Ketika Seorang Kawan Datang

Dia telah berdiri di hadapanku. Di depan meja. Membuatku gugup. Sekilas memandang sekitar, aku merasa semua mata menuju ke arah kami. Ah, kenapa dia datang di saat yang sama sekali tidak tepat? Bukankah kukatakan nanti malam saja bila ingin berjumpa.

Ia tersenyum, mengulurkan tangannya padaku. “Gimana kabarmu? Wah, sudah makmur sekali ya?”

“Eh, iya... ya.. baik.. baik....”

“Belum mulai ya,” tanyanya yang kukira tak perlu menunggu jawaban. Matanya memandang sekeliling. Meja-meja bundar, dengan lima atau enam kursi yang mengelilinginya. Baru sebagian yang terisi. Semua masih tampak berbincang-bincang. Di depan, belum ada orang.

Walaupun masih ada dua kursi kosong di mejaku. Aku tidak berani menawarkan kepadanya untuk duduk. Dua orang di sampingku, berulangkali memandangku dengan pandangan tak suka.

”Kita di luar dulu,” aku berdiri sambil meraih tangannya.

”Di sini sajalah. Santai sekaligus menikmati kemewahan. Cuci mata,” katanya setengah tertawa.

Ah, dia memang belum berubah. Wajahnya yang keras, dengan pandangan mata tajam.Suaranya keras tapi terdengar jelas. Orang pasti tidak akan menyangka bila hanya mendengar suaranya saja. Suara itu seolah-olah memiliki tubuh yang kekar. Sedangkan pemilik suara sesungguhnya bertubuh kurus. Sangat kurus bahkan.

Aku agak gelagapan mendengar penolakannya. Mataku melihat sekeliling. Ada beberapa mata yang kebetulan tengah memandang kami.

”Ayolah,” ajakku lagi.

”Santai sajalah. Hm, Baraman juga hadir ya?”

Ups. Aku menoleh ke arah sosok yang duduk satu meja denganku. Mereka juga memandang.

”Eh, aku tidak tahu. Tapi dalam undangan katanya dia yang akan membuka acara ini,”

”Oh, selalu saja beruntung dia,” katanya.

”Kita di luar yuk,” ajakku lagi.

”Ok, Ok,” ia beranjak sambil meraih botol air mineral di meja. Langsung menenggaknya dan membawa sisanya. Kami berjalan beriringan. Empat gadis cantik penerima tamu, memandang kami, lalu berbisik-bisik. Ah, biarlah. Aku tidak mendengar ini.

Kami duduk di sofa yang paling ujung. Aku memang sengaja membawanya ke sana, sehingga tidak menarik perhatian. Orang-orang terus berdatangan.

Ah, kawan satu ini. Benar-benar tidak berubah. Ia kelihatan sangat santai. Santai sekali. Tidak perduli dengan situasi dimana ia berada. Sungguh, seperti dua puluh tahun lalu ketika kami sama-sama di dalam satu komunitas. Ia orang yang tidak pernah ragu, tidak pernah takut, atau juga tidak pernah menunjukkan keminderan.

”Orang-orang berkuasa karena suara-suara dari kita. Kita, para pemberi suara adalah Tuan. Kita mendatangi pembantu yang kita mandatkan untuk mengelola bangsa ini. Jadi tidak perlu takut Bapak-Ibu sekalian. Kita mendatangi pembantunya pembantu kita. Bila masih mentok, kita datangi pembantu kita yang terhormat, Tuan Presiden,” masih kuingat provokasinya yang membangkitkan semangat para petani yang tanahnya akan tergusur, ketika kami mendatangi kantor Mentri Dalam Negeri.

Ia dengan tubuh kurus berdiri di atas undakan tiang bendera dengan tangan kiri mengepal ke udara, dengan suara menggelegar memecah sengat matahari yang merasuk hangat ke jiwa-jiwa yang hadir. Rambut panjangnya terurai dipermainkan angin. Sesekali ia mengibaskan. Pakaian kebesarannya terbuat dari karung gandum yang diwenter menjadi warna hitam, dengan sandal jepit sebagai alas kakinya.

Segeralah kami bergerak berniat memasuki halaman kantor Mentri yang pagar besinya sudah tertutup rapat dengan penjagaan yang sangat ketat dari para polisi dan tentara.

“Cara mengalahkan kapitalis, ya kita tidak konsumtif. Ngomong anti kapitalis, tapi bingung mencari merek....” katanya pernah mengatakan hal itu dalam diskusi santai di sekretariat mahasiswa.

Ya, kawan ini, masih berpenampilan sama. Hanya rambutnya saja yang sudah mulai memutih keperakan. Ketika ia masuk ke ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang dengan menggunakan jas safari, maka bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku. Apalagi ia mengucapkan nama Baraman tanpa menggunakan kata depan Bapak.

”Jadi, bagaimana, Bung?” tanyaku.
”Ah, begitulah. Senang aku mendengar kau memanggil begitu. Tidak perlu formal-formalan. Aku mau minta tolong dirimu mempertemukan dengan Baraman. Adiknya dia, pengusaha rakus itu mau memakan tanah-tanah di kampungku. Tapi kudengar ada acara di sini, jadi sekalian saja aku temui Baraman di sini,”

Tegang terasa menjalar di kepalaku. Aduh. Bagaimana ini? Aku sudah mengetahui benar kawan satu ini bertindak. Ia pasti akan memperlakukan Baraman seperti kawan yang dikenalnya dulu. Padahal sekarang posisi Baraman.....

”Pak Menteri sudah datang, Pak Menteri sudah datang,” beberapa orang terlihat memberi kabar. Di depan pintu ruangan segera berjejer orang-orang, termasuk penerima tamu yang cantik-cantik itu.

”Baraman?”

Aku mengangguk. Kawan ini segera bangkit. Berjalan menuju barisan orang yang tengah mempersiapkan sambutan kepada Bapak Menteri. Aku sendiri, tetap saja duduk sambil membayangkan apa yang akan terjadi.

Ah...
cerpen: Odi Shalahuddin
Yogyakarta, 25 Maret 2011

Wajah Profesor

Senja menjatuhkan gerimis-gerimis patah. Ada pesan yang tersembunyi di balik mendung. Pipiku telah basah. Bukan karena hujan. Di sini, aku bersandar bersama anak tangga. Masih basah oleh rerumputan yang mengelilinginya. Hatiku berembun tangis. Aku tertunduk pilu. Ingin kuputar kembali 15 menit yang lalu. Bagaimana aku telah memaki seorang profesor. Makian itu masih menggantung di kerongkonganku. Ingin memecahnya; menghantam udara. Sungguh kasihan, burung gereja yang hendak singgah di dahan itu mengurungkan niat mereka. Karena burung-burung itu tahu, suara parauku mengusik kebebasannya.

Gerimis masih menggantung. Enggan turun juga reda. Baju kemeja setengah lusuh masih ku kenakan; sekaligus meminta untuk jadi saksi. Setelah ini tidak ada lagi tangis, meski ku tahu nelangsa akan selalu mengitari. Aku telah membuat profesor tidak nyaman. Pun aku tahu ketidak nyamanan itu akan dibuatnya berlipat untuk hidupku. Lalu kenangan 15 menit lalu larut pada ricik air yang jatuh dari ranting-ranting kamboja di depanku. Cepat kusulut sebatang kretek; berharap asapnya sampaikan gelisahku. Namun pada siapa?

“Kuliah hanya untuk menghabiskan modul, apa Bapak menyadari itu?”

Pekikan menyambar dahagaku. Aku tak mengerti. Entah darimana datangnya kekuatan itu. Yang ku tahu, aku telah memaki seorang profesor. Paruh baya yang mengganggap dirinya sempurna, telah memainkan taji di hatiku. Seketika laguku kaku. Biar ku ceritakan bagaimana seorang profesor bermuka masam, bermuram durja merendahkan mimpiku.

“Berharap bisa saja, tapi jangan bermimpi. Saya punya otoritas untuk tidak meluluskan anda jika saya mau.’’

Egois. Kata-katanya bagai sembilu. Merangkul pundakku seolah menantang; siapapun tidak bisa mengalahkannya. Vibrasi kekecewaan ini telah memuncah. Tak seorangpun berhak merendahkan mimpiku. Meski ia adalah seorang profesor. Deru ujaran sang professor itu menyusup ke dalam pori-pori tubuhku. Sepertinya, dendam ini akan menetap di jiwa.

Pak Udenk, nama sederhana sang Profesor. Selalu mengenakan dasi dan tentengan bermerk. Pun namanya berbalut merk elegan, semua menghormatinya karena gelar, Prof. Prof yang menurutku hanya mengajar papan, bukan mahasiswa.

“Prof hendak kemana?” begitu sapa mahasiswa dan koleganya. Kecuali aku. Aku cukup menyebut nama yang seharusnya kusebut.

Merk tak mampu membeli hormatku. Dasi bagiku hanya aksesoris. Dasi dan gelar itu tak membuat otak Pak Udenk juga bermerk. Seperti berjalan di gurun pasir, teori yang dikumandangkannya hanya debu. Membuatku gersang. Tinggal menunggu gugurnya musimku.

“Anda harus siap menjadi guru yang profesional, siap tampil berbicara dengan kemampuan yang matang, dan bla…bla…” kalimat usang itu menulikan telingaku. Sudah satu tahun, hanya paragraf itu yang terus diujarkan berulang. Kapan berbincang soal materi, jika pendahuluannya saja menghabiskan waktu 1 jam?

“Aku jemu. Gurun pasir ini harus aku lewati tanpa menemukan oase di tiap tepinya. Pak Udenk, saya bukan mesin, saya juga bukan panci yang harus selalu diisi. Saya tidak perlu melihat pamer dasi Anda setiap harinya. Bapak bisa memilih warna-warni untuk dasi yang Bapak kenakan. Mengapa Bapak tidak mencoba memberi warna-warni itu pada kami? Saya tidak akan menyita waktu saya untuk ke kampus, jika Bapak menghardik kami hanya untuk membaca dan menghabiskan modul." Dilema ini kusimpan dalam kalbu. Aku tahu Pak Udenk memiliki otoritas atas hidupku. Aku tahu siapa aku dan siapa Pak Udenk. Bocah ingusan sepertiku tidak akan membawa perubahan. Ku tahu, protesku bagi orang kebanyakan hanya ocehan embun yang sirna setelah diusap.

***

Sirip jendela dekat anak tangga ini memantulkan bayangan yang sangat kukenal. Senyum kebanggan Ayah menjadi mimpiku. Mengingat peluhnya menunggu kepulanganku. Semangatnya selalu terukir menanti inginku. Menjadi seorang dosen adalah mimpi Ayah yang tertunda. Aku harus kuat dan tidak berontak. Tak ingin amarah mengungkungku terlalu lama. Namun sampai kapan? Haruskah aku jadi budak waktu yang setiap hari harus disepuh pembodohan?

Bias telah menelanjangi jiwaku. Rupaku dibuatnya kaku. Aku bungkam. Cukup pembodohan ini. Aku bukan kerdil yang bersetia pada waktu. Wajah ‘profesor jongkok’ itu menyulut gairahku. Sudah cukup lama aku terdiam. Kali ini tidak bisa. Keadilan dalam pendidikan tak bisa digadai. Aku tak mau jadi kambing congek yang hanya menerima saja.

***

Hari ini pengumuman tebaran nilai A,B, C, D, atau F. Akhir dari gurun pasir melelahkan ini akan diwarnai abjad-abjad itu untuk mengukur kemampuan kami. Aku melihat wajah muram, gelisah teman-temanku kala itu. Pun aku melihat gadis-gadis bahenol yang juga temanku dengan wajah binar menanti abjad-abjad itu gontai. Profesor itu mengeja kemarahanku. Dibuatnya aku menari dalam pekat. Terselip abjad D untuk mata kuliah Pak Udenk. Sungguh aku tak bisa menerima ketidakadilan ini. Apa yang dia pahami tentang menilai? Apakah dia paham?

Aku kehilangan warna. Tinggal dedak menyesaki jantung. Menatap kembali abjad-abjad itu. Desahan waktu menemaniku. Di bawah lentera senja, aku tumpahkan sisa amarah jiwa. Hingga suara tawa mengusik piluku. Gadis-gadis bahenol tadi kian binar. Mengipas-ngipaskan kertas nilai dihadapanku. Lagaknya sungguh angkuh. Apa maksudnya? Tanyaku mengendap ketika ingin kulihat abjad apa yang tertulis di kertas nilai itu ditepisnya. Sudahlah, aku tak risau dengan penggoda itu. Mereka tak memikirkan mimpi, mereka hanya tahu cara mempercantik diri.

Makianku tempo hari harus kurangkul dengan tangisan. Aku telah kalah. Akan terus kalah. Kini dengan leluasa lelaki itu akan mengeja mimpiku. Makin merendahkan mimpi seorang pesisir. Aku tak bisa lagi bercerita tentang mimpi pada Ayahku. Nila setitik ini telah rusakkan susu sebelanga. Gurun pasir itu benar-benar menguburku bersama debu tak berarti. Sumpahku telah mati. Tertutupkah jalan keadilan? Apa aku terlalu egois untuk menuntut hakku?

Gema ini tetap saja begini. Ada yang mendengar, namun berpura bisu. Ketakutan orang-orang disekitarku membutakan jalanku. Sama saja. Bak hidup bersama bisu dan tuli. Endapan hitam dibiarkan berkelana. Mengarang hingga nadi. Pantas saja negeri ini nomor satu mempertontonkan dagelan tak bermakna. Telah dibeli olehnya keadilan. Menyisakan lelah berdialog bersama penjilat yang ternyata tak berpihak padaku. Kali ini aku paham, aku sendiri. tidak ada teman, semua hanya lawan.

***

Berkas cahaya kecil menyilaukan mata. Aku harus bergegas. Pukul 8 aku harus sampai. Kugayuh sepeda ontel pemberian Ayahanda tercinta. Berpeluh sebelum senja menyeringai. Aku telah tiba. Bangunan ini tempaanku jadi sarjana sujana. Ada ruang yang harus kutuju. Ruang pojok sebelah barat yang teramat mewah. Lantainya sangat dingin, seolah bekukan langkahku. Serat dindingnya sangat halus. Nyaman jika berhari-hari tinggal di dalamnya. Aku tidak melihat pintu warna emas ini terbuka. Mungkinkah Pak Udenk belum sampai? Aku masih menunggu. Beruntunglah dipan mungil mempersilakan untuk kududuki. Menatap langit-langit dengan decak kagum. Meredam sejenak niatku mencari keadilan pagi ini.

Ha..he..ha. aku mendengar desah tawa dari ruangan itu. Menyusul bisik wanita. Akhirnya suara parau itu jelas kumengerti. Kubuka pintu itu tanpa seorangpun mempersilakannya. Apa yang kulihat? Rina, Ririn, dan Heny, gadis-gadis bahenol yang tadi sempat kuceritakan melingkar, mencari posisi paling baik untuk memuaskan lelaki yang hanya kulihat rambut setengah botaknya. Perempuan bahenol itu sungguh liar. Aku masih diam sampai aku tahu siapa yang bermain di sana. Luka ini kembali dicambuk. Pria setengah botak itu tiada lain wajah sang professor. Beribu kecupan bertandang, menjajah tubuh belang lelaki itu. Melumat asa dengan imbalan abjad A. Gadis bahenol yang pintar. Ingin aku enyah segera. Lalu rebah membuncah keraguan.

Singaraja, 18 Januari 2011

Jin Lampu TL 18 Watt

Sagrip baru mengganti lampu kamarnya dua hari yang lalu, tapi sekarang dia melihat lampu pengganti itu telah berkedip-kedip, byar pet-byar pet mirip lampu disko. Berpikir bahwa dia mungkin kurang kencang memasangnya pada fitting, diambilnya tangga lipat. Tidak ada gosong atau korsleting yang terlihat olehnya ketika dengan bantuan terang lampu dari ruang tamu dia memeriksanya, tapi lampu itu malah jadi benar-benar mati setelah dipasangkannya lagi.

“Jiangkrik!” dia memaki sendiri.

Selepas kata “Jiangkrik” terlontar dan saat Sagrip baru saja melepas kembali lampu dari fitting, tiba-tiba dari dalam lampu TL 18 watt yang dipegangnya keluar asap putih yang cukup tebal, tepat menyemprot mukanya sehingga dia terkejut. Hilang keseimbangan, tanpa ampun dia jatuh. Tertimpa tangga pula. Meringis menahan sakit, dia kemudian berusaha duduk di lantai. Dilihatnya lampu yang tadi ada dalam pegangannya pecah berantakan.

Tapi yang lebih mengejutkannya, tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok mahluk yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya. Tubuh mahluk itu tinggi bongsor, kepalanya bulat sebesar bola basket, matanya bercahaya seolah-olah membuat seisi kamar terang benderang dan itulah alasan kenapa Sagrip mampu melihat sosoknya itu dengan jelas. Terakhir, yang paling aneh dari semuanya, dia memakai peci haji dan pakaian safari berwarna hijau terang. Seperti sangat tidak masuk akal dan sangat kontras dengan hitam mengkilat warna kulitnya, tapi tetap itu selera Fesyen yang bagus, pikir Sagrip dalam hati.

“Selamat malam, Akhwan!” mahluk itu menyapa. Sagrip celingukan. Ada yang bernama Akhwan di sini? Mahluk itu menunjuk dirinya. “O..saya? Malem. Saya Sagrip. Di situ siapa?” “Saya Jin khusus lampu neon dan lampu TL. Nama saya Filip.” Filip? Sagrip hampir ngakak, tapi ditahannya. “Mas Jin Filip, Situ kok bisa tiba-tiba ada di sini?” “Saya memang bertugas di dalam lampu itu.” “O.. Apa di setiap lampu yang dijual di warung-warung ada jin seperti Situ juga?” tanya Sagrip heran setelah rasa gelinya reda.

“Nah, itu dia. Anda termasuk yang beruntung karena membeli lampu edisi khusus yang terbatas. Limitit Edisyen. Waktu membeli, Anda tidak lihat ada hologram di kotak kartonnya? Itu asli, loh,“ kata Jin Filip berpromosi, ”Kadang-kadang ada hadiah langsung 5000 rupiah juga di dalamnya buat yang beruntung.” “Asli gimana, baru dua hari sudah mati,” kata Sagrip meleletkan lidah dan bangkit dari lantai. Tidak dirasanya kepalanya yang sakit, karena bertemu Jin unik seperti ini benar-benar bisa membuatnya lupa pada apa pun. “Nah, itu dia. Memang lampunya tidak awet, tapi akan diganti dengan satu permintaan untuk Anda.” “Ha? Permintaan?” “Ya.” “Siapa yang minta?” “Anda.” “Serius, nih?” “Serius.” “Sumpah?” “Sumpah.” Sagrip meleletkan lidah lagi tidak percaya. Jadi kayak salah satu kisah di 1001 malam, pikirnya. “Ayolah, minta saja. Satu permintaan.” Sepertinya Jin Filip ini serius. “Apa saja boleh?” “Apa saja boleh. Asal tidak berbau SARA.” “Kenapa hanya satu permintaan? Bukannya biasanya tiga?” “Nah, itu dia. ‘Kan sudah dipotong pajak sekian persen.” “Pajak tidak sampai mengurangi sebanyak itu, kaleee...!” “Belum selesai kata-kata saya. Selain pajak, ada juga sogok, sawer, panjer, sumbangan perorangan, sumbangan partai, iuran wajib bulanan dan sebagainya dan sebagainya...total tinggal 1 pertanyaan saja yang bisa kami tawarkan. Kami tidak mau rugi. Itupun sudah nyumbang uang keamanan sama mereka.” “Mereka siapa?” “Ya mereka. Pingin tauuuu aja..” jawab Jin Lampu genit dan matanya berkedip-kedip kemayu. Sagrip mau muntah. Tapi dia berpikir, ini satu kesempatan. Jarang-jarang bisa ada kesempatan langka seperti ini. Karena itu tanpa pikir panjang lagi, dia langsung berteriak: “Saya kepingin kaya!” “Itu permintaan Anda?” “Ya!” “Hanya kaya?” “Ya!” “Jadi!” “Asyiiiikkk..!!” “Jadilah Anda kaya tapi hidup Anda akan selalu tidak tenang! Sim salab...” “Stop!” Sagrip menyela. “Loh, kenapa? Bukannya Anda ingin kaya?” “Tapi kenapa harus ditambah ‘tidak tenang’?” “Apakah semua orang jika sudah kaya akan tenang dan bahagia?” “Pasti!”

“Bagaimana kalau dia kaya, tapi sangat pelit sehingga setiap hari hidupnya tidak tenang karena takut hartanya berkurang atau malahan dirampok?” Sagrip diam sejenak. Lalu, “Kalau begitu saya ingin jadi orang kaya yang tenang hidupnya!” “Itu dua permintaan. Manajemen akan rugi.”

Sagrip garuk-garuk kepala. Pintar juga Jin Filip ini. Tidak dengan mudah memberikan hadiah begitu saja bagi konsumen. Indikasi dari akal-akalan manajemen yang menginginkan kerugian ditekan serendah-rendahnya. “Kalau begitu, saya kepingin jadi orang yang berkuasa. Pasti otomatis jadi kaya!” “Berkuasa bagaimana?” “Jadi pemimpin satu negara yang besar dan dicintai rakyatnya!” “Hmm..itu dua permintaan.” “Ya sudah, satu saja. Saya kepingin jadi presiden!” Jin Filip, memicingkan matanya dan tangannya memegang dagu. “Yakin?” “Yakin!” “Baiklah. Anda jadi presiden, tapi presiden yang bodoh,” Jin Filip mengangkat tangannya. Sagrip buru-buru mencegah,” Stop!” “Loh? Kenapa?” “Kenapa ada embel-embel ‘bodoh’?” “Suka-suka saya, dong. Kami juga punya kepentingan bisnis. Anda minta jadi presiden, kan? Kalau anda jadi presiden dan bodoh, bukankah gampang nanti perusahaan lampu saya nyetir negara sampeyan dan mempraktekkan monopoli? Keuntungan, ‘kan?” “Jiangkrik! Saya emoh kalau gitu.” “Lha?” “Pokoknya emoh.” “Ya sudah. Batal lagi? Mau apa kalau gitu? Cepetan! Memangnya saya tidak ada urusan lain?” kata Jin Filip sambil melihat jam tangan pasir di pergelangan tangannya. “Jadi menteri saja!” “Serius?” “Serius!” “Tett?” ‘Tett!” “Baiklah. Saya jadikan anda seorang menteri yang hanya pesanan partai dan tidak tahu apa-apa dalam bidangnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat biarpun gelar di namanya macem-macem. Sim...” “Stop!” “Apa lagiiiiiiiiii...?” Jin Filip mulai gemas. “Kenapa saya jadi menteri yang begituan?” “Lha, suka-suka saya, dong. Anda kan bilang mau jadi menteri. Menteri yang bagaimana juga suka-suka saya, ‘kan?” Sagrip clakep. Pusing juga kalau begini caranya. Semua permintaannya jika pun dikabulkan tidak ada enaknya. Jangkrik betul jin lampu TL ini! “Situ sengaja mempersulit saya, ya?” “Tidak. Semua permintaan akan saya penuhi, tapi tentu saja tiap hal ada resikonya. Terus terang permintaan Anda tidak aneh. Cermin manusia yang selalu egois dan menginginkan apapun di luar kemampuannya. Sekarang pikirkan, kalau anda jadi presiden, apakah anda punya kemampuan? Permintaan anda kan hanya jadi presiden, tidak dengan otak anda. Kerugian siapa jika orang bodoh seperti anda jadi presiden? Rakyat. Lalu anda meminta jadi menteri. Untuk apa? Apakah mereka juga bisa membuat rakyat makmur? Membuat partai yang diwakilinya semakin makmur dan mantap menancapkan kuku dalam pemerintahan koalisi, iya. Tapi apakah partai benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat?” “Wah, jadi secara tidak langsung situ bilang saya egois?” “Jelas.” “Jadi saya harus gimana?” “Pikirkanlah. Seperti sebuah doa yang baik, mintalah sesuatu yang tidak hanya menyenangkan dirimu sendiri, tetapi menyangkut kepentingan banyak orang. Permintaan seperti itu akan lebih indah untuk dipenuhi.” Sagrip berpikir lagi. Ya, tidak seharusnya dia egois. Jika dia hanya meminta atas kemauan dan kesenangan sendiri, dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang dimintanya. Tapi jika dia meminta sesuatu yang dapat memenuhi hajat hidup orang banyak, dia akan mendapat pahala dan bisa merasakan kebahagiaan orang banyak termasuk dirinya. Sama juga dengan doa ketika diucapkan dengan tulus dan tidak egois, insya Allah akan cepat terkabul. “Baiklah,” kata Sagrip. “Baiklah apa?” “Saya tidak akan egois.” “Nah, itu dia. Apa yang ada dalam pikiran anda sekarang?” “Entahlah. Tapi saya membayangkan sebuah kehidupan masyarakat yang tentram, adil dan makmur di negara ini. Birokrasi mudah, pemerintahan bersih dari KKN. Rakyat tidak kurang sandang, pangan, papan. Tidak ada kejahatan, tidak ada pornografi, tidak ada persaingan, tidak ada gontok-gontokan, tidak ada perbedaan dalam bermasyarakat karena semua saling menghormati. Generasi muda menghormat yang tua, yang tua menggantungkan harapan pada yang muda. Pendidikan masyarakat diutamakan, bangunan-bangunan sekolah berdiri kokoh di seluruh penjuru negeri. Semua orang mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Tidak ada bencana alam, banjir, kekeringan yang panjang atau gempa bumi dan tanah longsor. Lahan pertanian subur, hutan lestari, lautan seratus persen milik kita beserta kekayaannya.....pokoknya yang seperti itu,” kata Sagrip menutup keinginan panjangnya dengan napas ngos-ngosan. Jin Filip manggut-manggut. Tampak wajahnya berseri-seri. “Itu baru permintaan yang baik!” katanya sambil mengangkat jempolnya. “Itu bukan permintaan. Hanya harapan.” “Harapan Anda itu saya anggap satu paket dengan permintaan.” “Bisa dipenuhi?” “Harapan sebaik itu, kenapa harus tidak terpenuhi?” kata Jin Filip mengedipkan matanya dan lenyap.

*****

Pagi harinya, Sagrip terbangun. Dengan heran, dia baru menyadari bahwa ternyata dia tertidur dengan tubuh masih tertindih tangga lipat yang jatuh kemarin. Ah, dia pasti pingsan dan bermimpi bertemu dengan Jin Filip, pikirnya. Jangkrik betul! Hampir seperti sungguhan. Sedikit kecewa walaupun bibirnya tersenyum geli dan kepalanya menggeleng-geleng tidak mengerti, dia memungut lampu yang ternyata masih utuh tidak jauh di sampingnya. Diusapnya pelan dan ditiup-tiupnya agar debu yang menempel lepas dari sana.

Tapi tiba-tiba saja asap menyemprot dari dalam lampu 18 watt di tangannya dan sesosok mahluk yang menamakan dirinya Jin Filip itu muncul lagi di hadapannya.

“Selamat pagi,” sapanya, ”Permintaan anda yang semalam sangat menarik sehingga manajemen terharu dan memutuskan memberi dua permintaan lagi untuk Anda!”
Cerpen AK Basuki
Cigugur, 15 November 2011

Benalu Malam

Tinggal di kota besar harus pintar-pintar merencanakan hidup. Mulai dari keuangan, rencana membikin anak, menyekolahkannya sampai usaha di hari tua kelak. Semuanya harus direncanakan. Bila tidak, tentu masa depan kita akan berantakan.

Aku masih mengingat-ingat nasehat ibu dahulu sebelum pergi merantau ke kota ini. Sebuah nasehat yang, tentunya bila dilaksanakan sedari awal, aku tidak akan hidup kesusahan seperti ini. Paling tidak, aku bisa berdagang. Mempunyai toko yang cukup besar serta mempunyai pekerjaan tetap dari berjualan. Namun waktu tidak dapat diputarbalik. Warisan dari ayahku telah habis kupertaruhkan di meja judi. Hingga keluargaku –istri dan kedua anakku– harus hidup terlunta-lunta, memperjuangkan hidup dengan bekerja apa saja. Halimah, istriku, membuka jasa pencucian baju dari tetangga-tetangga sekitar. Tentu dengan tarif yang sangat murah, karena lingkunganku adalah daerah pinggiran kota yang kebanyakan bukan kalangan berada. Minah, anak pertamaku yang dengan susah-payah kusekolahkan sampai dengan SMA, berjualan kue buatan istriku. Sedang Juned, anak bungsuku, berjualan gorengan di sekolahnya meski ia masih duduk di kelas lima SD. Tuntutan hidup di kota besar memang sangat berat. Beruntung jika esok pagi kita masih bernafas, yang menandakan kita masih punya kehidupan. *** Tok-tok! Kaca mobil sedan yang sedang kutumpangi tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Aku terbuyar dari lamunan. Kubuka kaca jendela dengan panel otomatis. “Iya, Pak? Taksi?” “Iya, tolong antarkan saya.”

Seorang pria necis (kutebak umurnya sekitar empat puluh tahun) segera membuka pintu belakang taksi yang sedang kukemudi. Pakaiannya sangat rapi, berjas, berdasi dan bau parfum menyeruak dari badannya yang masih ramping dan bidang. “Tujuannya kemana, Pak?” “Ke arah Cililitan. Jalan saja, nanti saya tunjukkan.”

Ia membenarkan posisi duduknya sambil mendesah. Aku mulai melajukan mobil sedan meninggalkan trotoar di samping penjual nasi goreng yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan yang tidak kunjung datang. Sepanjang perjalanan, penumpangku lebih banyak diam. Sesekali ia mengamati handphone-nya, bermain pesan mungkin. Aku menebak, ia adalah seorang manager pada suatu perusahaan swasta. Namun mengapa malam-malam seperti ini ia memilih taksi? Tentu seharusnya ia mempunyai mobil pribadi dengan tambahan seorang sopir. Hmm, atau mungkin aku salah mengira pekerjaannya. Di kota besar orang-orang yang berpakaian jas dan sepatu mengkilat bukan hanya direktur atau manajer saja. Seorang sales penjual obat yang keliling menyambangi rumah-rumah juga terkadang berpakaian sangat elok. Ah, peduli setan. Hanya uang yang aku pedulikan.

Sedan yang kukendarai kira-kira seratus meter lagi akan sampai di Cililitan, pusat pertokoan yang biasanya menjadi tujuan penumpang. “Setelah ini kemana, Pak?” jawabku memecah kebisuan. “Oh, belok kanan. Ke arah Kalibata.” jawabnya singkat. Aku mengangguk, memberi tanda lampu belok kanan kemudian bersiap untuk membelok. Dari kaca spion di atas kepalaku kulihat laki-laki tadi mengambil handphone lainnya di saku jasnya, kemudian berusaha menghubungi seseorang. “Halo! Halo! Komar? Gue udah mau nyampe nih! Lo udah siapin? Bagus. Berapa nih? Apa?! Mahal bener. Oke, oke. Tapi awas ya kalau barangnya jelek. Gue jamin gak akan bayar dan gue gak akan pakai lagi barang lo. Oke!” Lelaki itu menutup telepon genggamnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya memandang nanar, geliat gairah tengah berkobar disana. Ia serupa musang yang sedang terengah-engah hendak menangkap mangsanya, penuh nafsu dan hasrat.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 20:30, waktu yang masih sore untuk ukuran kota Jakarta. Jalanan di Ibukota sepertinya tidak pernah mati. Di jam ini, jalanan masih saja ramai, masih saja macet. Aku mengambil jalur yang justru rawan dengan kemacetan. Aku baru ingat, di Jalan Kalibata sedang ada pembuatan fly over sehingga para pengguna jalan harus berbagi untuk melewati jalan sempit yang dibuka. Sebenarnya tadi aku bisa saja mengambil jalan lewat M.T Haryono bila memang tujuan terakhir adalah Kalibata. Namun biarlah, toh dia yang menginginkannya. *** “Ya, Hallo Mah..” suara lelaki tadi lagi-lagi memecah lamunanku. “Iya, mah.. Maaf ya, Papa malam ini sepertinya nginep di kantor, Ma.” “……” “Iyaaa.. banyak banget kerjaan nih. Deadline nya besok, udah gak bisa ditunda lagi Mah..” “……” “Buat apa sih Papa bohong. Bener deh.. Ya, iya.. nanti kita liburan ke Bali setelah kerjaanku selesai. Oke, jaga anak-anak ya.. Daah..”

Klap. Handphone ditutup. Lelaki itu lagi-lagi mendesah, memandang ke jajaran bongkahan beton yang hendak dipasang di kanan-kiri jalan. Lelaki ini pasti habis berbohong. Bagaimana mungkin ia sedang mengerjakan tugas di kantor, bila ia sedang bersamaku berada di dalam taksi menjelajahi jalanan Kota Jakarta di malam hari. Sungguh seorang tipe lelaki yang tidak setia kepada keluarganya, dan meski aku bukanlah lelaki yang benar-benar baik setidaknya aku mempunyai prinsip yang kuat terhadap keutuhan keluarga.

Kukemudikan mobil sedan dengan hati-hati melewati jalan sempit yang sedang direnovasi. Di kolong jalan layang yang baru saja jadi separuh itu terlihat dua bayangan di atas sepeda motor yang tengah berpelukan. Tidak begitu jelas, namun bila diperhatikan, kepala dua bayangan tadi saling berdekatan, berimpitan, sesekali melepas kemudian menyatu lagi. Mereka saling berciuman, mungkin. *** “Pak, belok ke kiri. Ke arah Mall!” Aku terkesiap. Segera kubelokkan mobil menuju ke sebuah Mall di bilangan Kalibata. Dari luar, Mall terlihat sepi. Rata-rata Mall di Jakarta memang tutup pada pukul sembilan malam. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari Mall, kebanyakan adalah pemuda-pemudi yang keluar setelah melihat pemutaran bioskop pada jam malam. Tangan mereka saling menggenggam erat, beberapa meletakkan tangannya di pundak pasangannya, saling berpelukan dan berciuman. Ah, sudah benar-benar kacau pemuda-pemudi kota ini, pikirku. Berapa umur mereka? Palingan baru belasan, namun sudah berlaku seperti orang-orang dewasa yang sudah menikah saja. Hmm, barangkali mereka sedang dilanda cinta dan romansa. Akan tetapi, tentu bukan dengan bersikap seperti itu. Tentu, aku akan melarang anak-anakku bila berkelakuan seperti itu.

“Tunggu sebentar di sini, Pak.” Aku mengangguk. Lelaki itu keluar dari taksiku, kemudian berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang duduk di emperan Mall, tak jauh dari tempatku parkir.

Di area parkir terbuka ini, mobil-mobil masih banyak yang terparkir kendati malam sudah beranjak pekat. Di suatu pojok parkir yang remang-remang kulihat seorang gadis muda sedang berdiri di samping pintu suatu mobil. Pertama-tama ia mengetuk kaca mobil. Seorang pemuda membuka kaca itu. Gadis itu terlihat merayu, ia meletakkan tangannya pada pintu mobil yang sudah terbuka kacanya. Ia bersandar dengan tubuh membungkuk ke depan sehingga dengan pakaiannya yang hanya kaos ketat lekukan dadanya telah menahan sang pemuda untuk berlama-lama berbicara dengannya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bercakap-cakap. Pintu mobil segera dibuka. Si Gadis langsung masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Kemudian mobil bergegas meninggalkan tempat parkir, menuju ke kenikmatan dunia. Gadis itu, kusebut sebagai benalu malam. Para perempuan yang telah memilih jalan malam sebagai jalan hidupnya. Menghisap pria-pria kesepian, atau hidung belang, demi sesuap nasi untuk esok hari.

Aku sempat terkejut ketika kaca mobilku diketuk. Pria tadi rupanya. Segera kubuka kunci pintu belakang melalui panel otomatis. Pria itu segera masuk, diikuti seorang wanita muda. Aku berpikir ia adalah salah satu dari benalu tadi. Mesin mobil segera kuhidupkan, aku mencuri pandang dari kaca di atas kemudiku. Rasa-rasanya, aku kenal dengan perempuan yang duduk bersamanya. Meski dia memakai make-up, aku kenal benar raut wajahnya. Hidungnya, yang lumayan mancung itu. Rambut lurus sebahunya. Serta pandangan matanya. Ya, tidak salah lagi. Pandangan sendu itu hanya satu-satunya kepunyaan wanita itu. Maka, untuk mengobati rasa penasaranku yang semakin menggebu, aku segera memalingkan wajahku ke belakang. Saat itu juga, dunia ini seakan hendak kiamat. Gemuruh dalam dadaku berdebar-debar. Mataku hampir-hampir keluar dari kelopak matanya. Kemudian aku berteriak yang seakan begitu saja keluar dari mulutku, tanpa mempedulikan kerasnya suara yang terjadi. “Minah??!!!!!!” *** Kalibata, November 2010

M. Nurcholis, penikmat sastra tinggal di Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di sela kesibukannya bekerja. Dapat disapa di twitter @n_choliz atau facebook username choliz. Beberapa karyanya terangkum di blog pribadinya: www.kolasecerita.wordpress.com

L a L u n e

Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Baru kuingat sebuah pepatah, kau malah menuduhku terlalu banyak berkilah. Tidak ada yang kau ingatkah dari bulan setengah penuh yang mengapung di langit Benteng Kuto Besak dulu itu, ketika hujan masih sebatas malu-malu dan orang-orang bermandikan cahaya lampu jembatan sungai Musi, bercengkerama di geladak Riverside yang pernah kujanjikan, atau pertukaran bibir yang diam-diam di mobil bergoyang, dan kau menatapku, menginginkan hal yang sama, dua centi dari bibirmu, tetapi aku menyanggah.

Andai kucium kau malam itu, bulan akan cemburu lalu mengirim angin beliung yang akan mengoyak-ngoyak batas perasaan, menggerakkan jari jemari ke kancing bajumu, dan menjelajahi tiap jengkal kemesraan yang seharusnya belum milikku, sementara kau diam, pasrah, menatapku penuh cinta, dan kita menjadi sepasang kekasih yang lupa pada kemanusiaan kita sendiri.

Hanya saja, kenangan terlalu angkuh untuk didudukkan di sebuah kafe yang tak pernah memberikan menu kepuasan, siang hari, dan terik matahari membakar paru-paru, menciptakan segala macam keputusasaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Dua kata darimu. Dua kata singkat yang menceraiberaikan kenangan-kenangan itu, “Kita putus….”

“Kau berjanji akan mencintaiku selamanya, Di?”
“Seperti matahari…”
“Ah, gombal!”
“Aku kan laki-laki….”
“Ya, tidak semua laki-laki suka menggombal ‘kan?”
“Berarti mereka tidak normal!”
“Perempuan normal ‘kan senang digombali?”
“Kalau begitu, katakanlah, aku perempuan tidak normal.”
“Tetapi aku jatuh cinta kepadamu….”

Dan kau juga jatuh cinta kepadaku. Apalagi yang kubutuhkan di dunia ini selain kita saling mencintai? Tak ada. Ketika aku berusaha menerjemahkan malam-malam lain yang dipenuhi oleh dirimu, malam-malam yang tak lagi dipenuhi berbagai rasi bintang, malam-malam yang tak dihiasi kemacetan lalu lintas, dunia seperti menjadi milik kita berdua. Hanya kau dan aku di dalamnya, dan panjang Jalan Jenderal Sudirman seolah-olah perjalanan cinta kita yang tak memiliki akhir. Mencintaimu selamanya adalah keputusanku. Mencintaimu satu-satunya adalah sudah takdirku.

Hanya kata-kata. Waktulah yang telah membuat kata-kata menjadi sia-sia. Aku tidak pernah berpikir, setelah sekian tahun berlalu, kau akan berubah. Dan memang kau berubah. Sayangnya aku masih mencintaimu. Aku bahkan masih mengingat jelas wangi parfummu, warna kesukaanmu, dan senyummu yang tercetak tebal di hatiku.

“Andai kita berpisah, pastilah bulan di langit sudah tak sama….”
“Kita tidak akan berpisah, Lin….”

Aku kiranya curiga, jangan-jangan sejak saat itulah kau telah merencanakan perpisahan. Bayangan dedaunan perdu seolah mencekam. Kau duduk diam menatap gedung-gedung yang tutup. Aku tak tahu bagaimana caranya mengusir kediamanmu hari itu. Begitu sepi. Begitu sunyi. Sepotong bulan masih tergantung di langit sana, menertawakan kita berdua yang tak kunjung bicara—sepatah kata pun.

“Apa kau mencintai laki-laki lain?”
Kau menggeleng.
“Apa aku tak cukup baik bagimu?”
Kau menggeleng lagi.
“Lalu?”

Kau memainkan jari, mengetuk-ngetuknya di atas meja. Pun kedua kakimu yang bergoyang-goyang. Diam. Lagi-lagi diam. Aku mencium bau kecemasan. Aku merasakan sesuatu yang kau sembunyikan.
“Aku hanya ingin kita putus. Aku tidak mencintaimu lagi, Di…. Apakah butuh alasan untuk tidak mencintaimu lagi?”
“Butuh!”
“Lalu kenapa kau mencintaiku?”
“Karena kau…” Giliran aku yang bingung harus menjawab apa.
“Karena aku cantik? Karena aku kaya? Atau karena cinta?”
“Pokoknya aku hanya mencintaimu!”
“Seperti itulah aku yang pokoknya tidak mencintaimu lagi. Ah, apakah kau mau mencintai seseorang yang sudah tak mencintaimu, Di?”

Tiba-tiba aku mencengkeram lenganmu keras. Anehnya kau tidak terkaget. Aku lumat bibirmu kuat. Kau diam. Pasrah. Dan lamat-lamat membalas lumatanku dengan lebih lembut. Oh, inikah rasanya bercumbu? Hebat! Buah plum. Seperti buah plum yang matang. Dan peperangan gerilya. Ah, jemariku menari—meliuk-liuk di atas dadamu. Kau diam. Pasrah. Aku ingin sekali berpraduga atas apa-apa yang tengah kualami kini. Kau, aku, bercinta bak melodi klasik yang ada di dalam lamunan, pada malam minggu yang kosong tak berbulan. Suara angin yang ingin berbagi, tak sedikit pun kubiarkan, dan mengetuk-ngetuk jendela.

“Apakah aku bukan laki-laki pertama yang merenggut bibirmu, Lin?”
“Tidak. Kaulah laki-laki pertamaku.”
“Seperti bukan yang pertama….”
“Aku bukan wanita pertamamu, kan?”
“Tidak. Kau wanita pertamaku, Lin….”
“Seperti bukan yang pertama.”
“Jadi, kau akan mencintaiku setelah ini, kan?”
“Tidak. Aku sudah tak mencintaimu lagi.”
“Lalu kenapa kita melakukan ini?”
“Melakukan apa?”

Kau kuhempaskan. Memandangmu jijik. “Jadi bagimu semua ini bukan apa-apa?”
“Aku tidak bilang begitu.”
“Lalu apa maksudmu?” Kupandangi tubuhmu yang menggairahkan itu. Tubuh yang hampir tanpa benang—karena belum sempat kulerai semua yang menutupi tubuh indahmu. Tubuh yang seringkali kukhayalkan di setiap malam menjelang tidurku, saat kau menatapku dalam, dan kecemburuan bulan.
“Aku hanya ingin menjadi dirimu. Menjadi yang selama ini kau lakukan terhadapku….” Dan setelah itu aku tak pernah mendengar sepatah kata pun darimu, sepatah kata sayang, sepatah kata cinta, atau sepatah kata putus asa yang serak terdengar ketika kau menyatakan telah tak mencintaiku lagi.

Aku ingin mencintaimu lagi dan lagi. Aku ingin melumat bibirmu lagi dan lagi. Aku pun ingin bercinta denganmu lagi dan lagi, seperti tak pernah ada waktu yang mampu membatasi. Jam dinding mati, dan jam tangan yang kau telan itu juga mati.

Aku benci suara detik di dadamu malam itu. Bisakah kau matikan saja dia? Bisakah dunia hanya dimiliki kesunyian, di mana hanya ada kau dan aku, dan desah di antaranya, yang menjadi isi malam-malam singkat kita?

Kau diam. Pasrah. Aku ingin mencari buah plum itu lagi. Bulan separuh. Sinarnya memantul di permukaan sungai. Aku ingin melihatmu berenang di sana, atau terapung—sama saja.

“Kau bahkan tidak ingat apa pun, Di?”
“Ingat apa?”
“Segala malam yang tak pernah kau akui…”
“Apa yang harus kuakui?”
“Yang kau lakukan terhadapku?”
“Aku, sumpah, tak pernah berselingkuh…. Aku hanya mencintaimu seorang, selamanya!”
“Cinta?”
“Kaulah wanita pertama dan terakhirku. Kaulah ciuman pertamaku!”
“Kapan ciuman pertamamu?”
“Kapan? Barusan saja kita baru berciuman untuk yang pertama, Lin!”

Kau tersenyum kecut. Dan mulai memakai pakaianmu kembali. Aku tidak ingin melihat kau berpakaian. Aku lebih senang melihatmu telanjang.

“Kita sudah tidak senasib, Di. Kau berubah. Aku tidak mencintaimu dan segala yang tak kuketahui darimu….”
Aku tak paham.
“Sebenarnya aku takut padamu….”

Aku diam. Makin tak paham. Sementara itu, makin keras kudengar detik di dadamu. Detik yang berteriak. Detik yang mengganggu dan membuatku ingin memecahkan apa saja.
“Sejak kapan kau menelan jam dinding?”
“Jam dinding?”
“Di dadamu.”
“Bilang saja kau ingin melenyapkanku?”
“Melenyapkanmu? Itu tidak mungkin.”
“Seperti kau melenyapkan wanita-wanita lain?”
“Kau sudah gila, Lin!”
“Kaulah yang gila, Di… ah, atau kita yang sama-sama gila? Aku gila karena telah melayani orang gila sepertimu, bertahun-tahun pula….”
“Jika kau tak mencintaiku lagi, cukup katakan kalau kau tak mencintaiku lagi. Jangan berkata yang aneh dan tak masuk akal!”
“Tadi sudah kubilang bahwa aku tak mencintaimu lagi. Dan kau butuh alasan untuk itu?”

Ketika aku kembali mencengkeram lenganmu, melucuti pakaianmu lagi dan lagi, mencumbuimu, kau diam, pasrah. Aku menciumi seluruh tubuhmu, kau masih diam, pasrah. Aku berharap kau bicara, kau diam, pasrah. Aku suka kesunyian, tetapi tidak dengan kepasrahanmu kali ini.
Kau sama sekali tidak berhak menjadi diriku…

Aku tidak tahu siapa diriku. Aku ingin bertanya padamu, apa yang kau maksud dengan menjadi diriku, melenyapkanmu…kau diam, pasrah. Bulan di langit tidak tertutup awan. Ingin kuminta jawaban, tetapi ia diam, pasrah. Kepasrahan ini seperti kau rencanakan sejak sebelum aku menciummu ,bukan? Pasti. Pasti kau tengah bercanda dengan mengabaikan segala pertanyaanku. Pasti kau hanya berpura-pura diam agar aku mengiyakan semua tuduhanmu, mengiyakan pula permintaanmu untuk berpisah dariku. Padahal kau telah tahu bahwa berpisah dariku adalah kemustahilan.

Kau masih diam, pasrah. Aku masih ingat bau parfummu. Hari ini kenapa kau berganti wangi menjadi bunga bangkai? Ah, aku tak suka aromamu hari ini. Aku tak suka pula pada dingin tubuhmu, biru bibirmu, dan lalat-lalat yang mengetuk-ngetuk jendela itu.

Jam dinding mati. Benar-benar mati. Aku yakin jam dinding yang kau telan di dadamu itu juga mati.

(April, 2011)

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan 2009. Sekarang bertugas di KPPN Sumbawa Besar. Karya-karyanya dapat dibaca di blog http://reinvandiritto.blogspot.com. Cerpen ini awalnya berjudul Le Mois, namun setelah penulis menyadari kesalahpahaman arti, diganti menjadi La Lune.

Benalu Malam

Tinggal di kota besar harus pintar-pintar merencanakan hidup. Mulai dari keuangan, rencana membikin anak, menyekolahkannya sampai usaha di hari tua kelak. Semuanya harus direncanakan. Bila tidak, tentu masa depan kita akan berantakan.

Aku masih mengingat-ingat nasehat ibu dahulu sebelum pergi merantau ke kota ini. Sebuah nasehat yang, tentunya bila dilaksanakan sedari awal, aku tidak akan hidup kesusahan seperti ini. Paling tidak, aku bisa berdagang. Mempunyai toko yang cukup besar serta mempunyai pekerjaan tetap dari berjualan. Namun waktu tidak dapat diputarbalik. Warisan dari ayahku telah habis kupertaruhkan di meja judi. Hingga keluargaku –istri dan kedua anakku– harus hidup terlunta-lunta, memperjuangkan hidup dengan bekerja apa saja. Halimah, istriku, membuka jasa pencucian baju dari tetangga-tetangga sekitar. Tentu dengan tarif yang sangat murah, karena lingkunganku adalah daerah pinggiran kota yang kebanyakan bukan kalangan berada. Minah, anak pertamaku yang dengan susah-payah kusekolahkan sampai dengan SMA, berjualan kue buatan istriku. Sedang Juned, anak bungsuku, berjualan gorengan di sekolahnya meski ia masih duduk di kelas lima SD. Tuntutan hidup di kota besar memang sangat berat. Beruntung jika esok pagi kita masih bernafas, yang menandakan kita masih punya kehidupan. *** Tok-tok! Kaca mobil sedan yang sedang kutumpangi tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Aku terbuyar dari lamunan. Kubuka kaca jendela dengan panel otomatis. “Iya, Pak? Taksi?” “Iya, tolong antarkan saya.”

Seorang pria necis (kutebak umurnya sekitar empat puluh tahun) segera membuka pintu belakang taksi yang sedang kukemudi. Pakaiannya sangat rapi, berjas, berdasi dan bau parfum menyeruak dari badannya yang masih ramping dan bidang. “Tujuannya kemana, Pak?” “Ke arah Cililitan. Jalan saja, nanti saya tunjukkan.”

Ia membenarkan posisi duduknya sambil mendesah. Aku mulai melajukan mobil sedan meninggalkan trotoar di samping penjual nasi goreng yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan yang tidak kunjung datang. Sepanjang perjalanan, penumpangku lebih banyak diam. Sesekali ia mengamati handphone-nya, bermain pesan mungkin. Aku menebak, ia adalah seorang manager pada suatu perusahaan swasta. Namun mengapa malam-malam seperti ini ia memilih taksi? Tentu seharusnya ia mempunyai mobil pribadi dengan tambahan seorang sopir. Hmm, atau mungkin aku salah mengira pekerjaannya. Di kota besar orang-orang yang berpakaian jas dan sepatu mengkilat bukan hanya direktur atau manajer saja. Seorang sales penjual obat yang keliling menyambangi rumah-rumah juga terkadang berpakaian sangat elok. Ah, peduli setan. Hanya uang yang aku pedulikan.

Sedan yang kukendarai kira-kira seratus meter lagi akan sampai di Cililitan, pusat pertokoan yang biasanya menjadi tujuan penumpang. “Setelah ini kemana, Pak?” jawabku memecah kebisuan. “Oh, belok kanan. Ke arah Kalibata.” jawabnya singkat. Aku mengangguk, memberi tanda lampu belok kanan kemudian bersiap untuk membelok. Dari kaca spion di atas kepalaku kulihat laki-laki tadi mengambil handphone lainnya di saku jasnya, kemudian berusaha menghubungi seseorang. “Halo! Halo! Komar? Gue udah mau nyampe nih! Lo udah siapin? Bagus. Berapa nih? Apa?! Mahal bener. Oke, oke. Tapi awas ya kalau barangnya jelek. Gue jamin gak akan bayar dan gue gak akan pakai lagi barang lo. Oke!” Lelaki itu menutup telepon genggamnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya memandang nanar, geliat gairah tengah berkobar disana. Ia serupa musang yang sedang terengah-engah hendak menangkap mangsanya, penuh nafsu dan hasrat.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 20:30, waktu yang masih sore untuk ukuran kota Jakarta. Jalanan di Ibukota sepertinya tidak pernah mati. Di jam ini, jalanan masih saja ramai, masih saja macet. Aku mengambil jalur yang justru rawan dengan kemacetan. Aku baru ingat, di Jalan Kalibata sedang ada pembuatan fly over sehingga para pengguna jalan harus berbagi untuk melewati jalan sempit yang dibuka. Sebenarnya tadi aku bisa saja mengambil jalan lewat M.T Haryono bila memang tujuan terakhir adalah Kalibata. Namun biarlah, toh dia yang menginginkannya. *** “Ya, Hallo Mah..” suara lelaki tadi lagi-lagi memecah lamunanku. “Iya, mah.. Maaf ya, Papa malam ini sepertinya nginep di kantor, Ma.” “……” “Iyaaa.. banyak banget kerjaan nih. Deadline nya besok, udah gak bisa ditunda lagi Mah..” “……” “Buat apa sih Papa bohong. Bener deh.. Ya, iya.. nanti kita liburan ke Bali setelah kerjaanku selesai. Oke, jaga anak-anak ya.. Daah..”

Klap. Handphone ditutup. Lelaki itu lagi-lagi mendesah, memandang ke jajaran bongkahan beton yang hendak dipasang di kanan-kiri jalan. Lelaki ini pasti habis berbohong. Bagaimana mungkin ia sedang mengerjakan tugas di kantor, bila ia sedang bersamaku berada di dalam taksi menjelajahi jalanan Kota Jakarta di malam hari. Sungguh seorang tipe lelaki yang tidak setia kepada keluarganya, dan meski aku bukanlah lelaki yang benar-benar baik setidaknya aku mempunyai prinsip yang kuat terhadap keutuhan keluarga.

Kukemudikan mobil sedan dengan hati-hati melewati jalan sempit yang sedang direnovasi. Di kolong jalan layang yang baru saja jadi separuh itu terlihat dua bayangan di atas sepeda motor yang tengah berpelukan. Tidak begitu jelas, namun bila diperhatikan, kepala dua bayangan tadi saling berdekatan, berimpitan, sesekali melepas kemudian menyatu lagi. Mereka saling berciuman, mungkin. *** “Pak, belok ke kiri. Ke arah Mall!” Aku terkesiap. Segera kubelokkan mobil menuju ke sebuah Mall di bilangan Kalibata. Dari luar, Mall terlihat sepi. Rata-rata Mall di Jakarta memang tutup pada pukul sembilan malam. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari Mall, kebanyakan adalah pemuda-pemudi yang keluar setelah melihat pemutaran bioskop pada jam malam. Tangan mereka saling menggenggam erat, beberapa meletakkan tangannya di pundak pasangannya, saling berpelukan dan berciuman. Ah, sudah benar-benar kacau pemuda-pemudi kota ini, pikirku. Berapa umur mereka? Palingan baru belasan, namun sudah berlaku seperti orang-orang dewasa yang sudah menikah saja. Hmm, barangkali mereka sedang dilanda cinta dan romansa. Akan tetapi, tentu bukan dengan bersikap seperti itu. Tentu, aku akan melarang anak-anakku bila berkelakuan seperti itu.

“Tunggu sebentar di sini, Pak.” Aku mengangguk. Lelaki itu keluar dari taksiku, kemudian berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang duduk di emperan Mall, tak jauh dari tempatku parkir.

Di area parkir terbuka ini, mobil-mobil masih banyak yang terparkir kendati malam sudah beranjak pekat. Di suatu pojok parkir yang remang-remang kulihat seorang gadis muda sedang berdiri di samping pintu suatu mobil. Pertama-tama ia mengetuk kaca mobil. Seorang pemuda membuka kaca itu. Gadis itu terlihat merayu, ia meletakkan tangannya pada pintu mobil yang sudah terbuka kacanya. Ia bersandar dengan tubuh membungkuk ke depan sehingga dengan pakaiannya yang hanya kaos ketat lekukan dadanya telah menahan sang pemuda untuk berlama-lama berbicara dengannya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bercakap-cakap. Pintu mobil segera dibuka. Si Gadis langsung masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Kemudian mobil bergegas meninggalkan tempat parkir, menuju ke kenikmatan dunia. Gadis itu, kusebut sebagai benalu malam. Para perempuan yang telah memilih jalan malam sebagai jalan hidupnya. Menghisap pria-pria kesepian, atau hidung belang, demi sesuap nasi untuk esok hari.

Aku sempat terkejut ketika kaca mobilku diketuk. Pria tadi rupanya. Segera kubuka kunci pintu belakang melalui panel otomatis. Pria itu segera masuk, diikuti seorang wanita muda. Aku berpikir ia adalah salah satu dari benalu tadi. Mesin mobil segera kuhidupkan, aku mencuri pandang dari kaca di atas kemudiku. Rasa-rasanya, aku kenal dengan perempuan yang duduk bersamanya. Meski dia memakai make-up, aku kenal benar raut wajahnya. Hidungnya, yang lumayan mancung itu. Rambut lurus sebahunya. Serta pandangan matanya. Ya, tidak salah lagi. Pandangan sendu itu hanya satu-satunya kepunyaan wanita itu. Maka, untuk mengobati rasa penasaranku yang semakin menggebu, aku segera memalingkan wajahku ke belakang. Saat itu juga, dunia ini seakan hendak kiamat. Gemuruh dalam dadaku berdebar-debar. Mataku hampir-hampir keluar dari kelopak matanya. Kemudian aku berteriak yang seakan begitu saja keluar dari mulutku, tanpa mempedulikan kerasnya suara yang terjadi. “Minah??!!!!!!” *** Kalibata, November 2010

M. Nurcholis, penikmat sastra tinggal di Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di sela kesibukannya bekerja. Dapat disapa di twitter @n_choliz atau facebook username choliz. Beberapa karyanya terangkum di blog pribadinya: www.kolasecerita.wordpress.com

Krim Pelangsing Mejik Jeng Susan

Jeng Susan dan suaminya sudah dua belas tahun menikah. Dulu kondisi ekonomi mereka tidak sebagus sekarang ini. Apa yang terjadi pada mereka adalah mimpi klise pendatang ke ibukota yang terwujud dalam waktu singkat karena berbalut keberanian dan keberuntungan. Sekejap saja Susanti berubah panggilan menjadi Jeng Susan di kalangan para istri pengusaha rekan bisnis suaminya. Anak-anak mereka mendadak berkulit mulus karena perawatan menghilangkan koreng di kaki mereka, bekas bermain di tanah becek dulunya sebelum mereka pindah ke Jakarta. Kulit wajah Jeng Susan semakin hari semakin terlihat bersinar karena perawatan intensif menggunakan masker emas di salon langganannya di daerah Blok M. Semua kagum pada keberuntungan mereka.

Tapi ada sedikit kerisauan di hati Jeng Susan saat dirinya sudah menginjak usia 40 tahun, dua tahun yang lalu. Bentuk tubuhnya berubah, semakin membulat. Lemak mulai bergelantungan di sekitar paha, punggung, tangan dan bawah dagu. Jeng Susan menyalahkan gen gemuk yang dibawanya dari Ambu di kampung. Percuma ikut program-program mahal di slimming center, tubuhnya tetap saja membesar. Segala rupa diet sudah dipraktekkan, hasilnya hanya sekejap saja untuk dinikmati. Tak lama kemudian, tubuhnya kembali melar, bahkan lebih lebar dari sebelumnya. Jeng Susan sempat mengutarakan keinginannya untuk operasi sedot lemak, seperti yang pernah dilakukan Jeng Mirna, kepada suaminya. Suami Jeng Susan pun tampaknya sudah memberikan lampu hijau. Bagi suaminya, tidak ada yang tidak bisa diberikan kepada keluarganya. Semua keinginan anak-anak dan istrinya selalu dipenuhi dengan kualitas nomor satu. Namun satu minggu menjelang operasi sedot lemaknya di Thailand, sebuah kabar heboh bersliweran di koran-koran ibukota. Seorang pengusaha perempuan tewas di meja operasi saat melakukan operasi sedot lemak. Apa pun penyebabnya, keinginan Jeng Susan untuk menyedot keluar lemak-lemak di dalam tubuhnya itu sirna seketika.

“Suamiku selingkuh, jeng…” ujarnya pada Jeng Mirna pada suatu sore, mengungkapkan kegelisahannya selama tiga bulan terakhir ini.

Mata Jeng Mirna seperti mau copot dari tempatnya. Cepat-cepat diletakkannya gelas minuman berisi red wine di tangannya. Dia menegakkan duduknya di kursi tinggi bar milik suaminya itu. Dulu proyek pembangunan bar dan restoran milik suaminya itu dipegang oleh suami Jeng Susan. Hal itu yang kini akhirnya membuat mereka berteman. Mata Jeng Mirna berbinar-binar menanti cerita yang akan meluncur dari mulut Jeng Susan.

“Pelacur jorok! Mereka bahkan tidak check in ke hotel dan malah bercinta di jok belakang mobil suamiku!” Jeng Susan mengumpat, lalu menenggak habis red wine di gelasnya. “Aku menemukan celana dalamnya yang super mini itu di bawah jok mobil saat memakai mobil suamiku. Perempuan setan! Jijik aku!”

Jeng Mirna mengelus-elus pundak Jeng Susan, berusaha tampak menghibur sebisa mungkin. Kupingnya berdiri makin tegak. Menanti kelanjutan cerita perselingkuhan abad ini. Suami Jeng Susan berselingkuh, itu bisa jadi berita besar di koran dan majalah-majalah ibukota. Dia adalah tokoh masyarakat, sedikit sensasi saja tentu akan terendus oleh banyak media. Dan segala kericuhan seperti ini merupakan hiburan, khususnya bagi Jeng Mirna. Hidupnya sudah mulai membosankan akhir-akhir ini. Suaminya lebih sering ada di rumah istri mudanya, dan anak satu-satunya masih asyik membuang-buang uang ayahnya di luar negeri; kuliah katanya.

“Aku ndak mau nyerah sama pelacur, Jeng! Aku tidak bisa membayangkan dimadu sama suamiku. Aku harus cari cara supaya suamiku balik ke aku!” kata Jeng Susan. “Bagaimana caranya?” tanya Jeng Mirna. “Aku harus balik langsing singset padet lagi kayak dulu. Jeng Mirna tahu, sejak badanku melar kayak gini, suamiku sudah tidak pernah menyentuh aku lagi! Sedih aku…” Jeng Susan berkata sambil berusaha menahan air matanya jatuh. “Oalaaah! Kalau cuma itu thok masalahnya, ya gampang tho!” “Nggak, nggak, aku ndak mau operasi sedot lemak! Jeng kan tahu aku takut sekali mati di meja operasi, setelah ada kejadian waktu itu, lho!”

Jeng Mirna tertawa keras sambil membuka tas kulit ularnya. Dia mengeluarkan dua buah wadah plastik kecil dari dalam tasnya itu. Jeng Susan melihatnya dengan tidak mengerti.

“Aku tahu kamu takut operasi. Tapi kan jaman sekarang mau langsing itu buanyak buanget caranya, jeeeng! Yang penting punya duit, ya gampang!” kata Jeng Mirna sambil meletakkan dua wadah plastik itu di hadapan mereka. “Aku sudah coba segala cara, semua mahal, tetep aja badanku melar begini!” tukas Jeng Susan. “Apa itu?” tanyanya lagi sambil mengambil salah satu wadah plastik di meja.

“Iniii…aku baru mau kasih tahu Jeng Susan. Penemuan terbaru! Belum beredar di pasaran. Namanya Krim Pelangsing Mejik,” bisik Jeng Mirna dengan suara rendah. “Ampuh?” tanya Jeng Susan ikut berbisik. Ada nada sangsi dalam suaranya. Jeng Mirna mengangkat blouse sutra yang dipakainya. Perutnya tersingkap sedikit. Mata Jeng Susan terbelalak. Perut Jeng Mirna datar, seperti perut perempuan umur belasan yang rajin berolahraga. Padahal, beberapa bulan yang lalu Jeng Mirna mulai mengeluh kalau dia sudah butuh operasi sedot lemak lagi. “Waaah, cuma dengan sekali pakai?” Jeng Susan tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Jeng Mirna menggangguk sambil tersenyum lebar. “Berapa harganya?” Jeng Susan tidak menunggu penjelasan lain lagi. Krim ini sudah pasti bisa menjawab masalahnya. “Untuk Jeng, murah aja…Kebetulan, yang bikin masih sodaraku yang kerja di bagian penelitian apa gitu, mbuh…Pokoknya kerjanya di laboratorium gitu, deh! Dia bilang bahan-bahanya memang mahal, karena sebagian besar baru ditemukan dan masih belum beredar di pasaran.” “Iya, iya, berapa?” tukas Jeng Susan tidak sabar. “Dua puluh lima aja. Harga sahabat,” jawab Jeng Mirna sambil mengerling. “Dua puluh aja, ya? Kan belum tentu ampuh di aku!” “Gini aja, Jeng Susan kasih ke aku dua puluh, kalau ternyata berhasil, sisanya lima juta baru transfer lagi. OK?” Malam itu Jeng Susan duduk di tempat tidur dalam kamarnya yang luas, sendirian. Suaminya entah kemana, bahkan akhir-akhir ini dia sudah tidak pernah lagi memberitahu Jeng Susan kalau akan pulang terlambat. Jeng Susan pun terlalu sibuk memikirkan keampuhan krim di tangannya.

Krim Pelangsing Mejik, begitu tulisan emas yang tercetak di bagian atas tutup wadah plastiknya. Jeng Susan membaca petunjuk pemakaian di stiker yang ditempel mengelilingi badan botol.

Usapkan ke bagian tubuh yang ingin diperkecil. Tipis dan sekali usap. Tunggu beberapa menit, lihat hasilnya. Kalau belum terlihat hasil yang diinginkan, tunggu selama 2 jam untuk pemakaian berikutnya. Krim ini bisa dipakai ke seluruh tubuh, termasuk wajah.

Jeng Susan beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja rias di ujung kamar. Dia duduk di depan kaca besar berbingkai kayu jati berukir. Melihat dengan teliti lekuk-lekuk di wajahnya. Menyusuri dengan jemarinya mulai dari kening hingga dagu. Sampai di bagian bawah dagu, Jeng Susan berhenti. Diambilnya wadah Krim Pelangsing Mejik di atas meja riasnya. Membuka tutupnya dengan perlahan, lalu mengambil sejumput krim berwarna putih di dalamnya dengan ujung jari telunjuk. Mengoleskannya dengan hati-hati ke bagian bawah dagunya yang menggelambir karena lemak.

Jeng Susan menunggu dengan gelisah. Semenit, dua menit, tiga menit…Lalu ia menutup mata, berharap semoga krim itu bekerja dengan sempurna. Jeng Susan membuka matanya, dan terbelalak melihat bagian bawah dagunya. Lehernya kini tampak jelas terlihat, tulang rahangnya yang biasanya tak pernah terlihat karena terbalut lemak, kini membingkai wajahnya dengan indah. Jeng Susan tampak sepuluh tahun lebih muda. Wajahnya terlihat lebih panjang dan lehernya menjadi terlihat jelas. “Luar biasa!” Jeng Susan berkata pelan sambil mengamati wajahnya.

Ia pun membuka baju tidurnya hingga tinggal pakaian dalam saja yang melekat di tubuhnya. Jeng Susan membalikkan tubuh untuk melihat tumpukan lemak di bagian pinggang belakangnya. “Ini dia yang harus dipermak duluan!” ujarnya sendiri. Jeng Susan mencoba menyentuh tumpukan lemak itu dengan tangannya yang gemuk pendek. Ternyata tangannya tidak bisa menjangkau bagian itu.

“Surti!!! Surti!!!” Jeng Susan berteriak memanggil pembantunya. Hari sudah malam, mungkin Surti sudah di kamarnya bersama Paino, suaminya yang juga supir keluarga Jeng Susan. Terdengar langkah berderap menuju kamar Jeng Susan. Jeng Susan tidur menelungkup di atas tempat tidurnya. Pintu kamar sengaja dibuka agar Surti dapat langsung masuk ke kamarnya. “Bu…” Terdengar suara Paino tercekat di depan pintu kamarnya. Jeng Susan terperanjat sambil melihat ke arah pintu. “Lho, mana si Surti?” “Sudah tidur, bu…” Jeng Susan mendengus kesal. Dia tidak sabar untuk melihat hasil kerja krim ajaib dari Jeng Mirna. Dilihatnya Paino yang masih berdiri bingung di depan kamarnya. “Ya sudah, kamu tolong saya. Balurkan krim ini ke pinggang saya!” “Tapi, bu…” Paino makin bingung. “Sudah, nggak usah ribut. Cepeeet!” tukas Jeng Susan.

Paino melangkah pelan ke arah tempat tidur Jeng Susan. Mengambil wadah plastik tempat krim pelangsing itu dari tangan Jeng Susan. Mencolek sedikit krim di tangannya, lalu berdiri bingung di samping tempat tidur besar majikannya itu.

“Kamu naik aja, biar gampang” Jeng Susan memerintah.

Paino naik ke atas tempat tidur dengan ragu. Ia duduk di samping tubuh setengah telanjang Jeng Susan. Tangannya mulai menyentuh punggung Jeng Susan yang hanya berbalut pakaian dalam. Nafasnya tertahan. Walau bagaimana kelelakiannya menggelegak kecil saat tangannya menyentuh kulit mulus putih Jeng Susan.

Tiba-tiba terdengar lenguhan pelan dari mulut Jeng Susan yang menelungkup di tempat tidur. Paino terkejut dan menghentikan usapannya ke punggung Jeng Susan. “Teruskan…” Parau suara Jeng Susan menyuruh Paino. Jeng Susan yang sudah lama tidak disentuh oleh suaminya itu, merasakan gairahnya memuncak dengan tiba-tiba saat disentuh oleh tangan kasar Paino.

Surti terkikik di dalam kamarnya sambil memegang wadah plastik bertuliskan Krim Pelangsing Mejik milik majikan perempuannya. Semalam ia terbangun dan mencari suaminya. Betapa terkejutnya Surti ketika melihat suaminya itu tengah mengusap-usap payudara nyonya majikan dalam keadaan sama-sama tanpa busana. Pintu kamar majikannya tidak tertutup. Surti mengamati selama beberapa saat, lalu berjingkat kembali ke kamarnya, menunggu Kang Paino kembali. Menjelang tengah malam, Paino masuk ke kamarnya dengan tubuh bersimbah keringat. Paino membangunkan Surti yang pura-pura tidur.

“Sur, Sur, ibu punya krim ajaib buat bikin langsing! Ini aku bawain buat kamu! Ibu nggak bakalan tau, dia udah tidur, kecapean!” katanya sambil berbisik ke telinga Surti.

Surti pura-pura menggeliat, lalu menarik tubuh Paino ke atas tubuhnya di ranjang kecil mereka. “Kok kamu keringetan gini, Kang?” tanyanya pada Paino. “Uh, aku, aku kegerahan…” jawab Paino gugup, menutupi kebohongannya. “Sini!” kata Surti sambil merebut krim di tangan Paino, lalu dengan cepat dia membalik tubuhnya sehingga sekarang posisinya menduduki pinggang Paino yang terbaring. Bergegas dia membuka celana Paino. “Aduh, Sur! Aku capek sekali! Besok aja, ya…” kata Paino berusaha menolaknya. “Kamu merem aja kalo capek!” kata Surti sambil mengelus-elus “burung” Paino dengan tangannya yang sudah berlumur krim milik sang nyonya. Tidak sampai lima menit, Paino tertidur tanpa sempat bercinta dengan Surti.

Pagi hari, Jeng Susan mandi sambil memikirkan kejadian semalam dengan Paino, supirnya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak merasakan bercinta dengan menggebu-gebu seperti semalam. Di bawah shower yang mengucurkan air hangat, Jeng Susan menyentuh payudaranya sambil memejamkan mata. Dan dia terperanjat.

“Susuku hilaaaaang!” teriaknya dengan suara melengking. Tidak ada siapa pun yang mendengar teriakan Jeng Susan. Suaminya belum pulang sejak semalam. Anak-anaknya sejak dua hari yang lalu pergi menginap ke rumah teman mereka. Surti dan Paino entah ada di mana saat ini.

“Surti! Burungku hilang!” Tiba-tiba Paino sudah muncul di hadapannya dengan memakai handuk di pinggangnya. Surti membuang muka lalu keluar dari kamarnya dengan tidak peduli. “Rasakno!” katanya dengan marah. Krim Pelangsing Mejik seharga dua puluh lima juta itu dilemparnya ke dalam tong sampah di dapur.

Lelaki Pagi dan Sarapan Pagi kami Tadi Pagi

"Selayaknya ini bukan puisi," katamu saat mendorong secarik kertas itu kehadapanku. kertas itu berhenti dengan rapi dalam jarak yang tepat sekian senti dari cangkir kopiku yang mengepulkan asap dan aroma pagi yang kita kenal baik.

"Aku hanya ingin mengibaskan mendung yang menggantung di langitmu. bukankah sudah terlalu lama dia mengganggu karena enggan menjadi hujan?" Katamu lagi.

Aroma pagimu selalu saja lebih segar daripada milikku. Wajah cerahmu yang tercukur licin memantulkan sinar matahari yang begitu muda mengecup langkah pagi yang ringan membuka pintu hari. Sementara aku, selalu saja merasa diriku ini masih terus-terusan betah duduk dalam waktu seperempat malam, menarik selimut subuh dan bersikeras gelap masih menyertaiku. Ah, kamu kira semua itu mendung? Padahal bagiku semua itu adalah selimut yang nyaman. Aman. Menentramkan. Terbebas dari tanggungjawab. Boleh bermain dalam mimpi. Ah, bagimu semua itu mendung?

"Bacalah." Katamu, dan matamu, yang tenang setenang ombak saat riak angin lembut membantunya menggempur pantai membuatku tak tega membiarkan kertas itu terdiam di sana. Matamu itu nyaris tosca bagiku. Nyaris begitu dekat dengan langit yang pernah kubiarkan menyentuh bumiku. Sekilas aku tersenyum mengingatnya dekatku pada suatu sarapan pagi yang rasanya sudah berabadabad silam terjadinya, saat itu aku Cleopatra dan dia, Marc Anthony.

"Aku suka ungumu," Kata Laki-laki Langit Toscaku, berbisik di telingaku sambil menciumi batang leherku dan menurunkan kerah kemeja unguku. Tangannya hangat bermain-main pada kancing bajuku, seakan-akan jari-jemarinya sedang berdialog, kancing yang mana yang akan mereka buka lebih dahulu.

Selalu saja seperti itu, bicara soal warna sambil bercumbu, pikirku sambil menikmati nafasnya dan memperhatikan detak jantungku sendiri. Kami sedang berada di antara sepiring puisi sepasang pengantin baru dalam bulan madu yang serupa deras ombak mengalir seirama angin dan hujan saat musim monsoon tiba.

Puisi-puisi puting beliung dalam belitan gemuruh dan desakan keinginan paling mendasar yang kami santap pagi itu. Lalu kami teguk segelas besar kupu-kupu tosca dalam gelembumg soda sehingga dalam perut kami berdua ada ribuan kupu-kupu menarikan tarian mereka, bergelombang-gelombang sensasi yang aku rasakan dari setiap teguk, memenuhi degup hingga penuh dan aku mabuk dirinya seperti dirinya mabuk diriku.

Hanya saja.

Tak ada pesta yang tak usai. Tak ada tarian yang tak selesai.

Ternyata, kupu-kupu tidak hidup sampai selama-lamanya. Mereka rebah satu demi satu. Tertidur, pingsan, mati? Entah. Mereka hanyut dan hilang dari dalam sistem, eforia itu perlahan menepi. Lalu, senyap datar beringsut-ingsut datang mengisi celahnya, hidup menjadi sebuah kebiasaan, bercinta menjadi semacam kewajiban, bahkan kadang merupakan sebuah kematian yang monoton, entah dia yang mati atau aku yang mati, atau dua-duanya mati sebelum pertempuran. Lalu, suatu pagi, aku bangun dan dia pergi. Sepucuk surat, menjadi penegasan bahwa yang namanya cinta itu stempelnya bukan sampai maut memisahkan kami, melainkan sampai tak ada lagi kupu-kupu dalam gelembung-gelembung soda itu.

"Hei, bangun cantik, jangan mimpi lagi." Kau menjentikkan jarimu di depan wajahku. membangunkan aku dari mimpi tentang kemarin-kemarin yang merupakan detik-detik usang. Aku memandangmu dengan rasa terima kasih, yang sengaja kubiarkan menetap lama, jatuh tepat di anak matamu. Kita beradu pandang, sekian detik berlalu menghentak menuju menit, kubiarkan tatapanku berlabuh padamu, menepikan sampan-sampanku dan mencoba menemukan sesuatu tanpa perlu merasa sangat ingin. Bagiku, sejauh ini, adalah soal eksplorasi belaka, kemungkinan selalu menyenangkan untuk ditelusuri. Siapa tahu, mungkin saja memang di sana ada pengganti harta karunku? Entahlah. dan manik matamu bergerak, mengerjap, sebuah isyarat yang kukenal baik dari sekian banyak pertemuan, matamu perlahan berusaha mengalihkan pandangan ke lain tempat.

Aha!, di dalam relung hatiku aku bersorak, selalu saja seperti itu rasanya ketika menang adu tatap. Ah Lelaki Pagi berdasi kuning kecoklatan berselempangkan garis-garis abu-abu di atas kemeja abu-abu mudamu yang licin dan cermat (selalu saja aku ingin bertanya, siapa yang menyetrikakannya untukmu?), kau jengah saat kupandang sedemikian rupa. Lelaki pagi. Ya, ya, itu dirimu, Lelaki pagi, sepagi matahari muda yang mengecup wajah bumi dengan sekecup ringan dan harum nafasmu sesegar bau mulut setelah berkumur dan sikat gigi. benarbenar segar. Dan sekarang kau jengah, saat mata milik malam ini menghujanimu dengan kecupan dari dalam jiwa. Sekilas pipimu merona sebelum kau memberitahuku bahwa kau sudah memanggil seseorang masuk dalam lingkaran ajaib milik kita. Ah. Mengapa harus begitu?

"Tidak keberatan kan?" Tanyamu dengan suara rendah dan lembut seraya tanganmu menyeberangi ruang antara kita lalu menyentuh ringan tepi jemariku. "Tanpa ijinmu, aku mengajak Maya makan pagi bersama, sebab kita harus membicarakan proyek buku kita bersama-sama. Maya adalah ilustrator paling keren yang aku kenal. Aku mempercayainya. Dan satu hal lagi. Aku sudah secara lancang, mengirimkan draft tulisan itu kepadanya. Disela lunch, kemarin, kami sudah bertemu dan menakjubkan sekali hasil interpretasinya, karena itu aku berani mengajaknya pagi ini untuk bertemu denganmu. Ini sebuah kejutan." Kau mengangkat jemarimu dari atas jemariku dan tersenyum lebar seperti bocah kecil yang bangga karena berhasil membaca satu kalimat penuh tanpa terbata-bata. Mengapa kau angkat jemarimu dari tepi-tepi jemariku? Aku masih ingin persentuhan itu berjalan sedikit lebih lama.

Aku tersenyum tipis, memikirkan seandainya saja kamu bisa membaca pikiranku saat ini. Lelaki pagi berdasi kuning kecoklatan dihiasi garis miring abuabu, bolehkah aku mengecupmu? Tanya mataku. Kau sepertinya mencoba setengah mati untuk menjadi kekasihku setiap kita sarapan pagi. Kini kau sudah melangkah jauh ke dalam hidupku. Hei, kau bahkan bisa kulamar menjadi suamiku suatu saat nanti kalau keadaan kita tetap seperti ini.

Tapi, tunggu dulu.

"Maya? Aku ingat nama itu pernah dihubungkan dengan namamu, kan? Hmm... apakah dia ini Maya yang sama dengan Maya mantan kekasihmu?" Tanyaku, berusaha mengatakannya seenteng tisu yang baru saja kukeluarkan satu lembar dari bungkus mininya. Dan kamu, Laki-laki Pagi, nampak salah tingkah.

"Hanya rumours," katamu singkat seraya sedikit mengernyitkan keningmu, lalu berkonsentrasi pada sepiring nasi goreng yang pagi ini menjadi pilihanmu, sementara aku masih meniup permukaan sup krim panasku di dalam mangkuk lebar yang nyari menelan wajahku, sambil mengulang ucapanmu, "hanya rumours?", dan kamu mengangkat bahumu sedikit, ujung bibirmu sebelah kananmu terangkat sedikit juga, sambil menjawab ringan, "rumours yang sama sekali tidak penting."

Sialan kau! Mengapa gerakan facial kecil itu begitu menarik kelihatannya? Tiba-tiba saja aku menyadari bahwa ada sebuah sensasi yang berbeda. Nampaknya aku, perempuan teman sarapan pagimu ini sedang dilanda gelombang yang berbeda. Sedang menjadi buih-buih di atas ombak-ombak dari sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Diam-diam aku mencuri pandang ke arahmu dan terpesona sendiri dengan sesuatu di dalam diriku. Keinginan untuk memagari waktu-waktu kita tanpa interupsi, apapun bentuknya, atau lebih tepatnya siapapun bentuknya. Aku mendadak jengah dengan apa yang aku rasakan.

Tepat di saat itu Maya melambai cantik, bagai dua tetes madu manis yang menetes tanpa sengaja di antara kita, "Selamat pagi," katanya berdenting dalam sebuah notasi nyaris sempurna, perempuan yang dibalut busana kasual itu masuk dalam orkestrasi pagi hari ini, menyatu sempurna dengan pagi milik Lakilaki Pagi itu, seakan dialah yang telah menyetrikakan bajumu dan mengenakan dasi itu ke sekeliling kerah lehermu.

Dan kamu Lelaki Pagi, kamu tersenyum lebar, berdiri menyambutnya, mengecup pipinya kiri dan kanan sebelum menyeretkan kursi untuknya dan mempersilahkannya duduk. Kusadari bahwa kita kini bertiga. Tiga, sebuah angka yang ganjil kan? Ufh! Sarapan pagiku mendadak beku. Aku tersenyum ke arahnya dengan berkilo topeng memberati seluruh syaraf wajahku. Ingin rasanya aku pergi saja dan menyerahkan segala keputusan ke tanganmu, bukankah kamu sudah lebih dahulu memutuskan segala-galanya, jadi, silahkan, teruskan saja! ingin juga rasanya kutuangkan kopi ke atas kepalamu. Dasar lakilaki!

Tapi, tunggu dulu.

Mendadak aku berhenti dan merasa ingin menendang bokongku sendiri. Luarbiasa konyol! Ya, aku yang konyol. Jelas-jelas, amat sangat konyol! Bukankah baru lima menit yang lalu semua ini kuanggapa sebagai sebuah perhatian yang mendebarkan dan menghangatkan hati? Arrrggghhh... ingin kubenamkan wajahku ke dalam mangkuk sup, di saat itu kulihat asapasap tipis naik kembali dari permukaan sup. Aku jadi kepingin sekali tertawa, menertawakan kebodohan itu. Ayolah SN, tak ada alasan untuk cemburu, aku membujuk diri sendiri. Mendadak pula aku ingat kertas yang tadi kamu berikan kepadaku, belum juga sempat kubaca. "Selayaknya ini bukan puisi," katamu tadi. Kalau begitu, apa kirakira? Kulipat kertas itu lalu saat kuselipkan ke dalam tas tanganku, aku menangkap matamu memandangiku dengan sinar mata yang tak mampu kutebak sementara suara Maya mengisi udara disekitar kita, menceritakan tentang kemacetan yang harus ditembusnya sepanjang jalan menuju ke tempat pertemuan ini. Ah, pagi selalu berselingkuh erat dengan kemacetan di Kota Besar ini.

Baiklah, kututup sesi tanya-jawab dengan diri sendiri lalu bergabung dengan kalian. Maya menyalakan laptopnya, meletakkannya pada posisi yang paling tepat sehingga ia dapat mempertontonkan gambargambar yang telah dibuatnya untukku, untuk kita, sekaligus menjelaskan detil-detil yang perlu. Harus kuakui aku terpesona, dia bisa menangkap persis seperti yang kuinginkan. Hanya satu saja kekurangannya, mengapa musti Maya? Di saat itu, kurasakan tanganmu memijat lembut tengkukku, baru kusadari bahwa kamu telah berdiri tepat dibelakangku. Ah, aroma aftershavemu membuat aku memutuskan untuk mengecup bibirmu. Aku berjanji akan melakukannya. Nanti malam, dalam mimpiku.

Bio singkat pengarang: Ge Siahaya, domisili di Jakarta, aktif menulis di blog Kampung Fiksi: http://kampungfiksi.com/, sudah menerbitkan antologi cerpen.