Perawat Jenazah

ia perempuan.
urai panjang rambutnya selamanya menghitam malam, sepasang matanya bertoreh baskara, tangan kanan menggenggam fajar yang kiri menadah ranah buritan. kakinya mengayun angin di atas dipan -dinikmati itu seumpama candu- dan bila waktunya datang, ia langkahkan kemana berjalan.
kini jalannya melesat tak terhambat: baginya cuma satu, cabang dan ranting itu semu; maju. katanya kematian tak jemu menunggu
.
Suara-suara memanggil namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. Bebunyian yang bertahun-tahun dia kenali melebihi pengenalannya akan jumlah usia yang selalu lalai dihitungnya. Sebentar lagi pasti ada yang datang, pikirnya. Dia bangkit, dipan kayu berderit.
“Sudah waktunya. Tapi aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.
Seorang sepertinya tidak membutuhkan citra, hanya ketulusan, dia bergumam. Satu-satu, perhiasan yang ada pada tubuhnya terlepas: kalung, anting, gelang dan cincin. Perhiasan toh cuma pemanis belaka, tak dibawa mati. Maka tidak patutlah itu bersinggungan dengan orang mati. Hanya perasaan jangan sampai mati.
Diambilnya air wudhu. Tubuhku memang masih hidup, karenanya harus pula suci, kata hatinya ketika dingin air padasan mencapai ujung sikunya.  Tak didengarnya ketukan di pintu yang memanggil-manggil namanya. Tapi ketika anak tertuanya pergi membukakan pintu, dia telah selesai sama sekali dalam bersiap. Dapat didengarnya orang yang datang dan kini telah duduk di kursi ruang tamu itu berkata:
“Pamularsih dan anaknya.”
*****
/2/
bila saja mampu, bukan pada alam ini nyawanya berdiri.
ia lebih tenang jika menyanding matahari dalam kisar galaksi. sebab ia bisa merajuk dayagunanya agar planet dan bintang mungil itu berpijar wajar atau melebur gentar. selaik keindahan tanpa rintih yang menyuara gelegar, begitu tenang dan tenteram.
apalah daya, tetap saja ia kumpulan debu dengan senyawa yang juga diburu. ia bersaksi itu tiap kali akan menggerutu.

Sampai di rumah yang sepi pelayat itu, Tugirah bergerak cepat. Dipintanya beberapa orang membentangkan kain jarit sepanjang yang ada, sebanyak yang ada untuk membunikan pekerjaan yang dilakukan pada mayit. Kali ini ada dua dan seperti yang lalu, hatinya masih saja bergetar. Kematian selalu mendirikan bulu roma. Selalu ada cerita di baliknya, setidaknya sebuah ikhtisar hidup dan lonceng tanda bersiap-siap bagi yang hidup. Seperti dia, kematian baginya adalah agung hingga tak dapat lagi dibedakannya antara mayit-mayit dengan buah hatinya. Mayit adalah anak-anaknya juga dalam satu perbandingan tanpa kesenjangan. Karena jika telah sampai tangannya yang gemetar menyentuh bagian tubuh mereka yang beku, dia selalu dapat merasakan sensasi yang mendesak rahimnya, bagai menjelang sebuah kelahiran.
Dia mencintai mereka seperti orang-orang tamak mencintai mestika.
“Siapa denganku?” tanyanya. Seseorang di luar naungan kain-kain jarit yang dibentangkan memutar pada tiang-tiang bambu secara darurat menjawab dan menyebut nama dua orang. Dua orang yang baru disebut memang beberapa menit kemudian masuk. Tugirah mengenal mereka.
Salah satu dari mereka, yang lebih tua, menyapa basa-basi. Di matanya Tugirah tidak menemukan keikhlasan, hanya pandangan enggan dan jijik. Pada yang seorang lagi pun demikian. Terlihat sinar mata itu meredup dan bergerak-gerak aneh mencari obyek yang lain selain mayit si janda kembang dan anaknya itu. Tugirah mafhum. Dia toh hanya butuh saksi.
*****
/3/
dipersiapkan berlapis gelombang putih untuk dilaraskan. ruah bening dari berbagai mata air dikumpulkan serta digenangi penggal-penggal dunia selebar kelor. tak luput wewangi alam yang bernafas dihimpun sampai nanti dihembus salam.
beruntun, kepada sebujur jasad, ia kabungkan kesemua lapis gelombang itu setelah tetumpah mata air dibasuhkan dan ditiupi salam wangi. sesungguhnya ia tahu, berkali ia menyaksi nyawa mengambang di sela berkasih dan bersayang dibalutkan.

Ada yang harus dibasuh, pikirnya, tak hanya sekedar tubuh yang meriah dengan lebam mayit, tapi bau yang meriap. Diucapkanlah doa, lalu minyak wangi pada buli-buli dituangkan. Tubuh diam Pamularsih dan anaknya yang baru berusia dua tahun itu dijejerkannya dalam satu barisan rapat. Kata orang yang memanggilnya tadi, mayat mereka berdua ditemukan tadi pagi setelah hilang sejak kemarin sore.
Diliriknya kedua orang yang bersamanya. Saat itulah tangan mayit Pamularsih mencengkeram ujung lengan bajunya.
“Selalu yang punya rahasia. Apa yang hendak kau sampaikan, Nduk?” tanya Tugirah. Selalu begini. Apakah karena mayit-mayit yang berada dalam urusannya adalah juga anak-anaknya? Benarkah begitu hingga semua rahasia mereka akan diadukan kepadanya?
Dia melirik kembali kembali kedua orang yang bersamanya. Mereka tengah sibuk mempersiapkan beberapa kebutuhan lain sekaligus memasukkan dan mengeluarkan beberapa yang telah tak digunakan atau yang akan digunakan dengan orang-orang di luar bentangan kain-kain jarit.
Pamularsih berkata memelas, “Nyawaku belum sampai tempatnya, Bu.”
“Lha, kok bisa?” tanya Tugirah. Dimiringkannya mayit ke arah kiri, salah satu dari dua orang yang bersamanya tanggap untuk memercikkan kembali air dari wadahnya. Kening orang itu terlihat berkerut keheranan.
“Bu, “ panggilnya ragu-ragu. Tugirah menggeleng dan memberi isyarat padanya untuk diam saja.
“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.
“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.
“Dia mengajak kami berdua. Katanya akan dibawa minggat diam-diam. Ternyata, belum juga keluar dari jalanan desa ini, dia khianat. Ada anaknya dalam rahimku ini, Bu.”
Tugirah diam. Sudah banyak diketahuinya dari seluruh kematian yang pernah dia temui dan dia tidak ingin menambahnya lagi, sebenarnya. Dia sudah terbiasa mendapati kenyataan yang sebenarnya dari berbagai rahasia tanpa mampu untuk membuat suatu akhiran yang dapat mengubah. Dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia hanya mampu memberikan keseluruhan yang dia mampu untuk menyucikan mayit, bukan menjadi penuntut atau bahkan seorang hakim.
Mayit Pamularsih dan anaknya memanglah dia agungkan benar-benar. Dibuatnya mereka laksana patung-patung pualam yang lolos dari cela dan melimpah dengan kasih sayang darinya karena mayit-mayit itu adalah juga anak-anaknya, buah hatinya. Boleh jadi di kehidupan dunia nama mereka telah tidak tercatat, tapi Tugirah adalah orang yang percaya bahwa kesucian jasad adalah kunci pertama menghadapi siksa kubur.
“Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.
Kedua tangannya terangkat. Berdoa.
*****
/4/
barangkali tak ubahnya seorang musafir. setelah lelah menempuh safar; mengikuti kaki hilir dan memutar badan, ia bujur keseluruh tubuh tanpa mengacuh kiri kanan. yakin ia sudah kumuh. apa peduli dengan selembar tanah yang baru ia gelar. merebah saja dan segala pemandangan dipejam.
Suara-suara itu sayup sampai kembali di telinga Tugirah. Dia bergeming. Dia merasa cukup dan enggan, pun telah bersumpah bahwa kemarin adalah yang terakhir buatnya. Dia merasa sudah cukup mulia dan tak ingin rakus menelannya seorang diri. Toh akan muncul orang selain dirinya, yang lebih fasih dari sekedar membasuh dan menyucikan mayit, yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendengar dan mengerti isyarat-isyarat yang ditunjukkan, rahasia-rahasia sebalik kematian. Semoga.
Ketukan-ketukan di pintu rumah tak digubrisnya. Dia tahu, anaknyalah yang akan menemui dia, siapapun yang datang ke rumahnya. Tapi memang suara-suara di kupingnya masih saja memanggil-manggil, dia tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai dia mati.
Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.
Di depan pintu, anak tertua Tugirah menghadapi tamunya.
“Ada lagi yang meninggal?” tanyanya.
Cigugur, 12 November 2011
- Berdasarkan puisi Naim Ali, “Perawat Jenazah”

Wangi Bunga Kumbasari

Pundakku ditepuk orang. Aku menoleh. Begini: pada kehidupan sehari-hariku belakangan, makin sulit aku mengenali seseorang di tempat tak terduga. Tempat tak terduga itu maksudnya konteks. Konteks itulah yang biasanya kugunakan untuk melokalisir seseorang. Termasuk di dalamnya misalnya pada kesempatan apa aku mengenalnya, dimana, kapan, serta kaitan-kaitan lain yang memudahkanku untuk mengingat siapa dia.

Terlebih, kalau kusempitkan pada wanita. Wanita sekarang di mataku sama saja: potongan rambutnya (yang kemudian berpengaruh pada bentuk dan ukuran kepalanya), pakaiannya, tasnya, dan lain-lain. Aku lebih mudah mengenali merek sepatu mereka daripada identitas diri mereka.

Kali ini perkecualian. Waktu, tempat, semuanya sungguh tak ada hubungan dengan konteks dia yang pernah kukenal. Bahkan dia sudah hampir hilang—tidak saja dari pengharapanku, tetapi pikiranku.

Lihat saja: ini Kumbasari. Sebuah pasar tradisional di Denpasar, Bali, tempat jualan sayur-mayur, ikan, daging, dan lain-lain termasuk bunga—yang kusebut terakhir ini yang membawaku kemari. Sementara kami dulu berhubungan di Jakarta. Kapan? Dua puluh, 25, atau 30 tahun lalu? Hanya pada momen seperti ini aku berkesadaran umur. Sepanjang perkiraan waktu seperti kusebut tadi kami tidak pernah bertemu lagi. Anehnya, seketika aku bisa mengenalinya.

Aku terheran-heran. Tak percaya pada penglihatan sendiri. Dia di sini, di pasar Kumbasari, malam hari, saat aku membaui wangi aneka kembang yang diturunkan dari truk dari Kintamani.

“Heran?” tanyanya.

“Kamu juga heran?” aku balik bertanya.

Dari hendak berjabat tangan, secara spontan kami jadi saling merapatkan tubuh. Ia mengusap-usap punggungku. Aku mengusap-usap lengannya. Sudah agak kendor. Ukuran tingginya tetap—ya, pertumbuhan tinggi seseorang berakhir pada masa remaja. Dulu aku mengenal dia setelah ia melampui masa remaja, bahkan sudah beranak satu. Kesesuaian tinggi kami berdua itulah yang dulu sering kami banggakan, merasa hubungan sangat ideal. Posisi apa saja enak: berdiri, miring, tidur.

“Kamu tak bertambah tinggi,” selorohku.

“Pinggang kamu juga tidak jadi tambah gendut. Tetap enak dipeluk,” ucapnya.

“Masih mau?” tanyaku.

“Mana bisa menolak...” ujarnya disertai tatapan mata itu, yang harus kusebut: agak nakal.

Kami berdua tertawa. Baru setelah itu sadar, dan saling bertanya kabar, kenapa di sini, dimana tinggal, hidup macam apa yang dijalani sekarang, siapa pasangan hidup, kenapa istrimu tidak ikut (kujawab ia tidak suka ke pasar), kenapa pula suamimu tidak ikut, aku balik bertanya (ia menjawab sambil tertawa, katanya ke pasar adalah tugasnya), dan lain-lain.

***

Dia punya dua tanggal kelahiran. Atau jangan-jangan lebih. Aku geli mengingatnya.

Pada zamannya ia terkenal—sangat terkenal, sebagian orang pasti masih mengingat namanya. Ia primadona dari panggung kesenian tradisional. Kelompok kesenian yang melambungkan namanya serta beberapa nama lain itu tak kalah populer pada zamannya. Sebuah buku pernah ditulis, meriwayatkan perjalanan kelompok tersebut.

Dari panggung kesenian rakyat, beberapa pemain kemudian sempat main beberapa film layar lebar. Tentu saja termasuk sang primadona yang kuceritakan—yang namanya ditulis besar-besar di poster film. Sutradaranya bukan sutradara sembarangan. Sekarang sudah meninggal. Aku datang waktu kremasi jenazahnya.

Produksi film itu yang mempertemukanku dengannya. Aku berkeliaran di lokasi shooting—sebuah studio besar di Jakarta Selatan—di antara sebagian besar crew yang kukenal akrab. Yang paling kuingat—kutahu ini sebagian menjadi gosip di kalangan kami kemudian—usai sebuah pengambilan gambar berdurasi panjang ia seperti kehilangan dirinya. Itukah yang disebut ekstasi peran?

Tiba-tiba ia menjerit, minta disetubuhi. Tempatnya memungkinkan. Hanya kami berdua di tempat itu ketika peristiwa kuceritakan ini terjadi. Diam-diam aku memang menguntit dan selalu di sekitarnya. Jujur, aku tertarik padanya. Meski singkat, kami melakukan dengan menggelegak. Seperti tabrakan kereta diesel.

Wuiihhh, dia tergolek dengan pakaian berantakan, mengatur napas kembali, sembari bibir menyungging senyum. Aku buru-buru membereskan pakaian sendiri, dari peristiwa tak terduga dan tak terlupakan itu. Ia membereskan diri kemudian, sembari menyulut rokok.

Setelah itu, kami sering melakukannya. Tanpa perlu alasan. Hanya butuh tempat.

***

Seperti kusinggung di atas, waktu itu dia sudah punya satu anak. Umurnya sekitar dua tahun. Tak jelas hubungannya dengan bapak dari anaknya, namun setidaknya waktu itu mereka masih tinggal serumah. Rumah mereka di Jakarta Selatan.

Pada kesempatan khusus, kadang pengin juga aku berdua dengannya. Kesempatan khusus, bukan asal-asalan, supaya hubungan punya alasan—meski sedikit dan tak seberapa. Tidak cuma gituan.

Ia gembira ketika pada hari yang ia sebut sebagai ulang tahunnya kami bisa berdua. Kami makan berdua. Tidak bisa lama-lama. Bisa kumaklumi. Pasti ia butuh waktu bersama keluarga. Hubungan kami, sebutlah, hanya sekunder.

Baru belakangan, jauh hari seusai hubungan kami tadi jadi kenangan, ada lelaki yang bercerita padaku bahwa ia punya pengalaman serupa yang kualami dengannya. Kami lalu mencocok-cocokkan pengalaman kami berdua. Tentu—dan tentu saja aku juga minta maaf kalau ini menyinggung perasaan kepantasan Anda—kami bertukar cerita sembari tertawa-tawa.

Persis seperti kualami, dia juga bercerita mencoba menciptakan kesempatan istimewa pada hari ulang tahun primadona kami ini.

“Kuingat, waktu itu tanggal 12 Januari. Pas Jakarta selalu hujan,” katanya. Dia hendak mengasosiasikan perempuan ini dengan hujan dan hawa dingin. Apalagi yang kemudian enak dilakukan, Saudara-saudara...

Kusergah. Ingatannya pasti salah. Ulang tahunnya bukan tanggal 12. Seingatku tanggal 18.

Kami saling ngotot mengenai ingatan kami masing-masing. Kemudian pecah tawa kami. Mungkin primadona ini bahkan masih memiliki beberapa tanggal lagi, untuk menyenangkan pihak yang lain lagi. Terus terang, kami agak kurang paham dunia sandiwara.

***

Primadona yang dulu itu sekarang berdiri di hadapanku di pasar Kumbasari. Konkrit, real. Bukan ilusi Facebook. Masih tersisa kecantikannya.

Kami menepi, berbincang di warung kopi di sudut pasar di pinggir Tukat Badung. Katanya sudah hampir 10 tahun ia tinggal di Bali. Bersama pasangan yang ia sebut suami, ia mengaku tinggal di daerah Sesetan. Mereka buka warung makan. Ia biasa belanja kemari setiap malam. Ohhh...

“Ayo mampir,” ajaknya.

Setelah beres urusan pasar, kami pun menuju rumahnya. Lucu juga, hubungan tanpa alasan melahirkan keakraban seperti ini. Kami menelusuri jalanan Denpasar yang sepi.

“Setelah pohon besar yang disarungi itu belok kiri,” katanya padaku menunjukkan arah.

Rumahnya tak jauh dari pertigaan. Daerah ini seperti pasar. Di dekat dia ada model-model rumah yang tampaknya juga dijadikan tempat usaha.

“Ramai kalau siang,” katanya.

Kami melangkah masuk rumah. Dia ribut berseru membangunkan seisi rumah, termasuk pembantu yang segera mengurusi semua barang belanjaan. Seorang pemuda, dengan rambut kusut keluar kamar.

“Ini suamiku,” katanya mengenalkan pemuda ini.

Dia menyalamiku, sambil tersenyum dan mengucak-ucak mata.

Aku ia perkenalkan sebagai “sahabat lama”, sudah seperti saudara.

Pemuda yang kuduga seusia anaknya itu minta izin, masuk kamar lagi.

“Bagaimana kabar Adira?” kataku padanya, menanyakan kabar anaknya. Masih kuingat, nama anaknya Adira, panggilannya Dira.

Ia tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan. Kelihatannya tahu maksudku.

“Ya, dia seusia Dira. Lebih muda setahun,” bisiknya. “Dira sekarang sudah kerja di Batam. Sudah punya istri, punya anak. Aku sudah jadi nenek,” ucapnya. “Masih mau sama nenek-nenek...” tambahnya dengan lirikan khas matanya.

Dia tak berubah. Masih tersimpan magnet di situ. Aku cuma bisa tertawa.

***

Sudah dini hari ketika aku kembali ke vila tempat kami menginap di daerah Krobokan. Istriku sudah pulas. Selalu seperti itu tidurnya. Seakan tak ada masalah di dunia.

“Tadi malam jadi kemana?” tanyanya saat kami berdua breakfast. “Ke klub-klub di sekitar sini, apa ke Kumbasari?”

“Ke Kumbasari,” jawabku.

Meski dia sendiri tidak suka tempat yang disebutnya becek seperti keadaan umumnya pasar-pasar tradisional, tapi ia memaklumi kesukaanku, menelusuri tempat-tempat yang sering kujelaskan padanya, tempat dimana aku menyerap daya hidup.

“Bagaimana pasar Kumbasari tadi malam?”

“Wangi bunga.”





Suwung Kangin, Januari 2012

Sebutir Peluru Dalam Sunyi

Sebutir peluru, kerap disebut sebagai timah panas, kini tengah menggigil kedinginan. Ia terjatuh di sebuah sudut ruang di balik lemari. Sendirian. Bersatu dalam kegelapan. Bermain dengan debu-debu yang berebutan melekatkan diri padanya.

Pada kesunyian, terdengar hiruk-pikuk di atas. Di tempat semula ia tersimpan bersama kawan-kawan yang satu per satu pergi menunggu giliran. Berganti kawan-kawan baru. Ah, ia mendengar kisah dari sebutir peluru, entah siapa yang tengah bercerita dalam lelah. Tentang butiran-butiran proyektil peluru yang telah melesat, bukan pada sebuah pelatihan.

Apakah ada perang? Tanya sebutir peluru di sudut bawah yang tak bisa terjawab sendiri. Bila benar terjadi peperangan, maka para proyektil peluru akan merasa gagah untuk melesatkan diri dan menunjukkan jati dirinya yang mampu menembus dinding kulit manusia, menghujam daging-daging manusia dari para lawannya. Kematian demi kematian dalam sebuah peperangan dari masing-masing pihak, menjadi pertanda perhitungan atas kemenangan ataupun kekalahan. Nyawa seakan menjadi hitungan angka-angka. Tapi, apakah benar memang ada perang? Tak mungkin, ia menjawab sendiri dalam gamang. Tiada desas-desus sebelumnya, dari mulut-mulut manusia ketika memainkan dan menghitung butiran-butiran peluru di gudang simpanan.

Ia pekakan pendengaran. Terlalu pikuk. Mungkin kawan-kawan lainnya juga sibuk bertanya, dan kawan-kawan yang baru datang juga berebutan saling bercerita. Melebihi pasar tradisional dengan beragam pedagang yang menawarkan dagangan.

Peluru itu, dengan proyektil runcing di ujungnya, terlapisi tembaga dengan warna kuning keemasan yang manis terlihat, semakin memaksakan diri untuk menangkap kisah di atas. Samar terdengar. ”Bukan, bukan perang. Tapi perang juga. Ah, bukan... itu namanya bukan perang,” sebuah peluru gagap mengungkapkan peristiwa.

”Lantas,”
”bukankah perang merupakan pertarungan meraih atau mempertahankan kemerdekaan? Mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak yang akan menyerang atau menggerogoti dari dalam. Sahabat-sahabat kita telah melesat bukan pada sosok-sosok yang memiliki peluru-peluru macam kita,” sahut peluru lainnya.
”Lantas?”
”Entahlah. Manusia memang aneh. Tampaknya mereka bersaudara. Mereka yang menolak sebuah proyek yang mengancam keberlangsungan hidup mereka,”
”Pasti ada provokator di balik ini semua,”
”Atau sang komandan salah memberi perintah,”
“Atau anak buah serentak salah kaprah,”
“Atau......?”

Tiba-tiba hening kembali. Sama dengan keheningan sang peluru yang berada di sudut bawah. Sebuah peluru manis yang jauh berbeda dengan peluru sebelum senjata api diciptakan. Bola logam atau bola batu untuk berburu. Peluru yang masih berbentuk bulat lebih sempurna pada periode tahun 500-800. dan mulai mengerucut bentuknya, hasil cipta Kapten John Norton dari Angkatan Darat Inggris pada tahun 1823 dan tersempurnakan hasil cipta William Greener pada tahun 1836. Percobaan demi percobaan yang semakin sempurna, yang terawali dengan ditemukannya peluru berselebung tembaga oleh MayorEduard Rubin di tahun 1882. Permukaan timah pada peluru yang ditembakkan dapat meleleh karena suhu panas dan gesekan dengan laras senapan. Karena tembaga memiliki titik lebur yang lebih tinggi dan lebih keras, peluru terselubung tembaga dapat ditembakkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Semakin waktu berjalan semakin sempurna saja, bentuk dan kekuatan peluru yang tercipta. (lihat sejarah peluru dan perkembangannya: http://www.berbagaihal.com/2011/06/sejarah-peluru.html)

”Atau..” ia mendesis sendiri. Teringat kisah-kisah kawannya, kumpulan peluru yang tercipta secara gelap ataupun tercuri dan jatuh di tangan-tangan manusia jahat yang bisa dengan mudah melesatkan proyektil peluru ke sosok-sosok manusia jahat juga kepada sosok-sosok yang sebenarnya tidak berurusan dengan dunia mereka. Sosok-sosok yang merasa menjadi penguasa dunia dan memainkan perputaran uang yang sangat dahsyat. Peluru-peluru yang menjadi senjata penjaga kestabilan kepentingan mereka.

”Ah, tidak mungkin. Ketika kawan-kawan kembali, berdiam di tempat ini, maka keamanan-lah yang terutama, demi menjaga sebuah bangsa dan negara. Tapi apa arti kisah dari kawan-kawan di atas sana?” tak habis pertanyaan menggantung menjadikan kepenasaran yang teramat sangat.

Ah, sang peluru teringat, ketika ia pernah terbawa oleh seorang perwira, ia pernah menyaksikan sebuah senjata tanpa peluru dengan suara letusan untuk membuat kejutan yang bisa digunakan untuk memecah konsentrasi aksi masa tanpa harus merebut nyawa. Atau teringat perbincangan yang ia dengar tentang peluru karet.

Ya, peluru karet, peluru yang dirancang tidak untuk mematikan kecuali digunakan pada jarak dekat atau mengenai bagian vital seperti kepala. Peluru-peluru jenis inilah yang digunakan oleh tentara Israel ketika menembaki aksi masa orang Palestina atau yang dilakukan tentara Bolivia kepada para petani yang melakukan aksi protes perusakan tanaman koka. Ya, peluru jenis ini yang digunakan oleh Amerika untuk meredam aksi demonstra anti perang dan hak-hak sipil pada tahun 1960-an. Namun, setelah beberapa kematian akibat peluru karet, bukankah penggunaannya sudah ditinjau ulang? (lihat tentang ini di SINI http://www.slate.com/articles/news_and_politics/explainer/2000/10/what_are_rubber_bullets.html)

Lantas, peristiwa macam apakah, sehingga kawan-kawan yang sejenis dengannya telah dilesatkan dan mengakibatkan kematian? Peluru itu semakin menggigil kedinginan dalam sunyi, sama halnya dengan hirup pikuk yang telah berhenti dari atas sana.

Yogyakarta, 26 Desember 2011
Cerpen Odi Shalahuddin

Ibu Tak Ingkar Janji

Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang suka mendongengkan cerita dan menyanyikan lagu untuknya sebelum tidur harus pergi. Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang cantik itu harus pergi jauh sementara Lisa belum selesai sekolahnya. Padahal Lisa ingin membahagiakan Ibunya sampai sekolahnya selesai. Lisa tak ingin lagi ribut dengan adiknya Didi yang bawel dan pelit, dan juga ia tak mau menyusahkan Ibu dengan seringnya minta uang jajan.

Tapi, hari ini Ibu berkata ia harus pergi. Pergi ke mana, Bu, tanya Lisa. Jauh, Nak. Ibu pergi untuk kamu, Nak. Semuanya untuk Rufi, kamu dan Didi, kata Ibu sambil membelai halus rambut Lisa.

Lisa tak mengerti setelah ayahnya yang pergi lebih dulu kali ini Ibunya juga harus pergi. Olala, betapa sepinya, kata Lisa. Kan, ada Nenek, Lisa, kata Ibu. Nenek dan Mbak Rufi akan menemani Lisa dan Didi setiap hari. Tenanglah, Ibu pasti akan pulang, Lisa, kata Ibu.

Ya, tapi pergi ke mana dan pulangnya kapan, Ibu tak menjawab. Bagi Lisa, Ibu tak mau menceritakan rencana kepergiannya karena Ibu ingin membuat kejutan untuknya. Kejutan berarti sesuatu yang membahagiakan dan pasti juga indah, batin Lisa.

Berkali-kali Ibunya hanya bilang ia pergi untuk Lisa, untuk Didi, untuk kami semua di sini. Ibu bilang ia pergi bukan untuk dirinya sendiri. Tapi apakah Ibu akan kembali? Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Lisa. Tentu Ibu akan kembali, Nak, jawab Ibu. Sekali lagi Ibu pergi untuk kalian, Nak, bukan untuk Ibu. Janji, ya, kata Lisa. Ibu berjanji, Lisa, bisik Ibu.

Hari ini adalah hari terakhir Ibu bersamanya. Seperti biasa malam ini Ibu mendongeng dan menyanyikan lagu untuk Lisa sebelum tidur. Suara Ibu yang nyaring dan jernih menyejukkan hati Lisa. Tak lama kemudian Lisa tertidur. Dalam mimpinya Lisa bermimpi naik kereta yang ditarik sepuluh ekor kuda bersayap putih bersama Ibu bersama Didi, Nenek dan juga Mbak Rufi ke langit penuh bintang. Di sisi mereka muncul bunga-bunga bermekaran.

Olala, betapa indahnya.

***

Sore ini Ibu sudah berkemas. Koper, tas ransel dan kerudung berwarna putih di kepala Ibu sudah siap. Didi, Lisa, Mbak Rufi dan Nenek menghantar kepergian Ibu. Lisa, Didi, jangan nakal, ya, Ibu pasti kembali, kata Ibu. Ya, Bu, jawab Lisa. Setelah Ibu naik ke atas bus, Lisa menghentikan tangisnya.

“Hati-hati, Bu! Ingat, Ibu pulang, ya!” jerit Lisa.

Dilihatnya Ibu melambaikan tangan di kaca jendela. Ya, ini hari terakhir Lisa dan Didi melihat Ibunya. Kata Mbak Rufi Ibu pergi ke Arab Saudi. Tapi bukan itu yang penting buat Lisa. Apakah Ibu akan kembali dan tidak pergi seperti ayah, tanya Lisa. Mbak Rufi tersenyum. Ibu pasti pulang, Lisa, kata Mbak Rufi. Ibu pasti pulang. Ya, Ibu pasti pulang...

2010

Dua tahun berlalu. Tak ada kabar dari Ibu. Lisa kangen sekali sama Ibu. Dituliskannya perasaan kangen Lisa kepada Ibunya dalam surat. Karena Lisa tak tahu alamat Ibu, surat-suratnya ia masukkan ke dalam botol dan ia hanyutkan ke sungai. Mungkin Ibu tak membaca suratku, tapi ia pasti tahu apa isi hatiku, batin Lisa. Hampir setiap bulan Lisa melakukan itu. Selain surat Lisa juga suka menggambar ibunya yang sedang naik kereta ke atas langit ditarik kuda bersayap putih seperti dalam mimpinya terakhir sebelum ibunya pergi. Sebenarnya Nenek dan Mbak Rufi tahu alamat Ibunya. Tapi mereka tak bisa memberitahukannya karena kata mereka tempat Ibu bekerja berpindah-pindah, dari satu majikan ke majikan lainnya.

“Tapi Ibu tak ingkar janji Lisa. Ibu tak lupa dengan kalian walau tidak bicara dengan kalian,” kata Nenek.
“Buktinya apa? Pasti Ibu pergi seperti Ayah dan tidak akan kembali lagi!” jerit Lisa.
“Lisa, Ibumu kirim uang buat kalian. Lihat, baju, boneka, tas, sepatu, dan seragam baru buat kamu kemarin siapa yang belikan? Itu semua dari Ibu, Lisa! Ibu kirim dari jauh!” jelas Nenek.
“Lisa nggak butuh uang, Lisa mau ngomong sama Ibu! Lisa ingin dengar dongeng dan lagu yang Ibu nyanyikan tiap malam!” jerit Lisa. Tangisnya meledak.
“Lisa, nggak boleh begitu. Ibu kan’ sudah janji pergi untuk kamu, untuk kalian, untuk kita. Ibu pergi untuk kita, Lisa dan ini buktinya!” jelas Mbak Rufi.

Lisa terdiam. Air matanya meleleh. Ibu, kenapa kau harus pergi jauh, batin Lisa. Mbak Rufi memeluknya.
“Ibu pasti akan kembali, Lisa. Ibu tidak lupa dengan kalian,” bisik Mbak Rufi.

Lisa pergi ke kamar. Dipandanginya di dinding lukisan Ibu karyanya yang sedang naik kereta ke langit ditarik kuda-kuda bersayap. Di mata Lisa lukisan Ibu bergerak. Langit yang penuh kerlap-kerlip bintang memancarkan sinarnya sementara sayap-sayap di kuda-kuda itu mengepak dengan indahnya. Ibunya tersenyum dan melambaikan tangan.

Oh, Ibu.

Keheningan malam mulai menyergap. Rasanya begitu lama Lisa tak lagi mendengar dongeng dan lagu untuknya.

2011

Sampai pada suatu sore yang cerah Lisa terkejut melihat kedua mata Mbak Rufi sembab di ruang tamu. Pulang dari rumah Evie, dilihatnya Mbak Rufi dan Nenek berpelukan, lalu menangis. Selain itu dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tak dikenalnya duduk di ruang tamu. Wajah-wajah mereka tampak asing di mata Lisa. Mungkin mereka dari kota.

“Ada apa, Mbak, ada apa, Nek?” tanya Lisa heran.

Keduanya tak menjawab. Mbak Rufi membelai kepala Lisa kemudian menyuruhnya ke dalam. Di kamar Lisa mendengar suara Mbak Rufi menjerit, histeris.

“Ini tidak adil! Ibu tidak bersalah! Kalau ibu memang salah kenapa dia harus dihukum begitu keji? Ini tidak adil! Tidak adil!” jerit Mbak Rufi.
“Tapi ini kabar yang kami terima, Mbak. Kami juga tak menyangka jadinya akan seperti ini. Apa daya sepertinya…”
“Sepertinya apa?? Lantas apa tanggung jawab kalian?? Apa kerja kalian, ha??”
“Kami hanya menyampaikan kabar ini kepadamu, Rufi. Ibumu …”

Oh, jadi ini tentang ibu? Ibu pulang? Hore, Ibu mau pulang! Tapi kalau Ibu mau pulang kenapa Mbak Rufi dan Nenek menangis?

“Kami bahkan tahu kabar ini setelah membaca koran asing. Tapi kami akan usut sampai tuntas kasus ini sampai mereka tahu bahwa ada yang tidak beres. Kami tahu sebenarnya ini adalah pembelaan diri Ibu kalian terhadap sikap majikannya. Kami tahu hal ini tidak sepatutnya terjadi bila vonis segera direspon advokasi pemerintah...”
“Ya, sepertinya ada yang ditutupi sehingga kasus ini baru ketahuan kemarin. Ada yang tidak mau kami tahu kabar ini….ada yang….”

Oh, ada apa dengan Ibu? Tadi orang-orang kota itu bilang “kasus”? Apakah Ibu berbuat kesalahan? Apakah Ibu mencuri? Apakah Ibu…Lalu Ibu ke mana? Kenapa Ibu tidak pulang? Lisa mengerti ini semua pasti tentang Ibu. Segera ia menghambur keluar dari bilik kamarnya yang sempit.

“Ibu pulang, ya, Nek? Ibu kapan pulang? Ibu kenapa, Mbak Rufi? Ada apa dengan Ibu, Mbak?” tanya Lisa. Ditariknya tangan Nenek, juga Mbak Rufi. Tapi di ruang tamu itu tak ada yang menjawab. Semuanya yang ada di ruang tamu hanya memandang Lisa dengan wajah muram.

Mbak Rufi lalu memeluk dan membelai kepala Lisa.
“Ibu pergi ke surga, Lisa,” bisik Mbak Rufi pelan.


Pamulang-Rawamangun, Juni 2011.

Negasi Holmes

Kau tahu? Semestinya kota ini sudah punya polisi kota sendiri. Jalanan sudah macet, mobil-mobil susah diatur, motor apalagi. Truk-truk dari kota-kota besar sudah meruah, membawa bahan baku untuk industri kota kita. Angka kriminal meningkat tajam. Kau tau, kan, berita kemarin? Perampok menggasak toko emas di pasar siang hari bolong. Menggunakan senjata lengkap laras pendek maupun panjang. Tidak ada yang berani menolong. Kemana polisi-polisi kita itu? Masih sibuk mengurusi terorisme, mungkin. Apa sih yang kamu lakukan di pos jaga?

Mungkin menarik bila kubuka kantor konsultan detektif di kota ini. Maraknya kriminal di kota kita merupakan lahan yang potensial untuk profesi detektif. Tentu sangat mengasyikkan. Sebagai awal, tidak usah kupecahkan kasus perampokan toko mas itu. Biar kasus-kasus yang ringan saja dahulu. Seperti misteri percintaan. Misteri siapa yang telah bersemayam di hatimu.
***

Malam minggu ini ramai sekali, tidak seperti malam-malam minggu sebelumnya. Di area Gereja mobil-mobil berparkiran sepanjang jalan, banyak juga sepeda motor. Ada Misa Malam Pekan Suci rupanya.

Di depan Gereja seorang kakek berambut putih, berjenggot putih berpakaian kaos putih dan bercelana katun putih berdiri di tengah jalan. Menadahkan topinya kemudian bersenandung kepada para pengunjung: "Semoga Tuhan memberkati! Semoga Tuhan memberkati!". Beberapa pengunjung melemparkan uang logam atau uang kertas pecahan kecil ke dalam topinya. Semoga Tuhan memberikan berkah kepada amalan mereka.

Aku limbung, hampir jatuh dari motor. Setelah di kelokan depan berpapasan dengan ibu biarawati yang hendak menyeberang. Beliau tergopoh meninggalkan Gereja saat Misa sedang berjalan. Mungkin mendapat kabar yang mengejutkan hingga tidak bersiaga di jalanan kota kita yang makin ramai saja. Tuh,kan, kota kita makin tidak aman.

Kutunggu kau di bawah pohon Akasia di samping pos jaga polisi, Va. Apa sih yang kamu lakukan di dalam Gereja?
***

Mempelajari kejahatan itu mengasyikkan. Kau ingat, kan, tentang masa remaja kita dahulu. Di ruang tengah kita bermain bersama. Bermain tebak-tebakan bersama ibuku. Ibuku sangat baik. Beliau menemani kita, supaya tidak terjadi hal-hal yang buruk, katanya. Beliau juga yang membuat kita menyukai kriminal. Koleksi buku detektifnya luar biasa. Kaungat percakapan ini, "Eva jika besar nanti mau jadi apa?" tanya ibuku waktu itu.
"Polisi!" kaujawab mantap.
"Mengapa Eva mau jadi polisi?" tanya ibuku selanjutnya.
"Biar Eva bisa menangkap penjahat! Biar Ibu sama Mustafa aman!" begitu jawabmu.

Ibuku tersenyum waktu itu. Selanjutnya dia membacakan serial-serial detektif dari koleksi novelnya. Sampai kita hafal betul, dan setelahnya kita bisa menebak penyelesaian kasus-kasus baru dari serial yang baru saja keluar di pasaran. Kita berujar mengenai cita-cita dan kita menjawab sama, "Detektif."

"Hampir semua hal di dunia ini bisa dijelaskan dengan logika. Bagaimanapun tanggapanmu terhadap suatu hal, itu adalah hasil dari olah pikirmu, Fa. Dari endapan pemikiranmu. Termasuk Tuhan." tiba-tiba Engkau berbicara kepadaku, Va, selepas menyelesaikan kuliahmu di Sepolwan itu.

Dan saranku, "Agamaku adalah agamaku, Agamamu adalah agamamu. Betapa muskil keduanya bisa disatukan. Sama saja engkau menjadi musuh dari keduanya. Engkau sahabatku, dan aku merasa lebih dari itu. Engkau yang aku inginkan untuk selalu di sampingku. Namun terdapat sekat yang teramat kuat, serta rapat."

Aku berpikir mungkin engkau bertambah relijius, dan tentu aku turut senang. Meski kita berseberangan keyakinan, ada satu yakin yang membuat kita tetap berhubungan. Cinta mereka bilang.

Percayakah kau akan rahasia rintik hujan yang mengguyur kota kita malam ini? Ada sesuatu yang turun bersamanya. Seperti menyanyikan kidung kerinduan yang mendalam. Ada sesuatu yang melekat bersama molekulnya. Mungkin dari rindu yang menguap berbulan-bulan lalu, kemudian menggumpal bersama awan, lalu jatuh menimpaku. Di bawah pohon Akasia ini.
***

Aku jadi teringat perdebatan dengan ayah sepekan silam setelah aku pulang mengantarmu bertugas. Aku didudukkan di ruang tamu. Ayah duduk di hadapanku, kemudian ibu di sampingnya. Engkau tau, aku disidang malam itu.

“Mustafa, darimana kamu?” Ayahku bermuka serius. Jarang-jarang beliau begitu. Beliau biasanya bersikap tenang yang sangat mencerminkan bahwa beliau seorang dosen di Universitas ternama di Yogyakarta. Kau tentu jarang bertemu dengannya karena beliau sibuk mengajar disana. Sedangkan aku tinggal bersama Ibu di kota tercinta kita, Cilacap Bercahaya.
“Sehabis mengantar Eva dari pos jaga, Pak.”
“Evangelin Kristanti?”
“Iya, Pak.”

Ayah mendesah, membuang pandangannya ke lukisan rumah gubug di tengah-tengah sawah yang terlihat sangat reyot dan sebentar lagi mungkin rubuh.

“Mustafa, sadarkah kamu? Kita ini orang Muslim yang terpandang. Bapak berprofesi sebagai dosen Jurusan Syariah di Universitas Islam ternama. Bagaimana tanggapan orang jika melihat anaknya bepergian dengan wanita yang bukan muhrim? Beragama lain pula.”
Aku hanya terdiam mendengar bapak berbicara. Di dalam hati, aku ingin membela diri. Namun Bapak masih melanjutkan pidatonya.
“Berapa umurmu sekarang? Dua puluh lima, kan? Ya, kau sudah cukup umur untuk menikah. Segeralah menikah. Tentang pekerjaanmu di kantor advokat biar nanti Bapak carikan kenalan di Yogyakarta. Kau cari pengalaman hidup di kota pelajar itu.”
“Iya, Pak. Tapi Mustafa sudah menentukan pilihan. Mustafa sudah mantap.”
“Siapa gadis itu?” Bapak sangat penasaran. Sedang ibu terdiam biasa saja.
“Eva, Pak. Mustafa memutuskan untuk menikahinya supaya tidak terjadi fitnah.”
Bulan malam itu enggan menampakkan diri. Mungkin tidak ingin menjadi saksi tentang kemarahan pertama sang Ayah kepada anak laki-laki satunya ini. Langit kelam tertutup awan hitam yang sekelam suasana rumahku kemudian.
“Astaghfirullaah! Sadarlah kau, Fa! Mengapa kau ambil ia sebagai calonmu?! Istighfar! Ingat asalmu, jangan sampai kau terperosok ke jalan yang sesat!” Nada bicara ayah meninggi. Di sampingnya ibu mengusap-usap halus punggung Ayah.

Aku mencoba tenang. Mencoba menata pikiranku. Beginilah dilema yang pernah kubayangkan sebelumnya. Mencintai seseorang yang berseberangan dengan keyakinanku merupakan hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Aku harus menerjang orang-orang yang kusayangi, keluargaku sendiri.

“Tapi, Ayah, aku seorang laki-laki. Seorang pemimpin rumah tangga nantinya. Aku telah mencari ketentuan dalam kitab suci kita dan tuntunan Nabi bahwasannya seorang lelaki muslim boleh menikah dengan seorang perempuan ahli kitab. Sebagian ulama pun membolehkannya.” Aku mencoba membela diriku. Aku tahu, ini adalah sikapku yang kurang ajar. Selama ini apa yang dikatakan ayah dengan takzim akan kupatuhi. Bagiku, beliau adalah lubuk akal tepian ilmu. Orang yang berilmu dunia dan akhirat. Namun, hatiku telah terhias oleh perasaan yang telah diciptakan Tuhan begitu indah, begitu mulia.

Ayah tetap pada pendiriannya. Beliau sangat terpukul dengan sikapku. Semenjak pertemuan malam itu, aku belum bertemu ayah sampai kini. Beliau menyibukkan diri dengan urusannya di Yogyakarta. Ibu, sebagai pengayom keluarga menjadi mediator bagi kami tinggal bersamaku di kota kelahiran. Aku melihat beberapa kali beliau menangis. Aku memahami, beliau merasakan kepadihan dalam hati. Beliau memahami perasaanku karena beliaulah yang sedari kecil mengerti hubunganku dengan Eva. Aku mengerti bahwasannya hidup adalah kumpulan dari kosistensi.
***

Semestinya engkau-pun tahu, Va, bahwa kita telah menjalani cinta yang salah. Sebagaimana engkau yang telah diberi kecaman oleh ibumu. Tapi cinta rupanya tak terikat pada logika, seperti yang engkau pernah ucapkan saat kita dahulu mendiskusikan bahan bacaan Sherlock Holmes yang kupinjam pada ibu. Kita sama-sama tergelitik dengan perkataannya: when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth. Sebuah acuan teori eliminasi yang telah membawamu meretas kasus-kasus kejahatan secara gilang-gemilang. Ya, pegangan yang membuatku memenangkan beberapa kasus dari klien yang kutangani. “Jika kita mengeliminasi hal yang tidak mungkin, apapun yang tersisa, bagaimanapun juga mustahilnya, itulah kebenaran”, begitu terjemahanmu.

Kita terbahak kala membahas kalimat Holmes yang telah membawa kita sukses dalam bidang kita masing-masing. Aku suka derai tawamu, rahangmu yang keras, mengisaratkan kau wanita yang berpendirian tegas. Namun matamu yang sendu mengisyaratkanmu sebagai wanita yang penuh dengan kelemah-lembutan.

Saat itu kau membuat sebuah kuis, “Apa ingkaran dari pernyataan Holmes ini, Fa?”
“Ah, entalah. Dia detektif sialan. Hasil dari yang kita singkirkan ketidakmungkinannya meskipun mustahil memang biasanya benar. Itu yang selalu kutemui. Menurutmu, Va?”
“Sama, Fa. Akupun begitu. Sering kupecahkan kasus dengan mengeliminasi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang ada. Baiklah, mungkin misteri ingkaran Holmes ini akan menjadi kuis abadi kita. Hal apa yang tidak sesuai dengan teorinya.”
“Hehehe..”, dan tawa kita-pun berderaian bersama.

Kau tahu, Va, aku telah menemukan jawabannya. Di bawah deraian gerimis ini. Aku telah menemukan sesuatu yang bahkan aku tidak bisa menemukan kesimpulan sebab ia ada. Sebab ia telah membuatku selalu merindu. Aku telah mengeliminasi kemungkinan cantiknya parasmu karena di luar sana banyak wanita yang lebih rupawan darimu, bahkan berjilbab yang sesuai dengan ajaran agamaku. Aku telah menghapus kemungkinan restu orangtua karena jelas-jelas orang tua kita tidak sepakat dengan hubungan kita. Aku tidak mengerti, Va, apa yang membuatku jatuh Cinta.
***

Kulihat jam tangan, jarum jam sudah bungkuk ke angka 20.30 namun ibadahmu belum saja selesai. Menunggu itu memang membosankan, namun aku tahu hasil yang aku peroleh setelahnya akan mengobati kepenatan yang telah kulalui sebelumnya.

Bangunan Gereja Tua St. Stephanus terlihat perkasa, meski di sana-sini menyiratkan kemuraman karena musim yang sudah mengikis putihnya cat-cat yang menempel padanya. Lonceng Gereja berdentang tiga kali ketika tiba-tiba aku melihat seberkas sinar keluar dari pintu Gereja. Sinar kuning yang menyilaukan dan tiba-tiba saja menghempas udara di depanku. Dentuman serupa meriam membahana membelah malam di kota kita. Orang-orang berlarian. Jemaat-jemaat berusaha menyelamatkan diri. Petugas polisi segera pontang-panting mengangkat tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Kota kita meriah. Kamu dimana, Va?***

Jakarta, September 2010
Catatan:
Sherlock Holmes: Tokoh detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle.
M. Nurcholis, penikmat sastra, tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan. Twitter: @n_choliz

Sehabis Hujan di Bulan Desember

Sisa hujan sore tadi masih membekas. Bulan ini memang sering disuguhi hujan hampir setiap harinya, dan mungkin hujan sore tadi akan menjadi hujan terakhir di tahun ini. Tanah basah. Pohon-pohon mengucurkan air, terimbas angin malam. Udara dingin menusuk. Suara katak ditingkahi jangkerik, membentuk simponi alam nan indah. Sesekali bunyi petasan dan kembang api mulai melalakukan pemanasan dengan melukis langit dari kejauhan membentuk pelangi di malam hari.

Semua fenomena itu siap mengantar kotaku menuju pergantian tahun. Lalu, banyak cerita yang bergulir dengan sendirinya. Tak mau kehilangan seluruh momen tersebut, aku segera menggerakkan jemari, bekerja di atas tuts-tuts keyboard seolah mengikuti irama tetesan air jatuh mengaliri dedaunan yang frekuensinya semakin melambat. Tetes demi tetes air itu seperti menggulirkan cerita sendiri-sendiri. Ingin kurekam seluruh pemandangan dan perasaan itu, tapi tunggu sebentar, tanganku masih basah.

Beberapa jam yang lalu…

Hari yang cerah tiba-tiba menjadi hari yang basah. Hujan turun, aku mengkerut di atas motor. Menyusut di antara sweeter kumal di tengah jalan macet. Sementara itu, orang-orang berlarian dan berteriak kepanikan. Mereka lupa payung sedangkan aku tak membawa jas hujan. Semua begitu, siapa sangka akan hujan.
Aku menepikan motor lalu berteduh di halte sambil menunggu hujan reda. Tapi kemudian itu pun berlalu bersamaan dengan sebatang A Mild yang terselip di jari tanganku. Lalu sepeda motor melintas cepat, air hujan yang tergenang di pinggir jalan muncrat ke wajah dan badanku. Aku lalu mengumpat, “Sial! Tanganku basah…!!!”
*
Well .. tahun baru sebentar lagi, sudah ramai orang membicarakan refleksi satu tahun ke belakang dan ekspektasi pada tahun yang mendatang. Sedikit ingin ikut arus juga sebenarnya tapi bukan mengenai hegemoni tahun baru. Ini tentang hujan. Lebih tepatnya kisah sehabis hujan. Dan aku suka sekali sehabis hujan di bulan Desember.
Kenapa harus sehabis hujan dan kenapa harus di bulan Desember?

Kontempelasi pun di mulai. Udara dingin, suara jangkerik. Sebentar lagi tengah malam. Dengan tangan yang masih basah, aku membuka catatan harian lalu memikirkan tentang apa yang pernah ku lalui sepanjang tahun ini. Aku tahu bahwa masa lalu dalam catatan itu adalah masa yang aku mengetahuinya dengan benar, sok tahu, karena hal itu adalah milikku sendiri, aku yang mengalami sendiri.

Lalu aku mulai menyelami aksara demi aksara untuk menemukan feel kejadiannya. Suka cita, kesal, kecewa, semua coba kurasakan kembali. Namun, tiba-tiba masa lalu itu menjadi kabur dan tak sungguh-sungguh tampak. Yang ada, ternyata, tak lebih dari coretan tanganku di buku harian tersebut. Tak ada realitas yang kudapati dari coretan yang kubuat sendiri, sekuat apapun aku pikirkan, aku tak bisa mengalami kembali masa lalu yang telah ku lalui itu.

Mungkin aku bisa memeriksanya di ‘laboratorium’ dan menemukan bahwa kertas buku harian tersebut dibuat di pabrik tertentu, dengan mesin tertentu, jumlah pekerja sekian, dan upah hariannya sekian, serta dibuat dari campuran kayu apa dan apa. Aku juga bisa memeriksa ternyata tinta yang dipergunakan berasal dari ballpoint anu , ukuran berapa, dan dibuat di mana. Tapi sungguhkah apa yang kemudian aku peroleh itu merupakan kenyataan di masa lalu?

Seberapa pentingkah pabrik kertas itu bagi apa yang terjadi pada hari ketika buku harian tersebut aku tulis? Aneh. Tiba-tiba aku meragukannya, dan seketika menyadari betapa kurangnya jejak-jejak yang telah ditinggalkan. Kertas, ballpoint , alphabet, itu adalah jejak-jejak. Tapi aku selalu merasa kekurangan jejak, seolah apapun yang terjadi, hanya membawaku pada ke ketersesatan.

Aku merasa jejak-jejak itu mewakili sesuatu. Masa lalu. Namun di satu sisi juga sadar, jejak itu sesungguhnya hanya mewakili dirinya sendiri. Aku mempertanyakan sejarahku sendiri dan aku mencurigai penulisnya yakni, diriku sendiri. Tapi sejarah tentang diriku itu ada di sana, di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, atau lebih tepatnya aku menjadi demikian sok tahu.

Lantas, apa kemudian yang aku miliki? Selama ini aku merasa sudah memiliki masa laluku (Bukankah satu-satunya yang kita miliki adalah masa lalu?). Akan tetapi, masa depan yang gelap pun, ketika kita membayangkannya, merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi sebuah masa lalu yang lain. Dan pameo “satu-satunya yang kita miliki itu adalah masa lalu”, dengan semena-mena kehilangan semua relevansinya. Dan aku tahu bahwa segala hal tentang masa lalu, ternyata, tak lebih dari sekadar bagaimana kita memikirkan hal itu.
*

Mungkin bagi sebagian orang, hanya saat hujanlah yang lebih menguasai alam memori pikirannya yang kadang naif. Air yang turun dan meluncur jatuh dari langit itu melambangkan anugerah dan cinta dari Tuhan.

Ada yang mengatakan, seprimitif apapun peradaban suatu bangsa pasti secara eksplisit maupun implisit mengagungkan hujan. Namun bagiku, aku suka hingga sehabis hujan, apalagi sehabis hujan di bulan Desember. Ia seperti cover buku tahunan yang menutup jejak-jejak kisah setahun dengan dingin sebagaimana filosofi hujan dalam peribahasa lama yang menyebutkan, “panas setahun terhapus hujan sehari,” dan hanya hujan di bulan Desember yang relevan untuk melakukan hal itu.

Akan tetapi, kisah tidak berakhir dalam hujan, melainkan kisah tetap bergulir sehabis hujan dengan spirit baru dan harapan baru. Dan bagiku, itu yang lebih penting. Begitu banyak peristiwa yang sudah kulewati dalam hidup yang menjadikan diriku seperti sekarang ini, itu karena keistimewaan hujan dan harapan sehabis hujan. Itulah sebabnya aku suka suasana sehabis hujan di bulan Desember.

*

Akhirnya, satu yang pasti dan kusadari betul bahwa hujan turut mendewasakan diriku dalam segala abstraksi hidup ini. Dengan turunnya hujan tadi, dengan bau tanah basah sehabis terkena hujan ini aku selalu ingat akan kasih Sang Pencipta yang tak terkira. Aku selalu ingat untuk berbuat yang terbaik bagi hidup kini dan hari esok. Aku selalu ingat untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku selalu ingat pada kasih dan pengorbanan orang tuaku beserta semua orang terdekat yang kusayangi. Aku selalu ingat untuk ikhlas dan bersyukur atas semua yang kupunya. Dan sehabis hujan ini, kuingin torehkan kisah yang lebih baik dari ‘panas’ setahun yang sudah kulalui.
*
Kamar ukuran 4×4 meter. Laptop di depan mata. Headphone tertempel di telinga. Dari balik headphone , Tracy Chapman bernyanyi lagu kesukaanku, “Give me one reason.” Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tanganku yang sudah agak kering berlarian di atas tuts-tuts laptop. Ku tulis feature . Cerita tentang diriku di masa depan dalam bentuk masa lalu.
*
Manado, 31 Desember 2010. Pukul 22.12 Wita.
Haz Algebra tinggal di Manado. Bergiat di Komunitas Bibir Pena.

Wajah Hujan

Air menderas. Terus berjalan menyusuri lekukan. Berbelok menuju selokan, tempat air yang lain juga berkumpul.

Hawa semakin dingin. Orang-orang berlalu-lalang menaiki motor dan mobilnya. Jalanan semakin sesak. Jam pulang kantor selalu macet. Ditambah lagi dengan air deras kiriman langit. Selokan pinggir jalan tak cukup bagi air. Jalanan menjadi tampungan. Air menggenang.

Roda beradu dengan waktu. Sesegera ia ingin pulang ke rumah. Tak peduli kanan kiri. Roda melaju. Dijejakkannya dengan cepat pada genangan di jalanan. Tercipta cipratan. Lampu-lampu kota menjadikannya merona. Air mancur gratisan. Berkali-berkali begitu lagi. Sekarang pun belum berhenti.

Dua ruas jalanan dibagi pembatas jalan yang tinggiya tak lebih dari 30 senti. Ruas jalan menuju kota tak seramai ruas satunya lagi. Aku baru saja menyeberang. Aku menyeberang bersama seorang lelaki. Kali ini kami berhenti di pembatas jalan. Macet menguntungkanku. Aku bisa menyeberang lebih cepat. Tangan kiri dengan telapak terbuka kuangkat ke atas. Kutengokkan mukaku ke kiri. Kuberikan isyarat untuk berhenti.

Ternyata temanku belum juga datang. Aku berdiri di sisi jalan. Lelaki itu masih saja di pembatas jalan. Sesekali aku melintaskan pandangan padanya. Masih saja ia tak menyeberang. Sudah hampir setengah jam temanku tak kunjung datang. Lelaki itu masih di pembatas jalan.

Kali ini mukanya tak lagi melihat jalanan. Ia tengadah. Menantang hujan. Membiarkan mukanya tertumbuk rintik hujan. Mulutnya tertutup. Matanya terbuka. Gerak mukanya seperti orang sesenggukan. Entahlah, apa dia menangis ataukah tidak. Tak jelas lagi. Mungkin saja airmatanya tercampur hujan. Jatuh bersama di pembatas jalan menuju selokan.

Oh, tidak. Bukan airmata yang keluar dari matanya. Baju putihnya memerah seperti terkena darah. Airmatanya merah. Turun bersama air hujan menuju selokan. Tak diterima selokan, darahnya menggenang di jalanan. Tersapu roda, air dan darah menciprati sepatu-sepatu di jalanan.

Aku masih diam. Dia tengadah menantang hujan di pembatas jalan. Matanya merekah seperti tanah di kuburan. Kelopaknya mengelupas. Kepalanya seperti dikuliti. Darah mengucur deras. Darah bersama air hujan terus jatuh di pembatas jalan. Hanya menggenang di jalanan. Orang-orang masih berlalu-lalang. Dengan darah terus mengucur dari penjuru kepala, ia menyeberang.

-----

Nila Rahma lahir di Bojonegoro pada 29 Juli 1989. Masih berkuliah di jurusan Sastra Indonesia UI dan aktif di Komunitas Langit Sastra. Saat ini penulis tinggal di Depok.

Karang Seribu Tulisan

Saju terhenyak melihat karang tempat biasa ia menempelkan tulisannya tertelan ombak. Tersisa hanya pucuk karang. Sebuah perahu cadik di rahang pantai berliak-liuk. Ia baru ingat hari ini ombak pasang lebih awal. Dengan menggunakan langkah sampar angin, ia tarik perahu itu, lalu melilitkan talinya pada pohon kelapa.

Di pangkal karang yang tegak lurus dengan bibir pantai, seorang nelayan baru berlabuh. Ia sibuk merapikan jala, lalu memungut ikan-ikan yang keluar tong akibat guncangan ombak pasang. Nelayan itu tersenyum melihat ketidaksabaran Saju menunggu ombak surut. Berkali-kali ia mengamati sebuah kertas warna-warni berisi tulisan di tangan Saju.

“Anak itu pasti akan menempel tulisan lagi di karang seberang.” Gumam kecil Nelayan sembari mengencangkan tutup tong berisi ikan, agar ikan-ikannya tidak tumpah kembali.
Saju tidak memperhatikan sekeliling. Yang ia pikirkan hanya surut ombak, kertas-kertas berwarna-warni berisi tulisan, dan cara membaca buku usang bertuliskan “Ma-e-ma-ika”. Ia pandangi buku itu, lalu berpikir bagaimana jika judul buku ini menjadi pedoman judul buku matematika sekarang? Mungkin saat guru bertanya, “sekarang pelajaran apa anak-anak?” mereka akan menjawab, “Ma-e-ma-ika!”

Tak lama berselang, seorang lelaki berlari dari arah belakang Saju. “Saju, maaf aku telat. Beruntung kau datang cepat. Jika tidak, perahu itu sudah hilang terseret ombak. Dan kita tak bisa menyeberangi seratus jengkal laut ini, hingga sampai pada karang itu dan menempelkan tulisan kita pada dindingnya.”

Setiap harinya mereka selalu menempel tulisan di karang seberang. Sebuah karang yang terletak tak jauh dari pantai dengan posisi diapit dua buah karang dari kejauhan, sehingga membentuk seperti dua tanjung dengan sebuah titik di tengahnya, seperti titik dalam tanda kurung.

“Satu yang belum kau ucapkan, ‘mengamati SMP di pintu masuk pantai itu kan?’ Halah, sudah lupakan saja kebiasaan lalaimu itu Ibar. Esok juga kau akan mengulanginya.”

“Hahaha… Aku hanya memuaskan kepenasaranku pada SMP itu.”
“Sudahlah, kita tak mungkin bersekolah di tempat itu. Lebih baik sekarang kita menulis!”
“Tentu. Sudah berapa tulisan yang kau buat hari ini?”
“10 puisi, 1 cerpen, dan 1 artikel.”
“Ah, hari ini aku tertinggal lagi. Aku baru menyelesaikan setengahnya darimu.”
“Tak apa, masih beruntung kita bisa menulis dengan objek alam bebas, tak terbelenggu apapun,” Saju meletakkan bolpoin di buku kertas, menutupnya, lalu berbisik, “kau ingat mereka? Murid-murid SMP itu ketika mendapat PR untuk menulis tentang lingkungan sekitar?”
“Ya, ingat!” Sahut Ibar dengan wajah antusias seperti kala ikan menangkap umpan.
“Kau lihat bagaimana mereka merengek meminta kita yang mengerjakan?”
“Dengan iming-imingan makanan dan mainan itu?”
“Ya!” Saju memantapkan.

Ombak masih berdebur kencang. Keras. Hingga burung-burung pantai enggan mengecipakkan kakinya. Mungkin takut. Mungkin malu. Atau mungkin terlupa pada air yang menjadikannya lepas dahaga.

Sesekali perahu mangayun, bergeser ke kanan, ke kiri oleh lidah ombak.
“Tapi kau malah meninggalkan mereka.”
“Tidak, Ibar. Aku tidak meninggalkan mereka. Justru aku mengajarkan mereka.”
“Mengajarkan? Mengajarkan apa, Kau? Setelah Kau pergi, mereka justru kelimpungan hingga tak bisa berjalan tegak. Dan mereka pun pulang dengan kepala tertunduk.”
“Jika aku mengerjakan, mereka pasti akan kembali dengan niat yang sama. Niat penjilat! Kau mengerti, Ibar?”

Ibar menunduk tiba-tiba. Tak sepatah katapun keluar darinya. Ia bingung memikirkan antara menolong, mengajar, atau justru memerosokkan teman-temannya.

“Hei, lihat Ibar! Ombak sudah surut,” Teriak Saju tiba-tiba sembari menepuk pundak Ibar, “ayo! Segera kita menuju karang di seberang. Kita tempel tulisan hari ini pada dindingnya.”

Dengan cepat mereka mendayung. Saju sibuk mengemas buku-bukunya, buuku yang ia sewa dengan menjadi kuli bangunan dahulu di tempat penyewaannya. Setelah mendekat, ia pepetkan badan perahu dengan ujung badan karang termenonjol. Lalu ia ikatkan pada tali perahu dengan tonjolan ujung karang. Di depannya, lewat sebuah perahu bermesin dengan seorang nelayan di dalamnya.

“Ah, dinding karang ini kosong lagi. Ombak itu menyeret tulisan kita lagi.”
Setiap kali mereka menempel, setiap kali juga mereka kehilangan tulisannya. Pasang surut ombak tak bisa mengingkari orbitasi geraknya.

Di pantai, lelaki nelayan itu masih terjaga. Ia memandangi terus mereka dari kejauhan. “Anak-anak aneh.” Lalu meninggalkan pantai, sambil berkata lirik, “kerjaannya hanya main-main saja” terus berjalan menyusuri pantai, “mungkin semangat kalian tidak usang, tapi keliru tempat.” Suaranya semakin menghilang. Sosok tubuhnya semakin menjauh, terlihat kecil.

“Tak apa, Kawan! Tulisan kita akan terbaca oleh udara, laut, bulan, matahari, dan ikan-ikan di sana. Kita bisa bersahabat dengan mereka.”
“Ah… Betul, Saju! Betul. Kita memiliki keluasan. Kita juga memiliki keleluasaan.”

Saju dan Ibar telah selesai menempelkan tulisan-tulisannya hari ini pada dinding perahu. Segera berbalik kembali ke pantai, menambatkan perahu pada pohon kelapa, lalu pulang. Tak lama berselang, ombak pasang, dan segera pula tulisan itu kembali hilang. Pemikiran rumus, dan senandung cita yang tak mereka dapatkan di sekolah hilang begitu saja oleh ombak. Begitu juga keesokkan harinya. Terus. Terus setiap hari, setiap bulan, hingga setiap tahun. Mereka tak pernah mengeluh. Tak pernah merasa sia-sia tulisan-tulisannya hilang. Hingga pagi kembali hadir.
“Apa yang kalian lakukan di situ?” Tanya lelaki nelayan yang seperti biasa, berlabuh, mengurai jala, lalu mengencangkan tutup tong berisi ikan.
“Kami belajar, Pak.”
“Belajar tidak seharusnya di sini. Tidak menempel-nempel tulisan pada dinding yang sebentar saja hilang.”
“Kami lebih nyaman di sini, Pak. Kami bisa memandang langit, merasakan deburan ombak, bahkan mengintai burung-burung jantan pantai yang menguntitti burung-burung betina.” Terang Saju sesekali menatap Ibar.
“Tetapi sudah ada sekolah di daratan sana yang siap menampung kalian.”
“Ah… itu tidak benar, Pak,” potong Ibar, “sekolah di sana hanya cocok untuk orang-orang yang mampu membayar saja. Sedang kami tidak mampu membayar, maka kami tidak cocok belajar di sana.”
“Siapa bilang? Ada. Ada sekolah tanpa memungut biasa sepeserpun.”
“Benarkah? Di mana itu?” Sahut Saju.
“Lebih baik kita mendarat dulu sekarang.” Ajak Lelaki Nelayan berusia lima puluhan berkaos oblong tak bersandal itu. Pak Soleh mengawali pendaratan dengan memacu lurus perahunya. Muka perahunya memang sudah mengarah ke pantai, sedang Saju dan Ibar perlu membalikkan perahu terlebih dahulu sebelum mereka mendayung.

Pak Soleh sudah menunggu sambil duduk di dinding perahu. Saju dan Ibar merapat.
“Mari, saya antarkan.”
“Bapak yakin sekolah itu tidak memungut biaya? Bukankah kebanyakan sekolah pasti memiliki tarif biaya?” Tanya Ibar meyakinkan.

Pak Soleh tersenyum manis. Kantung matanya terlihat mengendur. Mungkin terlalu capek setelah semalaman berburu ikan. Atau mungkin memang sudah waktunya mengendur.
“Tepatnya di mana, Pak, sekolahnya? Saya tidak pernah mendengar, bahkan melihatnya.”
“Sekolah itu, sering kalian lihat, bahkan sering kalian lewati.” Saju mendesakkan kepalanya ke kepala Ibar, dan berkata lirih.
“Atau jangan-jangan sekolah yang bisa Kau intip itu, Bar?”Ibar mengangkat bahu.
Mereka berjalan di atas tanah berbatu. Di depan, muncul sebuah bangunan. Bangunan itu kerap mereka lewati saat hendak menuju pantai. Sekarang mereka bertiga tepat berada di depan gerbang sekolah. Gerbang itu terbuat dari ragumam lempengan kayu, dengan menghitam dan keropos pada bagian bawah. Seorang petugas keamanan menyambut.
“Silahkan masuk, adik-adik. Silahkan masuk Pak Soleh.”

Saju dan Ibar sontak kaget. Mereka heran. Bagaimana mungkin petugas jaga itu mengenal Pak Soleh? Padahal ia hanya seorang nelayan. Apakah ia lulusan SMP ini? Atau dulu pernah mengajar di sini? Tapi tidak mungkin. SMP ini baru berdiri dua tahun lalu. Mereka menempelkan tulisan di dinding sudah dua tahun ini, dan saat itulah mereka melihat Pak Soleh berprofesi nelayan. Kalau Pak Soleh lulusan SMP ini lebih tidak mungkin lagi. Usianya jauh lebih tua dari usia sekolah. Atau jangan-jangan pemilik sekolah ini? Tidak mungkin karena sekolah ini milik pemerintahLalu siapakah Dia? Pergumulan pertanyaan terus berlangsung dalam hati sepanjang Saju dan Iba berjalan.

Sampailah mereka di ruang tata usaha. Ruang ini memang dirancang untuk melayani penerimaan murid, karyawan, juga guru. Ruangan ini akan ramai setiap akhir bulannya. Karena saat itu para guru mengambil upah mengajarnya.

“Selamat pagi, Pak.” Saju dan Ibar semakin bingung. Mereka bukannya yang mengucapkan salam, tetapi malah yang disambut.

“Selamat pagi,” sahut Pak Soleh dengan suara berat namun tenang, “bisa minta tolong daftarkan mereka di sekolah ini?”
“Tentu, Pak.” Petugas itu langsung mengambil arsip dari brankas yang tak jauh dari meja kerjanya.

Pak Soleh keluar. Mungkin ingin mencuci muka atau membasuh kedua tangannya setelah terkontaminasi air laut. Saju dan Ibar mengisi formulir pendaftaran. Mereka tidak merasa canggung menulis karena memang sudah kebiasaannya menulis untuk ditempelkan pada karang. Pengisian sampai pada bagian penandatangan formulir, sekaligus mengakhiri sesi penerimaan siswa baru. Mereka diperkenankan pulang. Namun mereka hanya saling lempar pandang. Jika di tempat orang, mereka akan canggung, tak seperti saat mendayung, menyeberang laut, lalu menempelkan tulisan di dinding karang. Petugas jaga segera membaca pertempuran batin murid baru itu.

“Mari, saya antar menemui Pak Soleh.”

Mereka keluar ruangan. Raut Ibar sepertinya sedang merencanakan hari esok, hari pertama kali sekolah. Namun tidak pada saju. Masih terbesit sosok Pak Soleh yang begitu tak asing di sekolah ini.

Mereka terus berjalan menyusuri latar sekolah. Saju terus saja memikirkan sembari membaca nama ruang yang tertulis pada rangka pintu atas. Perjalanan terhenti di depan sebuah ruangan yang terletak paling pojok, menghadap berlawanan dengan arah kedatangan mereka. Pak Soleh sudah berdiri. Menghadap mereka.
“Sudah selesai, Nak?”
“Ibar! Lihat! Lihat tulisan itu!”

Saju bukannya merespon pertanyaan Pak Soleh, tapi memilih mengajak Ibar membaca nama ruang.
“Benarkah itu, Saju?!”
Sebuah papan nama ruang bertuliskan:
RUANG KEPALA SEKOLAH
HEAD MASTER ROOM
SOLEH MALAINO, M.Hum.

Saju dan Ibar mendadak seperti terkena shock terapy. Mereka segera sungkem kepada Pak Soleh.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih, Pak..”
“Selamat bergabung, Nak. Besok kalian bisa mulai masuk. Seragam bebas. Tak perlu paksakan membeli seragam. Satu hal lagi, ajari siswa-siswa di sini menulis!”

Saju dan Ibar langsung pulang. Mereka tak mengira seorang nelayan yang tempo hari ia hiraukan, ternyata seorang kepala sekolah bergelar magister. Jalan nelayan Pak Soleh tempuh guna menopang biaya perlengkapan dan operasional semua murid yang tidak mampu membayar. Termasuk Saju, juga Ibar.

Keesokkan harinya, hari pertama Saju dan Ibar bersekolah. Mereka berseragam rapi, namun bukan seragam SMP. Seragam yang mereka pakai adalah seragam andalan yang biasa digunakan untuk berlebaran tiga tahun terakhir. Kini ada seorang pengajar yang setiap hari mengajari yang tak pernah mereka dapati sebelumnya.

Pak Soleh mengubah sistem pembelajaran. Setiap akhir jam pelajaran, semua siswa diwajibakan menempelkan tulisan pada dinding karang di laut. Alhasil, setiap jam akhir pelajaran, semua siswa berduyun-duyun menuju pantai, membawa tulisan dan menempelkannya pada karang. Tak hanya para siswa, namun juga para nelayan. Mereka belajar menulis lalu menempelkannya pada karang. Warga pantai pun tak mau ketinggalan. Semua orang menulis lalu menempelkannya pada karang dengan beragam kertas warna. Hingga karang menjadi berwarna-warni seperti kerlip bola Kristal jika dilihat dari kejauahan.

Seribu tulisan menempel pada dinding tiap harinya. Terus bertambah, hingga ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu.

YK, 12-12-2012, sewaktu banjir lahar dingin

Kembang Desa Pulang Kampung

Dusun Adem Ayem digegerkan oleh kedatangan Yuni Amperawati mantan kembang desa puluhan tahun silam. Tak seorangpun tahu kapan Yuni meninggalkan kampung. Ibunya menangis dan hanya bilang Yuni pergi merantau, entah ke Arab, Taiwan, Jepang, atau hanya ke Jakarta. Kala itu banyak pemuda dusun patah hati. Dan kini ketika Yuni pulang -- tak seorangpun mengendus kehadirannya kecuali sisa-sisa kecantikan yang masih terpancar di wajah dan tubuhnya.

Warga dusun Adem Ayem amatlah bersahaja, sopan, dan religius. Pak Kyai Joko sebagai panutan dan pengayom warga dusun punya peran penting dalam menjaga keharmonisan hidup sehari-hari. Hanya bu Sastro, istri Pak Kepala Dusun agak terganggu dengan kepulangan Yuni.

Tak butuh waktu lama Yuni dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pernah jadi kesehariannya. Selain ramah, Yuni kini menjadi seorang wanita yang sublim dan mandiri. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu yu Warti memasak untuk santri Pak Kyai.

Kebiasaan di dusun Adem Ayem, hari Minggu pagi, Ibu-ibu mencuci pakaian di sungai, bapak-bapak memandikan kerbaunya, sementara anak-anak cebur – cebur-an, mandi telanjang. Beratraksi salto, menukik, atau pantatnya menghantam air hingga mengeluarkan bunyi berdebam. Yuni tersenyum melihat tingkah polah anak-anak.

Maklum anak-anak, tak ada rasa risih walau mereka telanjang bulat dan alat kelaminnya lari kemana-mana. Tabu ketika mereka sudah akil baliq, dan alat tersebut sudah bisa berfungsi sebagai alat reproduksi. Dalam bahasa jawa, sebutan thithit -- berubah menjadi “anu”, ya karena “anu” tidak layak diucapkan secara terang-terangan, tertulis, atau di depan publik. Dan mengenai “anu” inilah biang keladi Yuni mendapat masalah yang membuat geger dusun Adem Ayem.

Kejadiannya bermula saat Pak Kyai Joko mengadakan pengajian di suraunya. Semua santri dan warga dusun Adem Ayem hadir bersimpuh di atas tikar, menyimak tausiyah Pak Kyai yang bersuara bariton empuk. Semilir angin malam itu sesekali membawa bau kotoran sapi dari kandang belakang milik pak Kyai. Tapi itu tak mengurangi suasana syahdu yang menenangkan hati. Yuni ikut hadir, khidmat memperhatikan ajaran Pak Kyai.

Tiba-tiba ada seekor lalat Ijo hinggap di jidat Yuni, barangkali kabur dari kandang sapi di belakang rumah Pak Kyai. Dan Atun yang berada di sebelah Yuni tiba-tiba secara reflek menepuk lalat itu. Warga yang hadir tak mengetahui kejadian itu sampai Yuni berteriak kaget, “ Eh.. Anu ... anu .....(menyebut alat vital laki-laki dewasa).. eeh anu ... Ya Tuhan .... maaf.”

Semua hadirin tersentak kaget. Pandangan mereka mengarah ke Yuni yang tertunduk malu. Bu Sastro istri pak Kadus memandang Yuni dengan jijik. Di tengah suasana khusuk menghadapkan diri kepada Tuhan, terselip kata-kata tak senonoh keluar dari mulut Yuni, tentang alat kelamin laki-laki dewasa..

Konon kebiasaan “latah” adalah bentuk pertahanan diri ketika ia kaget atau sering dikageti. Insting itu tersambung cepat ke kosa kata di otaknya, entah itu punya arti menyenangkan, lucu, atau bahkan traumatis. Hal itu sangatlah alamiah dan dapat dimaklumi. Tapi jika itu terjadi pada acara suci keagamaan apakah itu bisa dimaklumi? Yuni kini menanggung semua akibatnya.

Keesokan paginya berita itu cepat menyebar. Ibu-ibu yang tadinya akrab kini menjaga jarak, saling berbisik, dan menghindar. Tak butuh waktu lama, beredarlah rumor kalau Yuni adalah perempuan nakal yang suka mangkal di warung remang-remang, menunggu supir-supir truck melepas lelah, sambil menawarkan tubuhnya dengan genit. Rumor tak berhenti di situ, sebaliknya malah tambah hebat, ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskannya. Bu Kadus sendiri tampak vokal seolah dia sedang mensosialisasikan program kesejahteraan keluarga layaknya Pos Yandu.

Yang bikin Yuni jengkel, anak-anak kini sering mengageti dirinya, entah Ia sedang di pekarangan, di sungai, atau di jalan. Latah joroknya jadi kumat, anak-anak tertawa, sambil berlari-lari dan ikut menirukan latahnya. Ibu-ibu yang mendengar mengingatkan, “ Eeeh bocah-bocah jangan ngomong saru yaaa.”

Para orang tua kewalahan dan mengadu pada Pak Sastro. Yuni tepekur sedih. Ia tak mau lagi terusir dari dusun Adem Ayem seperti dulu. Ya.. Yuni ingat waktu remaja dulu, ketika Wati anak Pak Yudo Kadus jamannya, selalu merasa iri pada dirinya. Ketika ia menjadi juara kelas mengalahkan Wati, menjadi penari kebanggaan warga dusun, dan yang paling telak adalah Sastro -- ketua pemuda dusun -- yang lebih memilih dirinya daripada Wati anak Pak Kadus.

Hingga pada suatu hari kejadian luar biasa terjadi, waktu Ia diminta membantu pernikahan Tatik anak pak Kadus yang tertua, dan ketika perhiasan emas dan uang seserahan dari mempelai pria itu tiba-tiba hilang berpindah tangan dan secara ajaib berada di dalam saku jaketnya yg digantungkannya di kamar rias. Maka dia mengerti bahwa Wati telah menjebaknya. Dan akhirnya dengan penyelesaian “kekeluargaan” Yuni terpaksa meninggalkan dusunnya, meninggalkan Sastro dan segala impian indah masa depannya.

*****

Bu Sastro alias Wati istri pak Kaduslah yang kini paling vokal bersuara. Kepada suaminya ia berkata, "Semenjak kedatangan Yuni, dusun kita jadi berubah tidak tentram, pakne.”

Pak Sastro yang melihat gelagat buruk Bu Sastro menghela nafas panjang. Ia tahu Yuni adalah pribadi yang baik hati. Ia lantas teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika masa remaja, ketika Yuni telah mencuri hatinya, dan itu membuat Wati cemburu. Dan rasa cinta yang baru mekar itu tiba-tiba layu ketika Yuni meninggalkan dusun Adem Ayem dengan tiba-tiba, tanpa pamit, sepertinya ada sesuatu yang janggal dengan kepergiannya.

“ Ya nanti aku tak “rembugan” dengan dik Joko.”

“ Pak ne tau apa? Diusir saja, demi ketentraman warga dusun.”

“ Ya ojo kesusu to bu.”

“ Pokoknya lebih cepat lebih baik, pakne.”

Pak Kadus segera menyuruh pembantunya memanggil Kyai Joko. Diantara pembicaraan bertiga, Pak Kyai menengahi, “ Janganlah kita berburuk sangka dulu, bu. Lebih baik kita “khusnudzon” saja. Semua orang tempatnya salah, tetapi sebaik-baik orang yang berbuat banyak kesalahan itu adalah orang-orang yang banyak bertaubat."
“ Dik Joko tahu, si Kelik tukang ojeg yang mangkal di terminal itu bilang kalo Yuni suka mangkal di warung-warung pangkalan truk. Nama dusun kita akan cemar. Ibu-ibu PKK mulai cemas lho dik Joko. Khawatir kalau nanti Yuni menggoda suami – suami mereka.”
“Ya sabar bu Sastro.... Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal kita tidak tahu bahwa sesungguhnya itu amat baik bagi kita. Dan belum tentu apa yang menurut kita baik, padahal sebetulnya itu hal yang buruk bagi kita. Allah Maha Mengetahui. Saya akan berbicara dengan Yuni bu Sastro...”

*******

Dan mulailah Kyai Joko, atas permintaan Pak Kadus, menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Dalam pembicaraan di surau Kyai Joko yang mengenyam pendidikan keguruan di IKIP menerapkan pendekatan psikologis pengajaran untuk menghilangkan “latah”nya Yuni.
“Jeng Yuni, kebiasaan latah jorok yang keluar dari mulutmu sudah membuat warga Adem Ayem geger.”
“Iya Pak Kyai, mohon maaf. Saya harus bagaimana? Apapun akan saya kerjakan asalkan saya jangan diusir dari dusun Adem Ayem. Saya ingin menghabiskan masa tua dan mati di dusun ini.”
“ Baiklah saya akan bantu, coba jeng Yuni.... bagaimana kalau yang sudah-sudah itu, latahnya lebih baik diganti dengan menyebut asma Allah. Subhanallah boleh. Masya Allah boleh. Atau Allahu Akbar. Setuju?”
“ Ya ya ya Pak Kyai. Saya akan mencoba ...”

Dan ketika Pak Kyai Joko mencoba mengageti Yuni, dan kebiasaan latah joroknya masih tetap saja, Pak Kyai hanya geleng-geleng kepala sambil tersipu malu. Orang-orang yang lewat di depan surau dan mendengar tersenyum kecut.

Mungkin besok bisa berubah, atau minggu depan. Dan ketika sampai berhari-hari Yuni tak bisa melepas kebiasaanya, maka Pak Kyai tak kehilangan kesabarannya.

Ia kemudian membuat target antara, dengan membelokkan latah joroknya menjadi Eh copot .. copot. Ya... ia sering melihat orang-orang yang latah mengucapkan kalimat seperti itu. Hal yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Adi Bing Slamet lewat lagu Mak Inemnya waktu kecil.

Akhirnya, walau memakan waktu lama, ternyata usaha itu berhasil. Pak Kyai Joko merasa senang. Juga Yuni. Kini kalau ada sesuatu yang mengejutkan Yuni maka kata-kata yang keluar adalah:” Eh copot ..copot”, bukan latah jorok yang dulu "Eh ..anu ... anu."

Mendengar itu Pak Kadus ikut senang, anak-anakpun juga senang dan sekarang mereka mengikuti latah barunya Jeng Yuni, eh copot...copot, sambil tertawa-tawa gembira. Ibu-ibu dusun Adem Ayem menjadi tenang, hanya Bu Kadus seorang diri merasa sebaliknya.

Bersyukur dan berbahagialah seseorang yang dibimbing alim ulama, yang selalu mengajarkan suri tauladan, kebaikan, cinta kasih, tata krama, sopan berbahasa, budi pekerti dan berkaca diri. Yuni merasakan kehadiran Kyai Joko sangat dekat dalam dirinya.

**********

Di sela-sela waktu longgar seputar surau siang itu, Pak Kyai Joko sedang terlibat pembicaraan dengan Yuni . Kali ini tidak lagi membahas “latahnya” melainkan hal lain.

“Jeng Yuni masih kayak dulu lho, awet muda... Resepnya apa? Mbok aku dikasih tau."

Yuni kaget dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka ucapan Pak Kyai akan seperti itu. Jangan-jangan kebiasaan joroknya selama ini mengakibatkan timbulnya kegelisahan terpendam pada diri Pak Kyai. Tapi ingatan Yuni langsung melayang ke masa mudanya ketika si Joko, adik kelasnya waktu di SMP dulu terlihat mencoba mendekati dirinya. Yuni ingat ketika Joko memboncengkan dirinya dalam karnaval sepeda 17 an. Juga beberapa kali pernah datang ke rumahnya.
“Aah bisa aja Pak Kyai, hmmm resepnya apa ya?? Hehehe”
“Wah ternyata sudah lama kita nggak ketemu yaa jeng ... ayo crita pengalaman merantaumu. Aku ingatnya dulu waktu zaman SMP, he he he. Jangan ngomong siapa-siapa ya jeng Yuni, aku dulu pengagum gelapmu lho.”

Dan ketika Yuni memahami bahwa Pak Kyai berubah menjadi sedikit kekanak-kanakan, tersipu-sipu malu. Ia tak merasa kehormatan Pak Kyai menjadi luntur. Semua laki-laki dewasa pada dasarnya adalah kanak-kanak yang butuh perhatian, kasih sayang, dan pelayanan. Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.
“Boong banget seeh .... puacarmu kan segudang...eh becanda Pak Kyai.. Aku sudah tua loh,” Yuni tersipu dan tiba-tiba ia berbicara dalam logat Betawi, barangkali dia pernah merantau di sana.

Suasana sangat akrab dan tidak formil,“ Kalo ingat jaman dulu lucu ya jeng Yuni. Waktu “mboncengin” kamu naik sepeda senangnya minta ampun. Tapi habis itu bingung mau gimana?? He he he cinta monyet ..., belum ngerti jurus-jurus merayu wanita. Jadinya diam saja, dipendam. Eeh ini jangan dimasukan hati ya, Jeng. Ini cuma pengakuan saja “
“Ha ha ha lucu....lucu...., iya ... iya tenang saja Pak Kyai, kita kan bukan hanya sudah dewasa tapi “wis tuwo”, sudah tua, hehehe..Cerita seperti ini kan jaman dulu Pak Kyai."

Pak Kyai agak tersipu, kemudian ia mencoba bersikap bijak,“Iya bener jeng Yuni, kita sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kadang kita hampir menyerah pada kenyataan pahit, tapi kemudian bangkit dengan semangat. Kadang juga kalau kita kembali ke jaman kanak-kanak, rasanya semuanya indah, penuh tawa dan canda. Dan cukuplah itu sebagai kenangan indah saja. Terlalu indah untuk menjadi nyata jeng Yuni ...”
“Oh, jadi kalau sekarang Pak Kyai “udah canggih” ya cara merayunya.. hahaha. Ini becanda lho Pak Kyai.” terlihat Yuni mulai nyaman dengan gerak gerik dan ucapannya. Terlihat dia bisa mengendalikan keadaan.

Dan kini Pak Kyai Joko tak bisa menahan perasaan hatinya, lalu mengungkapkan dengan jujur apa yang pernah dia alami sewaktu muda dulu,“ He he he sebenarnya dulu itu aku pingin deket denganmu cuma aku nggak tau “piye carane”, bagaimana caranya? Pernah aku beberapa kali main ke rumahmu cuma kok aku jadi tambah bingung he he he. Mungkin salah satunya karena kamu kakak kelasku, dan juga waktu itu Mas Sastro yang ketua pemuda desa itu tergila-gila padamu --- jadi aku minder. Kalo sekarang, mungkin kita sudah sama-sama dewasa, jadi ya yang ada sekarang adalah rasa hormat, rasa saling menghormati."

“Pak Kyai, sebenernya aku juga inget banget kejadian waktu "kita" masih SMP. Seandainya waktu bisa diputar kembali...."

Seolah Pak Kyai faham film tv Time Tunnel alias Lorong Waktu jaman kecil dulu, dan ketika dia mahasiswa belajar agama dan memahami bahwa Lorong Waktu hanyalah angan-angan belaka, tapi dengan maksud tak serius dia menjawab, “Ahh masak siy jeng Yuni ingat banget kejadian-kejadian waktu "kita" masih SMP? Andai waktu bisa diputar kembali .... Apakah kira-kira ada cerita yang berbeda?”

“Kalau waktu bisa diputar kembali???!!! Kalau kita memang gak jodoh atau gak dipertemukan sama Tuhan, yo tetep ora ketemu yo?? "Pekok” banget si aku, bodo banget siy aku!! Hahaha... “
“Eh siapa tahu dipertemukan Tuhan dikemudian hari?”
“Eh copot ... copot .... Pak Kyai .... pak Kyai,” Yuni latah karena gugup.
“Jangan panggil aku Pak Kyai ... panggil aku Joko saja.”
“Aku tak berani ... apa nanti kata warga dusun Adem Ayem kalau dengar itu.”
“Dulu waktu mboncengin kamu naik sepeda untuk pertama dan yang terakhir kalinya, he he ehem, rasanya seolah sudah jadi laki-laki gagah, gede kepala, dan bangga. Ah sayang aku dulu kurang berani, kurang nekat. Mestinya pemuda-pemuda yang naksir kamu itu tak aku gubris, atau kulawan. Jeng Yuni, maukah menikah denganku?”
“Eh copot ... copot ... Ah... Pak Kyai bercanda.”

Tak pernah terbayangkan dalam benak Pak Kyai sebelumnya --- sampai pada keinginan ingin menikahi Yuni. Yaa ..usia Yuni mateng, lekuk pinggang dan busung dadanya menandakan hormon kewanitaannya melimpah. Demikianlah bahasa alam yang terungkap ketika seorang wanita menarik lawan jenisnya, sebagai bekal untuk bertahan di muka bumi, guna meneruskan keturunannya, beranak pinak dan pada saatnya berubah jadi gendut dan menua.

Dan akhirnya dusun Adem Ayem kembali tentram dan damai. Pak Kyai Joko bisa menyelesaikan permasalahan Yuni yang bikin dusun Adem Ayem heboh. Semua merasa bahagia, win win solution. Bu Sastro kini merasa tenang bisa menghabiskan masa tuanya bersama Pak Kadus, Kyai Joko bisa menikahi pujaan hatinya, dan Yuni tak terusir lagi dari dusunnya.

Di malam dingin, diantara suara angin yang mengguncang rimbunan bambu, sepertinya terdengar sayup-sayup Yuni mengucapkan kebiasaan latahnya, dan kini malah campur aduk tak karuan,
“Ehh .. Anu-copot ...eeh anu-copot ..eh maaf Pak Kyai.“
“Hayoo ... Jeng Yuni nggak boleh latah jorok lagi yaaa,” Pak Kyai agak kecewa latah jorok Yuni muncul kembali.
“Saestu Pak Kyai ... kulo mboten goroh.” (Benar Pak Kyai ... Saya tidak bohong kok)
“Ssssttt .....diam,” bisik pak Kyai Joko.

Washington DC 2011

Janu Jolang
Pengelola Blog: www.suararantau.blogspot.com

Anak Saya Seorang Presiden

Anak saya yang baru saja duduk dikelas 1 SD yakin sekali jika besar nanti, dia akan menjadi seorang presiden. Entah dari mana pemikiran itu datang. Setahu saya dia jarang menonton berita di televisi dimana wajah presiden biasanya sering nongol. Tidak juga dari orang lain yang memberinya gambaran masa depan menjadi seorang yang berkuasa seperti itu. Dan yang jelas kami sama sekali tidak memajang foto presiden dan wakilnya di sisi tembok manapun di rumah kami, sehingga tidak ada pertanyaan darinya tentang seseorang yang tersenyum optimis di depan bendera merah putih itu. Tapi anehnya justru setiap orang yang bertanya soal cita-citanya kelak, dia akan menjawab tegas, gembira seperti anak kecil yang hendak mendapat hadiah: “Adi akan jadi Presiden!”

Entah mengapa pemikiran tentang menjadi presiden itu bagi saya adalah sebuah penyimpangan!
“Kamu terlalu berlebihan!” itu kata istri saya. “Umurnya saja belum tujuh tahun. Dia akan bilang ingin menjadi apa saja yang dia anggap hebat. Kalau dia bilang ingin jadi presiden mungkin sosok itulah yang dia anggap hebat.”
“Masalahnya dia tidak bilang begitu. Dia bilang, dia akan menjadi presiden. Ini dua hal yang sangat berbeda. Ingin dan akan. Bagaimana anak sekecil itu sudah bisa mengantisapasi masa depannya dan mengira akan menjadi presiden!”
“Kamu terlalu berlebihan!”
“Kamu sudah bilang itu tadi.”
“Ya, artinya kamu sudah terlalu berlebihan!”

Saya tahu percakapan ini tidak akan mengarah pada satu kecocokan. Istri saya tidak akan memperpanjang percakapan yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Dia wanita sederhana yang menganggap bahwa kehidupannya dan sesuatu yang bersangkutan dengannya akan berlangsung wajar-wajar saja, sama seperti kehidupan banyak orang. Dia tidak bisa menerima kejutan-kejutan di dalam hidupnya, atau akhirnya dia akan menganggap itu sebaggai sebuah kenormalan juga. Artinya dalam kasus ini, saya harus mengantisipasinya sendiri. Dimana saya akan membiarkan istri saya menangani kehidupan normalnya seperti sarapan, sekolah, mengajarinya berhitung, ikut bermain, dan hal-hal lain semacam itu. Sementara saya akan tetap waspada pada penyimpangan keinginannya itu.

* * *

“Jadi kau tidak suka kalau anakmu jadi presiden?” tanya ayah ketika ia berkunjung ke rumah. Saya tahu ini rencana istri saya setelah pembicaraan dengannya beberapa waktu yang lalu. Dia tetap menganggap kalau pemikiran yang menyimpang itu justru ada pada saya.
“Tidak ada orang tua yang tidak suka anaknya menjadi presiden.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Masalanya dia baru berumur tujuh tahun.”
“Dan dia tidak boleh bercita-cita?”
“Dia tidak bercita-cita. Dia akan menjadi presiden!”
“Lalu apa yang kau takutkan?”

“Entahlah…, bagiku ini suatu penyimpangan. Di umurnya yang sekarang dia sudah yakin akan menjadi presiden. Saya khawatir selama perkembangan hidupnya nanti pikiran itu menjadi sebuah obsesinya. Di sekolahnya dia akan berkoar-koar menjadi seorang presiden. Kemudian dia akan kuliah di fakultas hukum atau ekonomi, setelah lulus dia akan bergabung dengan partai politik besar. Bayangkan, hal buruk apa yang tidak bakal dia lalukan untuk memenuhi keingingiannya itu. Dia akan lebih parah dari Hitler karena telah menanam obsesi politiknya dari kelas 1 SD.”
“Kau ini terlalu berlebihan! Dia masih kecil, keinginannya akan berubah nanti.”
“Tidak juga! Kalau dia bilang akan menjadi Power Ranger atau Superman itu bisa berubah. Di umur 10 tahun nanti dia akan memilih cita-cita yang lain karena pada saat itu dia akan ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi dengan menjadi presiden lecehan teman-temannya justru akan menjadi cambuk bahwa dia bisa membuktikan keinginannya itu.”
“Kau ini aneh! Waktu kau seusia dia yang aku khawatirkan darimu adalah kau tidak punya keinginan apapun. Setiap orang yang bertanya cita-cita padamu kau pasti cuma terdiam. Kau tidak menyebutkan mau jadi apa kelak, tapi itu tidak berarti kau tidak menjadi apa-apa sekarang.”

Sepertinya ayah saya benar. Mungkin memang tidak ada kaitannya antara keinginan masa kecil dan kenyataannya di kemudian hari. Dalam hal ini saya memang terlalu berlebihan.

Sejak pembicaraan dengan ayah saya itu rasa khawatir saya terhadap cita-cita anak saya semakin memudar. Apalagi sejauh ini saya tidak menemukan penyimpangan dari kesehariannya di rumah. Dia masih suka menonton film kartun di tv, bermain sepeda atau bermain bola jika ada yang mengajak. Saya mulai percaya pandangan istri saya bahwa hidup kami akan berlangsung wajar dan normal-normal saja. Tapi semua berubah, ketika dia pulang dari bermain bersama salah satu temannya. Saat saya tanya siapa temannya itu, dengan tenang dan berwibawa seperti anak sekolah yang baru naik kelas dengan nilai raport yang sempurna dia menjawab: “Ini Reza, Pah! Dia mentri pertahanan Adi!”
Terbukti kan!!!

* * *

Malamnya, setelah kembali membincangkan masalah ini dengan istri saya yang juga tidak berujung pada kecocokan, saya putuskan untuk berbicara langsung dengan anak saya, meski hal ini sangat ditentangnya. Katanya ini akan membunuh salah satu harapan terbesarnya, salah satu fantasi terhebatnya, dan itu yang malah bakal mempengaruhi perkembangannya nanti. Tapi akhirnya dia pasrah saja ketika saya duduk di ranjang anak saya saat dia meminta didongengkan sebuah kisah.

“Kenapa Adi ingin jadi presiden?” tanya saya ketika dia mulai jenuh dengan dongengan saya.
“Abis hebat sih, Pah! Presiden kan bisa punya mobil bagus, terbang pake pesawat, punya rumah besar dan kaya…”
Untunglah gambaran itu yang ia dapatkan dari sosok seorang presiden.
“…bisa ngatur-ngatur orang, punya tentara sendiri, bisa buat perang…”
Oh, tidak juga ternyata!!!
“…bisa nyerang musuh… dor dor dor!”

Lalu seperti tertarik pada khayalannya itu, saya baru berani bertanya, “emang presiden bisa buat perang ya?”
“Bisa dong! Kan presiden yang paling berkuasa!”
“Betul, tapi tugas presiden juga berat karena yang ngasih kekuasan itu kita… rakyatnya. Kalau presidennya nanti nggak bisa ngatur negara dengan bener, nggak bisa ngasih uang dan makanan buat rakyatnya yang miskin, nggak bisa sekolahin anak-anak sampai tinggi, nggak bisa melindungi rakyatnya yang lemah, nanti malah rakyatnya yang akan marah, karena dia nggak bisa ngejalanin amanat mereka. Bukan itu saja, Tuhan juga akan marah. Karena Tuhan tidak suka sama orang yang tidak amanah.”
“Tuhan akan marah sama presiden?”
“Ya!”
“Apa presiden takut sama Tuhan?”
“Tentu saja!”
“Kenapa?”
“Karena presiden itu cuma manusia dan Tuhanlah yang menciptakan manusia. Tuhan juga yang menciptakan presiden. Tuhan bisa berbuat apa saja pada ciptaannya. Karena Tuhanlah yang paling berkuasa.”
Anak itu termenung lama. Entahlah, apa cerita saya tadi benar-benar bisa dimengerti olehnya, yang jelas dia seperti menemukan kebenaran baru. Lalu setelah saya bercerita tentang sebuah dongeng lain, dia kemudian terlelap.

* * *

Besok-besoknya saya tidak pernah mendengar lagi keinginannya untuk menjadi presiden. Bayangan tentang itu sepertinya sudah lumer di otaknya. Terkadang saya merasa bersalah juga karena telah menghancurkan impian seorang anak kecil untuk menjadi sesuatu karena sebuah kekhawatiaran saya yang terlalu berlebihan. Tapi mungkin itu jalan yang harus dilalui sehingga dia tidak perlu melewati gurun yang menghanguskan nantinya. Saya beruntung karena sampai saat ini saya masih belum menemukan keanehan prilaku dia sehari-hari. Dia tetap gembira dan tertawa. Apalagi ketika kakeknya menggendong dia di atas pundaknya, dia semakin girang saja. Ini makin membuat saya yakin kalau saya tidak membuat kesalahan.
“Adi, turun! Kasihan kakek dong!” teriak istriku sambil membawa minuman dingin ke teras rumah di halaman belakang.
“Kakek capek?”
“Ya, kakek harus minum es buatan Mamamu dulu biar seger lagi.”
“Minum jamu juga ya? Kata Mama, Kakek suka minum jamu!”
“Kadang-kadang Kakek juga suka minum jamu biar sehat terus. Nah, kalo Adi harus banyak minum susu biar cepat besar, biar cepat jadi presiden seperti cita-cita Adi.”
“Adi tidak mau jadi presiden!”
Benar kan! Memang benar-benar sudah hilang keinginannya itu. Setelah ini saya percaya dia akan memilih menjadi sesuatu yang lain yang lebih realistis.
“Terus Adi mau jadi apa?” tanya kakeknya kemudian.
Lalu dengan penuh percaya diri persis seperti seorang anak kecil yang baru memenangkan lomba dia menjawab dengan tegas dan berwibawa: “Adi mau menjadi Tuhan!”
Blasss…tiba-tiba seluruh badan saya langsung lemas.

Jalan Menuju Surga

Konon, di balik tebing gunung itu, tinggal seorang lelaki pertapa yang sudah renta. Pertapa yang terkenal dari mulut ke mulut penduduk desa di kaki gunung. Pada mulanya, pertapa itu terkenal karena kebijaksanaannya. Namun tiap-tiap penutur cerita menambahkan bumbu-bumbu untuk cerita mereka, sehingga kini yang beredar di penduduk desa adalah:
Di balik tebing gunung itu tinggal pertapa yang sangat bijak dan sakti mandraguna. Apabila ada seseorang yang dapat bertemu dengannya, mintalah berkah kepadanya. Ia dapat menunjukkan jalan untuk menuju Surga, jalan kebahagiaan bagi umat manusia.

Begitulah, cerita itu terus berhembus mengikuti arah angin. Dari mulai desa-desa tetangga, kemudian menjalar ke kota-kota di sekitar daerah itu, sampai pada akhirnya cerita ini sampai ke ibukota.

Cerita ini terdengar pula ke suatu kelompok perkumpulan Pecinta Alam. Dahulu jumlah mereka belasan, namun kini—karena waktu telah memakan umur-umur mereka—jumlah mereka tinggal tiga orang. Perkumpulan ini terbentuk semenjak mereka masih remaja. Kini, usia mereka rata-rata adalah 50-60 tahun. Ketika mendengar kisah pertapa tersebut, mereka sepakat untuk mendaki gunung bersama kendati usia mereka telah senja dan fisik mereka tentu tidak sebugar dahulu. Namun, demi alasan yang akan diceritakan kemudian, mereka sepakat untuk mendaki gunung tersebut guna bertemu dengan pertapa sakti itu.

Orang yang paling tua di antara mereka adalah seorang pria tua botak pensiunan hakim di pengadilan kota.
“Aku sudah bosan dengan kebohongan-kebohongan di dunia ini. Betapa keadilan di dunia ini adalah utopia. Waktu pun begitu cepat berlalu, kini usiaku sudah senja. Aku ingin mencari bekal untuk hidupku setelah ini. Lagipula, anak-anakku sudah mapan semua. Istriku pun telah tiada. Aku ingin mencari jalan ke surga.. Ingin mencari keadilan yang sebenarnya..” begitu jelas laki-laki tua itu kepada kawan-kawannya.

“Aku juga sudah malas menumpuk uang. Meski perusahaanku belasan, aku belum mendapatkan kebahagiaan. Kau tahu, kan? Anak-anakku semuanya jadi bajingan. Istriku malah pergi dengan lelaki lain. Meski kadang aku bersenang-senang dengan wanita-wanita muda tiap malam, aku tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan. Kini aku sudah tua, sudah bosan dengan dunia dan kemewahannya. Marilah kita cari kebahagiaan yang sebenarnya, jalan menuju ke Surga Tuhan..” seorang lelaki berjas hitam berkata. Kegagahan masih nampak dari badannya yang berperawakan tegap. Namun uban-uban itu dan kulit wajah yang mengeriput tidak pernah menyembunyikan usia.

“Baiklah, jika kalian sudah mempertimbangkan ini masak-masak. Kukira kalian harus mempersiapkan segala macam bekal yang diperlukan untuk perjalanan panjang ini. Sejauh pengetahuanku, gunung itu jarang sekali ada yang mendaki, aku sendiri belum pernah ke sana. Terakhir kabar yang kudapat, pemerintah menutup area itu karena banyak sekali pendaki yang tersesat. Namun, kita akan tetap kesana. Aku juga sudah bosan berpetualang. Kini saatnya aku mencari jalan menuju Tuhan..” lelaki tua terakhir ini adalah seorang petualang sejati. Selama hidupnya ia habiskan untuk bercengkrama dengan alam. Selama ini pun, dia belum beristri. Petualangan adalah kekasih setianya, disamping pacar satu-satunya; kesunyian.

Maka, setelah mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki gunung, mereka memulai perjalanan suci itu. Tas-tas ransel yang penuh dengan berbagai bekal mereka gendong dengan kepayahan. Sepatu gunung telah mereka kenakan. Tak lupa pakaian suci berupa kaftan coklat dikenakan, membalut tubuh renta mereka. Di pintu gerbang kota, mereka dilepas oleh kerabat dan orang dekat.

Guna memperoleh khidmat dari ziarah ini, mereka memutuskan berjalan kaki menuju gunung suci itu. Perjalanan ini begitu riang dan penuh dengan nuansa spiritual. Mereka hemat dalam bercakap-cakap, mulut mereka terlihat merapal doa-doa yang sekiranya mereka hafal.

Selama perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai macam orang. Orang-orang yang terlihat susah, terutama, pasti akan mereka bantu. Yang paling sering adalah lelaki tua pengusaha itu. Ia mengeluarkan uangnya seperti mengeluarkan dedaunan kering dari keranjang yang ia bawa di punggungnya.

Berhari-hari mereka menempuh perjalanan melewati dataran tandus, lembah, perkebunan, persawahan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah desa di kaki gunung.

Memasuki desa itu, mereka bertemu dengan penduduk yang sedang sibuk menyiangi rerumputan.
“Permisi, Bapak.. Apakah benar di ujung sana adalah gunung tempat bersemayamnya pertapa suci dan mandraguna yang terkenal itu?”
Lelaki tua petualang itu bertanya dengan penuh harap.
“Ya, betul. Itu Gunung Suci. Tuan-tuan ini, ada perlu apa?” laki-laki desa itu menyahut.
“Kami ingin berziarah ke Gunung itu. Menemui pertapa suci yang konon tinggal di salah satu tebing sana..” jawab lelaki tua mantan hakim itu.
“Ya! Kami ingin mencari jalan menuju Surga!” Lelaki tua pengusaha benar-benar sangat antusias.
“Apakah Tuan-tuan di sini sudah yakin menuju gunung itu?” tanya lelaki desa itu kembali.
“Ya, kami sudah yakin. Kami ingin mencari Jalan menuju surga itu. Kami sudah begitu penat hidup di dunia ini.” Mereka berganti-gantian saling menjelaskan.
“Meskipun nantinya kalian tidak akan kembali lagi?”
“Meskipun nanti kami tidak kembali lagi!” Jawab mereka serentak berbarengan.
“Baiklah, bila Tuan-tuan berkeyakinan untuk itu. Silahkan Tuan ikuti jalan utama yang menuju ke kaki gunung itu, sampai Tuan temui hutan belantara yang sangat lebat. Tuan masuklah, itu jalan menuju ke puncak gunung. Namun, Tuan jangan heran apabila Tuan nanti menemui jalan-jalan yang bercabang. Di salah satu cabang itu menuju ke tempat pertapa suci itu tinggal. Tuan pilihlah jalan yang terbaik bagi Tuan.” Jelas lelaki desa itu.

Mereka bertiga saling berpandangan sejenak. Setelah menguatkan tekad, mereka mengangguk bersama. Mereka berterima kasih kepada lelaki desa itu, malahan laki-laki tua pengusaha itu memberikan segenggam uang.
Mereka mulai berjalan sesuai dengan arahan lelaki desa itu sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu hutan yang sangat lebat.

“Sudah siapkah kita masuk, Teman-teman?” ucap lelaki tua petualang itu. Sungguh, tidak ada petualang yang lebih mendebarkan dalam hidupnya selain petualangan ini.

“Tentu, bagi kami dunia adalah tempat singgah yang sementara. Perjalanan kita sebenarnya baru akan dimulai.” Salah satu laki-laki tua itu menimpali. Tak jelas siapa yang berbicara, karena ketegangan begitu mencekat di dada.
“Baiklah, mari kita masuk..”

Mereka mulai masuk, menerabas kerumunan belukar dan pohon perdu. Tak lama kemudian, mereka menemui percabangan jalan. Mereka telah berjanji untuk sampai ke tujuan bersama-sama. Maka, mereka sepakat untuk memilih jalan secara bergantian. Giliran pertama adalah mantan hakim itu, kedua pengusaha itu dan ketiga lelaki tua petualang. Terus begitu, sampai mereka kelelahan.

Sudah puluhan kali mereka beristirahat sembari memakan bekal mereka. Jalanan ini seperti tanpa ujung. Setiap lima menit terdapat percabangan. Hal inilah yang membuat tiga orang peziarah ini kelimpungan. Sampailah pada suatu saat dimana bekal makanan dan minuman mereka telah habis.. mereka saling duduk bersandar dan terlihat sangat kepayahan.

“Teman-teman, apakah kita tersesat? Pertapa suci itu belum jua kita temukan. Jalan yang kita tempuh seperti jalan kesesatan..” desis lelaki tua botak itu. Ia sudah berbicara dengan mata terpejam.
“Teman-teman, benarkah ada Jalan Menuju Surga..?” lelaki tua pengusaha itu berucap lirih. Namun terlampau lirih untuk sekedar didengar oleh dirinya sendiri..
“Teman-teman...??”

Kini mereka merasakan perasaan yang sangat mencekam. Bayangan-bayangan selama mereka hidup kini nampak seperti slide yang diputar berulang-ulang di kepala mereka.

Hutan belantara telah memerangkap mereka pada sebuah sesat. Kumbang gunung bersahutan, daun-daun kuning jatuh ke tanah, menggabungkan diri bersama daun tua yang sudah membusuk, yang akhirnya nanti akan terurai menjadi hara tanah, kembali lagi ke pohon. Ketiga pendaki tadi pun demikian. Kini, mereka telah kembali lagi ke habitatnya. Barangkali, mereka telah menemukan jalan menuju surga yang sesungguhnya.
***
Pemerintah akhirnya resmi menutup Gunung itu untuk siapapun. Di kaki gunung itu, yang terdiri dari puing-puing bekas letusan gunung puluhan tahun silam, pemerintah memasang pagar pembatas berkawat duri. DILARANG MASUK. BERBAHAYA! Begitu tulisan itu. Hanya kesunyian yang tinggal di sana.[*]

Adipala, 5 September 2011
_____
M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Global, Suara Pembaruan, Jurnal Medan, Harian Aceh dan media online Kompas.com. beberapa kumpulan ceritanya dapat dilihat di www.kolasecerita.wordpress.com. Kontak: Twitter @n_choliz

Ini Kisahku denganmu

Semua berawal dari lima tahun lalu. Kau teman baruku. Kau satu dari segelintir wanita yang ada di sekitarku. Selain kau, juga ada Chinta dan Irene yang baru saja merasakan suasana kampus di kota ini.

Malam itu, meski suasana di kampus cukup ramai, aku yang ada di depanmu hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa.

Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu, senyum manismu, lesung pipitmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Kau masih di sekitarku.

Setiap malam kusaksikan senyummu. Dan tak terasa sudah ratusan malam senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan, tak pernah ingin ku lewatkan.

Begitu juga perasaan di hatiku yang telah berubah meskipun aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Entah apa namanya, ku tak ingin mencarinya dalam kamus-kamus di perpus-perpus, ku hanya ingin menikmati saja.

Malam pun datang bersama bulan yang masih saja beredar. Kadang terlihat cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Tak seperti senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir darahku, menuju jantungku. Menggetarkannya, memacu degupnya. Mungkin ini yang namanya cinta. Tapi ku masih takut menyebutnya. Aku hanya memandang bulan yang belum bundar sempurna, ku titipkan perasaan ini padanya.

Hal yang paling ku takuti adalah dibenci oleh orang yang ku cintai. Tiga tahun sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena mencintai. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku takut kau membenciku atau aku takut mencintaimu. Hingga -yang mungkin saja- cinta ini, ku biarkan. Tak kuucapkan.

Hingga saat malam datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak, hatiku berontak, kebenaran terkuak. Kau tak lagi sendiri. Perasaan ini pun jadi tak berarti. Ku lihat kau bersama lelaki yang mencintaimu, dan kau memanggilnya Toni, kekasih hatimu. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya pagi.

Malam-malam berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Senyum yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada layang-layang, ku terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.

Kini, ku masih menikmati senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam. Sementara perasaanku masih ku titipkan padanya, ku mencoba menikmati suasana yang sedikit berbeda. Melihatmu tersenyum, tertawa bersama kekasihmu. Senyum yang masih memacu degup jantungku, meski sedikit menyayat hatiku.

Suatu saat nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi, sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan suatu kisah tentang perasaan -yang mungkin saja cinta- ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di penghujung malam, di awal pagi.


Surabaya, November 2010