Aku bukan pujangga

Aku tak pandai menulis puisi. Aku juga bukan pria yang romantis. Aku tak biasa memberikan kembang dan puisi kepada kekasihku. Aku mencintai mereka apa adanya. Tak pernah aku berbohong soal hati. −Novi, kenapa mesti kamu meminta kembang, sayang?” Sebagai hadiah ulang tahunmu. Sedangkan aku tak punya duit untuk membeli kembangnya, manisku.”

Aku tak pandai menulis puisi, sayang. Aku rasa, pertama kali kita di pertemukan, aku sudah membicarakan itu. Jauh sebelum kita resmi menjadi sepasang kekasih. Bagaimana dengan sikapmu yang sekarang?” Aku tak paham. Meninta puisi dan seikat kembang melati putih untuk kado ulang tahunmu nanti. Aku bukan Chairil Anwar, si binatang jalang yang pandai menulis puisi itu. Aku juga bukan penjual kembang.

Sebulan sebelum hari ulang tahunmu, kamu sudah merengek meminta kado. Sedangkan aku tak punya duit yang cukup untuk membeli kembangnya. Aku juga akan kebingungan menuliskan puisinya. Sudah tiga tahun kita menjadi sepasang kekasih, harusnya kamu tahu dan mengerti semuanya tentang aku. Kalau kekasihmu ini bukanlah seorang pujangga. Setelah ulang tahunmu nanti, aku akan meminangmu. Dan sebulan kemuadian aku akan menikahimu. Tak seharusnya kamu meminta yang macam-macam. Apakah kesetian itu harus kita ukur dengan kembang dan puisi? Kurang setiakah, aku sekarang? Aku setia dan sudah siap untuk menikahimu. Apalagi yang kurang dariku?

Maumu, semua permintaanmu harus kuturuti. Jika apa yang kamu minta aku tak sanggup, bagaimanakah itu, sayang

Aku tak pernah meminta banyak darimu. Aku hanya meminta agar kamu bisa paham dengan hidup yang kita jalani sekarang ini. Tidak seharusnya ‘kan, sayang. Kado ulang tahunmu kembang melati dan puisi. Sedangkan ulang tahunmu, sebelum-sebelumnya, tak pernah kamu meminta yang macam-macam. Lalu, ada apa dengan sekarang ini? Jika memang ada alasan lain untuk menunda pernikahan kita, terus terang saja, sayangku. Aku tak mau nanti akan menjadi sebuah persoalan dalam rumah tangga kita.

Sudah aku bilang, bahwa aku tak pandai menulis puisi, tapi karena aku mencintaimu aku akan meminta para penyair untuk membuatkan puisi. Yang nanti akan aku berikan untukmu. Dan kembangnya akan aku usahakan untuk mendapatkannya. Aku mengirim pesan singkat untukmu. Bisakah kembangnya diganti dengan kembang lain? Aku ada mawar putih di halaman depan rumahku. Maukah kamu dengan mawar putih? Tapi kamu tak pernah membalasnya. Tidak apa, akan aku usahakan mendapatkan melati putih untukmu.

Sehari sebelum hari ulang tahunmu, aku datang ke rumahmu dan membawakan semuanya sesuai permintaanmu. Kamu tersenyum manis. Dua pasang lesung pipimu terlihat jelas di sana. Gigi putihmu nampak indah dari balik bibirmu yang merah jambu. Kamu memang manis sayang di mataku, tapi kuharap kamu tak usah meminta yang macam-macam lagi. Aku tak suka itu. Sesuatu yang kita tak sanggup, tidak usahlah kita paksakan, sayang. Kuharap kamu bisa mengerti. Ini untuk pertama kali dan terakhir kalinya. “Sayang ! engkau memanggilku mesrah. “Ada apa?” “Kamu tahu, bukan?” “Tidak.” “Kenapa?” “Kembang melatimu ini bukan untukku, sayang.” “Tapi, kalau puisi untukku.” “Lalu, kembangnya untuk siapa?” “Ini ‘kan khusus buat kamu yang berulang tahun hari ini.” “Ayo, kita ke makamnya ibu !” Kamu mengajakku menuju makam ibumu yang tak jauh dari rumahmu. Kira-kira satu kilometer jauhnya. Kita tempuh dengan jalan kaki melewati rindang pohon-pohon taman.”

“Ibumu berulang tahun hari ini, ya?” Tanyaku penasara. “Tidak! Jawabmu singkat.” “Lalu, kenapa kita mesti ke makam ibumu dan membawakan kembang melati putih yang seharusnya untukmu?” “Apakah kita tidak jadi menikah? Kamu balik bertanya. “Jadi.” “Itulah tujuannya kita ke makam ibu. Agar nanti−acara pertungan kita dan acara nikah kita berlangsung lancar. Kita minta restu dari ibu, lanjutmu. Sekarang baru aku paham atas semuanya ini. Kembang melati yang seharusnya kubelikan untukmu, ternyata bukan, gumanku dalam hati.” “Kamu tidak keberatan ‘kan, sayang?” “Tentu, tidak.” “Bagaimana dengan puisi yang untukmu?” “Bagus?” “Aku belum membacanya, sayang.” “Kamu minta penyair mana yang menuliskan untukkmu?” “Oh, rahasia.” “Atau mungkin kamu mengambil sajak Chiril Anwar.” “Coba saja nanti kamu baca, sayang.” “Betul ‘kan?” “Lihat saja nanti, setelah kamu membacanya. Jika kamu mengenal penyairnya. Kamu beri tahu aku.”

***

Sekarang kita telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Sebenarnya aku tak pernah bermimpi untuk memilikimu. Aku dari keluarga tak berada, sedangkan kamu cantik dan dari keluarga berada. Tapi cinta yang tulus itu memang tak pernah melihat berapa tinggi timbunan harta yang ada di sana. Cinta yang tulus itu adalah saling menerimah satu sama lainnya. Kau menerimahku dan aku juga menerimahmu. Novi, aku masih ingat kata-katamu, sayang “Harta, kecantikan dan ketampanan itu bukanlah milik kita, maka tak pantaslah kita menyombongkanya. Tapi akan menjadi pantas bila kita mensyukurinya.” Aku tetap ingat sayang akan kata-katamu ini.

Tanah Kusir, Juli 2011

Pocong Ketakutan

"Kenapa bu...? Kok ibu tega..." melas seorang anak berkata pada ibunya. "Hush...sana main keluar berisik.." usir ibunya mengindahkan rengek anaknya.

*** Aku bernama Pocong. Entah kenapa kedua orang tua saya tega memberi nama begini. Jawaban mereka singkat , gampang saja : "Kenapa tidak!"

Lho!

*** Saya hidup tidak dengan baik. Karena sepanjang waktu tahun ganti tahun tidak ada sekali pun mempunyai teman akrab untuk diajak bermain. Saya takut kepada diriku sendiri. Banyak orang ketika mengetahui namaku Pocong langsung kabur. Walau kusapa dengan lembut.Walau kupanggil dengan perlahan. Tetap saja tidak ada satu manusia pun mau berteman denganku. Kecuali ibu. Ibuku yang sembarangan memberiku nama. Kalau pun aku paksa untuk memberi alasan yang masuk akal. Mentoknya ia hanya menjawab itu pemberian dari bapakmu ketika kau lahir.

Gila juga nasib namaku! Aku sendiri hanya menamai diriku Ocong.

Tapi ibuku selalu dengan lantang--bahkan berteriak--teriak panggil aku POCOOoooNG! "

***

Pada mulanya nama ini tidak mengganggu. Lama kelamaan semakin jelas dan mengerikan bebarengan aku beranjak besar.

"Apa maksud orangtuaku 'menyiksa'ku dengan memberi nama sembarangan? Aku takut...dan semua anak-anak juga takut...bagaimana ini " tanyaku kepada seorang 'teman' yang sebenarnya juga teman terpaksa.

"Makanya ganti nama? Gampang kan..." "Iya enggak boleh toh...kata ibuku bisa kualat.." kataku. "Yang payah siapa, kamu atau ibumu? Kok tega anak sendiri dikasi nama Pocong! Enggak ada nama lain apa?" "Kata ibuku spontan dan aku harus menghormatinya." "Hormat apa! Orangtua melahirkan anak kok untuk ditertawakan orang! Bagaimanaaaa sih sial kamu.. payah kamu Cong!" ejek 'temanku'

*** Usiaku sekarang15 tahun. Saya butuh kawan. Saya rindu perhatian. Bapak sudah pergi entah ke mana sejak saya berumur 3 tahun. Dan ibu setengah mati membesarkan saya. Kerja semaunya, sedapatnya.

Setiap hari marah-marah saja. Ibuku perempuan yang menderita. Tidak pernah ada senyum di bibirnya. Hampir setiap hari menangis. Saya pun sebagai anak satu-satunya hanya bisa diam dan merasa sangat iba.

Kenapa juga udah tahu mereka miskin nekat ingin punya anak? Sekarang gue jadi korban kemelaratan mereka. Sepertinya ibuku tidak suka denganku. Tiap kali kami berpapasan selalu hardik dan omelan sapaannya. Juga ayahku.. Pergi mati begitu saja tidak bertanggung jawab meninggalkan segala kesulitan bagi anak dan istrinya. Sungguh manusia tak bertanggung jawab! Dan yang paling fatal AKU BERNAMA POCONG!

***

"Bu... Ibu sayang tidak dengan saya...?" "Kenapa ada pertanyaan begitu? Apa saya pernah pukul kamu? Kamu saya biarkan lapar? Kamu sudah saya lahirkan! Mustinya bersyukur udah lahir! Bisa lihat dunia! Kamu bisa bermain sepanjang hari. Kok protes..?

Yang musti marah adalah aku, istri yang ditinggal suami meninggal! Mana janjinya, mana tanggung jawabnya malah menelantarkan kita berdua!" "Kan saya enggak menuntut dilahirkan! Saya tidak mau dilahirkan dan diberi nama POCONG!" "Ya sudah telanjur, kamu sudah ada! Kebetulan saja namamu itu. Terus kamu mau balik lari kemana!" ibu mulai jengkel. "Bu.. Kenapa kita miskin.?" "Karena ayahmu pergi! Karena orang-orang tidak mau terima...ibu orang jelek, tua, enggak pintar...Jadi hanya bisa bekerja seadanya..." "Bu...saya takut..." "Kenapa?" "Bu...saya sangat takut dengan nama saya.. " "Ngomong apa kamu Poconggg ..ngawur... Sana tidur.. Besok pagi kamu bantu ibu besihkan rumah pak lurah..lumayan kita bisa dapat uang..." "Bu...kok ibu begitu..." "Begitu apa? Udah tidur!" "Bu. .. ibu saya takut..dia selalu lihatin saya..." "Siapa ?" "Ah..e..e.. Takut bu!"

*** Berminggu lalu bahkan berbulan waktu lewat. Pocong tumbuh menjadi anak yang semakin diam. Nyaris tidak pernah bicara. Dia sudah tidak sekolah Hampir tiga tahun Pocong bengong luntang lantung di jalanan, di mana saja. Sempat sekolah-sekolahan. Itu juga ngasal. Ikut beberapa kawan sekitar daerah tempat anak-anak suka nongkrong. Anak-anak miskin. Sekedar mendapat pelajaran baca tulis dan sedikit ilmu pengetahuan, sedikit praktik dasar. Semua itu sumbangan suka rela ada beberapa mahasiswa sekitar . Tidak ada kelanjutan tahap lanjutan. Itu saja.

Lama kelamaan banyak anak-anak menjadi bosan. Karena tahu persis masa depan sudah pasti tidak akan ada. Untuk apa buang waktu belajar. Siapa yang mau terima orang miskin. Siapa yang mau mempekerjakan orang ceking dan bodoh.

Akhirnya Pocong lebih banyak menung-menung di pinggir jalan atau main di pasar. Karena tenaganya lebih berguna di sana. Menjadi kuli kasar, menjadi ojek payung. Hanya itu saja yang mampu dilakukan Pocong

***

Kembali waktu berlalu. Ibu Pocong meninggal dunia. Entah momen ini perlu dirayakan dengan suka cita atau duka cita. Karena Pocong sudah tidak perduli lagi. Dia pun enggak paham hidupnya harus bagaimana dan ke mana.

Pocong tinggal sendirian. Kehidupannya yang tidak menarik semakin tak menarik. Hidupnya selalu penuh ketakutan. Menjelang malam selalu badan Pocong gemetar. Kadang dia bisa mengeluarkan airmata begitu saja. Bukan airmata menangis tapi air mata marah besar, air menetes tanda benci pada dunia!

Dia hanya punya tempat untuk tidur di balik dinding sebuah warung yang kebetulan beratap. Berteduh dari kepedihan dan kegalauan.

Hanya untuk yang namanya malam!

Tetapi kalau hujan iya basah kuyup. Dan malam iya kena angin!

***

Pocong hanya hidup dari belas kasihan siapa saja yang kebetulan merasa iba melihatnya. Tetapi jumlah orang-orang yang peduli kepadanya bisa dihitung dengan jari. Yang pasti Pocong hidup sengsara. Kring krontaNG!

Secara fisik dia juga kelihatan tak sehat. Makin hari makin kurus. Kedua bola matanya nyaris keluar.

"Apakah ada Tuhan di dekatku?" tangis Pocong.

***

(Bagian dari buku terbaru: "FOR THE FIRST TIME IN MY LIFE" PERTAMA KALI DEH…! Pour la premiere fois! POCONG KETAKUTAN! by rayni n.massardi)

Gadis Kayu Manis

Baru masuk siang ketika aku terdampar di Terminal Soasio. Menunggu oto yang membawaku ke Desa Bunga butuh kesabaran ekstra. Ini kota kecil di pulau terpencil. Kegiatan sungguh tak banyak. Sopir oto tak mau rugi dengan mengangkut satu dua penumpang ke tempat tujuan.

"Kalo dorang tara sabar, dorang sewa ojek saja. Tapi kalo dorang mo ikut beta punya oto, dorang musti tunggu mamak-mamak pulang dari pasar," begitu selalu jawab sopir itu jika kutanya bila akan berangkat.

Ah.. sewa ojek. Ongkosnya sepuluh kali lebih mahal ketimbang naik oto, sementara aku tak butuh bergegas dan sanguku pun tak banyak.

Untuk melempar-lempar waktu, kududuk di kedai es kacang di sudut terminal. Kupesan segelas es kepada mamak tua pemiliknya. Tak berapa lama mamak pun mengangsur segelas besar es pasrah yang ditaburi sirop merah diatasnya dicampur segenggam kacang goreng di dasarnya. Kuaduk-aduk gelas, berharap es segera berwarna merah. Namun kacang goreng itu tetap di alas, nyaris tak bergerak.

Kacang goreng. Di kampungku kerap dianggap hanya kudapan ringan. Paling banter sebagai bahan sambal dan kuah kacang. Di tempat ini justru kacang goreng jadi menu istimewa. Makan pisang goreng berasa tak lengkap dengan dabo-dabo dan kacang goreng. Minum es pun mesti bercampur kacang goreng. Jangan-jangan orang di sini belum pernah mengunyah sambal kacang.

Kulihat sekeliling. Terminal ini lumayan besar. Lebih besar ketimbang terminal di kota tempatku menuntut ilmu. Namun hanya segelintir kendaraan di sini. Ada dua oto di sudut sana, tiga oto berjajar di depan warung-warung yang nampak sepi, tiga lagi di sudut yang lain. Umumnya oto-oto itu kosong tanpa penumpang. Sopirnya pun pergi entah kemana. Oto mirip angkot di tempatku, hanya yang ini lebih kumuh dan kusam catnya.

Di ujung lain terminal, ada pelataran mirip ruang tunggu. Namun bangku-bangku kayu di sana dipenuhi dengan mamak-mamak penjual buah pinang, kenari, dan aneka rempah yang kutak tahu namanya. Di belakang ruang tunggu itulah pasar, berupa dua los panjang memutar. Kalau kau mau menemukan gula merah yang masih dibungkus daun ara, di sanalah tempatnya. Aku sempat berkeliling tadi, sejenak, demi melampiaskan rasa ingin tahu.

Kembali aku mengaduk es kacang, berharap pecahan kacang goring segera memenuhi penjuru lapisan pasraan es. Kurasa ada sepasang mata yang mengamati tingkahku diam-diam. Mata sepasang gadis tak jauh dariku. Beberapa depa di hadapanku. Begitu kuangkat wajahku, segera dia membuang muka. Tangannya pura-pura sibuk mengatur bongkahan kayu manis yang dijualnya di atas meja. Kini ganti aku yang tersenyum. Tiba-tiba mata kami bertemu. Dia tak dapat menahan tawanya. Pamerkan deretan putih giginya yang kecil rapi.

"Ada yang lucu?" tanyaku sopan. "Kakak ini aneh, seolah enggan kunyah es kacang. Bukan orang sinikah?" Aku mengangguk. Kukatakan aku dari jauh, sengaja datang mau temui kawan lama yang konon tinggal di Kampung Bunga. "Jadi, baru pertama di mari?" Dia mengangguk-anggukkan kepala, mimiknya ganti serius. "Beginilah hidup di pulau kecil, Kak. Mesti sabar tunggu oto penuh bila hendak pigi-pigi. Tak banyak penumpang dekat sini." Kini ganti aku yang mengangguk-angguk. Kupandang bongkahan kayumanis di depannya. Ada beberapa ikat di atas meja. Sejak tadi tak kulihat pembeli mendekati gadis itu.

Seolah dapat membaca kepalaku, gadis itupun berseru. "Di pulau ini tak ada yang baru atau menarik. Setiap hari mirip serupa. Saya pun jemu tunggu pembeli kayu manis. Tapi apa boleh buat."

Iseng kutanya dari mana kayu manis yang dijualnya itu berasal.

"Kebun sendiri, Kak." Ah, ya. Kebun sendiri. Sungguh pertanyaan tolol. Ini bukan kota besar di Jawa. Ini pulau kecil jauh di timur nusantara. Tak mungkin ada seorang gadis rela duduk berjam-jam sedari pasar buka hingga tutup hanya untuk menjual kayu manis. Siapa pula yang beli.

Kuamati kayu manis yang dijualnya. Begitu besar dan panjang bentuknya. Mungkin sekitar 70-80 senti. Dua kali lebih besar dan panjang ketimbang yang biasa dibeli ibuku di pasar tuk memasak kue. Warnanya coklat kemerahan. "Kebunmu tentu luas, dan pohon kayu manismu pasti besar-besar," kataku akhirnya.

Gadis itu mengangguk. "Di sini tara orang tak punya kebun. Kalau mau, torang bisa merambah bukit, menanami dan memanennya, lalu bilang ini kebun kami, Kak." Lagi-lagi gadis itu tertawa. Menertawakanku, mungkin. Namun aku tak keberatan. Giginya yang putih rata, dan satu lesung pipit di pipi kirinya membuat tawanya semakin manis, tak kalah dengan barang dagangannya.

Memandang onggokan kayumanisnya membuatku teringat kebun paman di pedalaman Borneo. Sekali pernah kuikut paman memanen pohon kulitmanis. Setelah menebang pohonnya, kami lalu membawanya pulang, dan mengulitinya sambil duduk di lantai, di beranda rumahnya.

Bibiku piawai melepaskan kulitmanis dari kayunya. Gesit tangannya menggerakkan pisau, memotong setiap bagian dengan cermat. Sedikit salah gores, katanya, bakal mempengaruhi kualitas kayu manis dan harga jualnya pun murah. Aku suka melihatnya mengerik kayu manis atau membaui berandanya yang khas itu. Dan memandang hamparan kulitmanis yang dijemur di atas atap rumahnya setiap pagi, serasa berada di kaki Gunung Dawung yang kuat aromanya. Mirip kembangkering dan padang ilalang surgawi. Kulit kayumanis yang mengering akan tergulung sempurna dan halus. Makin sempurna gulungannya, makin bagus kualitasnya, dan makin mahal harganya.

Sayangnya, tumbuhan yang kerap disebut cinnamon sp itu butuh waktu lama tuk dipanen. Setidaknya sebatang kayumanis butuh sekitar sepuluh tahun sebelum siap dikuliti. Dalam sepokok, biasanya dihasilkan duapuluh kilogram kayumanis kering yang laku dijual hanya Rp 5000 perkilonya, kadang malah kurang. Makanya penduduk di kampung bibi enggan sengaja memenuhi kebunnya dengan kayumanis. Tak banyak untungnya. Paling banter Rp 100.000 per pohon. Sedang kayu yang terpotong lebih banyak diguna sebagai kayubakar atau pagar rumah. Pohon kayumanis di kampung biasanya tumbuh terbiar, antara kebun dan hutan, tanpa perawatan khusus.

Kulihat gadis itu. Kini tangannya menjulur melepas ikatan bonggolan kayumanis. Diambilnya sebatang kayumanis kering, dibauinya. "Meski hasilnya tak seberapa, aku suka dengan bau kayumanis," katanya.

"Ibu kami dulu suka menabur bubuk kayumanis ketika membuat kopi, kue, atau coklat panas," kataku. Ingatan tentang ibuku menerbitkan rindu di ulu hatiku. Ibuku memang pencinta kayumanis. Hampir tak ada masakannya yang tak beraroma kayumanis. Kopi, kue-kue, kolak, hingga sayuran. Katanya, rempah satu ini banyak manfaatnya buat tubuh. Menyehatkan, melancarkan peredaran darah sekaligus menghangatkan badan, Aku jadi tertawa mengenang polah ibu kami.

Yang paling kusuka saat ibu kami menyangrai biji kopi dengan kayumanis. Tumbukan kopi buatan ibu sungguh khas aromanya, walau kopi di kebun kami bukan kualitas nomer satu. Ketika kuceritakan hal ini kepada gadis di seberangku, dia ikut tertawa. "Kakak tinggal di desa juga? punya kebun kopi?"

Kuanggukkan kepala mengiyakan. Namun tak kukisahkan betapa sepetak kebun harus berpindah tangan demi melunasi uang kuliahku. Ada nyeri yang menghujam hatiku tiba-tiba.

Sekilas kulihat sopir oto mengangkat tangan kanan, melambai ke arahku. Nampaknya oto siap berangkat. Bergegas kubayar es kacang dan kuangguk sopan kepalaku ke arah si gadis. Dia tertawa lebar sambil menjulurkan sebatang kayumanis ke arahku. "Mampirlah lagi kalau kau balik ya, Kak. Cerita-cerita lagi tentang kayumanis."

Aku mengangguk pasti sambil menggenggam kayu manis pemberiannya. Sampai jumpa gadis kayumanis, janjiku dalam hati.

*Terminal Soasio terdapat di Pulau Tidore, Maluku Utara.

K l i n i k

Klinik itu tersuruk di antara dua bangunan yang begitu megah menghimpitnya, seperti plastik bekas yang dijejalkan diantara rongga kosong barang elektronik yang baru saja kita beli. Jika engkau memasukinya, akan kau temui ruangan berukuran 4x4 meter.

Di ujung ruangan itu, terdapat partisi yang dibikin keliling, mirip kubikal, dengan meja lajur yang berguna sebagai meja pendaftaran. Di meja itu, berjejalan karton-karton coklat lusuh yang hanya ditahan oleh pembatas seng baja. Karton-karton itu adalah kartu kontrol yang berguna untuk mencatat kunjungan pasien. Karton-karton itu begitu lusuh, mungkin karena sering diambil, lalu terkena keringat petugas yang kerap keluar di ruangan tanpa AC ini—yang bahkan kipas angin pun tidak ada.

Pemilik kartu-kartu itu, pikir saya, pasti orang yang kerap berobat di sini atau orang yang sudah lampau terdaftar di klinik ini. Betapa hebatnya ia sakit selama itu tapi tak kunjung menemui ajal.

Di sebelah kanan ruang tunggu itu, terdapat dua ruangan seperti kamar. Yang pertama bertuliskan “Administrasi”. Di situ terdapat dua petugas perempuan paruh baya yang terlihat sama kusamnya dengan cat warna gading lapuk dinding ruangan itu. Ataukah jangan-jangan, mereka bertugas di sini semenjak klinik ini berdiri? Kamar berikutnya bertuliskan “Ruang Pemeriksaan”.

Ruangan ini pasti tempat petugas kesehatan yang akan memeriksa saya. Entah itu dokter, atau seorang mantri. Saya harap adalah seorang dokter. Mantri hanyalah perawat. Meski ia telah beberapa kali mengikuti pelatihan kesehatan, menurut hemat saya bukanlah orang yang tepat untuk mendiagnosis suatu penyakit. Barangkali itu hanya pendapat saya saja, masalah cocok-cocokkan diperiksa, tiap orang pasti berbeda-beda.

Saya masih menunggu di kursi lajur yang menempel ke tembok. Di ruang pemeriksaan masih ada pasien, seorang anak balita dengan ibunya, saya lihat tadi sewaktu mendaftar. Dari dalam ruangan, sayup-sayup terdengar percakapan mereka.

“Anak saya diare..” lalu kalimat berikutnya menghilang.. “….jangan diberi minum susu.” Sepenggal kalimat, yang saya kira adalah dokter itu, terdengar. “Saya beri dia tajin..” “Ibu.. Mules..” suara anak kecil menyeletuk. “…daun jambu biji sama garam.” “Pokoknya jangan! Itu bikin… keluar cacing.”

Dari situ saya simpulkan anak tadi sedang menderita diare, penyakit yang disebabkan oleh bakteri di makanan yang tidak higienis. Penyakit yang.. yah sudah lumrah di daerah seberang. Daerah tempat pemulung tinggal dengan rumah-rumah kardus dan sampah-sampah yang berserakan itu. Ironisnya, tempat itu hanya beberapa meter dari perumahan.

Pintu pun dibuka, seorang ibu yang memakai baju daster berwarna putih kopi (warna putih yang sudah kandas oleh noda) menggandeng seorang balita perempuan berwajah kuyu. Sisa-sisa ingus terlihat di pinggir-pinggir hidungnya, mungkin itu sebab anak-anak kecil di negeri ini disebut dengan anak ingusan. Ingus itu tentu karena virus influenza. Namun entah, anak yang ingusan sepertinya menjadi hal yang lumrah.

Ingus adalah cairan bening yang keluar dari hidung anak kecil, dan itu tidak membahayakan, mungkin begitu mereka pikir. Berbeda dengan saya yang justru karena ingus itulah saya datang ke klinik ini.

Ibu beranak tadi menuju ke loket Administrasi. Dari dompet kain yang lusuh, ibu itu mengeluaran tiga lembar uang sepuluh ribuan yang lusuh pula. Lalu petugas yang lagi-lagi berwajah lusuh, menyerahkan seplastik obat berjenis empat. Masing-masing jenis obat dikemas dalam plastik kecil dengan kertas bertuliskan: 3 X SEHARI, DIMINUM SETELAH MAKAN. ***

Salah satu petugas di ruang administrasi membukakan pintu untuk saya. Rupanya, antara dua ruangan itu terdapat pintu tembus. Saya masuk. Lalu dipersilahkan duduk oleh seorang—anggaplah dokter. Dokter perempuan di hadapan saya berkacamata, dengan alis yang begitu jelas terlihat bikinan pensil alis. Rambutnya sebahu, beberapa kerutan sudah terlihat di dahinya. Namun gerak-geriknya masih sigap, terlihat dari suaranya yang cekatan menanyai saya. “Ada keluhan apa, Pak Nur?” Ia menanyai saya sambil melihat data saya di karton coklat lusuh itu. “Saya batuk dan pilek, sudah satu minggu, padahal seringnya cuma tiga atau empat hari.” “Ada keluhan lain?” “Tiga hari ini buang air besar saya mencret. Saya sudah minum obat. Aktiflu dan Stopcret.” “Baik. Mencret itu sering atau sesekali?” “Maksudnya, Bu?” “Mencret bapak itu, terjadi terus-menerus, atau cuma beberapa kali dengan jeda waktu?” “Oh, beberapa kali saja.” “Bapak punya alergi obat?” “Tidak, Bu” “Bapak sudah menikah?” Oh, pertanyaan apa yang dia tanyakan? Sungguh menyebalkan. “Belum.”

Dokter itu tersenyum. Genit. Saya hanya nyengir kuda membalasnya. Dokter itu mencatat diagnosa pada kartu kontrol saya. “Bapak ini jangan minum susu, makanan pedas, buah-buahan, roti, makanan bersantan. Istirahat yang cukup, Bapak. Jangan terlalu banyak beraktivitas. Nah sekarang tolong buka jaket bapak.”

Saya membuka jaket kerja de Pucci saya, dokter tadi dengan stetoskopnya mulai mendengarkan detak jantung saya. Sedang saya mendengar detik jarum jam di dinding. “Baik, saya buatkan resep obat, nanti tolong diminum setelah makan. Semoga lekas sembuh, ya, Pak..” “Terima kasih, bu..”

Saya keluar dari ruang pemeriksaan. Oh, betapa mudahnya kerja dokter itu. Mendengar keluhan, mendengar degup jantung, menulis resep dan menyerahkannya ke petugas obat—dan sesekali tersenyum genit.

Tidak lama kemudian, saya dipanggil oleh petugas loket administrasi. Sama seperti anak kecil tadi, saya diberi empat jenis obat, lengkap dengan kertas kecil bertuliskan: 3XSEHARI, DIMINUM SETELAH MAKAN. “Silahkan obatnya, Pak. Biayanya enam puluh lima ribu.” “Oh, iya.”

Saya mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu, menyerahkannya dengan sedikit tanda tanya. Bukankah ibu beranak tadi hanya membayar tiga puluh ribu? Mengapa saya enam puluh lima ribu? Apakah karena pakaian saya lebih bagus dan bersepatu kulit? Ah, toh saya akan tetap membayarnya. Barangkali memang iya bila ibu yang terlihat lusuh tadi mendapatkan keringanan.

Kesehatan memanglah hal yang mahal di negeri ini—selain pendidikan. Dokter-dokter di rumah sakit dibayar dengan biaya yang tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kartu Jaminan Kesehatan Miskin hanyalah pepesan kosong belaka. Mereka yang dirawat di Rumah Sakit dan menggunakan kartu tersebut, seringnya mendapat perawatan dengan kelas yang bawah. Di satu ruangan yang berisi banyak orang dan perawat serta dokter yang baru saja magang.

Nabila, putri Pak Kardi, satpam kantorku misalnya, harus kehilangan penglihatan mata sebelah kirinya akibat penanganan yang tidak benar dari suatu rumah sakit. Kendati demikian, ia tetap dikenakan biaya pengobatan. Masalah mata Nabila yang rabun? Tidak ada yang mau bertanggung jawab.

Maka, klinik-klinik umum seperti ini adalah harapan bagi rakyat yang kurang mampu. Menjadi tumpuan—paling tidak sugesti—supaya mereka kembali sehat dengan meminum obat ber-resep. *** Setelah menerima kembalian, Saya mengucapkan terima kasih kepada petugas Administrasi. Saya lantas keluar, meninggalkan ruangan yang penuh dengan kemuraman itu. Di luar, di bawah atap klinik yang terlihat rapuh, terpampang papan bertuliskan “Klinik Harapan, Balai Pengobatan Khusus Orang Miskin”. Dan papan itu telah berdiri sejak—entah. Pengadegan, 14 Juli 2011 _____________ M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. No HP: 085880944812.

Bermimpi Merdeka dari Balik Jeruji

Bendera merah putih terbuat dari plastik, ukuran kecil, telah terangkai dan sudah terpasang di pian, mengelilingi seluruh sel-sel berbentuk letter U. Di depan, gedung aula juga sudah berpacak, penuh aroma merah-putih. Bangunan di depannya lagi, ah, tak bisa dilihat. Itu gedung utama para sipir dan kepala. Tak mungkin bisa terlihat. Tapi yakin, pasti lebih meriah lagi, sebab akan terlihat dari para pengendara yang melintasinya. Jalan propinsi.

Ya, Hari Kemerdekaan telah tiba. Besok pasti ada upacara. Ada pengumuman nama-nama yang mendapatkan remisi. Ah, betapa bisa dirasa kawan-kawan yang melonjak gembira, masa hukuman dapat berkurang.

Tapi... Pada malam yang telah sepi. Sinar rembulan tersamar jatuh di tanah lapang. Dari kejauhan, terlihat sipir tengah asyik menonton televisi. Ya, seorang anak lelaki di balik jeruji, tangannya menggenggam dua besi yang menggigil kedinginan. Delapan temannya, sudah terbuai oleh mimpi. Beralas seadanya. Saling menindih kaki mengundang kehangatan.

Ia memandang ke depan. Memandang langit yang kelam. Memandang jeruji dari tiap sel yang bisa dilihatnya dari tempat ia berdiri. Tentu semuanya telah tertidur, atau berpura-pura tidur. Berdiri di balik jeruji memandang keluar, pastilah bukan kegiatan yang menyenangkan lagi. Biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang baru menjadi penghuni. Ketika mencoba beradaptasi pada ruang kecil, dan bermimpi dapat melihat dunia luas kembali.

Ia telah bertahun. Setidaknya, berdasarkan ingatan, telah tiga tahun mendekam di sini. Sejak usia 12 tahun. Jadi sekarang usianya 15 tahun. Berarti tiga tahun lagi, ia baru bisa keluar dari sini.

Pikirannya melayang-layang. Mencoba berpijak pada peristiwa yang menghantarkannya ke sini. Ia ingat Lik Bono bersama tiga orang kawannya, mengajak ke suatu tempat. Sebuah rumah. Ia diminta menunggu di luar, mengawasi sekiranya ada orang lewat. Tugasnyalah untuk memberi kode. Tapi dasar, di pinggiran parit, ia merebah. Malah tertidur.

“Rampok! Rampok! Rampok!” disertai suara kentongan telah membuatnya tergeragap. Ketika bangkit, sebuah tinju telah melayang ke pipinya yang membuat ia terjerambab.

“Jangan, jangan, kasihan anak kecil. Cari pelakunya yang lain,” suara seseorang yang tampak berwibawa lantaran didengar. Seseorang menarik tangannya, mencengkram bahunya, dan memapah, serta melindungi dari amarah orang-orang yang entah sudah banyak sekali dan berusaha melontarkan pukulan ataupun tendangan ke tubuhnya.

”Kecil-kecil sudah ngerampok! Kalau gede jadi penjahat besar kali,”

”Dasar bajingan kecil!”

Berbagai umpatan berlompatan. Diamankan di sebuah rumah sampai sebuah mobil patroli tiba dan membawanya pergi. Sebuah tendangan mendarat di ulu hatinya membuatnya terjatuh. Ia diam saja. Menahan rasa sakit.

”Saya cuma tahunya Lik Bono. Itupun saya kenalnya di perempatan jalan Pak. Dia biasa datang, minta uang kepada anak-anak. Tiga lainnya, tidak saya kenal, Pak,” katanya ketika ditanya oleh polisi yang memeriksanya.

”Saya tidak punya rumah, Pak. Orangtua juga tidak tahu. Sungguh, Pak!” katanya terbata.

Tapi ia merasa saja, jawaban-jawabannya tidak pernah dianggap benar. Bentakan-bentakan yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Pukulan-pukulan yang sesekali mendarat di sekujur tubuhnya. Belum lagi orang-orang yang lewat, entah polisi atau bukan, berjaket hitam, tanpa bertanya sudah melayangkan bogem mentah ataupun tendangan ke tubuhnya, lalu berlalu.

Ia dimasukkan ke sebuah sel. Sudah ada beberapa orang di sana. Mata mereka memandang seperti pedang, menusuk. Ketika petugas menghilang dari pandang. Ia tetap di depan jeruji besi. Memandang tembok di hadapannya, dengan pikiran melayang. Melayang-layang, ketika tubuhnya terjamah, dan untuk kesekian kali dialami, duburnya yang panas! Ia tidak bisa berteriak mengingat sebuah tangan kokoh menutup mulutnya. Tapi ia ingat, masih bisa menangis.

Ah, menangis. Mengeluarkan air mata. Sudah berapa lamakah tak mampu tertumpah lagi? Ya, air mata, tak berguna. Tidak bisa menyelesaikan masalah. Tetap saja ia harus melalui jalan yang sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya. Tapi setidaknya, ia tahu. Tiga tahun lagi ia masih akan berada di sini. Kepastian yang tidak ia miliki ketika berada di luar.

Ia tak tahu, siapa orangtuanya. Sungguh. Ia tidak tahu. Tapi ia tahu, pasti ada ibu yang melahirkannya. Tak mungkin hadir tiba-tiba di muka bumi ini, bukan? Masa kecilnya banyak tak diingat. Kecuali sebuah panti asuhan, ia jalani kehidupan hingga umur sebelas tahun. Sempat bersekolah sampai kelas lima. Tapi, peristiwa yang tidak mungkin dilupakan olehnya, yang membawa dendam pada hidupnya, ketika seorang dewasa, menyodominya di suatu malam. Kesakitan tiada tara. Panas. Berdarah. Hingga berjalan-pun susah.

Ia tidak berani bercerita pada siapapun. Ancaman telah dijatuhkan. Ia hanya menahan sakit. Berusaha berjalan tegak bila pengurus Panti dilihatnya. Suatu malam. Dengan sebilah pisau, ia hujamkan berkali-kali ke tubuh orang yang telah menyodominya. Pintu-pintu yang telah ia siapkan terbuka, segera berlari. Entah apa yang terjadi dengan orang itu. Tapi ia merasakan kepuasan. Kepuasan bisa membalas.

Ia berlari, berlari sejauh mungkin. Di sebuah lampu merah, ia naik kendaraan terbuka. Berganti lagi, terus berganti. Hingga tiba di kota lain. Malam pertama di kota ini, ia lalui di sebuah taman kota. Pengulangan kembali terjadi, ketika sekelompok orang, datang menyergap. Menyodominya pula. Sakit. Sakit. Sakit.

Tapi ia tidak mendendam. Dalam kesakitan, sosok-sosok itu menawarkan minuman dan makanan. Terasa lapar dan dahaga teramat sangat. Tanpa peduli, segera ia habiskan. Beberapa orang tertawa melihat kelakuannya.

”Orang baru ya? Darimana? Mau kemana?”

”Kita sekarang sudah berkawan. Besok bisa cari makan di perempatan. Jangan takut, tidak akan ada yang mengganggu. Tapi kalau ada orang bernama Lik Bono, jangan macam-macam. Ia minta uang, kasih saja tanpa alasan.” seseorang mengatakan.

Begitulah, ia kini tinggal di taman, di balik rimbun pepohonan. Mencari uang dengan bertepuk-tepuk tangan sambil menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah selesai di perempatan. Dari situ ia bisa akan. Dari situ ia memiliki teman.

Seperti dibilang, Lik Bono memang sering ke perempatan. Mendatangi anak-anak, seringkali posisinya sudah sempoyongan. Ia hanya tersenyum, “Hai, adik-adik... Mana nih jatah Lik Bono,” tanpa menunggu dua kali, anak-anak berebutan untuk menyerahkan uang kepadanya.

Seringkali terpikir di kepalanya. Mengapa orang-orang takut dengan Lik Bono? Wajahnya tidak menyeramkan. Masih muda, ganteng lagi. Tapi, ah, entahlah.

Hingga suatu hari, Lik Bono memanggilnya. Mengajaknya. “Nanti kamu bisa kaya. Bisa dapat uang banyak. Nanti malam kamu di jemput di sini, ya. Jangan kemana-mana,”

Ia hanya mengangguk.

Sebulan kira-kira, ia berada di kantor polisi. Selanjutnya ia pindah ke rumah tahanan. Selanjutnya, ia harus mengikuti persidangan-persidangan.

”Memutuskan sebagai anak negara,” tok..tok..tok. suara palu diketuk. Beberapa hari kemudian ia dipindah ke sebuah bangunan di kota lain. Walaupun bangunan belanda yang sudah kuno, tapi ia merasa lebih tidak menyeramkan dibandingkan sebelumnya. Ia menjumpai, rata-rata anak sebayanya yang berada di sana.

Sebuah bintang jatuh dari langit. Dari balik jeruji ia mencoba untuk tersenyum. Kata teman-teman, kalau melihat bintang jatuh, ucapkanlah permintaan. Konon bisa dikabulkan. Tapi ia tidak meminta apa-apa. Sebab di hatinya berharap ia bisa merdeka. Keluar dari jeruji ini. Keluar dari bangunan ini. Bukankah tidak mungkin minta merdeka, sebab ia tahu itu akan terjadi tiga tahun lagi. Saat berumur 18 tahun.

Langit makin menggelap. Sebuah pukulan di jeruji besi mengagetkannya.

”Hayo, sudah tengah malam, tidur,”

Yogyakarta, 18 Agustus 2011

Tajil

Serambi masjid sore itu ramai oleh para jamaah yang mengikuti pengajian. Mereka duduk membentuk lingkaran dari satu titik hingga titik berikutnya. Mereka antusias mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh ustadz babakan masalah agama khususnya tentang puasa Ramadhan. Kebetulan saat itu sudah memasuki hari kelima belas puasa bulan Ramadhan.

Seperti biasanya usai melaksanakan shalat ashar para jamaah yang ingin memperbanyak amal ibadah dan mencari keridhaan Allah selalu datang dalam pengajian itu. Tak terkecuali Mbah Sumo yang setiap hari rutin duduk di sebelah kiri serambi masjid. Ia khusuk mendengarkan ceramah yang disampaikan ustadz.

“Ibadah puasa tidak hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan amarah dan hawa nafsu. Barang siapa yang mampu melekasanakn ibadah puasa dengan sempurna maka Allah akan memberi pahala kepada kita dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits dijelaskan pula, barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka segala dosa yang telah dilakukan diampuni oleh Allah,” kata ustadz dalam pengajian sore itu.

Mbah Sumo memanggut-manggutkan kepalanya mendengar uraian ustadz. Ia merasa bahwa puasanya hingga hari kelima belas merasa belum sempurna. Dalam hatinya berkecamuk karena merasa puasanya selama ini dianggap sia-sia karena sering marah-marah dan menuruti hawa nafsu. Ia juga merasa iri jika ia melihat ada orang lain yang mendapatkan rizqi.

Mbah Sumo mendesah sambil menyandarkan kepala ke dinding serambi masjid. Ia menyesal karena sewaktu berpuasa ia tidak mampu menghindari hal-hal tercela seperti itu. “Mbah, kenapa?” tanya salah satu jamaah di samping kanannya. “Eh, tidak apa-apa,” jawabnya terkejut.

Suasana pun kembali mencair. Mbah Sumo memperhatikan lagi isi ceramah yang disampaikan ustadz. Kali ini dia tidak bisa mengarahkan konsentrasinya kepada materi yang disampaikan ustadz dalam pengajian. Pikiran Mbah Sumo mulai terbagi pada makanan ta’jil yang dibawa oleh para warga ke masjid. Setiap ada orang yang datang dengan membawa bingkisan, Pikiran Mbah Sumo selalu sibuk menebak isi bungkusan itu.

“Wah, paling-paling gedhang!” kata Mbah Sumo dalam hati. Saat panitia membuka isi bungkusan, mata Mbah Sumo menatap tajam ke tempat dikumpulkannya makanan ta’jil. “Lha, bener tho? Pisang!!” “Hussss…!” tegur tetangga duduknya.

Bungkusan berikutnya dibuka oleh panitia. Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki yang dengan sukarela membantu membagikan makanan ta’jil kepada para jamaah. “Lha, bothe!” ucap Mbah Sumo yang kali ini terdengar di separo serambi masjid. Ucapan Mbah Sumo sontak membuat para jamaah tertawa terpingkal-pingkal. Mereka geli melihat tingkah Mbah Sumo. “Ono opo tho?” tanya Mbah Sumo sambil memandang orang-orang di sekelilingnya yang memandang ke arahnya. “Sampeyan itu bagaimana tho? Mereka itu melihatmu yang berulah seperti anak kecil,” terang jamaah lain.

Mendengar jawaban itu Mbah Sumo tetap bergeming. Ia tak merasa terusik oleh perhatian para jamaah yang mengikuti pengajian. Tatapan penasaran Mbah Sumo pada jajan yang akan dibagikan kepada jamaah sebagai menu berbuka puasa tak surut. Ia tak ingin melepaskan begitu saja isi bungkusan tas kresek yang dibuka oleh para relawan ta’jil.

Gema suara ustadz yang sedang membalah kitab Sullamuttaufiq merembet di setiap pilar penyangga masjid yang megah. Satu persatu fasal dia utarakan kepada para jamaah yang sebagian besar adalah para manula dan anak-anak. Sedangkan para remaja yang semestinya menjadi penggerak kegiatan di masjid tak kelihatan sama sekali. Mereka, para remaja, lebih suka menghabiskan waktu sore hingga menjelang berbuka di tempat-tempat keramaian. Mereka bergerombol di pinggir-pinggir jalan sambil menggosip ke sana kemari. Saat matahari hampir tenggelam mereka baru membubarkan diri sembari menggeber motor yang mereka kendarai. Mereka saling mengadu kecepatan motor. *** Waktu berbuka tinggal lima belas menit lagi. Para lelaki yang menjadi sukarelawan pembagi makanan ta’jil mulai membagikannya kepada para jamaah. Satu persatu jamaah yang duduk sambil mendengarkan ceramah dari ustad mendapat bagian ta’jil. Demikian pula Mbah Sumo. Ia melongo memperhatikan makanan ta’jil yang sudah diterima oleh jamaah lainnya. “Sebungkus nasi. Ya, sebungkus nasi,” katanya girang. “Sabar, Mbah Sumo. Nanti pean juga kebagian. Bersabarlah menunggu giliran!” tegur jamaah di sampingnya.

Mbah Sumo resah saat bungkusan nasi yang dibagikan kepada jamaah tinggal beberapa bungkus sedangkan tempat dia duduk masih jauh dari lelaki yang membagikan bungkusan tersebut. Ternyata kekhawatiran Mbah Sumo menjadi kenyataan. Sebelum sampai kepada dia, nasi yang dibagikan para lelaki itu telah habis. “Lha…, tidak kebagian!” ungkapnya kecewa. “Jangan kuatir, Mbah Mo. Itu di sana masih menumpuk.”

Seorang lelaki datang mendekati tempat duduk Mbah Sumo dengan membawa tas kresek yang berisi makanan. Ia segera meraih makanan yang masih tersembunyi di dalam tas kresek. Perlahan ia mengangkat makanan ta’jil itu lalu menaruhnya di depan Mbah Sumo. “Waduh, kebagian mbothe Jo!” katanya kaget kepada Wak Kirjo.

Mbah Sumo menggerutu dalam hati karena makanan ta’jil pembagian lelaki sukarelawan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ia merasa kesal kepada lelaki yang baru saja meletakkan mbothe tepat di depan tempat duduknya. Hatinya semakin berkecamuk lantaran makanan ta’jil yang masih menumpuk di sudut serambi belum juga dibagikan lagi. Ia sangat penasaran makanan ta’jil apa yang akan diterimanya lagi. Dengan hati berdebar-debar ia menatap lelaki yang membagikan bungkusan kepada para jamaah. Mbah Sumo berharap mendapatkan bagian makanan yang sesuai dengan selera. “Ini dia, nasi uduk, kesukaanku!” gumamnya dalam hati. Lagi-lagi Mbah Sumo sedang bernasib sial. Ketika giliran dia mendapatkan pembagian makanan ta’jil yang sesuai dengan seleranya, ia selalu tidak kebagian. “Apes…apes!” umpatnya. “Kenapa, Mo?” “Saya tidak kebagian lagi.” “Sabar to Mo! Itu diambilkan lagi. Masih banyak makanan ta’jilnya.”

Sepotong roti sisir diberikan lelaki berkopiah haji kepada Mbah Sumo. Ia spontan menolak pembagian itu. Mbah Sumo berdiri lalu mengumpat lelaki itu sambil melemparkan makanan ta’jil yang diterimanya kepada lelaki tadi. Ia merasa disepelekan karena hanya menerima ta’jil mbothe dan sepotong roti sisir. Sementara jamaah yang lain menerima sebungkus nasi dan makanan yang disukainya. “Ini tidak adil!” katanya sambil berteriak.

Para jamaah yang tadinya khusuk mendengarkan ceramah dari ustadz mendadak riuh mendengarkan ucapan Mbah Sumo. Mereka heran kenapa Mbah Sumo bersikap demikian itu. Padahal, makanan ta’jil yang diterimanya itu hanyalah makanan yang digunakan untuk menyegerakan berbuka puasa agar mendapatkan kesunatan dalam berpuasa. Pak Ustadz tersenyum simpul menyaksikan kejadian itu. Ia pun berdiri lalu mendekati Mbah Sumo agar dia sabar dan menerima ta’jil yang dibagian lelaki sukarelawan tadi. “Sabar nggeh Mbah! Panjenengan remen ta’jil nopo?” tanya ustadz kepada Mbah Sumo. “Kulo kepengen nasi bungkusan,” jawabnya mrengut. “Baiklah, kalau begitu!” Pak ustadz segera mengambilkan sebungkus nasi ta’jil jatahnya kemudian memberikannya kepada Mbah Sumo. “Niki kangge panjenengan,” kata pak ustad sambil menyodorkan sebungkus nasi kepada Mbah Sumo. “Matur Suwun, matur suwun…!” ucap Mbah Sumo dengan wajah yang ceria. Tak lama kemudian para jamaah kembali duduk dengan tenang melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu ulah Mbah Sumo. “Asyhaduallailahaillallah, Astaghfirullah, nas aluka ridhaka waljannah wanaudzubika min sakhotika wannar!” Pak Ustadz memimpin para jamaah melantunkan dzikir pada Allah hingga waktu berbuka puasa tiba.

Kini detik-detik berbuka puasa telah tiba. Mbah Sumo dan para jamaah lainnya telah bersiap-siap berbuka puasa. Sesaat kemudian beduk yang menggantung di serambi masjid dipukul bertalu-talu dan para jamaah pun melaksanakan berbuka puasa. “Allahumma laka shumtu, wabika amantu, wa’ala rizqika afthortu birahmatika ya arhamarrahimin!” Mbah Sumo berdoa kemudian melaksanakan berbuka puasa dengan menikmati makanan ta’jil yang diberi oleh pak ustadz. (*)

Lamongan, Agustus 2011

Bebek goreng

Semua orang mengelilingi kuburan yang tampak tidak menyeramkan lagi karena ditaburi bunga-bunga dan bunga terus menerus.

Beberapa kerabat sudah banyak yang pergi melewati celah, menapaki jalan pekuburan satu demi satu, mencari pintu keluar, bergegas ke luar menuju arah kehidupan nyata.

Ada yang begegas pulang ke rumah. Ada yang sekadar mampir di sebuah café untuk minum kopi, usai membasuh seluruh wajah di kamar kecil. Atau masuk ke restoran untuk makan sekenyang-kenyangnya setelah mencuci tangan berkali-kali karena debu dan terik matahari. Atau hanya ingin minum air putih dengan es batu yang banyak sambil duduk menghela napas. Menenangkan pikiran.

Menghadiri penguburan seorang teman, saudara, atau sahabat memang sangat menyita energi. Begitu banyak kenangan dan tekanan ketika kita harus mengantar dan berdiri di sisi liang lahat menyaksikan jasad terbujur disiram timbunan tanah yang menutupinya sedikit demi sedikit.

Mendengar rintihan, tangisan, raungan keluarga kerabat, membuat seluruh badan menjadi diri sendiri. Kita tidak tahu lagi apa tujuan hidup ini. 24 jam giat bekerja. Bertahun-tahun. Mulai dari pagi hari. Sangat pagi. Bahkan belum tampak matahari. Manusia pun sudah gradak-gruduk nonstop sampai jelang ketemu pagi hari lagi.

Ada dan tanpa kasih sayang. Ada dan tanpa beriba hati. Senang dan benci kepada orang lain. Berbagi dan tidak bebagi dengan orang lain. Kadang kita tertawa gembira atau berteriak lantang menuntut ketidakadilan dunia! Mengerikan hidup ini. Mengerikan juga mati itu.

***

Seorang gadis cantik bernama Lidia tampak berdiri menjauhi lubang kubur. Ia sendirian terhenyak penuh rasa duka jiwa raga!

“Kamu di mana…? Aku rindu…,” lirih rintih di dalam hati.

Ia menatap dengan matanya yang sayu, berusaha memandang dari kejauhan ke arah gundukan tanah mungil yang terhalang tumpukan karangan bunga.

***

Suatu saat di sebuah Kota Kecil. Lidia berjalan bergandengan tangan dengan Karudin di sepanjang trotoar. Pasangan yang punya hobi jalan-jalan sore di seputar alun-alun Kota Kecil kala senggang. Terutama malam Minggu, malam libur. Banyak orang sekitar sudah mengenali mereka. Pasangan yang paling rajin bergandengan tangan mondar mandir sepanjang jalan.

Bahkan tingkah laku pasangan tersebut menjadi pemandangan seru dan dijadikan objek permainan tersendiri bagi penduduk setempat. Ulah pasangan itu sering dijadikan tebak-tebakan oleh orang-orang yang kongkow di pinggir jalan. Minum kopi di warung ‘Selamat Malam,’ yang menjadi langganan para sopir truk, juga pasukan sopir ojeg.

“Nah… kan lihat tuh. Sebentar lagi lewat sini. Benerrr. Masih bergandengan tangan toh! Serasa dunia miliknya sendiri…!”

“Ayo taruhan sampai mana itu tangan nempel kayak lem? Aku tebak dulu ya? Paling sampai deket pangkalan ojeg sudah dilepas. Ayo, sini lima ribu kasih aku…!” orang-orang mulai ramai bertaruh.

“Enggaklah… Sono. Sampai sono, deket Bu Minem, baru deh dilepas tangannya…!”

“Ya… enggak bisa! Kan orang lagi kasmaran pegangan terus pasti sampai pulang sampa mati…! Ha ha ha…!” banyak orang bercanda asal menebak.

“Aku yakin sebentar saja sudah lepas! Kan keringatan! Ih… mau ngapain pegang-pegang begitu…!” ada juga yang protes.

“Nah... nah kan lepas, yo sumuk…! Sudah aku bilang, wong lengket semua itu tangan…!”

“Ih sampeyan sirik aja… Mana istrimu? Udah balik belum ke rumah? Nah! Lihat! Wah, yang laki mau garuk-garuk badannya doang kok ! Lepas sebentar iya boleh toh…! Ugghhh ! Sampeyan emang dasar kurang gaul! Jemput istrimu sana jangan dibiarkan lama-lama di kampungnya. Disamber orang baru tahu rasa..!” mereka masing-masing saling beradu pendapat.

Sementara pasangan itu terus berjalan seakan melayang menikmati malam semakin kelam.

***

Tujuan mereka untuk kesekian kali ingin makan bebek goreng. Tempatnya lesehan di sudut jalan sebelah toko besi.

“Kita makan bebek goreng lagi yang sambelnya muantap…!” kata Karudin girang sambil memainkan jari jemari pasangannya.

Lidia hanya menganggukkan kepala.

***

Suasana lesehan sama saja seperti tempat makan lainnya. Tetapi bebek goreng Mang Dun memang sangat terkenal. Kadang malam libur paling padat, sulit mendapatkan tempat. Bisa-bisa pada antri kayak menunggu karcis depan loket.

Kondisi yang mejadi riuh cenderung berdesakan, membuat penikmat bebek sering merasa terganggu. Karena banyak orang yang tidak sabar, malahan berdiri-diri begitu saja di belakang orang-orang yang sedang asyik lesehan dan makan.

Hawa sekitar menjadi panas. Yang menunggu giliran hanya melongo, memandang begitu saja ke arah hidangan yang tergelar di tikar. Tentu saja suasana begitu membuat yang sedang makan tidak enak.

Risih lagi!

Tetapi memang di situ seninya makan di warung lesehan Mang Dun! Siapa cepat dia dapat! Berkeringat berpeluh bersimbah rasa lembab di seluruh badan sampai wajah! Wah, momen itu yang dikangeni setiap orang. Bisa cerita ke tetangga, atau teman betapa penuh perjuangan untuk bisa berhasil makan bebek goreng Mang Dun . Tentunya dengan tambahan bumbu kalimat kata yang penuh kehebohan agak berlebihan!

(Aneh…?).

***

Karudin masih berpegang tangan (males deh, ya…) mendekati kerumunan orang yang sedang makan.

“Misi... permisi…! Bisa tolong digeser…! Maaf… Iya… Ke sana sedikit masih cukup kok…,” desak Karudin seenaknya.

“Sayang… ayo…! Duduk aja. Enggak apa kok masih lega…!” bujuk Karidun.

Lidia setengah malas setengah enggak enak hati menjatuhkan badannya duduk di samping pacarnya. Ia tidak berani mengangkat kepala. Hanya menunduk menatap meja di hadapannya yang terlapis vinil bermotif bunga.

“Mas… Mas…!” tedengar suara Lidia yang halus nyaris tak terdengar sambil tangannya menarik-narik ujung kemeja Karudin.

Karudin hanya menoleh sebentar. Dan melanjutkan gerak gerik sibuk mengambil piring, sendok, menyusun dengan yakin dan rapih di depan Lidia.

Beberapa orang tidak senang kenyamanan santap malamnya dan atmosfernya serasa disabotase.

“Wah, mas… sabar sedikit kenapa! Belum mau kiamat kok… Desek-desek…!” omel seorang bapak tua yang memang posisinya nyaris ‘terjungkal’.

“Iya nih...!.Sampeyan lapar atau enggak tahu sopan santun…? Sana tunggu giliran…!” kata yang lain menghardik Karudin.

Karudin ‘cuek. Percaya diri mengabaikan semua omelan orang sekitar. Malah mulai menyendokin nasi putih ke piring Lidia, juga ke atas piringnya.

“Pak… Bebek goreng dua biasaaa ya… Garing banget…!” kata Karudin lantang.

Mang Dun bergegas menyiapkan pesanan Karudin dibantu beberapa rekan lain yang mondar mandir meletakkan sayuran, lalapan, sambal, juga beberapa gorengan, sambil menunggu bebek favorit matang.

“Mas... Enggak usah buru-buru... Yang lain belum kebagian... Kita tunggu saja, ya…!” bujuk Lidia masih sambil mengelus tangan Karudin.

Karudin tidak sabar menunggu pesanannya. Ia iseng mencicipi beberapa gorengan. Tangannya sibuk menggapai ke kanan ke kiri mengambil gorengan, krupuk, perkedel, acar. Sekaligus menyenggol ini itu, botol kecap, kotak tisu berjatuhan. Wuih pokoknya Karudin cuek abis!

Lidia hanya bisa menegur dengan berkali-kali menyentuh, mencowel pinggang sang pacar agar sabar menunggu.

“Iya, saya menunggu. Saya orang yang sabar, kok…” jawab Karudin sambil mulutnya masih mengunyah-ngunyah.

***

Sesudah makan malam Karudin dan Lidia melanjutkan menonton film dan berakhir dengan mengantar pulang Lidia. Sebelumnya ia memberi kenangan kecupan di pipi Lidia tanda selamat tinggal dan selamat tidur. ***

Memang pasangan itu belum ada rencana untuk menikah apalagi berkhayal akan mempunyai beberapa anak kelak. Baru sebatas luapan rasa cinta, makan bebek goreng dan bergandengan tangan. Itu saja.

***

Yang pasti: Karudin dan Lidia saling jatuh cinta!

Setiap hari. Eh... setiap detik.. .Karudin merindukan Lidia. Lidia pun mustinya demikian. Namun ekspresi yang berlebihan dari seorang Karudin kadang membuat Lidia kehilangan akal. Bahkan nyaris bingung menghadapi pacarnya yang terlalu mengebu-gebu. Mungkin saking cintanya Karudin bisa-bisanya setiap menit menelepon atau SMS, BB-an dan harus dijawab langsung tanpa alasan, tanpa jeda.

“Lidia cintaku, sudah makan sayang...?” sapa Karudin.

“Tadi pagi kamu ngobrol sama siapa saja...? Jangan senyum-senyum sama si Broto botak, ya...! Dia itu pasti naksir kamu. Jangan diladenin, ya sayang…! Hanya ada aku untukmu…!”

“Lid, Lid…. aku baru habis dari toilet. Heran sekali kenapa wc di kantorku selalu kotor. Itu tugas Mas Udi dan Samin. Padahal mereka digaji melebihi UMR! Kamu ingat Samin kan? Sering lo aku ketemu dia sibuk mengelap, menunggu kamar kecil itu. Tapi ya ajaib… Tetap aja kotor. Sampah di mana-mana. Atau orang kantor sini jorok semua, ya? Lagi apa sayang…?”

“Say… Ini aku…!”

“Barusan aku ditegur bos Kisik. Cuma karena kelupaan pakai batik. Kamu ingetin aku dong setiap malam Jumat. SMS tulis aja: B A T I K. BATIK BATIKKKK, biar aku ingat, ya sayang ya…!”

“Lidia sayang… Pasti kamu lagi pakai lipstick 009?”

“Sayang, kok SMS-ku enggak dijawab…? Sorry BB-ku ngadat lagi. Besok hari Minggu kita ke Ambassador, aku mau cek ulang ini BB. Mau kan sayang…?”

“Lid… Lid…!”

“Sayang..yang…. yang..”

“Cintaku…. Yang….!”

“Love you… Lidia love...!”

“Sayang ! Jangan terlalu capek nanti kamu keletihan…!”

(Ya pasti letih apalagi baca nonstop pesan singkat Karudin! He he he…!) *** Rentetan tegur sapa ‘cinta’ Karudin bertahun-tahun, perhatian yang sempurna dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Membuat Lidia sesak napas. Tapi Lidia berusaha memaklumi luapan gairah cinta kekasihnya. Dia berusaha mengimbangi melalui hari ke hari juga dengan kadar, porsi yang sama. Walau enggak se-’hot’ Karudin.

***

Momen terindah adalah kalau malam Minggu. Bagi pasangan itu ritual yang tak bisa ditawar lagi. Kembali dimulai dengan berjalan bergandengan tangan sepanjang jalan. Terbuai angin senja.

Puasnya bercengkrama bagi orang yang punya pasangan. Karena sejenak melupakan pekerjaan, utang piutang, atau tumpukan pekerjaan yang masih tersisa pada hari Jumatnya.

Berbeda untuk pasangan yang sudah menikah. Mau bersama nonstop. Permasalahan tetap akan jadi masalah karena menjadi tanggungjawab berdua apalagi kalau sudah beranak pinak. Wah itu lebih ‘tak jelas’. Problema semerawut! Desakan ekonomi yang mendesak kadang bisa membuat tangan jemari tidak akan pernah tergenggam lagi. Bahkan untuk bersikap hal yang romantis juga lupa, sudah enggak tahu caranya. (he he he kasihan juga ya orang menikah terlalu lama).

***

Hari kesekian lagi.

Lidia bersama Karudin berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar. Sambil sekali sekala berhenti di sebuah warung atau lapak kaki lima yang menjual berbagai macam benda. Mulai dari obeng sampai korset pelangsing badan.

Memang unik pasangan itu. Walau sekarang adalah zaman edan, zaman digital, zaman modern. Mereka melalui kebersamaan sangat ’jadul’. Bukan ke mal atau ke restoran atau café. Cukup mengitari Kota Kecil yang bisa terjangkau dengan berjalan kaki.

Langkah demi langkah. Entah sudah jejak tapak kaki hitungan ke berapa kali. Mereka berdua berjalan bersama sambil begandengan tangan.

***

Suatu hari.

“Tumben Karudin tidak SMS, sudah jam segini…!” keluh Lidia pada rekan kantornya.

“Aduh si Ibu…! Baru kemarin ketemu udah kangen…!” “Ah, lo tahu dia kan, Rin? Dret drettt dreiii bunyi HPku sepanjang hari dari Karudin. Ada yang janggal, nih? Tadi pagi dia juga tidak bangunin aku lewat telepon! Ada apa ya…? Sumpah, Rin! Aku enggak terima kabar apa pun sejak pagi! Aduh, kenapa ya? Apa BB, HP nya rusak semua…?” Lidia gelisah.

“Sudah... biar saja dulu. Biasanya kamu gerah kalau pacarmu kontak melulu. Take a break, dear…”

“Pasti HP nya rusak! Iya kan, Rin?” cemas Lidia

Lidia melewati kesehariannya. Sampai bubar kantor.

Dalam keheningan.

***

Lidia hanya bisa memandang handphonenya. Dicobanya membetulkam posisi baterei, mengutak ngutik keypad. Dan menekan sembarangan nomer telepon. Setiap kali meminta maaf kalau ada nada sambung yang bicara dengannya.

Masih tidak tahu harus berbuat apa iseng membuka file foto. Isinya hanya ada wajah Karudin atau wajah mereka berdua dengan berbagi pose kocak.

Tetapi ada kok terselip satu foto seekor monyet yang memakai topeng yang dipaksakan menggunakan kepala boneka. Itu mereka potret waktu sedang jalan-jalan melewati jalan besar.

Lidia hanya bisa tersenyum memandang satu-satunya foto yang beda.

Lidia sempat protes ketika Karudin akan menggunakan HP nya untuk motret monyet di jalanan. Ia tidak tega melihat kelakuan para monyet yang menari-nari di antara selipan ban-ban kendaraan yang sedang macet merayap tengah ibukota. Miris melihat monyet yang lehernya terjerat rantai ditarik-tarik sampai meringis. Miris dan merinding melihat para pemilik monyet yang mencari nafkah hidup dengan begitu.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 wib.

Karudin belum berkabar.

Tetapi Lidia tidak juga ingin menghubungi lebih dulu. Karena sudah menjadi kesepakatan mereka berdua. Yang boleh menghubungi terlebih dulu adalah Karudin. Dimulai sejak kokok ayam pagi. Baru selanjutnya masing-masing bisa saling kontaksepanjang hari sepanjang waktu.

Dan sampai gelap pun tanpa kabar .

Senyap.

***

Beberapa jam kemudian.

Handphone Lidia berbunyi. Nama Karudin muncul...

“Halo sayang, di…?” sapa spontan Lidia.

Namun, yang terdengar jenis suara berat yang sangat asing di telinga.

“Ini Lidia Sukma…?” suara datar di seberang sana.

Lidia bingung hanya menganggukan kepala.

“Halo…! Ini ibu Lidia…?”

“Iya…! Bapak siapa? Karudin di mana?” suara Lidia begetar.

*** Suatu malam.

Sosok perempuan semampai berjalan sendiri sangat lamban, nyaris oleng ke kiri ke kanan. Langkah kecil terus berjalan mendekati warung Mang Dun.

“Pak… Bebek yang garing, ya…!” suara lemah memohon.

Mang Dun tercengang melihat Lidia sendirian. Mengenakan baju merah jambu terang benderang . Hanya raut wajahnya sangat suram, nyaris tidak berbentuk dan sangat kucel, mata pun bengkak.

“Sendiri, Neng...?”

Lidia hanya menjawab dengan menganggukkan kepala ke bawah ke atas. Kedua tangannya sibuk menggapai gorengan, botol kecap. Yang tersentuh tangannya menggelinding begitu saja.

Lidia mulai menelan makanan yang dimulutnya dengan pelan.

“Neng… Neng… sehat? Masnya ke mana...?” tanya Mang Dun yang mulai cemas memandang kliennya yang tampak tidak sehat.

Lidia masih diam. Mulutnya terus mengunyah. Air matanya pun turun menetes satu dan satu…

“Dia… Ma...ti…!” jawab Lidia.

Hening.

Para pelanggan sekitar terdiam. Memandang, melihat sosok perempuan yang pucat, yang kelihatan masih berusaha mengunyah sepotong demi sepotong tempe goreng.

Lalu… Kepala perempuan itu makin menunduk sedikit demi sedkit, dan tubuhnya jatuh begitu saja sampai kepalanya terantuk meja. Bersamaan dengan keluarnya suara raungan tangisan berkepanjangan.

Sangat pilu.

***

Rajawali, April 2011