ALa Mana

Detik merangkak. Mereka berbicara dengan pikiran masing-masing. Hari beranjak siang. Rapat minggu pagi belum ada hasilnya. Setelah makan siang, diskusi termin kedua bertempat di meja makan.

Pada hari ketika Serai membolak-balik kamus bahasa Arab, mencari nama anaknya, Joni datang dengan tiga buku panduan. Pertama, ensiklopedi nama, terbitan kota di balik benua. Lalu, satu buku usang tebal. Ia pinjam dari perpustakaan daerah. Bukan main repotnya membaca halaman-halaman yang nyaris saling terpisah. Terakhir, sebuah kumpulan istilah dunia kedokteran. Ini paling terlihat modern.

“Sayang, minumlah. Susu baik untuk kesehatan janin dan tubuhmu,” Joni menyodorkan ke istrinya sambil meletakkan buku-buku ke meja di depan mereka. “Mas, aku belum tahu harus memberikan nama apa. Terlalu banyak pilihan,” ucap Serai sambil meraih tangan gelas dan meminum habis isinya. “Jangan khawatir. Aku sudah persiapkan buku-buku ini. Banyak sekali nama bagus. Tinggal kita pilih,” tangan Joni meraba perut Serai, kemudian menciumnya dengan bahagia. Telepon berdering, tak jauh dari jangkauan Joni. “Assalamualaikum, ... ya, Pak,” “Halo, Jon, kami mau ke tempatmu. Kangen sama calon cucu. Sebentar lagi sampai.” Tut-tut… “Hhh, menjelang tua, selalu saja ribut cucu,” Joni membatin.

* Tak lama setelah itu, ada langkah kaki mendekat menuju teras. Joni bergegas dan mempersilakan mertuanya masuk ke ruang tamu. Serai mencoba bangkit namun ditahan oleh ibunya. Serta merta Ibunya menciumi perut Serai. “Hai, Fajri, lagi apa, sayang? Ini eyang Uti datang, utuk-utuk, hii manisnya...” Mereka yang ada di situ bingung. Tidak ada yang bernama Fajri. “Bu, Fajri itu siapa?” tanya Bapak. Yang lain memandang heran. Ibu terlihat seperti mengkudang seorang anak kecil di depannya. “Lha anaknya Serai ini besok namanya Fajri, kan laki-laki.” “Bu, Serai ingin namanya Fadil. Agar menjadi anak yang berbudi luhur, bisa memuliakan orang tua dan keluarga.” “Itu nama artis, Bapak tidak setuju.” “Itu khas nama Islam, Pak!” Bapak diam, menarik nafas.

Sebentar. Ia dengar gesekan daun-daun di halaman depan. Angin sedang baik hati. Meliuk perlahan membuka sedikit pintu ruang tamu yang hampir tertutup.

“Ehm,” Joni memecah, “Namanya Tegar. Tegar Perkasa. Agar ia tegar menghadapi kehidupan. Ketika ia terpuruk, ia mampu untuk bangkit kembali.” “Ibu rasa itu bagus. Tidak kuno. Nama itu doa. Itu juga doa penting. Hidup ini keras, kalau cucu kita tidak tegar, bagaimana Pak? Laki-laki jangan lembek. Sebaiknya menjadi Tegara Fajri. Fajri berarti Fajar, yang menandakan ia laki-laki pertama generasi kedua keluarga kita. Setiap hari kita selalu menanti fajar. Dan anak ini yang kita tunggu-tunggu, bagaimana menurut kalian?” wajahnya berseri bagai sales promotion girl.

“Jangan, Serai sudah jatuh cinta pada nama Fadil,” ia berkata sambil memperbaiki letak duduknya. Suasana jadi sedikit tegang. Maklum, masalah nama memang sering membuat orang berebut berjasa. Nama apa saja, jalanlah, tokolah, peraturanlah, gedung, bus, masjid, dan sebagainya. Joni mengambil air minum untuk mertuanya.

Bapak sudah kembali segar. Ia bangit dari kursinya. Mulai bicara seperti orator, menggebu dan membius.

“Dengar, anak-anak jaman sekarang seperti kacang lupa pada kulitnya. Kalau sudah sukses dan jadi orang besar, mudah lupa asal. Kita orang Jawa, biar anak kalian tidak kebarat-baratan, Bapak yakin betul. Kita harus beri dia nama dari jagat pewayangan. Nama itu....” “Sudah ibu bilang, jangan. Kuno, Pak! Kasihan cucu kita nanti…” “Biarkan Bapak bicara dulu, Bu. Ada benarnya juga. Serai pikir, nama dari dunia pewayangan unik. Tapi tetap, ada Fadilnya, ya Pak? Di belakang, di tengah atau di mana saja.” “Dan ada Tegarnya. Biar jadi wayang yang kuat. “Diamlah. Bapak jadi lupa mau namain apa tadi.” Ketiganya menghela nafas. Bapak duduk kembali. Meraih minum dan menegaknya sampai tandas. * Detik merangkak. Mereka berbicara dengan pikiran masing-masing. Hari beranjak siang. Rapat minggu pagi belum ada hasilnya. Setelah makan siang, diskusi termin kedua bertempat di meja makan. “Bapak punya beberapa pilihan nama. Ada Abimanyu. Kalau nonton wayang, Bapak mengidolakan dia. Karena sejak bayi, Abimanyu sudah menguasai pengetahuan tentang segala hal. Setelah dewasa, ia mendapat Wahyu Cakraningrat, dengan wahyu itu Abimanyu ditakdirkan menurunkan raja-raja besar yang menguasai jagad raya. Abimanyu mempunyai sifat dan watak pemberani, halus, tingkah lakunya baik, kemauannya keras, dan bertanggung jawab. Coba kalau cucu laki-laki kita seperti Abimanyu, Bu. Bisa jadi presiden dia nanti.”

Mata Bapak menerawang. Kedua tangannya menekuk, menumpu dagunya yang bercambang halus.

“Maaf, Pak. Serai ingat nasihat Rosul. Beliau pernah menasihatkan agar kita memberi nama anak-anak kita ya yang islami. Agar selalu mendapat ridho Gusti Alloh.” “Ah, itu gampang. Dengar, kita bisa menambahkan nama Muhammad di depannya. Atau ini, ini! Ada lagi. Leksmana. Dia mempunyai watak halus, setia, dan tidak kenal takut. Cucu kita harus menjadi orang yang penuh kasih dan setia pada keluarganya.” “Maksud Bapak Lesmana?” “Tepat! Pandai kau, Jon.” “Kalau Muhammad Lesmana ya tidak pas, Pak” “Masih ada pilihan lagi, Bu. Ada lagi, Bapak ingin cucu kita berbakti seperti Arya Setyaka. Dia juga pemberani.”

Serai yang sedari tadi hendak angkat bicara, tapi selalu tidak jadi. Perutnya berasa aneh. Anaknya menendang-nendang. “Dulu, pernah Ibu dengar. Ada yang bilang, wayang itu tidak baik, karena wayang mengajarkan kita untuk menyembah dewa. Dan menjadikan orang-orang malas setelah semalam suntuk menonton wayang.” “Kalau begitu, Sunan Kalijaga tidak akan repot-repot pakai wayang buat dakwah Islam, Bu.” Ibu jadi merasa aneh, Serai meringis. Joni mengangguk. Ia telah melupakan tiga buku yang tadi digamitnya bersamaan. “Bapak masih punya lagi. Kita pikirkan baik-baik, jangan adu mulut. Kita semua ingin yang terbaik untuk anak itu” “Mungkin kita bisa kembali melihat buku-buku yang Joni bawa tadi.” “Ya. Itu bisa.” “Aduh…” “Serai, kamu tidak apa-apa, Nak? Fajri, bagaimana Fajri?” ia mengelus perut Serai. “Gak papa, Bu. Ini, si Fadil nendang-nendang terus. Monggo lanjutkan. Pak.” “Ini yang terakhir dari Bapak. Namanya Wisanggeni. Geni, api. Dia anak yang luar biasa. Cerdik, pandai, dan sakti. Ia juga tampan dan lugas. Bapak juga ingin cucu yang tampan. Hehee... “ “Aduh… sakit, Bu.” “Serai…” “Oh, siapkan mobil, cepat!” “Bagaimana ini?” “Ya, Wisanggeni.” “Bapak! Jangan mikir nama terus! ini Serai kenapa?” “Akhirnya…” “Kok akhirnya?” “Dia mau melahirkan, Bu. Cucu kita. Wisanggeni!” “Fajri!” “Aduh… tolong jangan ribut…” “Mobil sudah siap! Ayo cepat bawa. Perlengkapan jangan lupa.” “Biar aku, calon kakeknya saja yang nyupir, kau temani istrimu di belakang, Jon!” “Aduh… sa…kit…” “Sabar, nak, sabar. Fajri akan segera tiba dan hadir dalam keluarga kita.” “Ad..uh. Fadil…” “Hei, hei, tenang-tenang jangan ribut, nanti kacau. Wisanggeni jangan kita sambut dengan kekacauan.” “Yang tegar, ya sayang. Sebentar lagi kita sampai.” “Atau itu! Lihat!” “Apa sih ribut saja, tidak konsentrasi aku nyopirnya.” “Aduh… lihat dulu, semua memberi nama dengan bahasa Inggris, artis iklan shampo itu juga. Duh, kenapa kita tidak terpikir, itu nama yang modern, yang keinggris-inggrisan. Ibu ganti. Ibu punya usul. Bagaimana jika namanya adalah Evil Laura.” “Evil? Bu, Evil itu artinya setan.” “Hah!? Iya?” “Bagaimana kalau Claudia?” “Aduh nanti jadi ikut-ikutan…” “Sst.. jangan ribu terus, ayo lebih cepat.” “Aduh Jon kamu ini bagaimana? Kita sudah diambang kehadirannya.” “Tetap. Tetap Wisanggeni atau boleh apa saja asal dari dunia wayang, dunia kita sendiri!”

Tak lama kemudian mereka gelisah di luar ruang bersalin. Dokter, yang tak lazim jumlahnya, menangani. Ia tak mengizinkan anggota keluarga masuk. Sebelumnya dia, yang kebetulan kenalan masa kuliah Bapaknya Serai, mengusulkan untuk memberi nama bayi itu dengan namanya buat kenang-kenangan. Namanya Sarpito. Kemudian jam ikut menegangkan detik dan memberati tiga jarumnya yang berjalan dengan kehendak masing-masing seperti pikiran ketiga anggota keluarga itu. Terdengar suara bayi!

Mereka semakin tegang. Masing-masing mantap dengan diri dan pemikirannya. Mereka telah siap untuk mendaulat nama mereka dengan cepat ketika bayi itu ke luar dari ruang bersalin. Serai muncul, menimang seorang anak lagi-laki.

Ajaib. Anak itu tersenyum damai, lalu memandang suster, dokter, bergantian. Mulutnya membuka memunculkan gusi-gusi yang masih muda dan lemah. Dengan bahasa bayi yang aneh dan menakjubkan; penuh dengan magisme kehidupan, anak itu berkata pelan namun ceria dan penuh percaya diri, “Dengar, aku ingin menamai diriku sendiri. Namaku Udin!”

Yogyakarta, 31 Maret 2011

Sepucuk Surat di Akhir Tahun

Dan tibalah pada masa dimana harapan keindahan itu pupus dan sirna dengan kehadiran fakta yang menbuatku harus menerima kenyataan.

Keringatku untuk bertahan menyayangiMu, jika diibaratkan tetesan air Maka air tersebut kini sudah menjadi gumpalan air sungai yang besar. Tapi apa daya? Pintu hatimu belum terbuka. Akan aku tunggu pintu itu terbuka hingga keringatku kering dan tubuhku merapuh. Entah, rasanya detik ini sudah kering dan merapuh. Akankah kembali tumbuh???

Berawal dari lukisan senja aku alunkan dan aku teteskan semua desiran ombak yang telah mengantarkanku pada seorang perempuan di tengah gersangnya matahari. Akankah kau mengingat itu?. Aku tulis surat ini dikala aku tak sanggup lagi untuk membendung sekian gumpalan yang membuatku tersesak hingga terpuruk dan jatuh dalam kegelapan. Aku ungkapkan semua yang aku rasa, berharap kan ada sang malaikat kecil yang mengerti tentang diriku.

Ingatkah adek Tanggal 10 November 2009, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional aku mengenalmu, di saat kita masih sama-sama dalam setatus kader baru Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Yang pada saat itu hendak mendeklarasikan dirinya di Makam Pahlawan Nasional Yogyakarta bahwa kader 2009 lahir untuk menjawab kegelisahan dan meneruskan perjuangan pahlawan negeri ini. Tapi di saat itu juga aku mengenalMu meski tidak sesempurna hari-hari berikutnya. No HP mu adalah satu jawaban pasti bahwa aku bisa mengenalMu lebih jauh...

Di sanalah kisah-kisah indah terukir dan mulai memancarkan sinar harapan. Hari demi hari, malam demi malam kekuatan sang malaikat menjadi penyemangat diriku untuk mengenalmu lebih jauh melewati sms dan telpon. Tak ada satu niat indah dalam hatiku kecuali bisa mengenalmu lebih dalam dan mengajakmu berlari kecil ditengah gersangnya kehidupan yang mengelilingiku. Dan harapan itu mulai terwujud saat aku benar-benar bisa mengajakmu menyelami tentang hidupku.

Kulantunkan melodi kasih pada sang fajar dan embun pagi, berharap dia akan mengerti dan menberiku isyarat tentang arti sebuah rasa. Deretan kisah hendak aku ukir bersamamu namun disaat aku tahu bahwa diriMu masih berstatus milik orang lain hatiku terluka kecil. Kurangkai benang-benang di hatiku yang kusut dan ku yakinkah bahwa tak lama lagi semuanya akan berubah menjadi keindahan yang menbuatku tersenyum bangga. Hanya satu kata yang aku tahu sabar dan menanti hari itu terwujud.

Sesekali kuajak dirimu ke suatu tempat yang sangat sederhana. Tempat nungkrong sahabat-sahabat aktifvs Mahasiswa, MATO KOPI namanya. Kita memilih tempat di bawah pohon rindang dan mulai bercerita tentang keseharian kita, aktifitas kampus, sesuatu yang menjengkelkan dan menyenagkan yang terjadi dan sampai pada obrolan harapan-harapan masa depan yang hendak kita raih bersama. Sungguh walaupun kejadian itu tanpa terencana, aku sangat bahagia. Entah dirimu?. kalau tidak salah ingat, insyaAllah kita kesana lebih dari tiga kali.

Andai aku harus menggambarkan tentang suasana yang kurasakan saat bersamamu, mungkin tumpukan lembaran kertas yang ada di dunia ini tak kan mampu menampung semua itu, tapi yang jelas aku bahagia dengan berada disampingMu. Sesekali juga aku sempatkan bermain ke kosmu, malam atau siang bahkan sore kusisakan waktuku untuk melihat sang purnama yang terlukis indah di wajahmu. Walaupun pada kenyataannya, obrolan yang kau paparkan disana hanya menggambarkan kisah kasihmu dengan pacarMu. Sabar dan sabar hatiku menerima semua. Begitulah ku mengingat semua itu….

Dan tibalah pada masa dimana harapan keindahan itu pupus dan sirna dengan kehadiran fakta yang menbuatku harus menerima kenyataan. Yaitu: kesibukanmu dengan EO yang kau geluti di Fakultas. Saat itu, waktu yang biasa kau hadirkan untukku mulai tersita, bahkan tak sempat untuk menberikan perhatian padaku. Bertepatan juga dengan fenomena lost contect di antara kita yang membuat komonikasi diantara kita putus. Ditambah lagi dengan kenyataan yang menbuatku sangat-sangat tersakiti bahwa kau telah menjalin hubungan dengan seorang dosen, info itu aku dapat dari sahabatMu. Sungguh bernasib malang hatiku.

Untuk menbuktikan kebenaran info itu, diam-diam kuselidiki dan ternyata benar-benar terjadi. Semua itu terlukis dalam catan pesan terakhirku untukmu:

Pesan Terakhir….!!!

Good luck nenk! Aq lihat kok tadi yang pas turun dari motor…

Lah abank ada dmn? Koq gak nyapa….

Tadi abank lihat. Cium tangan udah cukup menjadi bukti

Maksud abank apa? Maafin nenk y...

Gak koq gak ada maksud apa-apa! N yang terpenting nenk gak salah. Apapun yang menjadi keputusan nenk merupakan hak paten nenk.

Ciuman tangan sudah cukup menjadi bukti bahwa aQ tidak bisa menpertahankan Idealisme perasaanQ. Maafkan n maafkan aQ!!

Beliau UstadzQ. Awalnya Qta cuma sebagai teman curhat, dia banyak ngasih masukan ke aQ. Beliau juga ngajarin aQ tentang Fikih wanita. Ya hubungan Qta kayak aQ ama abank dulu, Qta share. Gak ada perlu di maafin koq, yang harus minta maaf itu aQ.

Iya sama-sama...

Abang masih mau temanan ama nenk to? Gak ada yang berubah dari semua ini toh? Nenk gak mau teman-teman nenk jauh gara-gara nenk berteman ama orang lain. Sebelum nenk nikah, nenk berhak temanan ama siapa aja. Nenk memang dekat ama beliau.

Dari dulu hingga sekarang apa yang pernah aQ tanamkan dalam hatiQ tidak pernah berubah! Apapun alasannya!

Jujur pada saat Qita lost kontek, aQ mantau nenk dari jauh dan dekat!

Demi Allah!!! aQ amini jika itu yang terbaik buat nenk walau aQ harus terbakar dengan kekecewaanQ.

Makasih y bank! Nenk juga ngerasa kalau abank perhatian ama nenk. Nenk senneng!. Pasti abank lihat perubahan yang sangat besar ama nenk. Nenk juga ngerasa gitu. Nenk juga gak tahu apa penyebabnya. Nenk kadang merasa bersalah ama kamu. Tiap lewat depan Syari’ah, nenk pasti mikir koQ gak pernah ketemu abank?. Nenk benar-benar minta maaf kalau udah nyakitin abang.

Di setiap sepertiga malam! aQ besitkan ingatanQ padamu dan berdo’a kepada Sang Khalik.

“ Ya Allah! Lindungilah dia dalam rahmatMu. Ampuni segala dosanya. Bimbinglah dia dalam keridhaanMu. Yakinkan dia pada kebenaran yang sesungguhnya.

Ya Allah! Jika dia adalah kebaikanQ maka yakinkan hatiQ padanya. Jika dia adalah masa depanQ maka biarkan hati ini subur walau harus gersang dahulu.

Ya Allah! Apapun yang menjadi rahasiaMu. Semuga demi kebaikan Qta berdua dunia dan akhirat”. Hanya itu nenk yang aQ pinta ama Sang Khalik.

Nenk jadi pingin nangis! Makasih banget y. Nenk tahu abang sayang banget ama nenk. Abank selalu korban perasaan buat nenk tapi nenk malah kayak gini. Nenk gak tahu lagi. Hidup nenk gak tertata.

Jangan pernah nenk sesali setiap hal yang terjadi karena itu merupakan bagian dari proses khidupan. Syukuri dan syukuri!.

Dulu, Hari ini, esok dan nanti!!! aQ akan bertahan bersama puing rindu yang aQ yakini. Jika aQ mampu mengepakkan sayap potensi diriQ. Maka akan aQ luapkan semuanya. Itu janjiQ ama alam nenk.

2 Februari 2010

Entah aku harus mengadu sama siapa tentang luka hatiku yang tertusuk ilalang. Sekian tekadku untuk menjauh dari bayanganmu, malah kau semakin dekat dan berada di urat nadiku. Aku buang dan aku tepis tentang semua kenangan indah tentangmu namun aku tidak bisa berbohong, kenyataan tentang kenangan bersamamu semakin tampak jelas diingatanku. Sungguh aku lelah jika harus jujur. Namun perasaan ini yang memotivasiku...

Teringat aku pada kisah Minke, sosok seorang pribumi yang tergambar dalam Novel Tatralogi Pramoedya Ananta Toer. Minke hendak mencintai seorang wanita asal keturunan pribumi Jawa dan Eropa. Namanya Annelies, putri kesayangan Nyai Ontosoroh. Sungguh dia perempuan yang sangat cantik dan menawan dimasa itu, hingga tak satupun gadis yang ada di negeri Hindia Belanda yang mampu menandingi kecantikan dan kelembutannya. Dan dengan sekejap mata pertemuan pertama dirumah Nyai Ontosoroh itu melahirkan kisah kasih diantara mereka.

Jika aku menggambarkan kecantikanmu, dek di dalam hati dan pikiranku. Sungguh tak ada bandingannya sosok Annelies itu. Bagiku kau adalah mentari pagi yang menberikan sinar indah untuk bumi manusia. kelembutanMu mengalahkan lembutnya embun pagi hari dan seluruh keindahan alam ini terpancar dalam sosokMu yang menawan. Namun sayang, semua itu hanyalah beban yang melilitku hingga aku terpuruk dalam perasanku sendiri.

Jika Minke dapat menjerat hati Annelies dengan sekejap mata dan membuat Annelies jatuh hati padanya, adalah suatu yang wajar. Sebab dalam diri Minke tersimpan kharismatik dan pribadi yang berpendidikan, hartawan dan sosok pemuda satria harapan bangsa. Sehingga sangat pantas mereka berdua bersatu dalam kesatuan cinta. Tapi tidak denganku, ternyata perjalanan kasihku untuk memiliki diriMu dek tidak semulus Minke. Mungkin banyak kekurangan yang ada pada diriku sehingga kau sulit menerima diriku? Aku pikir itulah kenyataannya sehingga kau lebih memilih seseorang yang secara pribadi mempunyai segalanya. Terlalu naif memang hanya bermodalkan perasaan. Kembali aku bersabar dan berlari dari impian itu.

Hingga di akhir tetesan tinta ini, air mataku mengalir tanpa aku sadari. Setahun lebih aku bertahan untukmu namun tidak pernah keringat itu terbalas. Sabar dan sabar itulah yang selalau menjadi hiasan dinding dalam hatiku dan kini sudah mulai merapuh dan mengering. Teringat kejadian kemeren pas di Jakarata. Sungguh kau menganggapku hanyalah patung gundik tak bernyawa dengan kehidupan tak berarti. Kembali tetesan air mata hati menghiasi di semenanjung kehidupanku.

Aku sadar, barang kali aku yang terlalu naif dan jangan-jangan aku yang salah mengertikan tentang makna dari perasaan itu. Ya sudahlah. Aku yakin semua ada hikmahnya. Dan aku tidak menyesali semua perasan ini, bahkan aku berterimkasih karena kau telah menagajari aku banyak hal.

Sebelum ku benar-benar lari dari kehidupanmu sang dewi mentariku. Biarkan aku masuk dalam kehidupanMu meski sekejap mata untuk mengucapkan bahwa aku benar-benar menyayangimu.

Terakhir, terimakasih atas segalanya. Kau memang yang terindah yang pernah aku kenal dan selamanya kau akan menjadi sejarah dalam Hidupku. Semuga kau selalu bahagia atas pilihan hatimu... (Yogyakarta, 31 Desember 201)

Sekilas Tentang saya

Romel M, Lahir di Pamekasan 01 Februari 1990. Alamat Asal Desa Blumbungan, Kec. Larangan, Kab. Pamekasan Madura Jawa Timur. Alamat Tinggal Gowok Komplek Polri, Blok E2 No. 225 Catur Tunggal Sleman Yogyakarta 55281. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Jogja dan sekaligus sebagai kader muda Ashram Bangsa….

Tradisi Telur Merah

Kau tak hendak menghitung. Namun, tahun-tahun yang melintas itu setiap kali mengucapkan salamnya kepadamu. Seolah pamit sembari menerakan jejak yang melekat di dinding ingatanmu.

Nyaris sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan untuk menjalani rentang masa yang tak terkira itu?

Kau sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di sudut-sudutnya. Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari. Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada tiap hari, tertebar di segala sudut? Kau tak tahu.

Adalah melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah di dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar tidur setiap kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu.

Kau sulam dengan telaten angan itu, yang setiap bulan bertambah dengan harapan kala tamu periodik biologismu datang. Bulan berganti dan makin memanjang sulamanmu. Rapat benang-benang itu terjalin membentuk angan-anganmu. Merah kesumba, ungu muda, hijau pupus adalah warna-warni impianmu.

Tahun berganti dan lapis harapanmu kian menebal. Kau tambahkan warna-warna baru pencerah angan. Lepas tahun berikutnya kau temukan benang baru berkualitas terbaik. Kau sulamkan setiap helai benang itu sepenuh rasa. Serabutnya yang berkilau seolah memberimu cahaya, tak memberi ruang pada semangatmu untuk meredup.

Tahun berganti tak berhenti. Demikian pula tamu periodik bulananmu. Selepas tahun kelima kau dapati persediaan benang-benangmu telah menipis, tak banyak lagi warna tersisa. Kau tak hendak berhenti apalagi putus asa, tetapi suamimu telah terperangkap pada harapan yang pudar, tak hendak diantarnya kau mencari benang-benang baru. Kini kau berjuang dengan benang-benang tersisa, warna seadanya dengan jarum yang mulai tumpul. Sulaman angan macam apalagi yang bisa kau buat?

Suamimu masih rebah di dadamu nyaris setiap malam. Dekapannya padamu tetaplah hangat dan seerat dahulu. Namun, dari seribu dongeng yang hendak kau kisahkan, tak kau yakini lagi berapa yang masih tersimpan utuh dalam ingatanmu. Entahlah belasan ataukah satu.

Telah selesai kau seka lekat partikel debu pada daun jendela dan bilah pintu ketika sebuah becak menghentikan lajunya di pelataran rumah. Bibimu datang. Dibawanya sebuah kotak merah. Terulur kotak itu padamu, dengan sepasang mata yang ingkar dari lurusnya tatapanmu. Kau mengerti. Gerak mata yang menghindar itu demi menyembunyikan prihatin tersirat. Bela rasa yang tak terungkapkan sejelasnya.

”Duduklah, Ik, 1” salammu menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang berkilauan dalam genggaman benakmu.

”Sehat bayinya? Lancarkah air susu ibunya?” Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar nada riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau tahu bahwa bibimu tak akan tertipu.

”Sehat, sudah bertambah satu kilo beratnya,” bibi menjawab pelan.

Kau seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah itu terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa isinya. Kue ku berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang legit, membalut kacang hijau tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk merah muda dengan daun pisang sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu melekat samar. Apalagi? Barangkali kue wajik, yang butiran beras ketannya saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih. Entah merah muda atau hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur rebus yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.

Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah.

Kau suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir berdenting lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi mengusap-usap marmer itu, seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada beberapa retak dan parutan serupa butiran pasir pada beberapa sudutnya.

Kau tahu bibi sedang merindui ibumu.

”Apakah Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini?” tanyamu kemudian, sembari mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk menetralisir suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi bergerak mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang yang jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam.

”Tidak banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian harus kami masak sendiri. Aku membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah memasak kue mangkok dan kue lapis. Ibumu memilih merebus sendiri telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari karena sumba. Nyaris tak berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada telapak tangan itu akan menodai kulitmu.”

”Lalu bagaimana?” kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita tentang masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada hal-hal lain.

”Ayahmu yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau selalu rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik 2,” mata bibi melirik padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya padamu yang tak terhitung.

Kau tertawa.

”Barangkali karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,” ucapmu lepas.

Ucapan yang kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya kepedihan kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan meneguk lambat seduhan teh terhidang.

Senyap. Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian.

”Ik, ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku. Antarlah aku ke sana.”

”Tidak akan!” bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu.

”Tapi aku sungguh ingin,” kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu yang tersulam sejauh ini.

”Kukatakan padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya!” lagi bibi mengulang peringatannya.

”Ramuan mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga,” kau tak berhenti.

Bibi meninggalkanmu. Seakan membiarkan segala sulamanmu terendam untuk kemudian tenggelam. Akankah kau menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-sia?

Pastilah tidak. Keinginanmu yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan meruntuhkan tembok penghadangmu.

***

Sosok tua tak bernama itu menampik uluran uangmu.

”Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam. ”Pada waktunya nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.”

Kau tak mengerti, tetapi sebelum mendapatkan penjelasan lanjut, kau telah dipersilakan untuk beranjak pergi. Seseorang mengantarkanmu hingga ke gerbang. Bilah pintu besar itu terbelah, memberimu celah untuk keluar. Jalan setapak di depanmu dengan pohon-pohon tua berjajar seolah membentuk barisan di sepanjang jalurnya. Dedaunan yang saling bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhmu. Kau bertanya-tanya kemudian, apakah pohon-pohon itu mengingat dan menyimpan derap langkah ibumu yang menyusuri jalan ini pada suatu ketika di masa silam? Satu iramakah langkah yang dahulu itu dengan gerak langkahmu sekarang?

Kau rindui ibumu. Kau ingat senandungnya yang menidurkanmu. Dan kau rindui pula kesempatan menjadi ibu. Ingin kau bersenandung dan mengisahkan dongeng-dongeng pada anak-anakmu.

Kepada bibi kau bawa pertanyaan tak terjawab itu.

Bibi tercekat, lalu meraung sesudahnya.

”Mengapa kau langgar pesanku?” desisnya menuntut. ”Seharusnya kau patuh.”

”Ibu melakukannya, mengapa aku tak boleh?” balik kau bertanya serupa gugatan.

”Justru karena itu kau tak perlu mengulangnya!”

”Tapi aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.”

Bibi menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan sulaman anganmu sebagai cadar belaka.

”Lebih sepuluh tahun Tacik 3 menunggumu,” bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di antara cemas dan pahit berselang-seling.

”Setiap datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli didatangi. Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan ibumu ke sana. Bulan berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.”

Suara bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi akar-akarnya tak tercerabut.

”Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi kelahiranmu,” bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin berkeringat dalam genggamanmu.

”Tacik meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik tirimu. Anak itu lahir kemudian.”

Kau terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam yang tak terduga.

”Apa yang terjadi dengan adikku?”

Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam dan lelehan jeruk nipis.

”Seharusnya anak itulah penukar kelahiranmu, tetapi ibumu tak tega dan memilih dirinya sendiri sebagai pembayarnya. Ayahmu tak sanggup menanggung beban dan menyusul ibumu kemudian. Nyawa dibayar nyawa, begitulah adanya.”

Labirin sejarahmu terkuak sudah. Terpapar jelas dari ujung permulaan hingga kelokan terakhir. Tak lagi kau temukan persimpangan yang menipu. Saat yang sama kau telah terperangkap pada salah satu jalur misterius di dalamnya. Akankah kau temukan jalan untuk kembali?

Jadwal periodik biologis bulanan itu selalu kau tunggu dengan berdebar sepanjang sembilan tahun. Debaranmu kali ini adalah akumulasi sepanjang masa itu disertai harapan yang retak serupa cangkang telur merah dalam anganmu.

Keterangan:
1. Ik: panggilan untuk saudara perempuan dari pihak ibu dalam keluarga China.
2. Wan bik: nakal
3. Tacik: kakak perempuan

Pusara

Apalagi yang luput untuk diceritakan? Gelas-gelas kosong, isak tangis surut, pelayat beringsut meninggalkan rumah duka dan ayat-ayat suci menguap di udara. Jenazah masih berbaring kaku, asing dari keajaiban.

Suasana berkabung dengan air mata dan doa-doanya terlalu menyedihkan. Aku memandang Togar, teman lamaku sejak kecil, dari kejauhan. Dia setengah mati menahan diri untuk tidak menangis. Padahal dia berhak untuk itu. Kami berdua dan adiknya; Ranto, yang menjadi jenazah sekarang, tak pernah luput satu sama lain semenjak kecil. Aku pun mestinya menangis, tapi tidak. Tuhan—dan Anda juga nanti—tahu aku adalah orang yang menyedihkan. Tidak perlu air mata untuk membuktikan itu.

Para pelayat mulai surut; tinggal keluarga inti, beberapa kerabat dekat dan kekasih yang ditinggal pergi. Aku meminta diri. Togar mengerti lalu mengantar sampai ke pintu. Jabat tangan kami berlanjut jadi pelukan erat. Aku merasakan cairan hangat merembes di punggungku. Samar sebuah isak lolos dari pengawasannya, kemudian dia melepas lengannya dariku dengan wajah seperti yang selalu kulihat: air muka keras dengan keangkuhan yang khas serta segaris senyum yang jarang luput dipasang. ”Sering-sering main ke sini,” katanya. ”Pasti,” jawabku. Kami saling bertukar salam dan dia kembali menyelinap dalam kesedihannya.

Aku berbalik menelusuri jalan pulang. Pukul dua. Fajar tinggal beberapa jam lagi. Purnama masih bergelayut di mana dia semestinya berada. Begitu pucat, begitu pasi. Begitu mati. Aku terus melangkah tanpa menoleh ke arah rumah duka untuk terakhir kalinya. Aku tidak bisa kembali melihat kesedihan itu. Tidak setelah air mata Togar merembes di punggungku. Aku tidak pernah menyambanginya lagi setelah malam itu.

Mungkin kematian bukanlah hal yang menyenangkan untuk memulai sebuah cerita, tapi sebuah cerita tetap harus dimulai dengan cara apa pun itu. Yang barusan kau baca bukanlah kematian pertama dan, aku bisa memastikan, bukanlah yang terakhir yang pernah bersentuhan denganku. Enam bulan setelahnya, kakek meninggal. Nenek benar-benar terpukul dan nampak kehilangan sebagian besar porsi kehidupannya. Satu tahun kemudian, beliau menyusul. Sebelum kusadari, aku mulai menandai waktu dengan kepergian orang-orang di sekelilingku. Mungkin aku terkesan terlalu muram; terlalu melebih-lebihkan, tapi seperti sudah kubilang sejak awal, pada dasarnya aku memang orang yang menyedihkan.

***

Selepas kuliah aku mulai mengendus rupiah sebagai freelance graphic designer. Nama yang kedengarannya cukup upbeat—mungkin karena ditulis dalam cetak miring—tapi biar aku luruskan terlebih dahulu: kemilau graphic design nyaris hanya sebatas nama. Sebagian lulusan sekolah graphic design terdampar menjadi pengusaha jasa printing kelas menengah dan sebagian besar ilmu yang dibayar dengan harga mahal tersesat tak tersalurkan. Sebagian lain bekerja mati-matian untuk memenuhi tuntutan industri kemasan sekaligus harus berhadapan dengan klien keras kepala, pesaing picik dan perlombaan dengan waktu.

Lama-kelamaan kau akan kelelahan dan ketika rasa lelah itu merongrong batok tengkorakmu, fakta yang tak terelakkan menendang bokongmu: kreativitas yang awalnya kau harapkan akan membantu mendaki tangga karier tak membawamu ke mana-mana. Kreativitas hanya kemampuan membongkar-pasang idiom-idiom klise lawas dari tempat sampah untuk menghasilkan sesuatu yang—nampaknya—baru. Yang benar-benar kau butuhkan adalah kecerdasan sosial.

Secara finansial mungkin pekerjaan ini tidak terlalu memuaskan, tapi tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku juga butuh makan dan orangtuaku tidak bisa terus-terusan memanggul tanggung jawab itu. Bekerja adalah hal yang semestinya dilakukan selepas kuliah. Untuk itulah orang rela membuang uang demi pendidikan. Semua orang tahu: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, kerja lagi, dan akhirnya, mati.

Hari-hari berlalu. Banyak cerita yang luput. Lima tahun setelah pemakaman Ranto aku berusia dua puluh enam dengan pekerjaan tetap dalam media massa. Wanita datang-pergi, dua tahun ini bernama Asri. Satu tahun lebih muda, cerdas, manis, dan punya senyum menawan ala iklan pasta gigi.

***

Kematian menghadang suatu pagi. Tak diduga dan tak dikenal, bergelimpang begitu saja di tengah jalan dengan sayur-mayur, tangis bocah dan sepeda motor tua. Sebuah truk melanggar sebuah keluarga kecil yang berboncengan di atas motor di perempatan. Sang ibu hanya luka kecil, begitu juga dengan kedua anaknya—bocah laki-laki sekitar lima tahun dan gadis cilik selisih beberapa tahun lebih tua, keduanya berseragam SD. Namun tidak dengan sang bapak. Wajahnya rusak terhantam trotoar dan tubuhnya remuk tergilas roda truk. Dia tewas seketika. Puluhan orang mengerubung, polisi merapikan lalu lintas yang kusut. Beberapa orang ditagih keterangan. Sopir truk bermata merah diamankan. Aku urung bekerja hari itu.

Ibu terkejut melihat kepulanganku, hari masih pagi dan aku sudah pulang dengan awan hitam menggantung di atas ubun-ubun. Aku bilang sedikit tidak enak badan, dia percaya lalu pergi ke kamar mandi. Di atas kasur aku mereka ulang kejadian; bapak menjemput ibu di pasar lalu mengantar kedua anaknya bersekolah. Lampu lalu lintas berubah merah, tapi kedua anaknya sudah hampir terlambat. Tak ada kendaraan lewat di depan. Dia tancap gas. Lalu sopir truk: pertengkaran dengan istri membuatnya tak bisa tidur semalaman, matanya berat meski segelas kopi kental sudah disikat. Lampu kuning, dia mengusap mata dan menggeleng keras mengusir kantuk. Gas diinjak dalam karena kecepatan bisa membuatnya tetap terjaga. Sepeda motor melengang dengan suara terbatuk. Kantuk diusir panik. Rem sempat diinjak, tapi terlambat tetap terlambat.

***

Keputusan itu datang begitu saja. Mendadak menelusup masuk ke kepalaku ketika ia terpelanting di atas bantal. Aku harus keluar dari tempat ini, sangkar yang menjadi tempatku kembali sampai sekarang. Memalukan, kata orang, masih tinggal bersama orangtua. Tapi bukan itu yang jadi alasan. Kejadian di jalan beberapa hari lalu terus menghantui kepalaku. Darah di jalan, anak-anak menangisi kematian ayah di dekapan ibu mereka—begitu intim. Begitu tragis.

Seperti foto di dinding: ibu—dengan gaun merah dan rambut disisir ke belakang—di sebelah kiri; memangku adik yang tidak sempat bersiap untuk difoto, ayah mengenakan jas hitam dan sebuah kumis tipis berdiri kaku di samping ibu, aku di depannya, tujuh tahun, dengan setelan kemeja putih dan tawa lebar. Waktu membuat foto itu usang. Kenangan di dalamnya terasa berjarak. Di dalam bingkai itu aku menemukan sebuah keluarga. Begitu intim. Ketika aku mendapati diriku sendirian di meja makan untuk makan malam: begitu tragis.

Tidak ada drama ketika aku pergi karena aku tidak pergi jauh. Rumahku hanya empat puluh lima menit dari rumah. Ibu masih tertidur waktu aku mengangkut barang terakhir, adik sudah pergi kuliah sedari pagi dan ayah pun tak ada di rumah. Tempat tinggal baruku benar-benar sederhana. Satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu dapur. Sedikit perabotan… paling tidak aku bisa menyebutnya rumah.

Dua tahun kemudian aku dan Asri menikah.

Hari-hari yang baru menunggu di depan sana. Aku mencintai Asri dan mungkin dia juga begitu. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil terus menyisip dari balik selimut, kopi pagi, dan telepon di jam istirahat.

***

Suatu malam aku terbangun dengan keringat dingin. Mimpiku pasti buruk sekali, mujur aku lupa ketika terjaga. Mimpi itu masih menyisakan teror yang merayap di balik kulit. Merobek dinding tipis yang memisahkannya dari realitas dan mengintip dari celah sempit. Mengintai dengan tajam matanya yang entah, menunggu waktunya tiba. Aku tidak tahu apa. Asri tidur meringkuk memunggungiku. Tersesat dalam mimpinya sendiri. Saat seperti inilah, pembaca yang budiman, kesepian nyata-nyata menyelimuti dan kau bisa menggapai tanganmu untuk merangkulnya.

”Jatuh tertidur sungguh mengerikan,” celetuk Patricia Franchini. ”Tidur memisahkan manusia. Meski kau sedang tidur bersama seseorang, kau tetap sendiri.”

Hey, siapa Patricia Franchini? Apa urusan dia di cerita ini?

Aku bangkit menuju dapur untuk sekaleng bir lalu duduk di ruang tamu. Dua pasang mata di dinding memandangiku tanpa berkedip. Tapi bukan aku benar yang mereka pandang. Tatapan itu terlempar jauh ke depan, menantang masa depan dan segala kejutan yang disimpannya tanpa bersenjata apa-apa. Mungkin tanpa senjata sama sekali pun tidak sepenuhnya benar. Keduanya membersitkan cinta. Kau bisa melihatnya dari mata Asri yang sedikit sembap karena haru. Hari pernikahan kami benar-benar melepaskan kodratku sebagai makhluk yang—pada dasarnya—menyedihkan. Sampai sekarang pun aku masih merasa asing di depan foto pernikahan kami.

Inikah jawabannya—jalan keluar dari kehilangan dan kematian yang bertubi-tubi? Tiba-tiba aku bertanya-tanya. Cintakah? Kalau benar, apakah benar aku mengalaminya?

Cintakah Ferdinand dan Mariane, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya—cintakah strangers in the night yang begitu sendu dinyanyikan Frank Sinatra? Kalau bukan, kenapa aku menitikkan air mata untuk mereka, seperti aku menitikkan air mata ketika Asri mengatakan ’iya’ untuk lamaranku?

Aku tidak menemukan jawabannya. Cuma ada tanah basah dan nisan dingin. Kaleng bir lolos dari genggamanku lalu menghantam ilalang. Gila, hidupku hanya perjalanan dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Selalu tentang kematian dan kehilangan. Pikiran ini sudah cukup untuk menerormu seumur hidup.

Aku bersimpuh di depan nisan kakek. Nenek dan Ranto nampak tersenyum satu meter di bawah tanah. Dengan pengap dan belatung yang menggerogoti tubuh bagaimana mereka bisa tersenyum—seperti apa wujud tengkorak ketika sedang tersenyum?

Aku menemukan diriku terkapar. Peluh merangkak dari ujung mataku. Tak mengapa. Tak mengapa, tegasku meyakinkan diri sendiri.

Samar lagu mengalun. Sebuah tangan menuntunku untuk berdiri. Senyum pasta gigi itu menemukan pertahanan terakhirku dan meremukkannya dengan hangat. Tangan kanannya menyelinap di pinggangku dan jemari tangan kirinya menyelinap dalam jemariku.

”Sudah lama kita tidak berdansa dengan lagu ini.”

Sudah lama kami tidak berdansa dengan lagu ini. Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya berdansa, tapi perlahan aku menemukan ingatanku dalam setiap langkah.

Aku tidak lagi berjalan gontai dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Aku berdansa. Kami adalah dua orang asing yang berdansa tengah malam di atas alunan strangers in the night Sinatra. Tak jauh dari kami Ferdinand dan Mariane berdansa, begitu juga Samsul Bahri dan Siti Nurbaya. Tak ada yang tahu letak cinta, tapi cinta tahu untuk siapa dia ada. Mungkin.

Senyum pasta gigi Asri melumer, tinggal partikel kristal yang berkilauan di sela deretan giginya. Begitu asing. Setelah sekian lama aku hanya jadi penonton dalam hidupku sendiri, aku baru sadar aku tidak pernah sendiri. Selalu ada tangan-tangan yang siap mengangkatku kalau aku jatuh dan aku tak pernah peduli. Aku selalu penuh dengan diriku sendiri. Aku lebih banyak menggunakan ’aku’ kalimatku. Aku tak tahu apa pun tentang Asri. Aku tak menyisakan banyak kalimat untuk menggambarkan betapa cantik senyumnya, molek kulitnya, bagaimana matanya menyihir kata-kata sampai kehilangan makna. Tentang kesedihannya, kehilangannya… dia pantas untuk itu. Begitu juga dengan Ranto, nenek dan kakek. Ayah, ibu, adik, Togar—

Cerita ini harus ditulis ulang. Mulai dari hari pertama aku bertemu Asri.

Botol Kubur

Jangan petuahi kami perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Kami pasrah dijemput maut kapan saja, tapi kami enggan mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah botol-botol yang mereka tikam ke tanah itu menjadi jalan rezeki kami.

Kuingat kali pertama mencari botol di kuburan. Angin yang membentur bulu tengkuk terasa lebih dingin dari biasanya. Gugup campur cemas, bergetar jemariku saat menggenggam dan mencabut pantat botol dari pucuk makam. Sekilas kubaca nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera dengan cat hitam di kayu nisan. Antara bergumam-berbisik, kuminta maaf pada pemiliknya yang sedang tidur di bawah sana. Malamnya mataku sulit terpejam. Rusuh hati membayangkan arwah pemilik botol menyelinap masuk ke dalam mimpi, menyumpahserapahiku yang lancang mencabut botol dan menyuruhku mengembalikannya ke tempat semula.

Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kini, buatku, mencabut botol di kuburan telah menjadi hal biasa saja layaknya makan, berak, ketawa, atau kentut. Entah berapa botol kuburan yang telah kucabuti. Melihat botol menancap di gundukan makam bagai memergoki uang yang berkilat-kilat disorot cahaya matahari. Saat mencabutnya, tak lupa kuingatkan pada orang di dalam sana agar jangan mengutukku gara-gara sebiji botol. Sebagai imbalan, kubersihkan sampah yang berserak di sekitar makam mereka. Agar kian iba, acap kutambah-tambahi: kami membantu orangtua cari nafkah, hanya ingin bertahan hidup, atau botol itu sangat berharga buat orang miskin macam kami. Mengingatnya, aku nyengir sendiri. Serupa orang bodoh saja bicara pada angin. Untuk apa minta izin pada tulang belulang, pada daging yang telah lebur dengan tanah, pada jasad yang busuk bersama waktu?

Yang tak bernyali mencabut botol kuburan, acap menakuti-nakuti: di sana angker, rumah segala jenis hantu, nanti kualat, kesambet makhluk halus, dikutuk arwah yang murka. Yang sok alim menggurui: jangan menumpuk dosa. Ah, soal itu, biar Tuhan yang menimbang. Kami pasrah, terima bersih saja. Kami hanya menumpuk barang bekas. Ada pula yang mencetus, kelak kami akan diganjar di neraka; botol-botol itu akan ditancapkan ke anus kami. Ada yang terbahak-bahak mendengarnya, ada pula yang kontan terdiam dan berwajah murung.

***

Kami anjing-anjing kecil yang besar di jalanan. Diasuh debu kemarau dan hujan yang riang. Selain bak sampah, taman kota, terminal, trotoar, lorong-lorong pertokoan, atau pasar becek bau bacin, kuburan pun jadi ladang pemulung cilik macam kami. Dalam kelompok-kelompok kecil—tak pernah ada yang nekat pergi sendirian—kami sambangi kuburan.

Jika ada yang sok iba bertanya tentang orangtua, keluarga, atau kenapa tak sekolah; kami punya jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama. Senang rasanya membuat mereka terdiam, menghela napas, atau bermimik sedih. Tak perlu sekolah untuk pandai berbohong. Jika berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah di jalan, tak sungkan pula kami rampas apa yang mereka punya: termos minuman, topi, tas, sepatu. Ada juga yang mujur berhasil merampas telepon genggam mereka.

Kami hanya takut pada Bang Gayu, duda empat puluhan, tukang mabuk dan buat onar. Hampir tiap hari kami dipalaknya. Kami muak, tapi tak berdaya. Mata kirinya picek. Kabarnya, waktu bujang, mata itu ditujah sesama preman yang berebut wilayah kekuasaan. Bang Gayu terkenal doyan mengendap malam-malam, mengintip perempuan tidur. Yang lebih parah bila dia kumat, salah satu dari kami akan dibawanya pergi ke tempat sepi. Meski tengah malam, kami tak bisa mengelak di bawah ancaman. Hanya bisa pulang meringis menahan nyeri di dubur.

***

Kami mendarat siang bolong di pemakaman umum yang terimpit di antara rumah-rumah penduduk. Mirip stasiun berjejal penumpang di ambang lebaran, nyaris semua kuburan yang kami datangi telah sesak menampung jasad manusia. Makam-makam yang kompak menghadap ke satu arah itu bagai kerumunan manusia yang gelisah menunggu moncong kereta muncul dari barat. Tak perlu peta untuk menuntun dari satu kuburan ke kuburan lainnya. Peta tak punya jemari untuk memungut dan menghirup kamboja yang tumbang disentuh angin. Peta tak punya mata kaki untuk menghindari lumpur selepas hujan. Lebih dari itu, ia tak bisa mengendus aroma kematian.

Matahari menancapkan panah-panah teriknya ke ubun- ubun. Ada kincir bambu bungkam dekat asap tipis sisa pembakaran sampah. Bunga-bunga kamboja berserak. Ayam-ayam liar mengorek-ngorek tanah. Konvoi semut hitam di atas marmer putih. Cacing, ulat, dan kaki seribu menyelinap ke balik sampah dedaunan. Banyak makam telah berlapis keramik dan berpagar runcing. Tak sedikit pula yang telantar, nyaris rata dengan tanah, bertahun tak diziarahi keluarganya. Pohon-pohon besar menjulang nampak angker. Seperti ada yang mengintai kami dari balik kelam dahan dan batangnya. Di beberapa kuburan, ada semacam pondok sederhana. Konon, di dalam- nya ada makam keramat orang-orang sakti atau disegani di masa lampau.

Tempat yang sesekali ramai bila ada yang mati, mirip pasar tumpah menjelang dan saat hari raya, senyap muram di hari-hari biasa itu; memang bisa jadi tempat rehat yang enak. Kami tak ada alasan untuk bergegas di sana. Pun tak perlu lagi beruluk salam, sopan santun saat memasuki gerbangnya. Zaman sekarang, salam cuma basa-basi, tak lahir dari hati. Sehangat-hangat salam, masih lebih hangat tahi ayam yang terinjak kaki kami.

Dengan karung kumal, kami berpencar layaknya bermain di tanah lapang. Mata kami jelalatan mengincar makam yang nampak baru, sebab di sanalah biasanya teronggok barang yang diburu. Kebanyakan botol bening bekas sirup, bukan bekas kecap, apalagi minuman keras. Jarang ada botol menancap di makam-makam yang sudah dimarmer.

Mataku tersenyum memergoki botol bening hampa yang nyaris menempel dengan kayu nisan. Mulut botol menancap dalam tanah. Pantatnya nungging miring menuding langit. Airnya telah lama lesap dalam tanah. Hanya butir-butir tanah kering menempel di badannya. Mungkin sisa hujan beberapa hari silam. Kembang-kembang aneka warna yang bertabur sepanjang puncak gundukan telah layu. Tak ingin disalip saingan, jemari kananku mencengkeram pantat botol itu. Perlahan dan hati-hati mencabutnya, jangan sampai mengusik tidur orang di dalam sana. Lega rasanya saat botol itu sudah kulesakkan ke dalam karung lusuh kumal.

Kami seret langkah keluar kuburan diiringi suara ngilu gesekan botol dalam karung. Botol-botol itu tak langsung kami jual, tapi ditumpuk bersama barang-barang rongsok lainnya. Seminggu kemudian baru kami usung ke lapak pengepul, menukarnya dengan lembar-lembar uang yang tak sampai setengah jam digenggam sebelum pindah ke tangan orangtua. Itulah yang kelak mengisi periuk dan bakul nasi di gubuk kami. Andai kami dapat upah, lekas habis kami tukar makanan murahan atau es degan.

Beberapa kali kami bergunjing kenapa botol-botol itu ditancapkan ke makam orang yang baru ditanam? Bukankah sia-sia menelantarkannya di kuburan? Bukankah mereka yang sudah mati tak bisa merasakan apa-apa lagi? Beragam pendapat kami: sebagai obat dahaga buat mereka di alam sana, agar yang berkalang tanah selalu segar, dan lainnya. Yang pasti, mereka yang menikam botol itu tentu tak menduga kelak ada yang mencabutnya. Ah, kenapa bukan uang saja yang ditancapkan di gundukan tanah itu agar kerja kami jadi lebih mudah?

Memang pernah ada yang meriang setelah mencabut botol kuburan. Mukanya pucat pasi. Semula kami kira masuk angin biasa. Punggungnya sudah di kerok, tapi tak ada perubahan berarti. Dia terus saja menggigil. Kami panik, tak ada yang tahu penyakit apa yang merongrong tubuhnya. Ada yang berbisik, dia kesambet jin penunggu pohon besar di tengah kuburan karena kencing sembarangan di sana. Untung dia sembuh begitu saja hingga terhindar dari rumah sakit. Dia pun tak jera mengulang perbuatannya.

***

Tak selalu mulus hajat kami memetik botol di kuburan. Acap kami keluar dengan tangan kosong dan hati dongkol. Pasalnya? Tertangkap basah orang lain! Mungkin warga sekitar yang mengurus kuburan, tukang gali kubur, atau tukang ngaji kubur. Segerombol pemulung cilik kumal keliaran dalam pemakaman umum barangkali memancing rasa curiga mereka. Kami seperti diintai dari tempat tersembunyi lalu mereka muncul tiba-tiba begitu memergoki apa yang kami perbuat. Meski serupa tapi tak sama, kami telah hafal hardikan mereka:

”Kembalikan botol-botol itu!”

”Kecil-kecil sudah jadi maling!”

”Cari sampah di tempat lain!”

”Banyak jalan cari duit, bukan maling botol di kuburan!”

Kami, anjing-anjing kecil dengan hati ciut, terbirit-birit menjangkahi makam demi makam. Menjauhi mereka, orang-orang uzur yang tampaknya mengidap penyakit darah tinggi hingga mudah murka. Sepanjang jalan pulang, gantian kami rutuki mereka. Macam kami tak tahu saja, mereka juga kerap dapat rezeki lewat orang mati. Sudah miskin, kedekut pula. Arwah pemilik botol dan hantu yang mukim di pohon-pohon dalam kuburan lebih baik ketimbang orang-orang yang menggebah menimpuki kami. Mereka tak pernah muncul tiba-tiba untuk mendamprat kami. Mereka yang lelap berserak dalam tanah itu lebih maklum, kami datang diseret angin kemiskinan.

Dan ini rahasia perusahaan. Tak pernah kami bocorkan muasal botol kepada pengepul. Patah ranting rezeki kami jika mereka tahu. Terbayanglah mimiknya bila tahu dari mana asal botol-botol itu. Pengepul pun menolak botol bermulut sumbing. Tak laku dijual ke bos besar, dalihnya. Siapa, di mana, dan bagaimana sosok bos besar itu, kami tak pernah tahu. Yang pasti, tiap mencabut botol, kami amati dulu bibirnya. Jika cacat, kami kembalikan ke tempat semula. Tak mau dua kali lipat kalah kami. Sudah tambah dosa, botol urung jadi uang pula. Belum lagi jika pengepul lengit mencatut jumlah timbangan dan seenak udel mematok harga rongsokan yang kami bawa.

***

Bang Gayu mati anjing. Tengah malam tadi dia ditikam empat lubang entah oleh siapa. Kami pura-pura kaget, tapi dalam hati bersyukur. Sempat kudengar bisik orang-orang yang mengekor saat mengantar kerandanya ke kuburan: ”Nggak usah diberi air. Tancapkan saja sebotol anggur murahan untuk menemaninya dalam kubur…” Kami terkekeh mendengarnya. Meski melarat, orang-orang tua kampung kami masih suka guyon. Orang mati pun bisa dijadikan bahan kelakar.

Sepoi embus angin ambang petang. Ketika orang-orang pergi dan kuburan sudah sepi, kami bersijingkat menyambangi makamnya. Kami amati gundukan tanah merah bertabur kembang. Kami senang dia mati. Hilang satu masalah. Kami terkekeh melihat seorang teman mencabut botol yang baru beberapa jam menancap di kuburnya. Aku tersenyum kecut memergoki lubang kecil bekas botol itu.

Kubuka retsleting celana. Serupa anjing kencing, kunaikkan kaki kiri ke nisan kayu. Kuarahkan rudal ke sasaran. Sekedip kemudian, air kekuningan berdesis membentur gundukan tanah. ”Ini minuman tambahan untukmu, Anjing Tua…” kataku sambil menatap namanya di nisan kayu. ”Balaslah sekarang kalau kau bisa…” disambut kekeh yang lainnya.

Dendam yang berkarat dalam benak kami akhirnya tunai. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata saat menyaksikan air menciprati kayu nisan dan gelembung-gelembung kecil memenuhi lubang bekas botol. Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kami tak peduli bila kelak di neraka, anus kami berkali-kali dijejali botol. Orang dalam kubur ini, yang botolnya kami cabut dan makamnya kami kencingi,
telah mengajari kami bagaimana sakitnya.