Laron

Sedari pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap, dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah, melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.

Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan.

Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan berteriak-teriak. Aku mengkerut.

”Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting.

”Sayapnya itu sulit disapu. Kamu mau nyapu?” kata bapak lagi sambil mendorong kepalaku dengan kasar.

Dengan sangat cepat, bapak mematikan semua lampu di dalam rumah. Seketika itu semua gelap. Dan aku berteriak ketakutan, memanggil-manggil ibu.

”Ada apa tho ini?” terdengar suara ibu, dan klik, ibu kembali menyalakan lampu.

Dari dalam kamar, bapak berteriak lagi, ”Jangan dinyalakan lampunya! Laronnya biar keluar dulu!”

Ibu tidak menyahut. Ibu segera menggandengku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamarku, aku mendengar bapak mengumpat lagi.

”Kampreeet!! Dibilangin suruh matikan kok….” Dan klik, ruang depan kembali gelap. Hanya lampu kamarku yang menyala. Ibu menutup pintu kamarku rapat-rapat.

”Ditutup, ya, biar laronnya gak masuk,” kata ibu lembut. Aku mengangguk karena di kamarku sudah ada beberapa laron yang beterbangan mengitari lampu, sebagian hinggap di gorden jendela, dan beberapa—yang sayapnya tinggal dua—berpusing-pusing di lantai. Aku tertawa geli melihatnya. Tapi, mendadak aku jadi ingat ketika bapak memusing-musingkan kepalaku dan mengguyuriku dengan air, beberapa waktu lalu, ketika aku asyik bermain keran dan kemudian mematahkannya. Maka, kembali aku bertanya dengan bahasa mata kepada ibu.

”Mengapa bapak suka memarahiku, Bu?”

Ibu tersenyum, diusapnya liur yang hampir menetes dari bibirku yang lebar. Ibu mentapku, ”Bapak tidak marah padamu, bapak cuma tak suka kalau rumah kita ini kotor. Sayap-sayap laron itu bikin kotor. Susah disapu.”

Aku mencerna perkataan ibu, dan memanyunkan bibir sebagai pemakluman. Namun, pemakluman itu masih terasa belum tunai, mengingat perlakuan bapak selama ini padaku. Hati kecilku selalu mengatakan bahwa bapak memang tak pernah suka padaku. Lamat-lamat aku teringat pada sebuah malam, di mana bapak dan ibu bertengkar gara-gara aku tidak menghabiskan makan malam. Malam itu bapak sendiri yang mengambilkan porsiku karena waktu itu ibu belum pulang dari pengajian. Bapak mengambilkan porsiku dua kali lebih banyak dari biasanya—yang diambilkan ibu. Malam itu, bapak terus mengawasiku. Padahal sudah hampir setengah jam aku mendiamkan makananku.

”Habiskan nasinya!” gertakan bapak saat itu membuatku gemetar. Saat itu aku menyesalkan ibu yang tidak pulang-pulang.

”Sekarang beras mahal!” Bapak terus memelototiku sambil sesekali menggebrak meja. Maka, dengan sangat terpaksa nasi itu kumasukkan ke dalam mulutku. Beberapa kali aku ber-”hoek”, hendak muntah.

Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak.

”Apa-apaan ini, Pak!?”

Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya.

”Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis.

”Gusti Allah menitipkan dia buat kita, Pak! Dia anak kita! Satu-satunya!”

Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam.

Beberapa kali terdengar suara ibu menyela dan meninggi, meminta bapak beristigfar. Kudengar juga ibu mengumpat bapak dengan sebutan ”seperti orang tak tahu agama”. Maka terdengar suara plak, kulit beradu kulit, dan setelah itu sepi.

***

Ibu mengusap rambutku ke belakang. Kemudian ibu bercerita panjang tentang bapak. Kata ibu, sebenarnya bapak sangat sayang padaku. Hanya saja, bapak tak suka bila aku berbuat nakal.

”Maka dari itu, kamu tak boleh nakal lagi, yang nurut sama bapak,” kata ibu kemudian.

Aku jadi sangsi pada perkataan ibu, bukankah selama ini aku selalu menuruti perkataan bapak. Bahkan, ketika bapak memintaku mengambil makanan yang telah kubuang di tempat sampah dan memakannya kembali, aku menurutinya. Tentu waktu itu ibu tidak tahu.

”Janji, ya!” kata ibu lagi. Aku mengangguk saja hingga ibu mengecup keningku dan beringsut meninggalkan kamarku.

Di dalam kamar, aku sudah tidak lagi memikirkan perkataan ibu ataupun perangai bapak padaku. Yang kupikirkan adalah laron-laron itu. Sebenarnya aku berniat membuka jendela kamarku supaya laron-laron di luar bisa turut masuk ke kamarku. Tapi hal itu kuurungkan. Aku takut, kalau membuka jendela kamar termasuk perbuatan nakal yang tidak disukai bapak. Maka aku bermain dengan laron-laron yang ada di kamarku saja. Sebagian besar dari mereka sudah gundul, tanpa sayap. Mereka berjalan beriringan di sudut-sudut lantai. Yang berputar-putar seperti gasing juga masih ada.

Aku mendekati laron-laron itu dan mengajaknya bermain. Tapi, ketika jari telunjukku menyentuh laron-laron itu, mendadak laron-laron itu berhenti bergerak. Kemudian, laron-laron itu mengeluarkan suara.

”Kami sudah gundul, pesta kami sudah usai. Ternyata pesta kami sangat singkat,” katanya.

”Sekarang kalian mau ke mana?” tanyaku.

”Menemui ajal,” jawab mereka.

”Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya.

”Mengapa?” tanyaku lagi.

”Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi….”

”Apa yang terjadi?”

”Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.”

”Menjadi laron?”

”Bukan!”

”Menjadi apa?”

”Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.”

Tiba-tiba aku teringat bapak.

”Sudah! Biarkan kami pergi,” kata laron itu lagi.

”Pergi ke mana?”

”Maut. Kami harus menemui takdir kami.”

”Kalau begitu kalian kupelihara saja.”

”Jangan! Kami sangat bau. Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi.”

”Kalian kusembunyikan saja di kamarku.”

***

Diam-diam, aku membuka pintu kamar. Berjingkat ke dapur, mengambil rantang plastik di rak piring. Jika bapak atau ibu memergokiku, aku akan bilang kebelet pipis. Tapi bapak ataupun ibu tak memergokiku. Aku berhasil kembali ke kamarku dengan selamat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seperti orang lupa. Saat laron-laron dari luar berhamburan ke dalam kamarku, sama sekali aku lupa soal bapak. Yang kutahu hanya bahwa detik itu—saat laron-laron beterbangan menuju kamarku—adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kubayangkan kamarku penuh oleh peri-peri kecil yang berkerik lirih dan merdu.

***

Aku senang sekali, malam itu, bapak ataupun ibu tidak kembali ke kamarku. Pasti mereka mengira aku sudah tidur. Padahal, malam itu aku begadang sampai larut malam. Memunguti laron-laron itu dan memasukannya ke dalam rantang plastik. Sayap-sayap yang berceceran di lantai kubersihkan dengan kertas basah yang kulumuri ludah. Kutempelkan kertas basah itu perlahan ke sayap-sayap yang berceceran. Ternyata mudah sekali membersihkan sayap laron. Setelah kamarku bersih. Aku membuang kertas-kertas basah yang penuh sayap itu keluar jendela. Kututup kembali jendela kamarku pelan-pelan. Kututup pula rantang plastik yang penuh laron itu dengan sebuah buku tulis tebal sebelum akhirnya kudorong ke bawah ranjang dan kutinggal tidur.

***

Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku. ”Kenapa pintunya kok dikunci?” tanya ibu. Aku menatap ibu sambil mengibaskan tangan. Ibu paham yang kumaksudkan supaya laronnya tidak masuk. Hatiku agak tidak enak membohongi ibu. Tapi aku juga kasihan pada laron-laron itu. Ibu menyuruhku segera mandi. Detik itu aku berdoa semoga ibu tidak menggeledah kamarku. Apalagi bapak. Tapi doaku muspra, tak terwujud. Karena tiba-tiba bapak datang dan mengendus bau kamarku.

”Kamar ini kok bau laron busuk, ya?” tukasnya. Hidungnya mengendus seperti tikus.

Hatiku sudah tidak enak. Ibu mengingatkanku kembali untuk lekas-lekas mandi. Aku berjalan ke kamar mandi dengan hati cemas. Aku pun mandi ala kadarnya. Kalau tidak dimandikan ibu, aku memang tak pernah mau mandi memakai sabun. Apalagi gosok gigi. Dan tampaknya, pagi itu ibu masih sibuk membersihkan sayap laron di dapur, kamarnya, dan ruang tamu. Selepas mandi, aku buru-buru ke kamar. Kutengok kolong ranjangku, dan rantang plastik berisi laron yang kututupi dengan buku tulis sudah raib, tak ada di sana. Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu.

”Lihat ini!” bapak melemparkan rantang plastik berisi laron itu ke depan ibu. Laron-laron itu tumpah dan merayap ke mana-mana. Secepat kilat ibu merapikannya dan membawanya ke dapur. Bapak menyusul ibu ke dapur.

”Semalam dia tak tidur; kau lihat pula sana, di bawah jendela kamarnya!” kata bapak lagi. Telingaku terasa nyeri, tapi tangan bapak masih utuh di sana.

”Kau membohongi ibu?” tutur ibu berkabut.

Aku mulai menangis. Air mataku mulai meleleh. Tapi tak seulas suara pun keluar dari mulutku. Ibu meninggalkanku dengan tatapan kecewa, ia berjalan menuju kamarku. Bapak masih menyeret telingaku, menyusul ibu. Di kamar ibu menengok keluar jendela dan menggelengkan kepala beberapa kali. Lantas ibu pergi begitu saja. Tapi matanya merah, seperti mau menangis. Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang.

Di dalam kamar, aku sesenggukan menahan nyeri. Hingga akhirnya ibu datang dengan membawa salep dan sapu tangan. Setelah mengusap wajahku. Ibu menidurkan aku di pangkuannya.

***

Aku masih belum berani keluar kamar dan bertemu bapak, hingga akhirnya ibu menuntunku ke ruang tengah untuk makan malam. Di sana kulirik bapak dengan wajahnya yang dingin seperti batu. Ibu mengambilkan aku nasi dan sayur. Perlahan kutilik satu demi satu lauk-pauk yang terhidang di meja. Hingga mataku mendarat pada sebuah toples berisi rempeyek dengan bintik-bintik hitam. Semula, aku mengira rempeyek yang dibuat ibu adalah rempeyek kedelai hitam. Namun, mendadak bapak berkomentar.

”Rempeyek laronnya gurih sekali.”

Aku mengangkat wajah. Memerhatikan bapak yang tengah lahap mengganyang rempeyek laron. Tak henti-henti bapak mengudapnya. Habis satu, ia ambil lagi dari dalam toples hingga rempeyek dalam toples tinggal separuh. Saksama kuperhatikan mulut bapak yang terus bergerak mengunyah rempeyek laron itu. Kuperhatikan mulut itu, bibir itu, gigi itu, lidah itu. Sungguh sangat menjijikkan. Dalam penglihatanku, bapak sudah menjelma menjadi seekor katak raksasa yang mengunyah serangga sampai sayap-sayapnya.

Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku.***

Malang, Desember 2010

15 Hari Bulan

Di usia yang sudah condong ke barat—begitu Uwak Bandi menggelar masa tuanya—tak ada lagi angan-angan untuk kaya. Menunaikan rukun Islam kelima adalah mutiara keinginannya sebelum ruhnya diraut maut. Uwak Bandi mengerti, seperti kata kebanyakan orang, kaya itu titi utama menuju Tanah Suci. Namun, ia masih percaya, hasratnya akan terkabul dengan niat yang terus mengepul. Tentu ia sadar, niat tersebut harus ditopang kerja keras dan doa. Soal biaya? Ah, bukankah rezeki seumpama teka-teki, sulit-sulit mudah untuk diselidiki?

Banyak orang yang dinilai tak berharta, tapi lulus pergi haji. Uwak Bandi ingin masuk dalam golongan tersebut. Tak kaya, tak mengapa. Tapi, pantang baginya memiskinkan cita-cita. Asal jangan cita-cita yang disusupi cela, titah hatinya. Jangan pula sampai terjangkit penyakit riya: berlomba naik haji biar diseru kaya raya! Andai boleh memilih, ia rela dituding miskin sebelum maupun sepulang dari Mekkah.

Memang, Uwak Bandi kerap mengumpamakan impiannya mencium tebing Kabah semacam orang awam hendak menggapai bulan. Namun, ia bukan orang yang mudah memberangus harapan. Terlebih dalam doa. Maka, setiap menyaksikan tanak bulan purnama, Uwak Bandi senantiasa berdoa: ”Ya Allah, perkenankan aku mencium bulan.” Mmh, bulan dalam doa tersebut bermakna Kabah baginya. Uwak Bandi juga sering menyemai doa tatkala memenuhi undangan menyenandungkan marhaban di berbagai acara tepung tawar haji. Ia dikenal ahli marhaban, ahli doa. Kian kukuhlah niatnya setiap diminta mendoakan kemabruran ibadah para sejawatnya.

Ya, soal keinginan kuat, Uwak Bandi tak terhadang lagi. Dorongan Haji Sazali, sahabatnya, pensiunan pegawai Bea dan Cukai pun makin memanjangkan galah tekad Uwak Bandi. Pula Haji Sazali yang hendak menunaikan ibadah haji untuk kali ketiga mengajaknya pergi bersama. Jujur, percakapan keduanya, terkait apa pun, pada hilirnya menyinggung kisah Haji Sazali sewaktu di Mekkah. Berbunga-bunga hati Uwak Bandi mendengarnya.

”Mana tahu rezekimu melimpah setelah mendaftar, Bandi,” nasihat Haji Sazali suatu kali. ”Pokoknya daftar dulu. Kasih tanda jadi. Tinggal dicicil. Insya Allah ada jalan untuk niat muliamu itu.” Maka, seusai menyimpulkan saran Haji Sazali: niat tak akan lunas kalau terus-terusan menunggu ongkos haji cukup, Uwak Bandi pun menegakkan tiang keyakinan.

Apalagi, tegurnya ke dada sendiri. Sisa pesangon—sekitar enam juta—selepas bekerja hampir 30 tahun di Socfindo (perusahaan penyulingan minyak sawit) memadailah untuk memulai rencananya. Bismillah, ia pun mendaftarkan diri sekaligus menyetor uang muka ke bank, menyusul Haji Sazali yang sudah lebih dulu. Nah, tercatat sebagai calon jemaah haji dalam daftar tunggu, Uwak Bandi tinggal memasok cicilan sekerap mungkin. Atau siapa tahu, tunggakan biaya haji bisa ditunaikan sekaligus. Hingga ia tak perlu berlama-lama terjebak dalam daftar tunggu. Dengan perhitungan matang, Uwak Bandi memanjar ongkos haji sejumlah satu juta. Selebihnya, ya, diputarkan untuk usaha lain. Mmh, andai saja….

Ah, Uwak Bandi terus berjuang untuk tak terjerembab ke lumpur penyesalan. Seperti halnya Dariah, sang istri, yang sering mengungkit-ungkit kelunakan hati Uwak Bandi meminjamkan sebagian besar pesangon kepada kedua anaknya. Memang, setelah membeli sampan usang dan memodali Dariah membuka kedai lontong, ketajaman pisau sebab akibat terus menyayat daging tabungannya.

Bayangkan, ia harus menanggung biaya operasi caesar putri sulungnya, Maemunah, sewaktu melahirkan anak ketiga. Ia maklum, suami Maemunah hanya pekerja kasar di pabrik pengalengan ikan. Ha, lain pula Ruslan, adik lelaki Maemunah, butuh uang demi menebus keteledorannya saat bekerja. Ruslan satpam di perusahaan pengolahan besi baja dan sedang mendapat giliran jaga ketika gudang perusahaan ditelikung maling. Sialnya, uang tebusan dibalas dengan surat pemecatan.

Sejatinya, Maemunah dan Ruslan tetap menganggap bantuan ayah mereka sebagai utang yang mesti dilunasi. Namun, Uwak Bandi tak pernah sampai hati menagihnya. Apalagi kepada Ruslan, yang akhirnya harus membiayai anak-istri dari mocok-mocok—bekerja serabutan. Bahkan, meski tak sepenuhnya disetujui Dariah, ia ikhlas (tepatnya mencoba ikhlas).

Memang, kalau dipikir-pikir, pesangon Uwak Bandi tempo hari hampir mencapai separuh ongkos haji. Ancang-ancangnya pun memang untuk ongkos haji. Tetapi, ya, bukankah rezeki kerap berlindung di sarang misteri? Tak tahu kapan hinggap, kapan terbang. Untuk soal itu, ia terkesan jarang mengeluh. Meski perjuangannya menghidupi keluarga tak ringan, ia tetap merasa liuk nasibnya tak securam orang lain. Tinggal di kota pelabuhan bukan jaminan untuk hidup layak. Seperti warga lainnya, Uwak Bandi hanya bisa menyambut uluran laut, juga belas kasihan deru pabrik.

Ia sendiri sejak usia belasan tahun sudah pergi melaut. Teramat tekun ia menjadi nelayan. Riwayat garam tersimpan di tubuhnya. Setelah menikahi Dariah, ia menyambi kerja sebagai buruh bongkar muat pelabuhan. Lantas, ketika Maemunah berusia dua tahun, Uwak Bandi merasa beruntung bisa bekerja di Socfindo meski hanya mandor gudang. Inilah pekerjaan yang berjasa membesarkan kedua anaknya. Di kota pelabuhan itu, tak banyak orangtua yang mampu mengantarkan anak-anaknya tamat sekolah setingkat SMA. Uwak Bandi adalah pengecualian.

Kalaupun setelah pensiun ia melaut lagi, bukanlah seperti dulu lagi: memburu ikan dalam hitungan malam! Uwak Bandi pergi ke laut hanya untuk mengerat kejenuhan karena tak betah ongkang-ongkang—cuma makan tidur—di rumah. Ia pun tak sanggup lagi ke tengah laut, hanya menjala ikan di sekitar paloh—rawa laut. Untuk itu pulalah, sampan bekas ia beli. Ya, hasil menjaring ikan setengah hari di paloh lumayanlah untuk mengasapi mulutnya dengan rokok atau memawangi sakunya. Untuk keperluan sehari-hari, dipasok dari hasil kedai lontong Dariah.

Namun, untuk memuluskan rencana naik haji, Uwak Bandi tak mungkin mengharapkan kedai lontong saja, punpaloh. Maka, ketika mengetahui A-Siong, juragan arang menyewakan tanah bekas tambak, Uwak Bandi tergiur. Sejatinya, bengkalai tambak tersebut termasuk tanah yang sudah dijual A-Siong. Katanya mau ditimbun dan dibangun pabrik. Tetapi, menurut A-Siong, belum berlangsung timbang terima. Berarti masih ada peluang untuk sekali panen tambak.

Nah, semua sudah ditimbang masak-masak. Uang sewa tambak seluas 45 rante, sekitar satu hektar, cuma satu juta. Tambak seluas itu mampu mengasuh 5.000 bibit udang tiger. Dibutuhkan biaya hampir tiga juta untuk bibit tiger sebanyak itu. Intinya, tak ke mana uang lima juta demi meraup keuntungan setara ongkos naik haji. Bahkan bisa lebih.

Tentu Uwak Bandi paham, keuntungan ibarat lumba-lumba yang menyenangkan dan kerugian laksana hiu yang kejam. Rezeki harimau, kata orang-orang. Untung sekalian atau buntung sepenuhnya! Namun, Tuhan Maha Mengabulkan doa. Keinginan ke Mekkah memberinya kekuatan untuk belasan hari mengorek bangkai tambak yang dangkal. Lumpur hasil korekan dionggok ke atas benteng tambak,pagar tanah yang berfungsi sebagai pengepung air.

Lantas, paloh secara alami akan memasok air asin ke tambak. Melalui pengaturan pintu air, pasang surut paloh bakal menyegarkan tambak. Beres! Tapi tentu, selama tiga bulan, Uwak Bandi akan lebih banyak tinggal di tambak, terutama malam hari. Kalau tidak, maling tiger akan leluasa memburaikan isi tambak. Untuk menjaga tambak, Uwak Bandi tak perlu lagi mendirikan pondok di bahu tambak. Sudah ada. Dinding tepasnya pun masih kuat. Ia cuma perlu mengganti atap rumbianya.

***

Serangga laut sesekali pamer suara! Tadi, sebelum istirahat di beranda pondok, Uwak Bandi masih sempat mengitari pematang benteng beberapa kali. Tak perlu menenteng senter karena bulan sedang ranum-ranumnya. Langit malam cerah. Hujan sore tadi telah menanggalkan daun-daun awan. Maka, cahaya keemasan bebas menyapu permukaan tambak pun menuntun mata dan langkah Uwak Bandi menyusuri punggung benteng.

Ia memang harus tetap awas. Selain maling tiger, masa 15 hari bulan—purnama masak—memaksa Uwak Bandi harus jeli mengeja air. Pasang besar sering terjadi pada 15 hari bulan. Tak jarang pasang besar menyeberangkan udang ke luar tambak. Tapi Uwak Bandi boleh lega karena benteng sudah ditinggikannya dua hari lalu.

Dalam kewaspadaan, Uwak Bandi masih sempat menatap purnama di jantung langit. Pantulannya jatuh persis di pusar tambak. Sambil memutari sisi tambak, ia membayangkan dirinya sedang tawaf, mengelilingi Kabah. ”Ya Allah, izinkan aku mencium bulan,” zikirnya penuh geli. Aih, tak sampai sepekan lagi masa panen tiba. Entahlah, berbagai kemudahan memihak kepadanya. Bukankah kemudahan namanya ketika wabah penyakit tak menyerang tiger-tiger­piaraannya? Pun maling seperti enggan mengusik tambaknya.

Mmh, kelana angannya begitu mudah menaklukkan Masjidil Haram. Tapi, udara dingin yang berbisa mengembalikan Uwak Bandi ke tambak. Daun-daun bakau riuh disabung angin. Uap garam menyengat penciumannya. Ia membelitkan sarung ke lehernya. Rokok disulut. Sebelum ke pondok, ia pergi memastikan pintu air sudah terkunci. Selanjutnya, ya, Uwak Bandi bergegas menyalakan perapian dari potongan-potongan kayu waru. Ampuhlah untuk menghalau nyamuk, menawar dingin.

Lantas, ia duduk bersandar di beranda pondok. Uwak Bandi mendapatkan dadanya sekonyong-konyong padang. Lapang. Diselimuti kehangatan api, ia kembali memandang bulan bak menyaksikan Kabah. He, Kabah 15 hari bulan, selorohnya ke diri sendiri. Tempias angin mengatupkan kelopak matanya. Wahai, Tanah Suci, aku datang, igaunya. Namun, saat kelelapan siap menyongsong, Uwak Bandi terperanjat oleh suara debum air. Ia kumpulkan kesadaran, lalu berlari ke ufuk suara. Air pasang memenuhi tambak, membobol benteng. Dinding tambak terluka!

Angin menyalak! Suara hewan malam siur! Uwak Bandi banting langkah ke pintu air. Ampun, pintu air jebol didongkel pasang. Ia kembali ke benteng yang terluka. Sebab, tak ada faedahnya mengurusi pintu air yang roboh. Sudah pasti lubang yang bersemayam di luka benteng bakal mengirim isi tambak ke paloh, terus ke laut. Uwak Bandi terperangah, terengah. Ia sibuk merajut siasat, kewalahan mencari akal. Debur air, sepadan ternak yang hambur keluar kandang, menciutkan nyalinya.

Uwak Bandi berlari ke pondok, lalu kembali sambil menggendong setumpuk kayu waru. Dengan tubuh yang bergetar, ia tancapkan kayu-kayu itu di mulut benteng yang jebol. Mana tahu mumpuni menghadang pasang yang hendak pergi ke alam. Tapi, apalah daya tancapan kayu di kumparan lumpur. Uwak Bandi menceburkan diri ke tambak. Ia jongkok, menyurukkan lengkung punggungnya ke liang benteng. Pinak-pinak air seperti jemari yang mencengkeram lehernya. Tapi, ia tak peduli. Sepasang tangannya terus mendorong-dorong air agar pulang ke tambak. ”Ayo, timpas! Surut kau air!” Uwak Bandi menghardik, terbata. Air bercampur lumpur menerobos mulutnya. Menyumbat kerongkongannya!

Tapi, air tak kunjung timpas—surut tak diturut. Terkaman pasang malah makin buas, menciptakan lubang yang lebih besar. Tubuhnya tak mampu menjadi akar bakau penentang arus. Pasang yang bergelicak deras memberantakkan wujud purnama di permukaan air. Cahaya keemasan pecah, menjelma kilau kecemasan. ”Kabahku! Hancur Kabahku!” Uwak Bandi meronta seperti kanak-kanak. Menempeleng pipi air bertubi-tubi untuk apa? Toh, kerumunan tiger sebesar kuncup telapak tangan orang dewasa terus melintasi tubuhnya sebelum akhirnya dirampas paloh, ditelan alam.

Uwak Bandi kehabisan tenaga, kehilangan doa. Tubuhnya dilumpuhkan air pasang. Kepalanya terdongak ke langit. Ei, mengapa dalam gontai kuyup pandangan, ia menyaksikan Haji Sazali melayang ke pekarangan langit, menuju bulan? Haji Sazali tersenyum sambil melambaikan tangan, semacam kibas ajakan. Uwak Bandi ingin menyahut lambaian itu. Tapi, bentang tangannya tengah berjuang menjadi benteng. Air menyandera Uwak Bandi. Bahkan, memerosokkan tubuhnya ke nganga lubang. Tenaga Uwak Bandi tinggal ampas. Tubuhnya timbul tenggelam, diisap diembuskan air pasang. Ah, adakah yang mampu mendengar gelepar tangisnya di perut air?

”Haji Sazali, tega nian kau meninggalkanku….”

nima

Sobri bersiul. Jari-jari tangannya yang kasar terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh Arni. Gadis berusia enam tahun itu sesekali tertawa cekikikan. Kadang terdengar teriaknya, ”Jangan keras-keras, Pak!” Sobri tertawa. Kadang menggelitik ketiak bocah itu. Setelah selesai menjelajahi seluruh tubuh anak itu dengan sabun di tangannya, Sobri menyambar gayung dan menyendok air di bak mandi lalu mengguyur tubuh bocah itu. Arni berjingkrak- jingkrak seperti tengah bermain lompat tali. Mengusir rasa dingin. Dengan handuk yang baru dicuci, Sobri serta-merta menyergap wajah bocah itu. Arni gelagapan. Sobri memindahkan balutan handuk itu ke tubuh bocah itu. Lalu memapahnya keluar dari kamar mandi. ”Seger kan?” katanya kepada gadis itu.

Betul hari ini Makku pulang, Pak?” gadis itu bertanya kepada ayahnya ketika Sobri dengan telaten menyeka sisa-sisa air dari tubuhnya.

”Jika tidak ada halangan, Mak pulang hari ini,” jawab Sobri. Wajah gadis itu berbinar-binar. Matanya berkilat-kilat. Sobri menyimpan sukacitanya dalam dadanya. Menahannya sekuat tenaga agar letupannya tak terlihat Arni. Tiga tahun sudah Nima tak pulang dari Jepang dengan berbagai alasan dan selama tiga tahun itu pula kerinduan Sobri tertahan.

”Mak bawa apa nanti, Pak?” Arni mengusik khayal Sobri yang mulai liar dibakar api kerinduan yang begitu lama diperam.

”Boneka. Boneka Jepang,” jawab Sobri. ”Makmu pernah bilang begitu. Apa namanya? Ah ya, momotaro. Namanya momotaro.”

Arni cekikikan melihat wajah ayahnya ketika mengucapkan kata itu. ”Tapi, seperti apa itu momo… momotaro itu, Pak?”

”Wah, Bapak juga nggak tahu. Nanti saja kita lihat sendiri seperti apa.”

”Lalu, bawa apa lagi?” Arni melanjutkan pertanyaan sambil coba menyisir rambutnya yang panjang sebahu.

Sobri berpikir sesaat. Matahari terus merambat mendaki kaki langit di sebelah timur, mengintip dari balik gunung, satu-satunya gunung yang tinggal di Desa Cibaresah itu.

”Uang, Pak. Uang,” Arni menjawab sendiri pertanyaannya. ”Uang untuk sekolah.”

Sobri mengambil sisir dari tangan anak itu, membantunya menyisiri rambut anaknya. Ditatapnya wajah bocah itu di kaca. Sobri mengagumi wajah Arni, wajah yang mirip dengan wajah ibunya. Alis matanya yang hitam, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang kemerahan, hidungnya yang mancung.

Dulu, Nima adalah kembang di desanya. Bunga indah yang mekarnya tak cuma membuat banyak orang terkagum-kagum, tapi juga harum menebarkan wewangiannya kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Sebagai putra kepala desa, Sobri beruntung akhirnya berhasil memetik bunga indah bernama Nima itu. Tapi hidup ternyata berubah begitu cepat. Sobri menjadi bukan siapa-siapa ketika ayahnya meninggal dunia setahun setelah pernikahannya dengan Nima sampai kemudian datang seorang pengerah tenaga kerja dan menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan di Chiba, Jepang. ”Chiba itu seperti Depok. Letaknya tak begitu jauh dari Tokyo, seperti juga Depok yang tak begitu jauh dengan Jakarta,” kata sang pengerah tenaga kerja. ”Banyak orang yang bekerja di Tokyo, tapi tinggalnya di Chiba. Jadi, Chiba itu kawasan permukiman, sedangkan Tokyo itu kawasan bisnis.” Sobri cuma manggut- manggut. Baginya tak penting di mana Chiba berada. Yang terpenting adalah Nima mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan rumah tangganya.

”Mak pulang jam berapa, Pak?” Arni mengusik lamunan Sobri lagi.

”Agak sore katanya,” jawab Sobri.

Nima tentu sudah berada dalam perut bus kota yang kini tengah berlari menuju arah barat dengan angin menampar-nampar pipinya serta mencerai-beraikan rambutnya, Sobri membatin. Nima pun tentu tengah dibakar kerinduan setelah tiga tahun bekerja. Dia pasti sudah tak sabar ingin memeluk Arni, buah cinta mereka setelah tiga tahun bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarganya. Tentu dalam koper yang dibawanya telah terselip barang-barang bagus untuk Arni. Kimono baru untuk anak-anak seperti biasa dibawanya setiap kali pulang. Boneka-boneka Jepang yang tak pernah dilupakannya. Hadiah buat Sobri adalah api cintanya, kehangatan tubuhnya, dan gelegak gairahnya.

Satu hal lagi yang diinginkan Sobri. Nima tak perlu lagi kembali ke Jepang. Dengan uang- uang kirimannya selama ini, Sobri telah memiliki dua sepeda motor yang digunakannya untuk ngojek dan satunya lagi disewakan. Untuk ukuran warga Desa Cibaresah, rumah mereka juga sudah lumayan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu. Bukan dari kayu atau bambu seperti umumnya rumah tetangga-tetangganya. Biarlah hidup sederhana, asalkan setiap hari bisa bersama, pikir Sobri. Sobri juga ingin memberi Arni adik.

Adik?

Sobri mendengar ketukan di pintu. Ibunya berdiri dengan sesungging senyum. ”Kapan mantuku katanya tiba di rumah, Sobri?” Dia langsung menyergap Sobri. ”Siapa saja yang pulang bersamanya? Ainun, Sarti, apa juga ikut pulang?”

Arni melompat mendengar suara neneknya. Menghampiri dan mencium tangan keriput neneknya.

”Mak pulangnya sore, Wak,” Arni membantu Sobri menjawab pertanyaan ibunya. ”Kata Bapak….”

”Betul, Sobri?” Wanita itu mengambil kursi dan duduk perlahan-lahan.

”Kabarnya begitu, Bu. Tapi, Ainun dan Sarti mungkin tidak ikut pulang,” kata Sobri menyebut dua nama TKW yang ikut bekerja bersama Nima di Jepang. Ainun dan Sarti adalah tetangga mereka. ”Lagi pula, kabarnya mereka sudah pindah ke… ke… ke Malaysia kalau saya tidak salah.”

”Kenapa rupanya?”

”Biasa, Ibu. Kontrak mereka di Jepang sudah habis.”

Satu per satu keluarga dekat dan keluarga jauh serta tetangga Sobri datang dan kemudian meramaikan rumah di tikungan jalan di mana di depannya terdapat sungai kecil yang bening airnya membuat ikan-ikan kecil yang berlari-larian ke sana kemari terlihat sangat jelas. Arni pun sudah asyik bercengkerama dan bercanda dengan sepupu-sepupunya. Dalam beberapa saat saja rumah itu sudah berubah menjadi layaknya pasar. Sesekali Sobri mendapat sindiran-sindiran nakal. Sobri menanggapinya dengan senyum-senyum.

”Ingat, Sobri,” kata abangnya, ”jangan kau izinkan lagi Nima ke luar negeri. Selama ini kan dia baru tiga kali pulang setelah lima tahun bekerja. Dia harus berhenti. Semua kau sudah punya. Ada rumah. Ada sepeda motor. Apa lagi?”

”Yang kurang cuma adik buat Arni,” sambung yang lain.

”Ya itu penting. Kau laki-laki tulen. Apa mau kau bertahun-tahun terus kesepian? Lagi pula, Nima itu kan tidak jelek. Berbahaya kalau dia pun terlalu lama di luar negeri.”

***

Tapi, sepekan setelah kepulangannya di Cibaresah, Nima mengatakan akan kembali ke Jepang, mendahului keinginan Sobri untuk mengatakan Nima tak boleh kembali ke luar negeri.

”Minggu depan saya sudah harus kembali ke Jepang, Pak,” kata Nima ketika suaminya tengah memanaskan sepeda motor di depan rumah.

Sobri menahan degup jantungnya. Rasa sesal juga menyelinap di lubuk hatinya. Kenapa aku tak mengatakan dia harus berhenti bekerja sejak kemarin? Sobri mengutuk keterlambatannya.

Nima mengatakan tak bisa berlama-lama di Cibaresah karena perusahaannya di Jepang hanya memberikan izin cuti selama dua minggu. ”Kantor saya buka setiap hari, Pak,” kata Nima ketika Sobri pura-pura mengutak-atik motornya sambil menahan gejolak di dadanya.

Dia tahu, Nima takkan mudah dicegah. Akan jadi perkelahian besar jika dia bersikeras Nima tak boleh kembali ke Jepang. Dan, jika Nima benar-benar pergi, yang akan kehilangan bukan cuma dirinya, tapi juga Arni, putrinya. Kepadanya Arni juga mengatakan ingin ibunya tak bekerja lagi di luar negeri.

”Bilang sama Makmu,” kata Sobri dua hari lalu ketika Arni mengungkapkan hal itu.

”Aku takut, Pak.”

”Kenapa takut?”

”Takut Mak marah.”

”Kenapa Makmu marah?”

Arni tak bisa menjawab. ”Makmu takkan memarahi kamu cuma karena kamu mengatakan kamu ingin Makmu tak kembali ke luar negeri,” kata Sobri meyakinkan putrinya.

”Bapak yang bilang,” Arni merajuk.

Berdiam sesaat, Sobri kemudian mengatakan, ”Ya, nanti Bapak yang akan bilang.” Dan Arni pun berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi ternyata dia belum sempat mengatakannya. Dan kini dia harus menahan rasa gundah di dadanya.

Terbayang di wajahnya duka Arni kelak begitu ibunya kembali ke Jepang. Duka seorang bocah yang menginginkan dekapan hangat dan kasih sayang orangtuanya. Duka seorang bocah yang tak lagi bisa bercerita kepada ibunya jika dia terluka karena terjatuh, tak lagi bisa menyampaikan rasa bangganya setelah bisa menghafalkan ayat-ayat suci Al Quran dari guru mengajinya, karena tak bisa lagi meminta uang jajan jika ayahnya sedang tak ada di rumah, atau mengantarkannya berjalan-jalan di pematang sawah sambil menikmati hamparan padi yang menguning indah seperti permadani.

Kepulangan Nima memang membawa uang yang sangat banyak. Mereka bisa membeli pesawat televisi baru, membeli sepeda kecil untuk Arni, membangun pagar rumah. Malahan Nima sempat membawa Arni ke kota dan membuka tabungan untuk putrinya. Andaikan daya listrik di rumah besar, Nima juga sanggup membelikan keluarganya kulkas dan mesin cuci. Tapi, uang itu sama sekali tak bisa menggantikan sosok Nima. Yang mereka butuhkan bukan cuma uang yang banyak, tapi juga kasih sayang yang berlimpah dan tak tersekat oleh jarak. Karena itu Sobri lebih suka Nima tetap berada di rumah, di Cibaresah, bahkan meskipun mereka tak memiliki apa-apa.

Tapi, kepergian Nima tak bisa dicegah. Seminggu kemudian, Arni cuma bisa menjerit-jerit ketika ibunya melangkah meninggalkan rumah. Tak satu orang pun bisa menahan Nima. Bahkan air mata dan tangis Arni sekalipun.

***

Dalam perut pesawat terbang yang akan membawanya ke Jepang, air mata Nima meleleh. Tangis dan jeritan Arni terdengar melengking di telinganya. Sesaat kemudian tawa kebahagiaan Arni juga bermain-main dalam benaknya. Juga dekapan Arni yang begitu ketat menyambut kedatangannya. Dekapan yang seolah tak ingin dilepaskannya. Sesaat Nima mengutuk dirinya yang pada akhirnya tega meninggalkan Arni, bocah yang begitu membutuhkan kasih sayangnya. Berkali-kali dia mencoba, tetapi selalu gagal untuk menepis semua bayang-bayang Arni.

Dari dalam tasnya dia kemudian mengeluarkan sebuah foto. Foto Erica. Nima ingat, foto itu diambil Eric Sato ketika gadis berusia dua tahun itu tengah berlari di sebuah taman bermain di Chiba, tak jauh dari Hotel Ambassador. Gadis itu sangat menggemaskan. Erica jadi gadis kebanggaan Eric, laki-laki yang menyergapnya di suatu malam yang begitu dingin di bulan Februari tiga tahun yang lalu. Segunung sesal karena dia lupa mengunci pintu kamar apartemennya tak lagi punya arti ketika semuanya terjadi begitu cepat. Sesudahnya Nima cuma bisa mengurai air mata sia-sia hingga pagi menjelang dan bongkahan-bongkahan air yang membeku di atas jendela sedikit demi sedikit mengalirkan cairnya.

”Aku melakukannya dengan nafsu,” ujar Eric setelah benih- benih mulai tumbuh dalam rahim Nima. ”Tapi nafsuku bukan tanpa cinta. Besok kita menikah. Aku memaksamu untuk menjadi istriku. Aku akan menjadi ayah dari janin dalam kandunganmu.”

Berkali-kali Nima menegaskan bahwa dia sudah memiliki suami dan seorang anak, namun Eric tak mau memercayainya. ”Kamu masih sangat muda. Tidak mungkin kamu sudah menikah. Kamu haru menjadi istriku,” katanya.

Kenyataannya Eric memang sangat mencintainya. Dia memberi Nima segala perhatian yang dibutuhkan seorang perempuan, sampai kemudian Erica lahir, sampai kemudian dia menemukan dirinya sudah terperangkap dalam labirin kebingungan antara cintanya kepada Sobri dan Arni dengan rasa sayang yang diam-diam tumbuh dan tumbuh dan tumbuh terhadap Erica dan Eric.

Di sebuah apartemen tak seberapa jauh dari stasiun kereta MRT di Chiba (Nima selalu berjalan kaki ke stasiun itu kemudian naik kereta cepat ke Narita dan kemudian terbang ke Indonesia), Nima tahu Erica kini tengah menantikan kedatangannya. Juga Eric yang melepaskan kepergiannya ke tanah airnya dengan ancaman mematikan. ”Aku akan menyusulmu, aku akan menjemputmu jika kamu tidak kembali dalam waktu dua minggu.”

Nima tahu dia tak mungkin mengabaikan ancaman itu. Eric akan benar-benar menyusulnya jika dia mengingkari janjinya. Nima tahu siapa suaminya. Nima tak tahu kegemparan apa yang akan melanda Cibaresah jika hal itu sampai terjadi.

Nima kemudian menyandarkan kepalanya setelah diam-diam menelan beberapa butir obat tidur di toilet. Dalam pejam matanya tiba-tiba bayangan Arni melintas. Tengah berlari-lari bersama Erica sambil tertawa-tawa di sebuah taman entah di mana.

Kaki yang Terhormat

Menurut Anda, bagian tubuh manakah yang paling penting? Saya yakin, tak mudah untuk langsung menjawab. Tetapi, bila hal itu ditanyakan kepada nenek saya, serta-merta ia akan bilang, ”Kaki!” seraya mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah, dalam hitungan yang tak mencapai detik.

Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya. Sementara untuk penggal pertama, ia akan menyergah, ”Lidah?! Mestinya pelihara ludah!” seraya mengulum menciutkan bibir, lantas mendorong dengan pipi kempotnya. Meludah. Merah, sirih bercampur sedah.

Dan kami takkan lagi bertanya. Karena bila masih, maka mulut krumput Ine—begitu nenek biasa menyebut dirinya—akan siap ”menembak” kami sesudah bilang, ”Mau he, kalian Ine ludahi?!” Tapi tak jarang kami menantang, ”Mau Ine! Mau Ine!” seraya segera meloncat mundur, tertawa terpingkal-pingkal, bergerak memencar, agar nenek tak mudah membidik kami.

”Nah, kalian takut pada ludah! Bukan lidah! Hi-hi,” Nenek kemudian juga akan terkekeh. ”Kaki! Lebih penting pelihara kaki!” Dan akan masih beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya nenek menunjuk ke bukit itu. Bukit kecil, di pinggir kampung, dengan puncak yang aneh. Bila dilihat dari rumah kami, puncak bukit itu tampak seperti sisi luar kaki yang diacungkan telentang mengarah ke atas. Kenapa bisa begitu persis?

***

Tentu saja kami pernah mencoba naik ke bukit itu. Tapi karena bagian yang bisa didaki atau ditempuh bukan sisi yang mengarah ke rumah kami, kami tak menemukan bentuk yang jelas kecuali sedikit dataran berbatu di puncaknya dengan banyak lumut hitam licin menyembul dari rerengkahan, hingga kami harus melangkah sangat hati-hati. Dan di puncak itu, kami, para cucu nenek, akan berteriak, ”Neneek, tak ada kaki! Neneeekk!” terkakah-kakah seraya membayangkan alangkah seru menggoda nenek kalau saja nenek bisa ada di situ.

Tapi entah kapan, suatu kali, kami terkejut oleh ucapan Adang, ”Ine itu, dulu semasa muda, suka naik ke Bukit Kaki.” Adang adalah panggilan kami untuk kakak perempuan tertua ibu-ibu kami. Artinya juga, ia adalah anak sulung nenek, dan paling punya banyak waktu bersama nenek karena (bahkan sampai tua kelak) tak pernah menikah. Spontan, kami saling pandang.

”Mau apa Ine ke bukit itu, Adang?”

”Kenapa tak langsung kalian tanya Ine?”

Maka kami menghambur, berlarian mencari nenek. Mulanya nenek tak acuh saat kami tanya. Tetapi setelah menggumpal-gumpalkan sirih, lalu menyumpalkan ke balik gusi (seolah memang ada kantong khusus di situ), nenek bergumam, ”Mmm kalian bocah-bocah takkan mengerti, tapi baik Ine bilang. Ine sering naik ke bukit itu karena di situlah peruntungan Ine.”

Kami tak tahu apa itu peruntungan. Yang kami tahu cuma kata beruntung. Kelak, bertahun-tahun kemudian, kami baru paham bahwa kata peruntungan lebih berkaitan dengan jodoh, pernikahan, hubungan lelaki dan perempuan. Tapi waktu itu, apa pun arti kata itu, tak ada bedanya. Usman, adik sepupu yang usianya tepat di bawah saya, cepat bertanya.

”Jadi, tak berkaitan dengan kaki, Ine?”

”Jelas berkaitan.”

Kami semua bingung.

”Yaa… kalian bocah-bocah memang takkan mengerti. Kalau kaki Ine tak melangkah ke bukit itu, maka Ine tak bakal bertemu Atuak kalian.”

Atuak adalah panggilan untuk kakek kami. Tapi kami tetap belum mengerti, bahkan walau saya sendiri kemudian menanyakan, ”Ine ketemu Atuak di bukit itu?”

”Tidak.”

Jadi…

”Karena kaki Ine melangkah ke arah situ, makanya Ine bertemu Atuak. Jadi kaki lebih penting dari apa saja.”

Ooo! Kami mengangguk-angguk, walau sebenarnya masih berpikir tentang apa hubungan bertemu Atuak, kaki lebih penting, dan seringnya nenek ke bukit itu. Kalau cuma karena bertemu Atuak, setelah bertemu kenapa mesti datang lagi ke situ? Tapi keheranan kami yang tak terucap, bila dipikir kemudian, mungkin karena nenek memang sering jalan kaki ke mana-mana. Dan alasan nenek, bila kami tanya, selalu ia jawab cuma karena suka. Sesuatu yang lalu jadi biasa, tak lagi menimbulkan heran, bahkan bagi penduduk kampung. Bahkan sampai lama kelak, walau tubuh nenek sudah bungkuk dan harus ditopang dengan tongkat, berjalan melangkah satu-dua, berhenti, lalu melangkah lagi seperti kura-kura.

***

Kata seperti kura-kura saya gunakan tidak sambil lalu atau kebetulan. Ungkapan itu pertama saya dengar dari Usman, saat beberapa dari kami sudah masuk SMA di kota kecamatan, yang membuat hari-hari kami tak lagi banyak di kampung. Anda benar bila menduga ungkapan itu berasal dari orang-orang kampung, tetapi keliru bila mengira ungkapan itu langsung mengarah ke sesuatu yang tak baik. Di kampung kami, banyak ungkapan menggunakan nama binatang bukan karena sifatnya, melainkan lebih karena gerak-geriknya.

Ungkapan-ungkapan itu, karena sangat khas dan menyangkut seseorang, tak jarang jadi sangat dikenal. Dan untuk nenek yang dinilai orang-orang kampung termasuk keturunan terpandang, ungkapan itu hampir-hampir menyamai legenda. Tetapi legenda kura-kura nenek ini, baik saya beri tahu, tak bertahan lama. Dia hancur bersama legenda lain, helikopter Harun, yang juga akan saya ceritakan. Legenda kura-kura bisa bertemu dengan legenda ganjil itu (ya, helikopter bukan nama binatang), tak lain tak bukan, kaki jugalah yang menghubungkan.

Waktu itu, saat kami semua masih SD, keluarga besar kami melepas Mak Etek ke Jakarta. Mak Etek, nama panggilan kami untuk adik lelaki terkecil ibu-ibu kami (yang tentu pula berarti anak bungsu nenek), melanjutkan kuliah ke Ibu Kota. Banyak sekali nasihat nenek kepada Mak Etek, tapi yang justru kami ingat adalah apa yang kemudian diucapkan nenek kepada kami, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.”

Lama kami tak mendengar kabar tentang Mak Etek. Atau, mungkin pula memang kami yang tak begitu peduli. Entahlah. Cerita tentang seseorang merantau dalam keluarga besar kami tak begitu terperhatikan. Ada 11 orang anak nenek, ditambah dengan 18 orang anak adik-adik nenek (belum lagi jika dihitung anak-anak sepupu nenek), maka mengingat kabar tentang masing-masing yang merantau mungkin memang percuma, karena sesudahnya akan segera lupa. Tetapi, rupanya, tak begitu dengan Mak Etek.

Suatu kali, seorang dari kampung sebelah yang juga merantau ke Jakarta, pulang dan bilang bahwa Mak Etek telah sangat kaya. Kabar seperti ini juga tak bakal terperhatikan, lazim saja para perantau jadi kaya, kalau tidak ada kabar dan desas-desus sesudahnya, ”Saking kayanya, si Harun itu kini ke mana-mana naik helikopter.”

Harun? Itu memang nama Mak Etek. Helikopter? Itu benda yang hanya pernah kami lihat di gambar-gambar atau televisi. Ah, apakah benar, apakah mungkin, Mak Etek bisa punya helikopter?

Bahkan orang terkaya sekecamatan—bukan hanya di lingkup kampung kami—cuma punya satu mobil sedan dan dua truk barang.

Maka segera, helikopter Harun jadi legenda.

Dan nenek, dengan kebanggaan yang tak bisa ia sembunyikan, jadi sering bilang, ”Itu semua karena kaki! Coba, kalau kaki Harun tak membawanya ke Jakarta.”

***

Sebetulnya, kalau mau jujur, bukan hanya nenek yang bangga. Banyak dari keluarga kami, yang bila ngobrol, tak bisa menyembunyikan perasaan bangga kepada keluarga lain. Bahkan, bukan hanya keluarga kami. Banyak dari penduduk kampung, yang bila ngobrol, juga tak bisa menyembunyikan bangga kepada penduduk kampung lain. Maka, keyakinan nenek pada kaki, berkembang bagai tak terbantahkan. Seperti tak cukup kalau kaki hanya dikatakan penting. Kaki adalah sesuatu yang terhormat.

Dan legenda helikopter Harun, bukan hanya ganjil. Anda tahu, tak semua penduduk kampung kami kenal helikopter. Maka legenda itu, kemudian, juga jadi mirip-mirip dongeng. Orang-orang membayangkan seperti apa kini Mak Etek, seraya berusaha mereka-reka membayangkan seperti apakah sesungguhnya helikopter.

Tetapi, suatu ketika, dongeng itu seperti akan jadi nyata. Terbetik kabar bahwa Mak Etek bakal pulang. Bukan pulang sembarang pulang, tapi pulang dengan suatu rencana besar: jalan raya akan dibentangkan, Bukit Kaki akan diruntuhkan, dan di bawahnya akan dibangun pabrik semen yang, konon, biayanya triliunan.

***

Dan, memang, saat itu akhirnya datang. Banyak sekali orang-orang, para pekerja dengan alat-alat berat entah apa, datang ke kampung kami. Pohon-pohon pun direbahkan, bagian-bagian puncak Bukit Kaki diledakkan, tapi belum ada tanda-tanda Mak Etek bakal pulang. Beberapa paman, yang biasa kami panggil Mamak, menyabarkan nenek. Tak ada reaksi dari nenek, kecuali kian sering duduk di jendela, memandang ke arah Bukit Kaki lama-lama.

Jalan kecil ke arah Bukit Kaki diperlebar, beberapa bagian mulai diaspal, tapi tetap tak pasti kapan Mak Etek pulang. Bukan hanya ibu-ibu dan para keluarga pihak sepupu yang kini bertanya-tanya, tetapi para paman juga mulai gelisah. Dan persis saat kegelisahan itu seperti mulai tampak menghinggapi nenek, berita besar menghantam bagai geledek: Harun terlibat kasus korupsi.

Korupsi besar. Sangat besar. Melibatkan bank besar dan orang-orang besar.

Seisi kampung heboh. Bahkan sekecamatan. Bahkan sekabupaten, orang-orang tak henti mempercakapkan.

Berhari-hari, berminggu-minggu, Mak Etek kami jadi berita. Tak ada lagi dongeng, karena orang-orang kini bisa melihat Harun dengan nyata. Wajahnya muncul di halaman depan koran-koran, televisi-televisi pun bagai tak henti menayangkan. Dan nenek kami, seperti Anda duga, mulai tak lagi tampak di jalan-jalan. Legenda helikopter itu lenyap, runtuh, membawa serta legenda kura-kura.

***

Tak ada lagi yang perlu saya ceritakan. Tapi kalau misalnya Anda bertemu salah seorang dari kami (ya, para cucu nenek) lalu mendengar cerita sedikit berbeda, itu wajar saja. Setelah nenek tak ada, memang, ada beberapa versi cerita tentang nenek dan kaki, terutama di bagian akhir atau penutupnya.

Banyak dari kami yang percaya, setelah Mak Etek dipenjara, nenek bilang semua terjadi karena diledak dan diruntuhkannya puncak Bukit Kaki. Tapi kepada saya, pada saat saya telah tamat kuliah dan akan merantau pula sebagaimana lelaki anggota keluarga besar lainnya, nenek mendekatkan kepala, seperti berbisik, ke telinga saya.

”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?”

Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng.

”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.”

Saya diam, hanya terpana. Sebenarnya, saya tak begitu yakin apakah memang perlu menceritakan bagian terakhir ini kepada Anda hingga cerita tentang nenek dan kaki punya versi yang tak sama.

Payakumbuh, 200

Kisah Siti Nurjannah

Setiap kali melewati Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo, aku terkenang kepada dua perempuan, Sobar memulai kisahnya. Perempuan pertama adalah Farida, yang kunikahi ketika berusia 24 tahun. Perempuan kedua bernama Siti Nurjannah. Dia adalah makhluk yang tidak kasatmata dan selalu berbau wangi. Aku bersua dengannya ketika ditahan di RTM. Mata kedua perempuan rupawan itu dapat menyihir para pria hingga tergila-gila, atau mabuk kepayang, lanjut Sobar.

Kau mengada-ada! Kau ’ngarang, ya?” Aku memenggal kisah Sobar. ”Apa maksudmu dengan, Siti Nurjannah adalah makhluk yang tidak kasatmata?” tanyaku heran. Sobar memang muncul tiba-tiba. Dia bagai orang bunian datang di rumah tua, di desa kelahiranku, tempatku sembunyi. Dia tersipu. Saat itu bulan Desember yang berhujan lebat. Matahari senja memerahkan cakrawala di kawasan barat, ketika lelaki yang lama menghilang itu datang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Pakaian dari bahan dril abu-abu yang membungkus badan mantan tapol kurus itu, lepek, kusut, dan dekil.

Dulu, Sobar bertubuh tegap, gagah, dan atletis. Kini, kulitnya hitam, seperti gosong, dan bersisik mungkin disebabkan penganiayaan yang dialaminya selama dalam tahanan. Kumisnya lebat, liar, tidak terurus. Jenggotnya panjang, putih seluruhnya, lancip bagai tergantung di dagunya yang tirus. Wajahnya pucat, keriput, kukira bukan karena usia tua, tetapi disebabkan penderitaan panjang, yang telah dilaluinya selama ditahan tanpa proses hukum. Rambut kribonya jadi gondrong, beruban bagai brokoli putih.

Siti Nurjannah tidak kasatmata, jawabnya setelah merenung seketika lamanya. Mata sayunya begitu letih menatapku, seakan bercerita tentang deritanya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arah pintu apabila terdengar langkah-langkah mendekat di luar rumah. Dia tampak selalu waswas. Siti Nurjannah adalah salah seorang penghuni RTM, tempatku ditahan, Sobar menegaskan. RTM itu hanya untuk tahanan politik pria, kataku. Senyum Sobar sinis, mengejekku—si pengecut—yang lari terbirit-birit meninggalkan Jakarta ke desa kelahiran setelah terjadi tragedi berdarah awal 0ktober 1965, yang menggegerkan dunia.

Penghuni RTM itu bukan hanya tapol pria yang kasatmata, bantah Sobar. Ada juga yang tidak tampak, yakni roh, makhluk yang hidup tanpa jasad. Sang jasad telah kopong. Rohnya telah meninggalkan alam fana—menuju alam baka, Sobar menjelaskan. Siti Nurjannah yang memiliki mata memesona itu adalah salah satu roh atau ruh. Selaku Muslim yang taat beribadat, kau tentu paham maksudku. Di dalam kitabullah dan kamus, ikhwal roh itu pun tertera, sambung Sobar. Dia tahu benar, aku tidak percaya kepada cerita-cerita takhayul, yang tak masuk akal sehat, dan membuat orang tetap bodoh. Sobar tidak mau menyebut Siti Nurjannah yang diceritakannya itu adalah hantu, setan, atau kuntilanak. Siti Nurjannah benar-benar roh, ucapnya pasti.

Setelah kau mandi, bersalin pakaian bersih dan hangat yang kusediakan, lalu, kita makan, kataku kepadanya. Usai makan, ceritamu boleh diteruskan, kataku. Aku tidak tega menyaksikan dia lapar dan kedinginan dibungkus pakaian dril sangat dekil, basah pula. Saat masak di dapur, aku teringat perilaku Sobar semasa kami masih menjadi reporter muda di Jakarta, dulu. Dia adalah wartawan yang cerdas, jujur dan berani. Tulisannya kritis, dan akurat. Dia berani mengkritik oknum polisi lalu lintas yang minta uang kepada sopir-sopir truk, yang dituduh salah jalan. Ketika itu, usianya masih belasan tahun. Tentu saja dia harus berurusan dengan polisi. Beritanya itu dinilai suatu penghinaan kepada aparat penegak hukum.

Menyaksikan sosok Sobar, komandan polisi tidak percaya bahwa dia adalah wartawan benaran. Segera Sobar menunjukkan kartu pelajar dan kartu persnya. Foto si oknum polisi yang sedang meminta uang kepada sopir-sopir truk di jalan yang sepi di luar kota dikeluarkannya juga. Komandan polisi itu ternganga, memelintir kumis lebatnya, lalu marah. Foto anak buahnya yang nakal itu dirampasnya dari tangan Sobar.

Sobar yang romantis ingin menikah dengan Farida, putri pemilik Toko Obat Walafiat, yang terkenal kaya. Sobar melamar Farida dengan modal nekad. Si cerdas itu dapat meyakinkan calon mertuanya. Wartawan muda yang masih ’kere’ itu berhasil menyunting Farida yang jelita, pemilik mata indah yang memesona. Setahun, setelah Sobar ditahan di RTM, sang interogator berpangkat letnan dari oknum AD tergila-gila kepada Farida. Pemilik mata yang memesona luar biasa memikat. Kata interogator, Sobar segera dikirim ke Pulau Buru jika Farida tak mau bercinta dengannya. Farida yang cinta sejati kepada Sobar seperti akan gila. Terjadi peperangan dahsyat di dalam dirinya. Namun, iming-iming sang interogator itu untuk sementara dapat dihindarinya dengan mengatakan, saya baru saja datang bulan.

Ketika sang interogator melarang Farida menengok suaminya, perempuan muda itu syok. Farida diancam, jika menolak keinginan sang interogator, Sobar dibuang ke Pulau Buru hari Minggu depan! Farida terpaksa takluk. Tetapi, sang interogator belum puas. Dia memaksa Farida menjadi istri gelapnya.

Seminggu setelah kejadian yang memilukan itu, Farida mengirim surat kepada Sobar. Dia mengaku berdosa karena tak suci lagi. Perempuan polos, jujur, dan lugu itu minta diceraikan. Hal itu terjadi setelah dibujuk, dirayu, dan diteror oleh sang interogator. Tiga bulan setelah kejadian itu, Farida sakit ingatan. Dia dikembalikan sang interogator kepada orangtuanya. Ayahnya segera mengirim anak perempuan semata wayangnya itu ke rumah sakit jiwa.

Ketika makan malam, seusai shalat isya berjamaah bersamaku, Sobar mengatakan, belakangan ini, setelah bebas dari tahanan, kehilangan nafsu makan. Dia selalu teringat kepada Farida. Tubuh Sobar gemetar. Segera kupegang lengan kanannya kuat-kuat. Kumohon dia agar senantiasa istigfar. Matanya basah. Kelima jarinya yang menjumput nasi dan sepotong telur ceplok masih di pinggan. Belum sesuap nasi pun masuk ke mulutnya. Tubuh Sobar terguncang-guncang seketika lamanya. Kupeluk dia erat-erat dengan harapan, dia mampu berdamai dengan duka laranya. Maaf, Bagus, bisiknya, aku malu jadi lelaki yang lemah. Kau selalu kuat, Sobar, ucapku. Akulah lelaki yang pengecut. Buktinya, aku kabur dari Jakarta setelah tragedi awal bulan 0ktober 1965 itu, karena takut melihat banjir darah, kataku.

***

Sebelum tidur, Sobar bercerita tentang Siti Nurjannah— yang bermakna, ’Siti Cahaya Surga’. Ketika pertama kali muncul dalam mimpiku, ya, dalam mimpi, katanya, tubuh Siti Nurjannah berlumuran darah, tetapi menyebarkan bau wangi bunga melati yang melegakan. Aku takut, kata Sobar. Aku menyangka makhluk seram itu adalah hantu atau iblis penghuni RTM. Sekujur tubuhku menggigil, bukan karena hujan deras dan angin kencang di luar RTM, tapi lantaran takut, tutur Sobar. Aku sempat bertanya, Anda ini siapa, kok tidak mengucapkan salam saat masuk ke kamar tahananku, yang terkunci? Bagaimana Anda bisa masuk bangunan RTM, padahal tiga pintu berlapis-lapis kawat berduri dijaga ketat oleh polisi militer bersenjata lengkap? Sobar mengaku takut, tapi takjub.

Ketika Siti Nurjannah membuka selendang yang menutup wajahnya, aku ternganga, lanjut Sobar. Sepasang mata yang memesona menyorot ke arahku, persis mata milik Farida. Bagaimana bisa, mata indah—yang bikin pria mabuk kepayang ini sama dengan milik Farida? Sobar terus bertanya. Setiap insan ciptaan Tuhan memiliki keunikan, jawab Siti Nurjannah. Keunikan itu adalah suatu kelebihan yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta alam semesta dan segenap isinya kepada makhluk mulia ciptaan-Nya yakni manusia. Pertanyaannya, adalah, apakah semua makhluk mulia ciptaan Tuhan itu telah mengetahui kelebihan itu? Apakah keunikan dan kelebihan yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta itu telah digali oleh pemiliknya dan dikembangkan sekuat daya sehingga menjadi unggul?

Sobar bertanya lagi, mengapa sekujur tubuh Siti Nurjannah berlumuran darah? Ceritanya panjang, jawab Siti Nurjannah. Lalu, perempuan rupawan itu minta izin untuk membersihkan darah dari luka-luka di tubuhnya di kamar mandi. Setelah itu, dia bercerita sejujurnya kepada Sobar tentang siapa dirinya yang sebenarnya.

Ayah Siti Nurjannah adalah pemilik bengkel mobil yang sedang maju pesat. Saingannya adalah mertua seorang oknum perwira tinggi AD. Pesaing itu melaporkan kepada aparat keamanan bahwa Haji Zoim, penggemar wayang kulit adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Cepat aparat keamanan berpakaian sipil dan para pemuda mengepung rumah Haji Zoim. Siti Nurjannah berteriak-teriak, minta tolong kepada tetangga. Dia mengatakan, para perampok menyantroni rumahnya.

Merasa yakin difitnah, Haji Zoim, mantan guru silat itu, melawan. Dia melindungi anak perawan tunggalnya. Para aparat keamanan tidak menyangka akan mendapat perlawanan. Mereka terdesak, lalu melepaskan tembakan membabi buta ke arah Haji Zoim. Siti Nurjannah memeluk ayahnya yang mandi darah sambil menyumpahi para aparat keamanan dan para pemuda yang menyerbu rumahnya. Siti Nurjannah pun diberondong dengan senjata otomatis. Seisi rumah itu mati dibantai. Rumah pun dibakar sampai jadi arang.

Itulah yang menyebabkan sekujur tubuhku mandi darah, cerita Siti Nurjannah. Jangan takut, Bung, lanjut si gadis, mahasiswi semester tujuh di fakultas psikologi negeri itu. Aku adalah roh. Aku datang ke sini untuk menghibur orang-orang yang tidak bersalah, tapi telah difitnah, lalu dijadikan tahanan politik tanpa proses hukum. Anda sendiri ditahan karena apa? Siti Nurjannah bertanya kepada Sobar.

Sobar terkejut, lalu jawabnya, cerita tentang diriku unik juga. Aku seorang jurnalis, kata Sobar. Aku memberitakan di media massa ibu kota ihwal seorang oknum jenderal AD yang diangkat jadi direktur utama di perusahaan milik negara. Oknum jenderal AD itu mendepositokan uang perusahaan negara atas nama pribadinya. Oknum kolonel AD, oknum mayor AD, oknum kapten AD, dan oknum letnan AD, para anak buah sang jenderal itu ikut juga mendepositokan uang milik perusahaan itu atas nama pribadi di bank BNI. Artikelku itu berjudul ’Rayap-rayap Hijau di Perusahaan Negara’, tutur Sobar. Kemudian, aku dipaksa minta maaf, lalu diperiksa oleh oknum mayor AD. Selanjutnya, aku dikirim ke kantor polisi militer. Setelah diinterogasi dua hari, aku dijebloskan ke dalam tahanan. Alasan penahananku adalah karena pemeriksaan belum selesai. Tapi, koran-koran pemerintah yang terbit esok harinya memberitakan, seorang wartawan berinisial ’S’ ditahan karena dia adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Anda terlalu berani, kata Siti Nurjannah seraya terkekeh-kekeh, heh heh heh! Anda telah menentang arus deras suatu rezim yang maha zalim, lanjut Siti Nurjannah. Ya, ya, sahut Sobar, teman-temanku pun bilang, kau telah membenturkan kepala ke tembok. Konyol kau! Begitu kata mereka. Ya, boleh jadi begitu. Tetapi, aku merasa sangat yakin telah melakukan perlawanan kepada penguasa yang rakus dan maha zalim, ujar Sobar tenang.

Sobar melanjutkan ceritanya, aku ikut pemilihan umum di dalam tahanan yang menyediakan tempat pemungutan suara khusus (TPS Khusus) di RTM. Malamnya, aku bermimpi lagi, Siti Nurjannah datang bersama bau wangi melati yang semerbak mengharumkan kamar tahananku. Dengan ikut pemilihan umum, padahal di dalam rumah tahanan, membuktikan, fitnah atas diri Anda adalah bohong besar, kata Siti Nurjannah. Seseorang yang berhak memilih, menurut Undang-Undang Pemilihan Umum adalah seseorang yang tidak terlibat partai terlarang dan organisasi massanya, lanjut Siti Nurjannah pula. Tak lama lagi Anda akan dibebaskan, katanya yakin.

Apa yang dikatakan Siti Nurjannah di dalam mimpiku itu ternyata benar, kata Sobar pula. Semalam sebelum aku dibebaskan, Siti Nurjannah datang lagi bersama harum bunga melati. Besok sore, pada malam takbiran Idul Fitri, Anda akan dibebaskan, katanya. Tetapi, mengapa Bung Sobar sedih? Mengapa tidak bersyukur? Kukatakan kepada Siti Nurjannah, tentu saja aku mensyukuri semua nikmat dari Tuhan. Lalu, kuceritakan ihwal aku tidak lagi memiliki Farida, pemilik mata indah memesona seperti mata Siti Nurjannah. Lagi pula, kata Sobar, sesungguhnya—aku bebas dari penjara kecil menuju penjara yang lebih besar di luar sana!

Sobar hampir menyudahi sepenggal kisah hidupnya. Tetapi, lanjutnya, bila Bung Bagus melintas di Jalan Budi Utamo Jakarta sekarang ini, bangunan gedung RTM—yang disebut juga Asrama Tunatertib Militer (Astuntermil), itu sudah tidak tampak lagi jejak garangnya. Bangunan tua, tempat penyiksaan tapol, yang tak jauh dari SMA Negeri I Jakarta, itu telah rata dengan tanah. Kini, di tempat bangunan itu hanya tampak tanah kosong. Entah apa maksud penguasa menghancurkan rumah tahanan politik bersejarah di Jakarta Pusat itu? Lalu, ke mana Siti Nurjannah pindah? ***

Villa Kalisari, Depok, 23 November