Memangnya kamu siapa, bisa-bisanya menentukan aku jadi mediator kamu, dan harus menuliskan segala sesuatu mengenai kamu?! Jin botak saja tidak akan aku layani! Apalagi kamu, segelundung kepala gondrong tak tahu malu!” Joko Parepare merasa sangat terhina.
Si Kepala Gondrong tertawa terkekeh-kekeh.
“Makanya, kamu harus kenalan dulu sama aku…”
“Tidak! Tidak! Sekali aku bilang tidak, tidak!”
“Kalau kamu tetap keras kepala, nanti malam, sewaktu kamu tidur, aku akan menukar kepalamu dengan kepalaku. Ha-ha-ha! Sampai jumpa! Have a nice dream…!”
Si Kepala Gondrong terbang entah ke mana. Joko Parepare terenyak di kursi kerjanya sambil memegangi kepalanya erat-erat.
Eh, si kepala gila itu tiba-tiba menclok lagi di jendela. “Kalau kamu keberatan bertukar kepala denganku, bagaimana kalau aku bertukar kepala dengan presiden terpilih 2004?” katanya.
Joko Parepare tak mau mendengar. Ia buru-buru menutup mata dan telinganya. Soal presiden 2004, “Itu urusan lu!” katanya dalam hati. Tapi, ia bersumpah tidak akan tidur tanpa mengikat kepalanya dengan sabuk pengaman. Sekurang-kurangnya, selama 40 hari 40 malam.

Mimpi-mimpi

Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.
Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu.
“Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Romo…. Romo, saya bermimpi.”
“Mimpi bukan dosa.”
“Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.”
“Ceritakan.”
“Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”
“Kamu sudah menikah?”
“Sudah Romo.”
“Lanjutkan.”
“Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”
“Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.”
“Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.”
“Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?”
“Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?”
Romo Wijoyo diam saja.
“Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.”
“Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”
“Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.”
“Hah?”
“Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.
Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan.
“Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”
“Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?”
“Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”
“Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”
“Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”
“Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”
“Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.”
“Tetapi uangnya kan masih ada?”
“Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.”
“Hah? Kan itu hanya mimpi.”
“Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.”
Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil.
“Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”
Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu.
Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.
Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.
“Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.”
Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu.
“Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.”
Romo Wijoyo amat kaget.
“Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”
Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya.
“Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”
Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.
“Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas.
Ibu Lukas tersipu malu.
“Bukan jatuh Romo.”
“O, ya?”
Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.
“Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”
Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.
“Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”
“Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.”
Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.
Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.