tag:blogger.com,1999:blog-45555646393559633682024-03-08T10:40:34.734-08:00Djogja ilOve youithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comBlogger114125tag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-55768282284323562892012-01-18T12:06:00.001-08:002012-01-18T12:06:58.229-08:00Perawat Jenazah<em>ia perempuan.<br />
urai panjang rambutnya selamanya menghitam malam, sepasang matanya bertoreh baskara, tangan kanan menggenggam fajar yang kiri menadah ranah buritan. kakinya mengayun angin di atas dipan -dinikmati itu seumpama candu- dan bila waktunya datang, ia langkahkan kemana berjalan.<br />
kini jalannya melesat tak terhambat: baginya cuma satu, cabang dan ranting itu semu; maju. katanya kematian tak jemu menunggu</em>.<br />
Suara-suara memanggil namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. Bebunyian yang bertahun-tahun dia kenali melebihi pengenalannya akan jumlah usia yang selalu lalai dihitungnya. Sebentar lagi pasti ada yang datang, pikirnya. Dia bangkit, dipan kayu berderit.<br />
“Sudah waktunya. Tapi aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.<br />
Seorang sepertinya tidak membutuhkan citra, hanya ketulusan, dia bergumam. Satu-satu, perhiasan yang ada pada tubuhnya terlepas: kalung, anting, gelang dan cincin. Perhiasan toh cuma pemanis belaka, tak dibawa mati. Maka tidak patutlah itu bersinggungan dengan orang mati. Hanya perasaan jangan sampai mati.<br />
Diambilnya air wudhu. Tubuhku memang masih hidup, karenanya harus pula suci, kata hatinya ketika dingin air padasan mencapai ujung sikunya. Tak didengarnya ketukan di pintu yang memanggil-manggil namanya. Tapi ketika anak tertuanya pergi membukakan pintu, dia telah selesai sama sekali dalam bersiap. Dapat didengarnya orang yang datang dan kini telah duduk di kursi ruang tamu itu berkata:<br />
“Pamularsih dan anaknya.”<br />
*****<br />
/2/<br />
<em>bila saja mampu, bukan pada alam ini nyawanya berdiri.<br />
ia lebih tenang jika menyanding matahari dalam kisar galaksi. sebab ia bisa merajuk dayagunanya agar planet dan bintang mungil itu berpijar wajar atau melebur gentar. selaik keindahan tanpa rintih yang menyuara gelegar, begitu tenang dan tenteram.<br />
apalah daya, tetap saja ia kumpulan debu dengan senyawa yang juga diburu. ia bersaksi itu tiap kali akan menggerutu.</em><br />
Sampai di rumah yang sepi pelayat itu, Tugirah bergerak cepat. Dipintanya beberapa orang membentangkan kain jarit sepanjang yang ada, sebanyak yang ada untuk membunikan pekerjaan yang dilakukan pada mayit. Kali ini ada dua dan seperti yang lalu, hatinya masih saja bergetar. Kematian selalu mendirikan bulu roma. Selalu ada cerita di baliknya, setidaknya sebuah ikhtisar hidup dan lonceng tanda bersiap-siap bagi yang hidup. Seperti dia, kematian baginya adalah agung hingga tak dapat lagi dibedakannya antara mayit-mayit dengan buah hatinya. Mayit adalah anak-anaknya juga dalam satu perbandingan tanpa kesenjangan. Karena jika telah sampai tangannya yang gemetar menyentuh bagian tubuh mereka yang beku, dia selalu dapat merasakan sensasi yang mendesak rahimnya, bagai menjelang sebuah kelahiran.<br />
Dia mencintai mereka seperti orang-orang tamak mencintai mestika.<br />
“Siapa denganku?” tanyanya. Seseorang di luar naungan kain-kain jarit yang dibentangkan memutar pada tiang-tiang bambu secara darurat menjawab dan menyebut nama dua orang. Dua orang yang baru disebut memang beberapa menit kemudian masuk. Tugirah mengenal mereka.<br />
Salah satu dari mereka, yang lebih tua, menyapa basa-basi. Di matanya Tugirah tidak menemukan keikhlasan, hanya pandangan enggan dan jijik. Pada yang seorang lagi pun demikian. Terlihat sinar mata itu meredup dan bergerak-gerak aneh mencari obyek yang lain selain mayit si janda kembang dan anaknya itu. Tugirah mafhum. Dia toh hanya butuh saksi.<br />
*****<br />
/3/<br />
<em>dipersiapkan berlapis gelombang putih untuk dilaraskan. ruah bening dari berbagai mata air dikumpulkan serta digenangi penggal-penggal dunia selebar kelor. tak luput wewangi alam yang bernafas dihimpun sampai nanti dihembus salam.<br />
beruntun, kepada sebujur jasad, ia kabungkan kesemua lapis gelombang itu setelah tetumpah mata air dibasuhkan dan ditiupi salam wangi. sesungguhnya ia tahu, berkali ia menyaksi nyawa mengambang di sela berkasih dan bersayang dibalutkan.</em><br />
Ada yang harus dibasuh, pikirnya, tak hanya sekedar tubuh yang meriah dengan lebam mayit, tapi bau yang meriap. Diucapkanlah doa, lalu minyak wangi pada buli-buli dituangkan. Tubuh diam Pamularsih dan anaknya yang baru berusia dua tahun itu dijejerkannya dalam satu barisan rapat. Kata orang yang memanggilnya tadi, mayat mereka berdua ditemukan tadi pagi setelah hilang sejak kemarin sore.<br />
Diliriknya kedua orang yang bersamanya. Saat itulah tangan mayit Pamularsih mencengkeram ujung lengan bajunya.<br />
“Selalu yang punya rahasia. Apa yang hendak kau sampaikan, Nduk?” tanya Tugirah. Selalu begini. Apakah karena mayit-mayit yang berada dalam urusannya adalah juga anak-anaknya? Benarkah begitu hingga semua rahasia mereka akan diadukan kepadanya?<br />
Dia melirik kembali kembali kedua orang yang bersamanya. Mereka tengah sibuk mempersiapkan beberapa kebutuhan lain sekaligus memasukkan dan mengeluarkan beberapa yang telah tak digunakan atau yang akan digunakan dengan orang-orang di luar bentangan kain-kain jarit.<br />
Pamularsih berkata memelas, “Nyawaku belum sampai tempatnya, Bu.”<br />
“Lha, kok bisa?” tanya Tugirah. Dimiringkannya mayit ke arah kiri, salah satu dari dua orang yang bersamanya tanggap untuk memercikkan kembali air dari wadahnya. Kening orang itu terlihat berkerut keheranan.<br />
“Bu, “ panggilnya ragu-ragu. Tugirah menggeleng dan memberi isyarat padanya untuk diam saja.<br />
“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.<br />
“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.<br />
“Dia mengajak kami berdua. Katanya akan dibawa minggat diam-diam. Ternyata, belum juga keluar dari jalanan desa ini, dia khianat. Ada anaknya dalam rahimku ini, Bu.”<br />
Tugirah diam. Sudah banyak diketahuinya dari seluruh kematian yang pernah dia temui dan dia tidak ingin menambahnya lagi, sebenarnya. Dia sudah terbiasa mendapati kenyataan yang sebenarnya dari berbagai rahasia tanpa mampu untuk membuat suatu akhiran yang dapat mengubah. Dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia hanya mampu memberikan keseluruhan yang dia mampu untuk menyucikan mayit, bukan menjadi penuntut atau bahkan seorang hakim.<br />
Mayit Pamularsih dan anaknya memanglah dia agungkan benar-benar. Dibuatnya mereka laksana patung-patung pualam yang lolos dari cela dan melimpah dengan kasih sayang darinya karena mayit-mayit itu adalah juga anak-anaknya, buah hatinya. Boleh jadi di kehidupan dunia nama mereka telah tidak tercatat, tapi Tugirah adalah orang yang percaya bahwa kesucian jasad adalah kunci pertama menghadapi siksa kubur.<br />
“Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.<br />
Kedua tangannya terangkat. Berdoa.<br />
*****<br />
/4/<br />
<em>barangkali tak ubahnya seorang musafir. setelah lelah menempuh safar; mengikuti kaki hilir dan memutar badan, ia bujur keseluruh tubuh tanpa mengacuh kiri kanan. yakin ia sudah kumuh. apa peduli dengan selembar tanah yang baru ia gelar. merebah saja dan segala pemandangan dipejam.</em><br />
Suara-suara itu sayup sampai kembali di telinga Tugirah. Dia bergeming. Dia merasa cukup dan enggan, pun telah bersumpah bahwa kemarin adalah yang terakhir buatnya. Dia merasa sudah cukup mulia dan tak ingin rakus menelannya seorang diri. Toh akan muncul orang selain dirinya, yang lebih fasih dari sekedar membasuh dan menyucikan mayit, yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendengar dan mengerti isyarat-isyarat yang ditunjukkan, rahasia-rahasia sebalik kematian. Semoga.<br />
Ketukan-ketukan di pintu rumah tak digubrisnya. Dia tahu, anaknyalah yang akan menemui dia, siapapun yang datang ke rumahnya. Tapi memang suara-suara di kupingnya masih saja memanggil-manggil, dia tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai dia mati.<br />
Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.<br />
Di depan pintu, anak tertua Tugirah menghadapi tamunya.<br />
“Ada lagi yang meninggal?” tanyanya.<br />
Cigugur, 12 November 2011<br />
- Berdasarkan puisi Naim Ali, “Perawat Jenazah”ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-15700143318077627992012-01-16T15:39:00.001-08:002012-01-16T15:39:43.111-08:00Wangi Bunga KumbasariPundakku ditepuk orang. Aku menoleh. Begini: pada kehidupan sehari-hariku belakangan, makin sulit aku mengenali seseorang di tempat tak terduga. Tempat tak terduga itu maksudnya konteks. Konteks itulah yang biasanya kugunakan untuk melokalisir seseorang. Termasuk di dalamnya misalnya pada kesempatan apa aku mengenalnya, dimana, kapan, serta kaitan-kaitan lain yang memudahkanku untuk mengingat siapa dia.<br />
<br />
Terlebih, kalau kusempitkan pada wanita. Wanita sekarang di mataku sama saja: potongan rambutnya (yang kemudian berpengaruh pada bentuk dan ukuran kepalanya), pakaiannya, tasnya, dan lain-lain. Aku lebih mudah mengenali merek sepatu mereka daripada identitas diri mereka.<br />
<br />
Kali ini perkecualian. Waktu, tempat, semuanya sungguh tak ada hubungan dengan konteks dia yang pernah kukenal. Bahkan dia sudah hampir hilang—tidak saja dari pengharapanku, tetapi pikiranku.<br />
<br />
Lihat saja: ini Kumbasari. Sebuah pasar tradisional di Denpasar, Bali, tempat jualan sayur-mayur, ikan, daging, dan lain-lain termasuk bunga—yang kusebut terakhir ini yang membawaku kemari. Sementara kami dulu berhubungan di Jakarta. Kapan? Dua puluh, 25, atau 30 tahun lalu? Hanya pada momen seperti ini aku berkesadaran umur. Sepanjang perkiraan waktu seperti kusebut tadi kami tidak pernah bertemu lagi. Anehnya, seketika aku bisa mengenalinya.<br />
<br />
Aku terheran-heran. Tak percaya pada penglihatan sendiri. Dia di sini, di pasar Kumbasari, malam hari, saat aku membaui wangi aneka kembang yang diturunkan dari truk dari Kintamani.<br />
<br />
“Heran?” tanyanya.<br />
<br />
“Kamu juga heran?” aku balik bertanya.<br />
<br />
Dari hendak berjabat tangan, secara spontan kami jadi saling merapatkan tubuh. Ia mengusap-usap punggungku. Aku mengusap-usap lengannya. Sudah agak kendor. Ukuran tingginya tetap—ya, pertumbuhan tinggi seseorang berakhir pada masa remaja. Dulu aku mengenal dia setelah ia melampui masa remaja, bahkan sudah beranak satu. Kesesuaian tinggi kami berdua itulah yang dulu sering kami banggakan, merasa hubungan sangat ideal. Posisi apa saja enak: berdiri, miring, tidur.<br />
<br />
“Kamu tak bertambah tinggi,” selorohku.<br />
<br />
“Pinggang kamu juga tidak jadi tambah gendut. Tetap enak dipeluk,” ucapnya.<br />
<br />
“Masih mau?” tanyaku.<br />
<br />
“Mana bisa menolak...” ujarnya disertai tatapan mata itu, yang harus kusebut: agak nakal.<br />
<br />
Kami berdua tertawa. Baru setelah itu sadar, dan saling bertanya kabar, kenapa di sini, dimana tinggal, hidup macam apa yang dijalani sekarang, siapa pasangan hidup, kenapa istrimu tidak ikut (kujawab ia tidak suka ke pasar), kenapa pula suamimu tidak ikut, aku balik bertanya (ia menjawab sambil tertawa, katanya ke pasar adalah tugasnya), dan lain-lain.<br />
<br />
***<br />
<br />
Dia punya dua tanggal kelahiran. Atau jangan-jangan lebih. Aku geli mengingatnya.<br />
<br />
Pada zamannya ia terkenal—sangat terkenal, sebagian orang pasti masih mengingat namanya. Ia primadona dari panggung kesenian tradisional. Kelompok kesenian yang melambungkan namanya serta beberapa nama lain itu tak kalah populer pada zamannya. Sebuah buku pernah ditulis, meriwayatkan perjalanan kelompok tersebut.<br />
<br />
Dari panggung kesenian rakyat, beberapa pemain kemudian sempat main beberapa film layar lebar. Tentu saja termasuk sang primadona yang kuceritakan—yang namanya ditulis besar-besar di poster film. Sutradaranya bukan sutradara sembarangan. Sekarang sudah meninggal. Aku datang waktu kremasi jenazahnya.<br />
<br />
Produksi film itu yang mempertemukanku dengannya. Aku berkeliaran di lokasi shooting—sebuah studio besar di Jakarta Selatan—di antara sebagian besar crew yang kukenal akrab. Yang paling kuingat—kutahu ini sebagian menjadi gosip di kalangan kami kemudian—usai sebuah pengambilan gambar berdurasi panjang ia seperti kehilangan dirinya. Itukah yang disebut ekstasi peran?<br />
<br />
Tiba-tiba ia menjerit, minta disetubuhi. Tempatnya memungkinkan. Hanya kami berdua di tempat itu ketika peristiwa kuceritakan ini terjadi. Diam-diam aku memang menguntit dan selalu di sekitarnya. Jujur, aku tertarik padanya. Meski singkat, kami melakukan dengan menggelegak. Seperti tabrakan kereta diesel.<br />
<br />
Wuiihhh, dia tergolek dengan pakaian berantakan, mengatur napas kembali, sembari bibir menyungging senyum. Aku buru-buru membereskan pakaian sendiri, dari peristiwa tak terduga dan tak terlupakan itu. Ia membereskan diri kemudian, sembari menyulut rokok.<br />
<br />
Setelah itu, kami sering melakukannya. Tanpa perlu alasan. Hanya butuh tempat.<br />
<br />
***<br />
<br />
Seperti kusinggung di atas, waktu itu dia sudah punya satu anak. Umurnya sekitar dua tahun. Tak jelas hubungannya dengan bapak dari anaknya, namun setidaknya waktu itu mereka masih tinggal serumah. Rumah mereka di Jakarta Selatan.<br />
<br />
Pada kesempatan khusus, kadang pengin juga aku berdua dengannya. Kesempatan khusus, bukan asal-asalan, supaya hubungan punya alasan—meski sedikit dan tak seberapa. Tidak cuma gituan.<br />
<br />
Ia gembira ketika pada hari yang ia sebut sebagai ulang tahunnya kami bisa berdua. Kami makan berdua. Tidak bisa lama-lama. Bisa kumaklumi. Pasti ia butuh waktu bersama keluarga. Hubungan kami, sebutlah, hanya sekunder.<br />
<br />
Baru belakangan, jauh hari seusai hubungan kami tadi jadi kenangan, ada lelaki yang bercerita padaku bahwa ia punya pengalaman serupa yang kualami dengannya. Kami lalu mencocok-cocokkan pengalaman kami berdua. Tentu—dan tentu saja aku juga minta maaf kalau ini menyinggung perasaan kepantasan Anda—kami bertukar cerita sembari tertawa-tawa.<br />
<br />
Persis seperti kualami, dia juga bercerita mencoba menciptakan kesempatan istimewa pada hari ulang tahun primadona kami ini.<br />
<br />
“Kuingat, waktu itu tanggal 12 Januari. Pas Jakarta selalu hujan,” katanya. Dia hendak mengasosiasikan perempuan ini dengan hujan dan hawa dingin. Apalagi yang kemudian enak dilakukan, Saudara-saudara...<br />
<br />
Kusergah. Ingatannya pasti salah. Ulang tahunnya bukan tanggal 12. Seingatku tanggal 18.<br />
<br />
Kami saling ngotot mengenai ingatan kami masing-masing. Kemudian pecah tawa kami. Mungkin primadona ini bahkan masih memiliki beberapa tanggal lagi, untuk menyenangkan pihak yang lain lagi. Terus terang, kami agak kurang paham dunia sandiwara.<br />
<br />
***<br />
<br />
Primadona yang dulu itu sekarang berdiri di hadapanku di pasar Kumbasari. Konkrit, real. Bukan ilusi Facebook. Masih tersisa kecantikannya.<br />
<br />
Kami menepi, berbincang di warung kopi di sudut pasar di pinggir Tukat Badung. Katanya sudah hampir 10 tahun ia tinggal di Bali. Bersama pasangan yang ia sebut suami, ia mengaku tinggal di daerah Sesetan. Mereka buka warung makan. Ia biasa belanja kemari setiap malam. Ohhh...<br />
<br />
“Ayo mampir,” ajaknya.<br />
<br />
Setelah beres urusan pasar, kami pun menuju rumahnya. Lucu juga, hubungan tanpa alasan melahirkan keakraban seperti ini. Kami menelusuri jalanan Denpasar yang sepi.<br />
<br />
“Setelah pohon besar yang disarungi itu belok kiri,” katanya padaku menunjukkan arah.<br />
<br />
Rumahnya tak jauh dari pertigaan. Daerah ini seperti pasar. Di dekat dia ada model-model rumah yang tampaknya juga dijadikan tempat usaha.<br />
<br />
“Ramai kalau siang,” katanya.<br />
<br />
Kami melangkah masuk rumah. Dia ribut berseru membangunkan seisi rumah, termasuk pembantu yang segera mengurusi semua barang belanjaan. Seorang pemuda, dengan rambut kusut keluar kamar.<br />
<br />
“Ini suamiku,” katanya mengenalkan pemuda ini.<br />
<br />
Dia menyalamiku, sambil tersenyum dan mengucak-ucak mata.<br />
<br />
Aku ia perkenalkan sebagai “sahabat lama”, sudah seperti saudara.<br />
<br />
Pemuda yang kuduga seusia anaknya itu minta izin, masuk kamar lagi.<br />
<br />
“Bagaimana kabar Adira?” kataku padanya, menanyakan kabar anaknya. Masih kuingat, nama anaknya Adira, panggilannya Dira.<br />
<br />
Ia tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan. Kelihatannya tahu maksudku.<br />
<br />
“Ya, dia seusia Dira. Lebih muda setahun,” bisiknya. “Dira sekarang sudah kerja di Batam. Sudah punya istri, punya anak. Aku sudah jadi nenek,” ucapnya. “Masih mau sama nenek-nenek...” tambahnya dengan lirikan khas matanya.<br />
<br />
Dia tak berubah. Masih tersimpan magnet di situ. Aku cuma bisa tertawa.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sudah dini hari ketika aku kembali ke vila tempat kami menginap di daerah Krobokan. Istriku sudah pulas. Selalu seperti itu tidurnya. Seakan tak ada masalah di dunia.<br />
<br />
“Tadi malam jadi kemana?” tanyanya saat kami berdua breakfast. “Ke klub-klub di sekitar sini, apa ke Kumbasari?”<br />
<br />
“Ke Kumbasari,” jawabku.<br />
<br />
Meski dia sendiri tidak suka tempat yang disebutnya becek seperti keadaan umumnya pasar-pasar tradisional, tapi ia memaklumi kesukaanku, menelusuri tempat-tempat yang sering kujelaskan padanya, tempat dimana aku menyerap daya hidup.<br />
<br />
“Bagaimana pasar Kumbasari tadi malam?”<br />
<br />
“Wangi bunga.”<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Suwung Kangin, Januari 2012ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-71562214957099645372012-01-14T12:28:00.000-08:002012-01-14T12:28:16.548-08:00Sebutir Peluru Dalam SunyiSebutir peluru, kerap disebut sebagai timah panas, kini tengah menggigil kedinginan. Ia terjatuh di sebuah sudut ruang di balik lemari. Sendirian. Bersatu dalam kegelapan. Bermain dengan debu-debu yang berebutan melekatkan diri padanya.<br />
<br />
Pada kesunyian, terdengar hiruk-pikuk di atas. Di tempat semula ia tersimpan bersama kawan-kawan yang satu per satu pergi menunggu giliran. Berganti kawan-kawan baru. Ah, ia mendengar kisah dari sebutir peluru, entah siapa yang tengah bercerita dalam lelah. Tentang butiran-butiran proyektil peluru yang telah melesat, bukan pada sebuah pelatihan.<br />
<br />
Apakah ada perang? Tanya sebutir peluru di sudut bawah yang tak bisa terjawab sendiri. Bila benar terjadi peperangan, maka para proyektil peluru akan merasa gagah untuk melesatkan diri dan menunjukkan jati dirinya yang mampu menembus dinding kulit manusia, menghujam daging-daging manusia dari para lawannya. Kematian demi kematian dalam sebuah peperangan dari masing-masing pihak, menjadi pertanda perhitungan atas kemenangan ataupun kekalahan. Nyawa seakan menjadi hitungan angka-angka. Tapi, apakah benar memang ada perang? Tak mungkin, ia menjawab sendiri dalam gamang. Tiada desas-desus sebelumnya, dari mulut-mulut manusia ketika memainkan dan menghitung butiran-butiran peluru di gudang simpanan.<br />
<br />
Ia pekakan pendengaran. Terlalu pikuk. Mungkin kawan-kawan lainnya juga sibuk bertanya, dan kawan-kawan yang baru datang juga berebutan saling bercerita. Melebihi pasar tradisional dengan beragam pedagang yang menawarkan dagangan.<br />
<br />
Peluru itu, dengan proyektil runcing di ujungnya, terlapisi tembaga dengan warna kuning keemasan yang manis terlihat, semakin memaksakan diri untuk menangkap kisah di atas. Samar terdengar. ”Bukan, bukan perang. Tapi perang juga. Ah, bukan... itu namanya bukan perang,” sebuah peluru gagap mengungkapkan peristiwa.<br />
<br />
”Lantas,”<br />
”bukankah perang merupakan pertarungan meraih atau mempertahankan kemerdekaan? Mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak yang akan menyerang atau menggerogoti dari dalam. Sahabat-sahabat kita telah melesat bukan pada sosok-sosok yang memiliki peluru-peluru macam kita,” sahut peluru lainnya.<br />
”Lantas?”<br />
”Entahlah. Manusia memang aneh. Tampaknya mereka bersaudara. Mereka yang menolak sebuah proyek yang mengancam keberlangsungan hidup mereka,”<br />
”Pasti ada provokator di balik ini semua,”<br />
”Atau sang komandan salah memberi perintah,”<br />
“Atau anak buah serentak salah kaprah,”<br />
“Atau......?”<br />
<br />
Tiba-tiba hening kembali. Sama dengan keheningan sang peluru yang berada di sudut bawah. Sebuah peluru manis yang jauh berbeda dengan peluru sebelum senjata api diciptakan. Bola logam atau bola batu untuk berburu. Peluru yang masih berbentuk bulat lebih sempurna pada periode tahun 500-800. dan mulai mengerucut bentuknya, hasil cipta Kapten John Norton dari Angkatan Darat Inggris pada tahun 1823 dan tersempurnakan hasil cipta William Greener pada tahun 1836. Percobaan demi percobaan yang semakin sempurna, yang terawali dengan ditemukannya peluru berselebung tembaga oleh MayorEduard Rubin di tahun 1882. Permukaan timah pada peluru yang ditembakkan dapat meleleh karena suhu panas dan gesekan dengan laras senapan. Karena tembaga memiliki titik lebur yang lebih tinggi dan lebih keras, peluru terselubung tembaga dapat ditembakkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Semakin waktu berjalan semakin sempurna saja, bentuk dan kekuatan peluru yang tercipta. (lihat sejarah peluru dan perkembangannya: http://www.berbagaihal.com/2011/06/sejarah-peluru.html)<br />
<br />
”Atau..” ia mendesis sendiri. Teringat kisah-kisah kawannya, kumpulan peluru yang tercipta secara gelap ataupun tercuri dan jatuh di tangan-tangan manusia jahat yang bisa dengan mudah melesatkan proyektil peluru ke sosok-sosok manusia jahat juga kepada sosok-sosok yang sebenarnya tidak berurusan dengan dunia mereka. Sosok-sosok yang merasa menjadi penguasa dunia dan memainkan perputaran uang yang sangat dahsyat. Peluru-peluru yang menjadi senjata penjaga kestabilan kepentingan mereka.<br />
<br />
”Ah, tidak mungkin. Ketika kawan-kawan kembali, berdiam di tempat ini, maka keamanan-lah yang terutama, demi menjaga sebuah bangsa dan negara. Tapi apa arti kisah dari kawan-kawan di atas sana?” tak habis pertanyaan menggantung menjadikan kepenasaran yang teramat sangat.<br />
<br />
Ah, sang peluru teringat, ketika ia pernah terbawa oleh seorang perwira, ia pernah menyaksikan sebuah senjata tanpa peluru dengan suara letusan untuk membuat kejutan yang bisa digunakan untuk memecah konsentrasi aksi masa tanpa harus merebut nyawa. Atau teringat perbincangan yang ia dengar tentang peluru karet.<br />
<br />
Ya, peluru karet, peluru yang dirancang tidak untuk mematikan kecuali digunakan pada jarak dekat atau mengenai bagian vital seperti kepala. Peluru-peluru jenis inilah yang digunakan oleh tentara Israel ketika menembaki aksi masa orang Palestina atau yang dilakukan tentara Bolivia kepada para petani yang melakukan aksi protes perusakan tanaman koka. Ya, peluru jenis ini yang digunakan oleh Amerika untuk meredam aksi demonstra anti perang dan hak-hak sipil pada tahun 1960-an. Namun, setelah beberapa kematian akibat peluru karet, bukankah penggunaannya sudah ditinjau ulang? (lihat tentang ini di SINI http://www.slate.com/articles/news_and_politics/explainer/2000/10/what_are_rubber_bullets.html)<br />
<br />
Lantas, peristiwa macam apakah, sehingga kawan-kawan yang sejenis dengannya telah dilesatkan dan mengakibatkan kematian? Peluru itu semakin menggigil kedinginan dalam sunyi, sama halnya dengan hirup pikuk yang telah berhenti dari atas sana.<br />
<br />
Yogyakarta, 26 Desember 2011 <br />
Cerpen Odi Shalahuddinithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-21257586400329941962012-01-10T18:58:00.000-08:002012-01-10T18:58:25.544-08:00Ibu Tak Ingkar JanjiLisa tak mengerti kenapa Ibunya yang suka mendongengkan cerita dan menyanyikan lagu untuknya sebelum tidur harus pergi. Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang cantik itu harus pergi jauh sementara Lisa belum selesai sekolahnya. Padahal Lisa ingin membahagiakan Ibunya sampai sekolahnya selesai. Lisa tak ingin lagi ribut dengan adiknya Didi yang bawel dan pelit, dan juga ia tak mau menyusahkan Ibu dengan seringnya minta uang jajan.<br />
<br />
Tapi, hari ini Ibu berkata ia harus pergi. Pergi ke mana, Bu, tanya Lisa. Jauh, Nak. Ibu pergi untuk kamu, Nak. Semuanya untuk Rufi, kamu dan Didi, kata Ibu sambil membelai halus rambut Lisa.<br />
<br />
Lisa tak mengerti setelah ayahnya yang pergi lebih dulu kali ini Ibunya juga harus pergi. Olala, betapa sepinya, kata Lisa. Kan, ada Nenek, Lisa, kata Ibu. Nenek dan Mbak Rufi akan menemani Lisa dan Didi setiap hari. Tenanglah, Ibu pasti akan pulang, Lisa, kata Ibu.<br />
<br />
Ya, tapi pergi ke mana dan pulangnya kapan, Ibu tak menjawab. Bagi Lisa, Ibu tak mau menceritakan rencana kepergiannya karena Ibu ingin membuat kejutan untuknya. Kejutan berarti sesuatu yang membahagiakan dan pasti juga indah, batin Lisa.<br />
<br />
Berkali-kali Ibunya hanya bilang ia pergi untuk Lisa, untuk Didi, untuk kami semua di sini. Ibu bilang ia pergi bukan untuk dirinya sendiri. Tapi apakah Ibu akan kembali? Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Lisa. Tentu Ibu akan kembali, Nak, jawab Ibu. Sekali lagi Ibu pergi untuk kalian, Nak, bukan untuk Ibu. Janji, ya, kata Lisa. Ibu berjanji, Lisa, bisik Ibu.<br />
<br />
Hari ini adalah hari terakhir Ibu bersamanya. Seperti biasa malam ini Ibu mendongeng dan menyanyikan lagu untuk Lisa sebelum tidur. Suara Ibu yang nyaring dan jernih menyejukkan hati Lisa. Tak lama kemudian Lisa tertidur. Dalam mimpinya Lisa bermimpi naik kereta yang ditarik sepuluh ekor kuda bersayap putih bersama Ibu bersama Didi, Nenek dan juga Mbak Rufi ke langit penuh bintang. Di sisi mereka muncul bunga-bunga bermekaran.<br />
<br />
Olala, betapa indahnya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sore ini Ibu sudah berkemas. Koper, tas ransel dan kerudung berwarna putih di kepala Ibu sudah siap. Didi, Lisa, Mbak Rufi dan Nenek menghantar kepergian Ibu. Lisa, Didi, jangan nakal, ya, Ibu pasti kembali, kata Ibu. Ya, Bu, jawab Lisa. Setelah Ibu naik ke atas bus, Lisa menghentikan tangisnya.<br />
<br />
“Hati-hati, Bu! Ingat, Ibu pulang, ya!” jerit Lisa.<br />
<br />
Dilihatnya Ibu melambaikan tangan di kaca jendela. Ya, ini hari terakhir Lisa dan Didi melihat Ibunya. Kata Mbak Rufi Ibu pergi ke Arab Saudi. Tapi bukan itu yang penting buat Lisa. Apakah Ibu akan kembali dan tidak pergi seperti ayah, tanya Lisa. Mbak Rufi tersenyum. Ibu pasti pulang, Lisa, kata Mbak Rufi. Ibu pasti pulang. Ya, Ibu pasti pulang...<br />
<br />
2010<br />
<br />
Dua tahun berlalu. Tak ada kabar dari Ibu. Lisa kangen sekali sama Ibu. Dituliskannya perasaan kangen Lisa kepada Ibunya dalam surat. Karena Lisa tak tahu alamat Ibu, surat-suratnya ia masukkan ke dalam botol dan ia hanyutkan ke sungai. Mungkin Ibu tak membaca suratku, tapi ia pasti tahu apa isi hatiku, batin Lisa. Hampir setiap bulan Lisa melakukan itu. Selain surat Lisa juga suka menggambar ibunya yang sedang naik kereta ke atas langit ditarik kuda bersayap putih seperti dalam mimpinya terakhir sebelum ibunya pergi. Sebenarnya Nenek dan Mbak Rufi tahu alamat Ibunya. Tapi mereka tak bisa memberitahukannya karena kata mereka tempat Ibu bekerja berpindah-pindah, dari satu majikan ke majikan lainnya.<br />
<br />
“Tapi Ibu tak ingkar janji Lisa. Ibu tak lupa dengan kalian walau tidak bicara dengan kalian,” kata Nenek.<br />
“Buktinya apa? Pasti Ibu pergi seperti Ayah dan tidak akan kembali lagi!” jerit Lisa.<br />
“Lisa, Ibumu kirim uang buat kalian. Lihat, baju, boneka, tas, sepatu, dan seragam baru buat kamu kemarin siapa yang belikan? Itu semua dari Ibu, Lisa! Ibu kirim dari jauh!” jelas Nenek.<br />
“Lisa nggak butuh uang, Lisa mau ngomong sama Ibu! Lisa ingin dengar dongeng dan lagu yang Ibu nyanyikan tiap malam!” jerit Lisa. Tangisnya meledak. <br />
“Lisa, nggak boleh begitu. Ibu kan’ sudah janji pergi untuk kamu, untuk kalian, untuk kita. Ibu pergi untuk kita, Lisa dan ini buktinya!” jelas Mbak Rufi.<br />
<br />
Lisa terdiam. Air matanya meleleh. Ibu, kenapa kau harus pergi jauh, batin Lisa. Mbak Rufi memeluknya.<br />
“Ibu pasti akan kembali, Lisa. Ibu tidak lupa dengan kalian,” bisik Mbak Rufi.<br />
<br />
Lisa pergi ke kamar. Dipandanginya di dinding lukisan Ibu karyanya yang sedang naik kereta ke langit ditarik kuda-kuda bersayap. Di mata Lisa lukisan Ibu bergerak. Langit yang penuh kerlap-kerlip bintang memancarkan sinarnya sementara sayap-sayap di kuda-kuda itu mengepak dengan indahnya. Ibunya tersenyum dan melambaikan tangan.<br />
<br />
Oh, Ibu.<br />
<br />
Keheningan malam mulai menyergap. Rasanya begitu lama Lisa tak lagi mendengar dongeng dan lagu untuknya.<br />
<br />
2011<br />
<br />
Sampai pada suatu sore yang cerah Lisa terkejut melihat kedua mata Mbak Rufi sembab di ruang tamu. Pulang dari rumah Evie, dilihatnya Mbak Rufi dan Nenek berpelukan, lalu menangis. Selain itu dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tak dikenalnya duduk di ruang tamu. Wajah-wajah mereka tampak asing di mata Lisa. Mungkin mereka dari kota.<br />
<br />
“Ada apa, Mbak, ada apa, Nek?” tanya Lisa heran.<br />
<br />
Keduanya tak menjawab. Mbak Rufi membelai kepala Lisa kemudian menyuruhnya ke dalam. Di kamar Lisa mendengar suara Mbak Rufi menjerit, histeris.<br />
<br />
“Ini tidak adil! Ibu tidak bersalah! Kalau ibu memang salah kenapa dia harus dihukum begitu keji? Ini tidak adil! Tidak adil!” jerit Mbak Rufi.<br />
“Tapi ini kabar yang kami terima, Mbak. Kami juga tak menyangka jadinya akan seperti ini. Apa daya sepertinya…”<br />
“Sepertinya apa?? Lantas apa tanggung jawab kalian?? Apa kerja kalian, ha??”<br />
“Kami hanya menyampaikan kabar ini kepadamu, Rufi. Ibumu …”<br />
<br />
Oh, jadi ini tentang ibu? Ibu pulang? Hore, Ibu mau pulang! Tapi kalau Ibu mau pulang kenapa Mbak Rufi dan Nenek menangis?<br />
<br />
“Kami bahkan tahu kabar ini setelah membaca koran asing. Tapi kami akan usut sampai tuntas kasus ini sampai mereka tahu bahwa ada yang tidak beres. Kami tahu sebenarnya ini adalah pembelaan diri Ibu kalian terhadap sikap majikannya. Kami tahu hal ini tidak sepatutnya terjadi bila vonis segera direspon advokasi pemerintah...”<br />
“Ya, sepertinya ada yang ditutupi sehingga kasus ini baru ketahuan kemarin. Ada yang tidak mau kami tahu kabar ini….ada yang….”<br />
<br />
Oh, ada apa dengan Ibu? Tadi orang-orang kota itu bilang “kasus”? Apakah Ibu berbuat kesalahan? Apakah Ibu mencuri? Apakah Ibu…Lalu Ibu ke mana? Kenapa Ibu tidak pulang? Lisa mengerti ini semua pasti tentang Ibu. Segera ia menghambur keluar dari bilik kamarnya yang sempit.<br />
<br />
“Ibu pulang, ya, Nek? Ibu kapan pulang? Ibu kenapa, Mbak Rufi? Ada apa dengan Ibu, Mbak?” tanya Lisa. Ditariknya tangan Nenek, juga Mbak Rufi. Tapi di ruang tamu itu tak ada yang menjawab. Semuanya yang ada di ruang tamu hanya memandang Lisa dengan wajah muram.<br />
<br />
Mbak Rufi lalu memeluk dan membelai kepala Lisa.<br />
“Ibu pergi ke surga, Lisa,” bisik Mbak Rufi pelan.<br />
<br />
<br />
Pamulang-Rawamangun, Juni 2011.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-54848123653562180402012-01-10T18:56:00.000-08:002012-01-10T18:56:13.190-08:00Negasi HolmesKau tahu? Semestinya kota ini sudah punya polisi kota sendiri. Jalanan sudah macet, mobil-mobil susah diatur, motor apalagi. Truk-truk dari kota-kota besar sudah meruah, membawa bahan baku untuk industri kota kita. Angka kriminal meningkat tajam. Kau tau, kan, berita kemarin? Perampok menggasak toko emas di pasar siang hari bolong. Menggunakan senjata lengkap laras pendek maupun panjang. Tidak ada yang berani menolong. Kemana polisi-polisi kita itu? Masih sibuk mengurusi terorisme, mungkin. Apa sih yang kamu lakukan di pos jaga?<br />
<br />
Mungkin menarik bila kubuka kantor konsultan detektif di kota ini. Maraknya kriminal di kota kita merupakan lahan yang potensial untuk profesi detektif. Tentu sangat mengasyikkan. Sebagai awal, tidak usah kupecahkan kasus perampokan toko mas itu. Biar kasus-kasus yang ringan saja dahulu. Seperti misteri percintaan. Misteri siapa yang telah bersemayam di hatimu.<br />
***<br />
<br />
Malam minggu ini ramai sekali, tidak seperti malam-malam minggu sebelumnya. Di area Gereja mobil-mobil berparkiran sepanjang jalan, banyak juga sepeda motor. Ada Misa Malam Pekan Suci rupanya.<br />
<br />
Di depan Gereja seorang kakek berambut putih, berjenggot putih berpakaian kaos putih dan bercelana katun putih berdiri di tengah jalan. Menadahkan topinya kemudian bersenandung kepada para pengunjung: "Semoga Tuhan memberkati! Semoga Tuhan memberkati!". Beberapa pengunjung melemparkan uang logam atau uang kertas pecahan kecil ke dalam topinya. Semoga Tuhan memberikan berkah kepada amalan mereka.<br />
<br />
Aku limbung, hampir jatuh dari motor. Setelah di kelokan depan berpapasan dengan ibu biarawati yang hendak menyeberang. Beliau tergopoh meninggalkan Gereja saat Misa sedang berjalan. Mungkin mendapat kabar yang mengejutkan hingga tidak bersiaga di jalanan kota kita yang makin ramai saja. Tuh,kan, kota kita makin tidak aman.<br />
<br />
Kutunggu kau di bawah pohon Akasia di samping pos jaga polisi, Va. Apa sih yang kamu lakukan di dalam Gereja?<br />
***<br />
<br />
Mempelajari kejahatan itu mengasyikkan. Kau ingat, kan, tentang masa remaja kita dahulu. Di ruang tengah kita bermain bersama. Bermain tebak-tebakan bersama ibuku. Ibuku sangat baik. Beliau menemani kita, supaya tidak terjadi hal-hal yang buruk, katanya. Beliau juga yang membuat kita menyukai kriminal. Koleksi buku detektifnya luar biasa. Kaungat percakapan ini, "Eva jika besar nanti mau jadi apa?" tanya ibuku waktu itu.<br />
"Polisi!" kaujawab mantap.<br />
"Mengapa Eva mau jadi polisi?" tanya ibuku selanjutnya.<br />
"Biar Eva bisa menangkap penjahat! Biar Ibu sama Mustafa aman!" begitu jawabmu.<br />
<br />
Ibuku tersenyum waktu itu. Selanjutnya dia membacakan serial-serial detektif dari koleksi novelnya. Sampai kita hafal betul, dan setelahnya kita bisa menebak penyelesaian kasus-kasus baru dari serial yang baru saja keluar di pasaran. Kita berujar mengenai cita-cita dan kita menjawab sama, "Detektif."<br />
<br />
"Hampir semua hal di dunia ini bisa dijelaskan dengan logika. Bagaimanapun tanggapanmu terhadap suatu hal, itu adalah hasil dari olah pikirmu, Fa. Dari endapan pemikiranmu. Termasuk Tuhan." tiba-tiba Engkau berbicara kepadaku, Va, selepas menyelesaikan kuliahmu di Sepolwan itu.<br />
<br />
Dan saranku, "Agamaku adalah agamaku, Agamamu adalah agamamu. Betapa muskil keduanya bisa disatukan. Sama saja engkau menjadi musuh dari keduanya. Engkau sahabatku, dan aku merasa lebih dari itu. Engkau yang aku inginkan untuk selalu di sampingku. Namun terdapat sekat yang teramat kuat, serta rapat."<br />
<br />
Aku berpikir mungkin engkau bertambah relijius, dan tentu aku turut senang. Meski kita berseberangan keyakinan, ada satu yakin yang membuat kita tetap berhubungan. Cinta mereka bilang.<br />
<br />
Percayakah kau akan rahasia rintik hujan yang mengguyur kota kita malam ini? Ada sesuatu yang turun bersamanya. Seperti menyanyikan kidung kerinduan yang mendalam. Ada sesuatu yang melekat bersama molekulnya. Mungkin dari rindu yang menguap berbulan-bulan lalu, kemudian menggumpal bersama awan, lalu jatuh menimpaku. Di bawah pohon Akasia ini.<br />
***<br />
<br />
Aku jadi teringat perdebatan dengan ayah sepekan silam setelah aku pulang mengantarmu bertugas. Aku didudukkan di ruang tamu. Ayah duduk di hadapanku, kemudian ibu di sampingnya. Engkau tau, aku disidang malam itu.<br />
<br />
“Mustafa, darimana kamu?” Ayahku bermuka serius. Jarang-jarang beliau begitu. Beliau biasanya bersikap tenang yang sangat mencerminkan bahwa beliau seorang dosen di Universitas ternama di Yogyakarta. Kau tentu jarang bertemu dengannya karena beliau sibuk mengajar disana. Sedangkan aku tinggal bersama Ibu di kota tercinta kita, Cilacap Bercahaya.<br />
“Sehabis mengantar Eva dari pos jaga, Pak.”<br />
“Evangelin Kristanti?”<br />
“Iya, Pak.”<br />
<br />
Ayah mendesah, membuang pandangannya ke lukisan rumah gubug di tengah-tengah sawah yang terlihat sangat reyot dan sebentar lagi mungkin rubuh.<br />
<br />
“Mustafa, sadarkah kamu? Kita ini orang Muslim yang terpandang. Bapak berprofesi sebagai dosen Jurusan Syariah di Universitas Islam ternama. Bagaimana tanggapan orang jika melihat anaknya bepergian dengan wanita yang bukan muhrim? Beragama lain pula.”<br />
Aku hanya terdiam mendengar bapak berbicara. Di dalam hati, aku ingin membela diri. Namun Bapak masih melanjutkan pidatonya.<br />
“Berapa umurmu sekarang? Dua puluh lima, kan? Ya, kau sudah cukup umur untuk menikah. Segeralah menikah. Tentang pekerjaanmu di kantor advokat biar nanti Bapak carikan kenalan di Yogyakarta. Kau cari pengalaman hidup di kota pelajar itu.”<br />
“Iya, Pak. Tapi Mustafa sudah menentukan pilihan. Mustafa sudah mantap.”<br />
“Siapa gadis itu?” Bapak sangat penasaran. Sedang ibu terdiam biasa saja.<br />
“Eva, Pak. Mustafa memutuskan untuk menikahinya supaya tidak terjadi fitnah.”<br />
Bulan malam itu enggan menampakkan diri. Mungkin tidak ingin menjadi saksi tentang kemarahan pertama sang Ayah kepada anak laki-laki satunya ini. Langit kelam tertutup awan hitam yang sekelam suasana rumahku kemudian.<br />
“Astaghfirullaah! Sadarlah kau, Fa! Mengapa kau ambil ia sebagai calonmu?! Istighfar! Ingat asalmu, jangan sampai kau terperosok ke jalan yang sesat!” Nada bicara ayah meninggi. Di sampingnya ibu mengusap-usap halus punggung Ayah.<br />
<br />
Aku mencoba tenang. Mencoba menata pikiranku. Beginilah dilema yang pernah kubayangkan sebelumnya. Mencintai seseorang yang berseberangan dengan keyakinanku merupakan hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Aku harus menerjang orang-orang yang kusayangi, keluargaku sendiri.<br />
<br />
“Tapi, Ayah, aku seorang laki-laki. Seorang pemimpin rumah tangga nantinya. Aku telah mencari ketentuan dalam kitab suci kita dan tuntunan Nabi bahwasannya seorang lelaki muslim boleh menikah dengan seorang perempuan ahli kitab. Sebagian ulama pun membolehkannya.” Aku mencoba membela diriku. Aku tahu, ini adalah sikapku yang kurang ajar. Selama ini apa yang dikatakan ayah dengan takzim akan kupatuhi. Bagiku, beliau adalah lubuk akal tepian ilmu. Orang yang berilmu dunia dan akhirat. Namun, hatiku telah terhias oleh perasaan yang telah diciptakan Tuhan begitu indah, begitu mulia.<br />
<br />
Ayah tetap pada pendiriannya. Beliau sangat terpukul dengan sikapku. Semenjak pertemuan malam itu, aku belum bertemu ayah sampai kini. Beliau menyibukkan diri dengan urusannya di Yogyakarta. Ibu, sebagai pengayom keluarga menjadi mediator bagi kami tinggal bersamaku di kota kelahiran. Aku melihat beberapa kali beliau menangis. Aku memahami, beliau merasakan kepadihan dalam hati. Beliau memahami perasaanku karena beliaulah yang sedari kecil mengerti hubunganku dengan Eva. Aku mengerti bahwasannya hidup adalah kumpulan dari kosistensi.<br />
***<br />
<br />
Semestinya engkau-pun tahu, Va, bahwa kita telah menjalani cinta yang salah. Sebagaimana engkau yang telah diberi kecaman oleh ibumu. Tapi cinta rupanya tak terikat pada logika, seperti yang engkau pernah ucapkan saat kita dahulu mendiskusikan bahan bacaan Sherlock Holmes yang kupinjam pada ibu. Kita sama-sama tergelitik dengan perkataannya: when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth. Sebuah acuan teori eliminasi yang telah membawamu meretas kasus-kasus kejahatan secara gilang-gemilang. Ya, pegangan yang membuatku memenangkan beberapa kasus dari klien yang kutangani. “Jika kita mengeliminasi hal yang tidak mungkin, apapun yang tersisa, bagaimanapun juga mustahilnya, itulah kebenaran”, begitu terjemahanmu.<br />
<br />
Kita terbahak kala membahas kalimat Holmes yang telah membawa kita sukses dalam bidang kita masing-masing. Aku suka derai tawamu, rahangmu yang keras, mengisaratkan kau wanita yang berpendirian tegas. Namun matamu yang sendu mengisyaratkanmu sebagai wanita yang penuh dengan kelemah-lembutan.<br />
<br />
Saat itu kau membuat sebuah kuis, “Apa ingkaran dari pernyataan Holmes ini, Fa?”<br />
“Ah, entalah. Dia detektif sialan. Hasil dari yang kita singkirkan ketidakmungkinannya meskipun mustahil memang biasanya benar. Itu yang selalu kutemui. Menurutmu, Va?”<br />
“Sama, Fa. Akupun begitu. Sering kupecahkan kasus dengan mengeliminasi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang ada. Baiklah, mungkin misteri ingkaran Holmes ini akan menjadi kuis abadi kita. Hal apa yang tidak sesuai dengan teorinya.”<br />
“Hehehe..”, dan tawa kita-pun berderaian bersama.<br />
<br />
Kau tahu, Va, aku telah menemukan jawabannya. Di bawah deraian gerimis ini. Aku telah menemukan sesuatu yang bahkan aku tidak bisa menemukan kesimpulan sebab ia ada. Sebab ia telah membuatku selalu merindu. Aku telah mengeliminasi kemungkinan cantiknya parasmu karena di luar sana banyak wanita yang lebih rupawan darimu, bahkan berjilbab yang sesuai dengan ajaran agamaku. Aku telah menghapus kemungkinan restu orangtua karena jelas-jelas orang tua kita tidak sepakat dengan hubungan kita. Aku tidak mengerti, Va, apa yang membuatku jatuh Cinta.<br />
***<br />
<br />
Kulihat jam tangan, jarum jam sudah bungkuk ke angka 20.30 namun ibadahmu belum saja selesai. Menunggu itu memang membosankan, namun aku tahu hasil yang aku peroleh setelahnya akan mengobati kepenatan yang telah kulalui sebelumnya.<br />
<br />
Bangunan Gereja Tua St. Stephanus terlihat perkasa, meski di sana-sini menyiratkan kemuraman karena musim yang sudah mengikis putihnya cat-cat yang menempel padanya. Lonceng Gereja berdentang tiga kali ketika tiba-tiba aku melihat seberkas sinar keluar dari pintu Gereja. Sinar kuning yang menyilaukan dan tiba-tiba saja menghempas udara di depanku. Dentuman serupa meriam membahana membelah malam di kota kita. Orang-orang berlarian. Jemaat-jemaat berusaha menyelamatkan diri. Petugas polisi segera pontang-panting mengangkat tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Kota kita meriah. Kamu dimana, Va?***<br />
<br />
Jakarta, September 2010<br />
Catatan:<br />
Sherlock Holmes: Tokoh detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle.<br />
M. Nurcholis, penikmat sastra, tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan. Twitter: @n_cholizithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-32742708191398924542012-01-10T18:54:00.000-08:002012-01-10T18:54:11.433-08:00Sehabis Hujan di Bulan DesemberSisa hujan sore tadi masih membekas. Bulan ini memang sering disuguhi hujan hampir setiap harinya, dan mungkin hujan sore tadi akan menjadi hujan terakhir di tahun ini. Tanah basah. Pohon-pohon mengucurkan air, terimbas angin malam. Udara dingin menusuk. Suara katak ditingkahi jangkerik, membentuk simponi alam nan indah. Sesekali bunyi petasan dan kembang api mulai melalakukan pemanasan dengan melukis langit dari kejauhan membentuk pelangi di malam hari.<br />
<br />
Semua fenomena itu siap mengantar kotaku menuju pergantian tahun. Lalu, banyak cerita yang bergulir dengan sendirinya. Tak mau kehilangan seluruh momen tersebut, aku segera menggerakkan jemari, bekerja di atas tuts-tuts keyboard seolah mengikuti irama tetesan air jatuh mengaliri dedaunan yang frekuensinya semakin melambat. Tetes demi tetes air itu seperti menggulirkan cerita sendiri-sendiri. Ingin kurekam seluruh pemandangan dan perasaan itu, tapi tunggu sebentar, tanganku masih basah.<br />
<br />
Beberapa jam yang lalu…<br />
<br />
Hari yang cerah tiba-tiba menjadi hari yang basah. Hujan turun, aku mengkerut di atas motor. Menyusut di antara sweeter kumal di tengah jalan macet. Sementara itu, orang-orang berlarian dan berteriak kepanikan. Mereka lupa payung sedangkan aku tak membawa jas hujan. Semua begitu, siapa sangka akan hujan.<br />
Aku menepikan motor lalu berteduh di halte sambil menunggu hujan reda. Tapi kemudian itu pun berlalu bersamaan dengan sebatang A Mild yang terselip di jari tanganku. Lalu sepeda motor melintas cepat, air hujan yang tergenang di pinggir jalan muncrat ke wajah dan badanku. Aku lalu mengumpat, “Sial! Tanganku basah…!!!”<br />
*<br />
Well .. tahun baru sebentar lagi, sudah ramai orang membicarakan refleksi satu tahun ke belakang dan ekspektasi pada tahun yang mendatang. Sedikit ingin ikut arus juga sebenarnya tapi bukan mengenai hegemoni tahun baru. Ini tentang hujan. Lebih tepatnya kisah sehabis hujan. Dan aku suka sekali sehabis hujan di bulan Desember.<br />
Kenapa harus sehabis hujan dan kenapa harus di bulan Desember?<br />
<br />
Kontempelasi pun di mulai. Udara dingin, suara jangkerik. Sebentar lagi tengah malam. Dengan tangan yang masih basah, aku membuka catatan harian lalu memikirkan tentang apa yang pernah ku lalui sepanjang tahun ini. Aku tahu bahwa masa lalu dalam catatan itu adalah masa yang aku mengetahuinya dengan benar, sok tahu, karena hal itu adalah milikku sendiri, aku yang mengalami sendiri.<br />
<br />
Lalu aku mulai menyelami aksara demi aksara untuk menemukan feel kejadiannya. Suka cita, kesal, kecewa, semua coba kurasakan kembali. Namun, tiba-tiba masa lalu itu menjadi kabur dan tak sungguh-sungguh tampak. Yang ada, ternyata, tak lebih dari coretan tanganku di buku harian tersebut. Tak ada realitas yang kudapati dari coretan yang kubuat sendiri, sekuat apapun aku pikirkan, aku tak bisa mengalami kembali masa lalu yang telah ku lalui itu.<br />
<br />
Mungkin aku bisa memeriksanya di ‘laboratorium’ dan menemukan bahwa kertas buku harian tersebut dibuat di pabrik tertentu, dengan mesin tertentu, jumlah pekerja sekian, dan upah hariannya sekian, serta dibuat dari campuran kayu apa dan apa. Aku juga bisa memeriksa ternyata tinta yang dipergunakan berasal dari ballpoint anu , ukuran berapa, dan dibuat di mana. Tapi sungguhkah apa yang kemudian aku peroleh itu merupakan kenyataan di masa lalu?<br />
<br />
Seberapa pentingkah pabrik kertas itu bagi apa yang terjadi pada hari ketika buku harian tersebut aku tulis? Aneh. Tiba-tiba aku meragukannya, dan seketika menyadari betapa kurangnya jejak-jejak yang telah ditinggalkan. Kertas, ballpoint , alphabet, itu adalah jejak-jejak. Tapi aku selalu merasa kekurangan jejak, seolah apapun yang terjadi, hanya membawaku pada ke ketersesatan.<br />
<br />
Aku merasa jejak-jejak itu mewakili sesuatu. Masa lalu. Namun di satu sisi juga sadar, jejak itu sesungguhnya hanya mewakili dirinya sendiri. Aku mempertanyakan sejarahku sendiri dan aku mencurigai penulisnya yakni, diriku sendiri. Tapi sejarah tentang diriku itu ada di sana, di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, atau lebih tepatnya aku menjadi demikian sok tahu.<br />
<br />
Lantas, apa kemudian yang aku miliki? Selama ini aku merasa sudah memiliki masa laluku (Bukankah satu-satunya yang kita miliki adalah masa lalu?). Akan tetapi, masa depan yang gelap pun, ketika kita membayangkannya, merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi sebuah masa lalu yang lain. Dan pameo “satu-satunya yang kita miliki itu adalah masa lalu”, dengan semena-mena kehilangan semua relevansinya. Dan aku tahu bahwa segala hal tentang masa lalu, ternyata, tak lebih dari sekadar bagaimana kita memikirkan hal itu.<br />
*<br />
<br />
Mungkin bagi sebagian orang, hanya saat hujanlah yang lebih menguasai alam memori pikirannya yang kadang naif. Air yang turun dan meluncur jatuh dari langit itu melambangkan anugerah dan cinta dari Tuhan.<br />
<br />
Ada yang mengatakan, seprimitif apapun peradaban suatu bangsa pasti secara eksplisit maupun implisit mengagungkan hujan. Namun bagiku, aku suka hingga sehabis hujan, apalagi sehabis hujan di bulan Desember. Ia seperti cover buku tahunan yang menutup jejak-jejak kisah setahun dengan dingin sebagaimana filosofi hujan dalam peribahasa lama yang menyebutkan, “panas setahun terhapus hujan sehari,” dan hanya hujan di bulan Desember yang relevan untuk melakukan hal itu.<br />
<br />
Akan tetapi, kisah tidak berakhir dalam hujan, melainkan kisah tetap bergulir sehabis hujan dengan spirit baru dan harapan baru. Dan bagiku, itu yang lebih penting. Begitu banyak peristiwa yang sudah kulewati dalam hidup yang menjadikan diriku seperti sekarang ini, itu karena keistimewaan hujan dan harapan sehabis hujan. Itulah sebabnya aku suka suasana sehabis hujan di bulan Desember.<br />
<br />
*<br />
<br />
Akhirnya, satu yang pasti dan kusadari betul bahwa hujan turut mendewasakan diriku dalam segala abstraksi hidup ini. Dengan turunnya hujan tadi, dengan bau tanah basah sehabis terkena hujan ini aku selalu ingat akan kasih Sang Pencipta yang tak terkira. Aku selalu ingat untuk berbuat yang terbaik bagi hidup kini dan hari esok. Aku selalu ingat untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku selalu ingat pada kasih dan pengorbanan orang tuaku beserta semua orang terdekat yang kusayangi. Aku selalu ingat untuk ikhlas dan bersyukur atas semua yang kupunya. Dan sehabis hujan ini, kuingin torehkan kisah yang lebih baik dari ‘panas’ setahun yang sudah kulalui.<br />
*<br />
Kamar ukuran 4×4 meter. Laptop di depan mata. Headphone tertempel di telinga. Dari balik headphone , Tracy Chapman bernyanyi lagu kesukaanku, “Give me one reason.” Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tanganku yang sudah agak kering berlarian di atas tuts-tuts laptop. Ku tulis feature . Cerita tentang diriku di masa depan dalam bentuk masa lalu.<br />
*<br />
Manado, 31 Desember 2010. Pukul 22.12 Wita.<br />
Haz Algebra tinggal di Manado. Bergiat di Komunitas Bibir Pena.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-90666903559839373502012-01-04T13:25:00.001-08:002012-01-04T13:25:29.228-08:00Wajah HujanAir menderas. Terus berjalan menyusuri lekukan. Berbelok menuju selokan, tempat air yang lain juga berkumpul.<br />
<br />
Hawa semakin dingin. Orang-orang berlalu-lalang menaiki motor dan mobilnya. Jalanan semakin sesak. Jam pulang kantor selalu macet. Ditambah lagi dengan air deras kiriman langit. Selokan pinggir jalan tak cukup bagi air. Jalanan menjadi tampungan. Air menggenang.<br />
<br />
Roda beradu dengan waktu. Sesegera ia ingin pulang ke rumah. Tak peduli kanan kiri. Roda melaju. Dijejakkannya dengan cepat pada genangan di jalanan. Tercipta cipratan. Lampu-lampu kota menjadikannya merona. Air mancur gratisan. Berkali-berkali begitu lagi. Sekarang pun belum berhenti.<br />
<br />
Dua ruas jalanan dibagi pembatas jalan yang tinggiya tak lebih dari 30 senti. Ruas jalan menuju kota tak seramai ruas satunya lagi. Aku baru saja menyeberang. Aku menyeberang bersama seorang lelaki. Kali ini kami berhenti di pembatas jalan. Macet menguntungkanku. Aku bisa menyeberang lebih cepat. Tangan kiri dengan telapak terbuka kuangkat ke atas. Kutengokkan mukaku ke kiri. Kuberikan isyarat untuk berhenti.<br />
<br />
Ternyata temanku belum juga datang. Aku berdiri di sisi jalan. Lelaki itu masih saja di pembatas jalan. Sesekali aku melintaskan pandangan padanya. Masih saja ia tak menyeberang. Sudah hampir setengah jam temanku tak kunjung datang. Lelaki itu masih di pembatas jalan.<br />
<br />
Kali ini mukanya tak lagi melihat jalanan. Ia tengadah. Menantang hujan. Membiarkan mukanya tertumbuk rintik hujan. Mulutnya tertutup. Matanya terbuka. Gerak mukanya seperti orang sesenggukan. Entahlah, apa dia menangis ataukah tidak. Tak jelas lagi. Mungkin saja airmatanya tercampur hujan. Jatuh bersama di pembatas jalan menuju selokan.<br />
<br />
Oh, tidak. Bukan airmata yang keluar dari matanya. Baju putihnya memerah seperti terkena darah. Airmatanya merah. Turun bersama air hujan menuju selokan. Tak diterima selokan, darahnya menggenang di jalanan. Tersapu roda, air dan darah menciprati sepatu-sepatu di jalanan.<br />
<br />
Aku masih diam. Dia tengadah menantang hujan di pembatas jalan. Matanya merekah seperti tanah di kuburan. Kelopaknya mengelupas. Kepalanya seperti dikuliti. Darah mengucur deras. Darah bersama air hujan terus jatuh di pembatas jalan. Hanya menggenang di jalanan. Orang-orang masih berlalu-lalang. Dengan darah terus mengucur dari penjuru kepala, ia menyeberang.<br />
<br />
-----<br />
<br />
Nila Rahma lahir di Bojonegoro pada 29 Juli 1989. Masih berkuliah di jurusan Sastra Indonesia UI dan aktif di Komunitas Langit Sastra. Saat ini penulis tinggal di Depok.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-14405074101683609662012-01-04T13:23:00.001-08:002012-01-04T13:23:46.826-08:00Karang Seribu TulisanSaju terhenyak melihat karang tempat biasa ia menempelkan tulisannya tertelan ombak. Tersisa hanya pucuk karang. Sebuah perahu cadik di rahang pantai berliak-liuk. Ia baru ingat hari ini ombak pasang lebih awal. Dengan menggunakan langkah sampar angin, ia tarik perahu itu, lalu melilitkan talinya pada pohon kelapa.<br />
<br />
Di pangkal karang yang tegak lurus dengan bibir pantai, seorang nelayan baru berlabuh. Ia sibuk merapikan jala, lalu memungut ikan-ikan yang keluar tong akibat guncangan ombak pasang. Nelayan itu tersenyum melihat ketidaksabaran Saju menunggu ombak surut. Berkali-kali ia mengamati sebuah kertas warna-warni berisi tulisan di tangan Saju.<br />
<br />
“Anak itu pasti akan menempel tulisan lagi di karang seberang.” Gumam kecil Nelayan sembari mengencangkan tutup tong berisi ikan, agar ikan-ikannya tidak tumpah kembali.<br />
Saju tidak memperhatikan sekeliling. Yang ia pikirkan hanya surut ombak, kertas-kertas berwarna-warni berisi tulisan, dan cara membaca buku usang bertuliskan “Ma-e-ma-ika”. Ia pandangi buku itu, lalu berpikir bagaimana jika judul buku ini menjadi pedoman judul buku matematika sekarang? Mungkin saat guru bertanya, “sekarang pelajaran apa anak-anak?” mereka akan menjawab, “Ma-e-ma-ika!”<br />
<br />
Tak lama berselang, seorang lelaki berlari dari arah belakang Saju. “Saju, maaf aku telat. Beruntung kau datang cepat. Jika tidak, perahu itu sudah hilang terseret ombak. Dan kita tak bisa menyeberangi seratus jengkal laut ini, hingga sampai pada karang itu dan menempelkan tulisan kita pada dindingnya.”<br />
<br />
Setiap harinya mereka selalu menempel tulisan di karang seberang. Sebuah karang yang terletak tak jauh dari pantai dengan posisi diapit dua buah karang dari kejauhan, sehingga membentuk seperti dua tanjung dengan sebuah titik di tengahnya, seperti titik dalam tanda kurung.<br />
<br />
“Satu yang belum kau ucapkan, ‘mengamati SMP di pintu masuk pantai itu kan?’ Halah, sudah lupakan saja kebiasaan lalaimu itu Ibar. Esok juga kau akan mengulanginya.”<br />
<br />
“Hahaha… Aku hanya memuaskan kepenasaranku pada SMP itu.”<br />
“Sudahlah, kita tak mungkin bersekolah di tempat itu. Lebih baik sekarang kita menulis!”<br />
“Tentu. Sudah berapa tulisan yang kau buat hari ini?”<br />
“10 puisi, 1 cerpen, dan 1 artikel.”<br />
“Ah, hari ini aku tertinggal lagi. Aku baru menyelesaikan setengahnya darimu.”<br />
“Tak apa, masih beruntung kita bisa menulis dengan objek alam bebas, tak terbelenggu apapun,” Saju meletakkan bolpoin di buku kertas, menutupnya, lalu berbisik, “kau ingat mereka? Murid-murid SMP itu ketika mendapat PR untuk menulis tentang lingkungan sekitar?”<br />
“Ya, ingat!” Sahut Ibar dengan wajah antusias seperti kala ikan menangkap umpan.<br />
“Kau lihat bagaimana mereka merengek meminta kita yang mengerjakan?”<br />
“Dengan iming-imingan makanan dan mainan itu?”<br />
“Ya!” Saju memantapkan.<br />
<br />
Ombak masih berdebur kencang. Keras. Hingga burung-burung pantai enggan mengecipakkan kakinya. Mungkin takut. Mungkin malu. Atau mungkin terlupa pada air yang menjadikannya lepas dahaga.<br />
<br />
Sesekali perahu mangayun, bergeser ke kanan, ke kiri oleh lidah ombak.<br />
“Tapi kau malah meninggalkan mereka.”<br />
“Tidak, Ibar. Aku tidak meninggalkan mereka. Justru aku mengajarkan mereka.”<br />
“Mengajarkan? Mengajarkan apa, Kau? Setelah Kau pergi, mereka justru kelimpungan hingga tak bisa berjalan tegak. Dan mereka pun pulang dengan kepala tertunduk.”<br />
“Jika aku mengerjakan, mereka pasti akan kembali dengan niat yang sama. Niat penjilat! Kau mengerti, Ibar?”<br />
<br />
Ibar menunduk tiba-tiba. Tak sepatah katapun keluar darinya. Ia bingung memikirkan antara menolong, mengajar, atau justru memerosokkan teman-temannya.<br />
<br />
“Hei, lihat Ibar! Ombak sudah surut,” Teriak Saju tiba-tiba sembari menepuk pundak Ibar, “ayo! Segera kita menuju karang di seberang. Kita tempel tulisan hari ini pada dindingnya.”<br />
<br />
Dengan cepat mereka mendayung. Saju sibuk mengemas buku-bukunya, buuku yang ia sewa dengan menjadi kuli bangunan dahulu di tempat penyewaannya. Setelah mendekat, ia pepetkan badan perahu dengan ujung badan karang termenonjol. Lalu ia ikatkan pada tali perahu dengan tonjolan ujung karang. Di depannya, lewat sebuah perahu bermesin dengan seorang nelayan di dalamnya.<br />
<br />
“Ah, dinding karang ini kosong lagi. Ombak itu menyeret tulisan kita lagi.”<br />
Setiap kali mereka menempel, setiap kali juga mereka kehilangan tulisannya. Pasang surut ombak tak bisa mengingkari orbitasi geraknya.<br />
<br />
Di pantai, lelaki nelayan itu masih terjaga. Ia memandangi terus mereka dari kejauhan. “Anak-anak aneh.” Lalu meninggalkan pantai, sambil berkata lirik, “kerjaannya hanya main-main saja” terus berjalan menyusuri pantai, “mungkin semangat kalian tidak usang, tapi keliru tempat.” Suaranya semakin menghilang. Sosok tubuhnya semakin menjauh, terlihat kecil.<br />
<br />
“Tak apa, Kawan! Tulisan kita akan terbaca oleh udara, laut, bulan, matahari, dan ikan-ikan di sana. Kita bisa bersahabat dengan mereka.”<br />
“Ah… Betul, Saju! Betul. Kita memiliki keluasan. Kita juga memiliki keleluasaan.”<br />
<br />
Saju dan Ibar telah selesai menempelkan tulisan-tulisannya hari ini pada dinding perahu. Segera berbalik kembali ke pantai, menambatkan perahu pada pohon kelapa, lalu pulang. Tak lama berselang, ombak pasang, dan segera pula tulisan itu kembali hilang. Pemikiran rumus, dan senandung cita yang tak mereka dapatkan di sekolah hilang begitu saja oleh ombak. Begitu juga keesokkan harinya. Terus. Terus setiap hari, setiap bulan, hingga setiap tahun. Mereka tak pernah mengeluh. Tak pernah merasa sia-sia tulisan-tulisannya hilang. Hingga pagi kembali hadir.<br />
“Apa yang kalian lakukan di situ?” Tanya lelaki nelayan yang seperti biasa, berlabuh, mengurai jala, lalu mengencangkan tutup tong berisi ikan.<br />
“Kami belajar, Pak.”<br />
“Belajar tidak seharusnya di sini. Tidak menempel-nempel tulisan pada dinding yang sebentar saja hilang.”<br />
“Kami lebih nyaman di sini, Pak. Kami bisa memandang langit, merasakan deburan ombak, bahkan mengintai burung-burung jantan pantai yang menguntitti burung-burung betina.” Terang Saju sesekali menatap Ibar.<br />
“Tetapi sudah ada sekolah di daratan sana yang siap menampung kalian.”<br />
“Ah… itu tidak benar, Pak,” potong Ibar, “sekolah di sana hanya cocok untuk orang-orang yang mampu membayar saja. Sedang kami tidak mampu membayar, maka kami tidak cocok belajar di sana.”<br />
“Siapa bilang? Ada. Ada sekolah tanpa memungut biasa sepeserpun.”<br />
“Benarkah? Di mana itu?” Sahut Saju.<br />
“Lebih baik kita mendarat dulu sekarang.” Ajak Lelaki Nelayan berusia lima puluhan berkaos oblong tak bersandal itu. Pak Soleh mengawali pendaratan dengan memacu lurus perahunya. Muka perahunya memang sudah mengarah ke pantai, sedang Saju dan Ibar perlu membalikkan perahu terlebih dahulu sebelum mereka mendayung.<br />
<br />
Pak Soleh sudah menunggu sambil duduk di dinding perahu. Saju dan Ibar merapat.<br />
“Mari, saya antarkan.”<br />
“Bapak yakin sekolah itu tidak memungut biaya? Bukankah kebanyakan sekolah pasti memiliki tarif biaya?” Tanya Ibar meyakinkan.<br />
<br />
Pak Soleh tersenyum manis. Kantung matanya terlihat mengendur. Mungkin terlalu capek setelah semalaman berburu ikan. Atau mungkin memang sudah waktunya mengendur.<br />
“Tepatnya di mana, Pak, sekolahnya? Saya tidak pernah mendengar, bahkan melihatnya.”<br />
“Sekolah itu, sering kalian lihat, bahkan sering kalian lewati.” Saju mendesakkan kepalanya ke kepala Ibar, dan berkata lirih.<br />
“Atau jangan-jangan sekolah yang bisa Kau intip itu, Bar?”Ibar mengangkat bahu.<br />
Mereka berjalan di atas tanah berbatu. Di depan, muncul sebuah bangunan. Bangunan itu kerap mereka lewati saat hendak menuju pantai. Sekarang mereka bertiga tepat berada di depan gerbang sekolah. Gerbang itu terbuat dari ragumam lempengan kayu, dengan menghitam dan keropos pada bagian bawah. Seorang petugas keamanan menyambut.<br />
“Silahkan masuk, adik-adik. Silahkan masuk Pak Soleh.”<br />
<br />
Saju dan Ibar sontak kaget. Mereka heran. Bagaimana mungkin petugas jaga itu mengenal Pak Soleh? Padahal ia hanya seorang nelayan. Apakah ia lulusan SMP ini? Atau dulu pernah mengajar di sini? Tapi tidak mungkin. SMP ini baru berdiri dua tahun lalu. Mereka menempelkan tulisan di dinding sudah dua tahun ini, dan saat itulah mereka melihat Pak Soleh berprofesi nelayan. Kalau Pak Soleh lulusan SMP ini lebih tidak mungkin lagi. Usianya jauh lebih tua dari usia sekolah. Atau jangan-jangan pemilik sekolah ini? Tidak mungkin karena sekolah ini milik pemerintahLalu siapakah Dia? Pergumulan pertanyaan terus berlangsung dalam hati sepanjang Saju dan Iba berjalan.<br />
<br />
Sampailah mereka di ruang tata usaha. Ruang ini memang dirancang untuk melayani penerimaan murid, karyawan, juga guru. Ruangan ini akan ramai setiap akhir bulannya. Karena saat itu para guru mengambil upah mengajarnya.<br />
<br />
“Selamat pagi, Pak.” Saju dan Ibar semakin bingung. Mereka bukannya yang mengucapkan salam, tetapi malah yang disambut.<br />
<br />
“Selamat pagi,” sahut Pak Soleh dengan suara berat namun tenang, “bisa minta tolong daftarkan mereka di sekolah ini?”<br />
“Tentu, Pak.” Petugas itu langsung mengambil arsip dari brankas yang tak jauh dari meja kerjanya.<br />
<br />
Pak Soleh keluar. Mungkin ingin mencuci muka atau membasuh kedua tangannya setelah terkontaminasi air laut. Saju dan Ibar mengisi formulir pendaftaran. Mereka tidak merasa canggung menulis karena memang sudah kebiasaannya menulis untuk ditempelkan pada karang. Pengisian sampai pada bagian penandatangan formulir, sekaligus mengakhiri sesi penerimaan siswa baru. Mereka diperkenankan pulang. Namun mereka hanya saling lempar pandang. Jika di tempat orang, mereka akan canggung, tak seperti saat mendayung, menyeberang laut, lalu menempelkan tulisan di dinding karang. Petugas jaga segera membaca pertempuran batin murid baru itu.<br />
<br />
“Mari, saya antar menemui Pak Soleh.”<br />
<br />
Mereka keluar ruangan. Raut Ibar sepertinya sedang merencanakan hari esok, hari pertama kali sekolah. Namun tidak pada saju. Masih terbesit sosok Pak Soleh yang begitu tak asing di sekolah ini.<br />
<br />
Mereka terus berjalan menyusuri latar sekolah. Saju terus saja memikirkan sembari membaca nama ruang yang tertulis pada rangka pintu atas. Perjalanan terhenti di depan sebuah ruangan yang terletak paling pojok, menghadap berlawanan dengan arah kedatangan mereka. Pak Soleh sudah berdiri. Menghadap mereka.<br />
“Sudah selesai, Nak?”<br />
“Ibar! Lihat! Lihat tulisan itu!”<br />
<br />
Saju bukannya merespon pertanyaan Pak Soleh, tapi memilih mengajak Ibar membaca nama ruang.<br />
“Benarkah itu, Saju?!”<br />
Sebuah papan nama ruang bertuliskan:<br />
RUANG KEPALA SEKOLAH<br />
HEAD MASTER ROOM<br />
SOLEH MALAINO, M.Hum.<br />
<br />
Saju dan Ibar mendadak seperti terkena shock terapy. Mereka segera sungkem kepada Pak Soleh.<br />
“Terima kasih, Pak.”<br />
“Terima kasih, Pak..”<br />
“Selamat bergabung, Nak. Besok kalian bisa mulai masuk. Seragam bebas. Tak perlu paksakan membeli seragam. Satu hal lagi, ajari siswa-siswa di sini menulis!”<br />
<br />
Saju dan Ibar langsung pulang. Mereka tak mengira seorang nelayan yang tempo hari ia hiraukan, ternyata seorang kepala sekolah bergelar magister. Jalan nelayan Pak Soleh tempuh guna menopang biaya perlengkapan dan operasional semua murid yang tidak mampu membayar. Termasuk Saju, juga Ibar.<br />
<br />
Keesokkan harinya, hari pertama Saju dan Ibar bersekolah. Mereka berseragam rapi, namun bukan seragam SMP. Seragam yang mereka pakai adalah seragam andalan yang biasa digunakan untuk berlebaran tiga tahun terakhir. Kini ada seorang pengajar yang setiap hari mengajari yang tak pernah mereka dapati sebelumnya.<br />
<br />
Pak Soleh mengubah sistem pembelajaran. Setiap akhir jam pelajaran, semua siswa diwajibakan menempelkan tulisan pada dinding karang di laut. Alhasil, setiap jam akhir pelajaran, semua siswa berduyun-duyun menuju pantai, membawa tulisan dan menempelkannya pada karang. Tak hanya para siswa, namun juga para nelayan. Mereka belajar menulis lalu menempelkannya pada karang. Warga pantai pun tak mau ketinggalan. Semua orang menulis lalu menempelkannya pada karang dengan beragam kertas warna. Hingga karang menjadi berwarna-warni seperti kerlip bola Kristal jika dilihat dari kejauahan.<br />
<br />
Seribu tulisan menempel pada dinding tiap harinya. Terus bertambah, hingga ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu.<br />
<br />
YK, 12-12-2012, sewaktu banjir lahar dinginithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-45317209208767593482012-01-04T13:22:00.000-08:002012-01-04T13:22:28.212-08:00Kembang Desa Pulang KampungDusun Adem Ayem digegerkan oleh kedatangan Yuni Amperawati mantan kembang desa puluhan tahun silam. Tak seorangpun tahu kapan Yuni meninggalkan kampung. Ibunya menangis dan hanya bilang Yuni pergi merantau, entah ke Arab, Taiwan, Jepang, atau hanya ke Jakarta. Kala itu banyak pemuda dusun patah hati. Dan kini ketika Yuni pulang -- tak seorangpun mengendus kehadirannya kecuali sisa-sisa kecantikan yang masih terpancar di wajah dan tubuhnya.<br />
<br />
Warga dusun Adem Ayem amatlah bersahaja, sopan, dan religius. Pak Kyai Joko sebagai panutan dan pengayom warga dusun punya peran penting dalam menjaga keharmonisan hidup sehari-hari. Hanya bu Sastro, istri Pak Kepala Dusun agak terganggu dengan kepulangan Yuni.<br />
<br />
Tak butuh waktu lama Yuni dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pernah jadi kesehariannya. Selain ramah, Yuni kini menjadi seorang wanita yang sublim dan mandiri. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu yu Warti memasak untuk santri Pak Kyai.<br />
<br />
Kebiasaan di dusun Adem Ayem, hari Minggu pagi, Ibu-ibu mencuci pakaian di sungai, bapak-bapak memandikan kerbaunya, sementara anak-anak cebur – cebur-an, mandi telanjang. Beratraksi salto, menukik, atau pantatnya menghantam air hingga mengeluarkan bunyi berdebam. Yuni tersenyum melihat tingkah polah anak-anak.<br />
<br />
Maklum anak-anak, tak ada rasa risih walau mereka telanjang bulat dan alat kelaminnya lari kemana-mana. Tabu ketika mereka sudah akil baliq, dan alat tersebut sudah bisa berfungsi sebagai alat reproduksi. Dalam bahasa jawa, sebutan thithit -- berubah menjadi “anu”, ya karena “anu” tidak layak diucapkan secara terang-terangan, tertulis, atau di depan publik. Dan mengenai “anu” inilah biang keladi Yuni mendapat masalah yang membuat geger dusun Adem Ayem.<br />
<br />
Kejadiannya bermula saat Pak Kyai Joko mengadakan pengajian di suraunya. Semua santri dan warga dusun Adem Ayem hadir bersimpuh di atas tikar, menyimak tausiyah Pak Kyai yang bersuara bariton empuk. Semilir angin malam itu sesekali membawa bau kotoran sapi dari kandang belakang milik pak Kyai. Tapi itu tak mengurangi suasana syahdu yang menenangkan hati. Yuni ikut hadir, khidmat memperhatikan ajaran Pak Kyai.<br />
<br />
Tiba-tiba ada seekor lalat Ijo hinggap di jidat Yuni, barangkali kabur dari kandang sapi di belakang rumah Pak Kyai. Dan Atun yang berada di sebelah Yuni tiba-tiba secara reflek menepuk lalat itu. Warga yang hadir tak mengetahui kejadian itu sampai Yuni berteriak kaget, “ Eh.. Anu ... anu .....(menyebut alat vital laki-laki dewasa).. eeh anu ... Ya Tuhan .... maaf.”<br />
<br />
Semua hadirin tersentak kaget. Pandangan mereka mengarah ke Yuni yang tertunduk malu. Bu Sastro istri pak Kadus memandang Yuni dengan jijik. Di tengah suasana khusuk menghadapkan diri kepada Tuhan, terselip kata-kata tak senonoh keluar dari mulut Yuni, tentang alat kelamin laki-laki dewasa..<br />
<br />
Konon kebiasaan “latah” adalah bentuk pertahanan diri ketika ia kaget atau sering dikageti. Insting itu tersambung cepat ke kosa kata di otaknya, entah itu punya arti menyenangkan, lucu, atau bahkan traumatis. Hal itu sangatlah alamiah dan dapat dimaklumi. Tapi jika itu terjadi pada acara suci keagamaan apakah itu bisa dimaklumi? Yuni kini menanggung semua akibatnya.<br />
<br />
Keesokan paginya berita itu cepat menyebar. Ibu-ibu yang tadinya akrab kini menjaga jarak, saling berbisik, dan menghindar. Tak butuh waktu lama, beredarlah rumor kalau Yuni adalah perempuan nakal yang suka mangkal di warung remang-remang, menunggu supir-supir truck melepas lelah, sambil menawarkan tubuhnya dengan genit. Rumor tak berhenti di situ, sebaliknya malah tambah hebat, ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskannya. Bu Kadus sendiri tampak vokal seolah dia sedang mensosialisasikan program kesejahteraan keluarga layaknya Pos Yandu.<br />
<br />
Yang bikin Yuni jengkel, anak-anak kini sering mengageti dirinya, entah Ia sedang di pekarangan, di sungai, atau di jalan. Latah joroknya jadi kumat, anak-anak tertawa, sambil berlari-lari dan ikut menirukan latahnya. Ibu-ibu yang mendengar mengingatkan, “ Eeeh bocah-bocah jangan ngomong saru yaaa.”<br />
<br />
Para orang tua kewalahan dan mengadu pada Pak Sastro. Yuni tepekur sedih. Ia tak mau lagi terusir dari dusun Adem Ayem seperti dulu. Ya.. Yuni ingat waktu remaja dulu, ketika Wati anak Pak Yudo Kadus jamannya, selalu merasa iri pada dirinya. Ketika ia menjadi juara kelas mengalahkan Wati, menjadi penari kebanggaan warga dusun, dan yang paling telak adalah Sastro -- ketua pemuda dusun -- yang lebih memilih dirinya daripada Wati anak Pak Kadus.<br />
<br />
Hingga pada suatu hari kejadian luar biasa terjadi, waktu Ia diminta membantu pernikahan Tatik anak pak Kadus yang tertua, dan ketika perhiasan emas dan uang seserahan dari mempelai pria itu tiba-tiba hilang berpindah tangan dan secara ajaib berada di dalam saku jaketnya yg digantungkannya di kamar rias. Maka dia mengerti bahwa Wati telah menjebaknya. Dan akhirnya dengan penyelesaian “kekeluargaan” Yuni terpaksa meninggalkan dusunnya, meninggalkan Sastro dan segala impian indah masa depannya.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Bu Sastro alias Wati istri pak Kaduslah yang kini paling vokal bersuara. Kepada suaminya ia berkata, "Semenjak kedatangan Yuni, dusun kita jadi berubah tidak tentram, pakne.”<br />
<br />
Pak Sastro yang melihat gelagat buruk Bu Sastro menghela nafas panjang. Ia tahu Yuni adalah pribadi yang baik hati. Ia lantas teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika masa remaja, ketika Yuni telah mencuri hatinya, dan itu membuat Wati cemburu. Dan rasa cinta yang baru mekar itu tiba-tiba layu ketika Yuni meninggalkan dusun Adem Ayem dengan tiba-tiba, tanpa pamit, sepertinya ada sesuatu yang janggal dengan kepergiannya.<br />
<br />
“ Ya nanti aku tak “rembugan” dengan dik Joko.”<br />
<br />
“ Pak ne tau apa? Diusir saja, demi ketentraman warga dusun.”<br />
<br />
“ Ya ojo kesusu to bu.”<br />
<br />
“ Pokoknya lebih cepat lebih baik, pakne.”<br />
<br />
Pak Kadus segera menyuruh pembantunya memanggil Kyai Joko. Diantara pembicaraan bertiga, Pak Kyai menengahi, “ Janganlah kita berburuk sangka dulu, bu. Lebih baik kita “khusnudzon” saja. Semua orang tempatnya salah, tetapi sebaik-baik orang yang berbuat banyak kesalahan itu adalah orang-orang yang banyak bertaubat."<br />
“ Dik Joko tahu, si Kelik tukang ojeg yang mangkal di terminal itu bilang kalo Yuni suka mangkal di warung-warung pangkalan truk. Nama dusun kita akan cemar. Ibu-ibu PKK mulai cemas lho dik Joko. Khawatir kalau nanti Yuni menggoda suami – suami mereka.”<br />
“Ya sabar bu Sastro.... Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal kita tidak tahu bahwa sesungguhnya itu amat baik bagi kita. Dan belum tentu apa yang menurut kita baik, padahal sebetulnya itu hal yang buruk bagi kita. Allah Maha Mengetahui. Saya akan berbicara dengan Yuni bu Sastro...”<br />
<br />
*******<br />
<br />
Dan mulailah Kyai Joko, atas permintaan Pak Kadus, menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Dalam pembicaraan di surau Kyai Joko yang mengenyam pendidikan keguruan di IKIP menerapkan pendekatan psikologis pengajaran untuk menghilangkan “latah”nya Yuni.<br />
“Jeng Yuni, kebiasaan latah jorok yang keluar dari mulutmu sudah membuat warga Adem Ayem geger.”<br />
“Iya Pak Kyai, mohon maaf. Saya harus bagaimana? Apapun akan saya kerjakan asalkan saya jangan diusir dari dusun Adem Ayem. Saya ingin menghabiskan masa tua dan mati di dusun ini.”<br />
“ Baiklah saya akan bantu, coba jeng Yuni.... bagaimana kalau yang sudah-sudah itu, latahnya lebih baik diganti dengan menyebut asma Allah. Subhanallah boleh. Masya Allah boleh. Atau Allahu Akbar. Setuju?”<br />
“ Ya ya ya Pak Kyai. Saya akan mencoba ...”<br />
<br />
Dan ketika Pak Kyai Joko mencoba mengageti Yuni, dan kebiasaan latah joroknya masih tetap saja, Pak Kyai hanya geleng-geleng kepala sambil tersipu malu. Orang-orang yang lewat di depan surau dan mendengar tersenyum kecut.<br />
<br />
Mungkin besok bisa berubah, atau minggu depan. Dan ketika sampai berhari-hari Yuni tak bisa melepas kebiasaanya, maka Pak Kyai tak kehilangan kesabarannya.<br />
<br />
Ia kemudian membuat target antara, dengan membelokkan latah joroknya menjadi Eh copot .. copot. Ya... ia sering melihat orang-orang yang latah mengucapkan kalimat seperti itu. Hal yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Adi Bing Slamet lewat lagu Mak Inemnya waktu kecil.<br />
<br />
Akhirnya, walau memakan waktu lama, ternyata usaha itu berhasil. Pak Kyai Joko merasa senang. Juga Yuni. Kini kalau ada sesuatu yang mengejutkan Yuni maka kata-kata yang keluar adalah:” Eh copot ..copot”, bukan latah jorok yang dulu "Eh ..anu ... anu."<br />
<br />
Mendengar itu Pak Kadus ikut senang, anak-anakpun juga senang dan sekarang mereka mengikuti latah barunya Jeng Yuni, eh copot...copot, sambil tertawa-tawa gembira. Ibu-ibu dusun Adem Ayem menjadi tenang, hanya Bu Kadus seorang diri merasa sebaliknya.<br />
<br />
Bersyukur dan berbahagialah seseorang yang dibimbing alim ulama, yang selalu mengajarkan suri tauladan, kebaikan, cinta kasih, tata krama, sopan berbahasa, budi pekerti dan berkaca diri. Yuni merasakan kehadiran Kyai Joko sangat dekat dalam dirinya.<br />
<br />
**********<br />
<br />
Di sela-sela waktu longgar seputar surau siang itu, Pak Kyai Joko sedang terlibat pembicaraan dengan Yuni . Kali ini tidak lagi membahas “latahnya” melainkan hal lain.<br />
<br />
“Jeng Yuni masih kayak dulu lho, awet muda... Resepnya apa? Mbok aku dikasih tau."<br />
<br />
Yuni kaget dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka ucapan Pak Kyai akan seperti itu. Jangan-jangan kebiasaan joroknya selama ini mengakibatkan timbulnya kegelisahan terpendam pada diri Pak Kyai. Tapi ingatan Yuni langsung melayang ke masa mudanya ketika si Joko, adik kelasnya waktu di SMP dulu terlihat mencoba mendekati dirinya. Yuni ingat ketika Joko memboncengkan dirinya dalam karnaval sepeda 17 an. Juga beberapa kali pernah datang ke rumahnya.<br />
“Aah bisa aja Pak Kyai, hmmm resepnya apa ya?? Hehehe”<br />
“Wah ternyata sudah lama kita nggak ketemu yaa jeng ... ayo crita pengalaman merantaumu. Aku ingatnya dulu waktu zaman SMP, he he he. Jangan ngomong siapa-siapa ya jeng Yuni, aku dulu pengagum gelapmu lho.”<br />
<br />
Dan ketika Yuni memahami bahwa Pak Kyai berubah menjadi sedikit kekanak-kanakan, tersipu-sipu malu. Ia tak merasa kehormatan Pak Kyai menjadi luntur. Semua laki-laki dewasa pada dasarnya adalah kanak-kanak yang butuh perhatian, kasih sayang, dan pelayanan. Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.<br />
“Boong banget seeh .... puacarmu kan segudang...eh becanda Pak Kyai.. Aku sudah tua loh,” Yuni tersipu dan tiba-tiba ia berbicara dalam logat Betawi, barangkali dia pernah merantau di sana.<br />
<br />
Suasana sangat akrab dan tidak formil,“ Kalo ingat jaman dulu lucu ya jeng Yuni. Waktu “mboncengin” kamu naik sepeda senangnya minta ampun. Tapi habis itu bingung mau gimana?? He he he cinta monyet ..., belum ngerti jurus-jurus merayu wanita. Jadinya diam saja, dipendam. Eeh ini jangan dimasukan hati ya, Jeng. Ini cuma pengakuan saja “<br />
“Ha ha ha lucu....lucu...., iya ... iya tenang saja Pak Kyai, kita kan bukan hanya sudah dewasa tapi “wis tuwo”, sudah tua, hehehe..Cerita seperti ini kan jaman dulu Pak Kyai."<br />
<br />
Pak Kyai agak tersipu, kemudian ia mencoba bersikap bijak,“Iya bener jeng Yuni, kita sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kadang kita hampir menyerah pada kenyataan pahit, tapi kemudian bangkit dengan semangat. Kadang juga kalau kita kembali ke jaman kanak-kanak, rasanya semuanya indah, penuh tawa dan canda. Dan cukuplah itu sebagai kenangan indah saja. Terlalu indah untuk menjadi nyata jeng Yuni ...”<br />
“Oh, jadi kalau sekarang Pak Kyai “udah canggih” ya cara merayunya.. hahaha. Ini becanda lho Pak Kyai.” terlihat Yuni mulai nyaman dengan gerak gerik dan ucapannya. Terlihat dia bisa mengendalikan keadaan.<br />
<br />
Dan kini Pak Kyai Joko tak bisa menahan perasaan hatinya, lalu mengungkapkan dengan jujur apa yang pernah dia alami sewaktu muda dulu,“ He he he sebenarnya dulu itu aku pingin deket denganmu cuma aku nggak tau “piye carane”, bagaimana caranya? Pernah aku beberapa kali main ke rumahmu cuma kok aku jadi tambah bingung he he he. Mungkin salah satunya karena kamu kakak kelasku, dan juga waktu itu Mas Sastro yang ketua pemuda desa itu tergila-gila padamu --- jadi aku minder. Kalo sekarang, mungkin kita sudah sama-sama dewasa, jadi ya yang ada sekarang adalah rasa hormat, rasa saling menghormati."<br />
<br />
“Pak Kyai, sebenernya aku juga inget banget kejadian waktu "kita" masih SMP. Seandainya waktu bisa diputar kembali...."<br />
<br />
Seolah Pak Kyai faham film tv Time Tunnel alias Lorong Waktu jaman kecil dulu, dan ketika dia mahasiswa belajar agama dan memahami bahwa Lorong Waktu hanyalah angan-angan belaka, tapi dengan maksud tak serius dia menjawab, “Ahh masak siy jeng Yuni ingat banget kejadian-kejadian waktu "kita" masih SMP? Andai waktu bisa diputar kembali .... Apakah kira-kira ada cerita yang berbeda?”<br />
<br />
“Kalau waktu bisa diputar kembali???!!! Kalau kita memang gak jodoh atau gak dipertemukan sama Tuhan, yo tetep ora ketemu yo?? "Pekok” banget si aku, bodo banget siy aku!! Hahaha... “<br />
“Eh siapa tahu dipertemukan Tuhan dikemudian hari?”<br />
“Eh copot ... copot .... Pak Kyai .... pak Kyai,” Yuni latah karena gugup.<br />
“Jangan panggil aku Pak Kyai ... panggil aku Joko saja.”<br />
“Aku tak berani ... apa nanti kata warga dusun Adem Ayem kalau dengar itu.”<br />
“Dulu waktu mboncengin kamu naik sepeda untuk pertama dan yang terakhir kalinya, he he ehem, rasanya seolah sudah jadi laki-laki gagah, gede kepala, dan bangga. Ah sayang aku dulu kurang berani, kurang nekat. Mestinya pemuda-pemuda yang naksir kamu itu tak aku gubris, atau kulawan. Jeng Yuni, maukah menikah denganku?”<br />
“Eh copot ... copot ... Ah... Pak Kyai bercanda.”<br />
<br />
Tak pernah terbayangkan dalam benak Pak Kyai sebelumnya --- sampai pada keinginan ingin menikahi Yuni. Yaa ..usia Yuni mateng, lekuk pinggang dan busung dadanya menandakan hormon kewanitaannya melimpah. Demikianlah bahasa alam yang terungkap ketika seorang wanita menarik lawan jenisnya, sebagai bekal untuk bertahan di muka bumi, guna meneruskan keturunannya, beranak pinak dan pada saatnya berubah jadi gendut dan menua.<br />
<br />
Dan akhirnya dusun Adem Ayem kembali tentram dan damai. Pak Kyai Joko bisa menyelesaikan permasalahan Yuni yang bikin dusun Adem Ayem heboh. Semua merasa bahagia, win win solution. Bu Sastro kini merasa tenang bisa menghabiskan masa tuanya bersama Pak Kadus, Kyai Joko bisa menikahi pujaan hatinya, dan Yuni tak terusir lagi dari dusunnya.<br />
<br />
Di malam dingin, diantara suara angin yang mengguncang rimbunan bambu, sepertinya terdengar sayup-sayup Yuni mengucapkan kebiasaan latahnya, dan kini malah campur aduk tak karuan,<br />
“Ehh .. Anu-copot ...eeh anu-copot ..eh maaf Pak Kyai.“<br />
“Hayoo ... Jeng Yuni nggak boleh latah jorok lagi yaaa,” Pak Kyai agak kecewa latah jorok Yuni muncul kembali.<br />
“Saestu Pak Kyai ... kulo mboten goroh.” (Benar Pak Kyai ... Saya tidak bohong kok)<br />
“Ssssttt .....diam,” bisik pak Kyai Joko.<br />
<br />
Washington DC 2011<br />
<br />
Janu Jolang<br />
Pengelola Blog: www.suararantau.blogspot.comithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-63091588442959940682012-01-04T13:19:00.000-08:002012-01-04T13:19:15.712-08:00Anak Saya Seorang PresidenAnak saya yang baru saja duduk dikelas 1 SD yakin sekali jika besar nanti, dia akan menjadi seorang presiden. Entah dari mana pemikiran itu datang. Setahu saya dia jarang menonton berita di televisi dimana wajah presiden biasanya sering nongol. Tidak juga dari orang lain yang memberinya gambaran masa depan menjadi seorang yang berkuasa seperti itu. Dan yang jelas kami sama sekali tidak memajang foto presiden dan wakilnya di sisi tembok manapun di rumah kami, sehingga tidak ada pertanyaan darinya tentang seseorang yang tersenyum optimis di depan bendera merah putih itu. Tapi anehnya justru setiap orang yang bertanya soal cita-citanya kelak, dia akan menjawab tegas, gembira seperti anak kecil yang hendak mendapat hadiah: “Adi akan jadi Presiden!”<br />
<br />
Entah mengapa pemikiran tentang menjadi presiden itu bagi saya adalah sebuah penyimpangan!<br />
“Kamu terlalu berlebihan!” itu kata istri saya. “Umurnya saja belum tujuh tahun. Dia akan bilang ingin menjadi apa saja yang dia anggap hebat. Kalau dia bilang ingin jadi presiden mungkin sosok itulah yang dia anggap hebat.”<br />
“Masalahnya dia tidak bilang begitu. Dia bilang, dia akan menjadi presiden. Ini dua hal yang sangat berbeda. Ingin dan akan. Bagaimana anak sekecil itu sudah bisa mengantisapasi masa depannya dan mengira akan menjadi presiden!”<br />
“Kamu terlalu berlebihan!”<br />
“Kamu sudah bilang itu tadi.”<br />
“Ya, artinya kamu sudah terlalu berlebihan!”<br />
<br />
Saya tahu percakapan ini tidak akan mengarah pada satu kecocokan. Istri saya tidak akan memperpanjang percakapan yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Dia wanita sederhana yang menganggap bahwa kehidupannya dan sesuatu yang bersangkutan dengannya akan berlangsung wajar-wajar saja, sama seperti kehidupan banyak orang. Dia tidak bisa menerima kejutan-kejutan di dalam hidupnya, atau akhirnya dia akan menganggap itu sebaggai sebuah kenormalan juga. Artinya dalam kasus ini, saya harus mengantisipasinya sendiri. Dimana saya akan membiarkan istri saya menangani kehidupan normalnya seperti sarapan, sekolah, mengajarinya berhitung, ikut bermain, dan hal-hal lain semacam itu. Sementara saya akan tetap waspada pada penyimpangan keinginannya itu.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
“Jadi kau tidak suka kalau anakmu jadi presiden?” tanya ayah ketika ia berkunjung ke rumah. Saya tahu ini rencana istri saya setelah pembicaraan dengannya beberapa waktu yang lalu. Dia tetap menganggap kalau pemikiran yang menyimpang itu justru ada pada saya.<br />
“Tidak ada orang tua yang tidak suka anaknya menjadi presiden.”<br />
“Lalu apa masalahnya?”<br />
“Masalanya dia baru berumur tujuh tahun.”<br />
“Dan dia tidak boleh bercita-cita?”<br />
“Dia tidak bercita-cita. Dia akan menjadi presiden!”<br />
“Lalu apa yang kau takutkan?”<br />
<br />
“Entahlah…, bagiku ini suatu penyimpangan. Di umurnya yang sekarang dia sudah yakin akan menjadi presiden. Saya khawatir selama perkembangan hidupnya nanti pikiran itu menjadi sebuah obsesinya. Di sekolahnya dia akan berkoar-koar menjadi seorang presiden. Kemudian dia akan kuliah di fakultas hukum atau ekonomi, setelah lulus dia akan bergabung dengan partai politik besar. Bayangkan, hal buruk apa yang tidak bakal dia lalukan untuk memenuhi keingingiannya itu. Dia akan lebih parah dari Hitler karena telah menanam obsesi politiknya dari kelas 1 SD.”<br />
“Kau ini terlalu berlebihan! Dia masih kecil, keinginannya akan berubah nanti.”<br />
“Tidak juga! Kalau dia bilang akan menjadi Power Ranger atau Superman itu bisa berubah. Di umur 10 tahun nanti dia akan memilih cita-cita yang lain karena pada saat itu dia akan ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi dengan menjadi presiden lecehan teman-temannya justru akan menjadi cambuk bahwa dia bisa membuktikan keinginannya itu.”<br />
“Kau ini aneh! Waktu kau seusia dia yang aku khawatirkan darimu adalah kau tidak punya keinginan apapun. Setiap orang yang bertanya cita-cita padamu kau pasti cuma terdiam. Kau tidak menyebutkan mau jadi apa kelak, tapi itu tidak berarti kau tidak menjadi apa-apa sekarang.”<br />
<br />
Sepertinya ayah saya benar. Mungkin memang tidak ada kaitannya antara keinginan masa kecil dan kenyataannya di kemudian hari. Dalam hal ini saya memang terlalu berlebihan.<br />
<br />
Sejak pembicaraan dengan ayah saya itu rasa khawatir saya terhadap cita-cita anak saya semakin memudar. Apalagi sejauh ini saya tidak menemukan penyimpangan dari kesehariannya di rumah. Dia masih suka menonton film kartun di tv, bermain sepeda atau bermain bola jika ada yang mengajak. Saya mulai percaya pandangan istri saya bahwa hidup kami akan berlangsung wajar dan normal-normal saja. Tapi semua berubah, ketika dia pulang dari bermain bersama salah satu temannya. Saat saya tanya siapa temannya itu, dengan tenang dan berwibawa seperti anak sekolah yang baru naik kelas dengan nilai raport yang sempurna dia menjawab: “Ini Reza, Pah! Dia mentri pertahanan Adi!”<br />
Terbukti kan!!!<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Malamnya, setelah kembali membincangkan masalah ini dengan istri saya yang juga tidak berujung pada kecocokan, saya putuskan untuk berbicara langsung dengan anak saya, meski hal ini sangat ditentangnya. Katanya ini akan membunuh salah satu harapan terbesarnya, salah satu fantasi terhebatnya, dan itu yang malah bakal mempengaruhi perkembangannya nanti. Tapi akhirnya dia pasrah saja ketika saya duduk di ranjang anak saya saat dia meminta didongengkan sebuah kisah.<br />
<br />
“Kenapa Adi ingin jadi presiden?” tanya saya ketika dia mulai jenuh dengan dongengan saya.<br />
“Abis hebat sih, Pah! Presiden kan bisa punya mobil bagus, terbang pake pesawat, punya rumah besar dan kaya…”<br />
Untunglah gambaran itu yang ia dapatkan dari sosok seorang presiden.<br />
“…bisa ngatur-ngatur orang, punya tentara sendiri, bisa buat perang…”<br />
Oh, tidak juga ternyata!!!<br />
“…bisa nyerang musuh… dor dor dor!”<br />
<br />
Lalu seperti tertarik pada khayalannya itu, saya baru berani bertanya, “emang presiden bisa buat perang ya?”<br />
“Bisa dong! Kan presiden yang paling berkuasa!”<br />
“Betul, tapi tugas presiden juga berat karena yang ngasih kekuasan itu kita… rakyatnya. Kalau presidennya nanti nggak bisa ngatur negara dengan bener, nggak bisa ngasih uang dan makanan buat rakyatnya yang miskin, nggak bisa sekolahin anak-anak sampai tinggi, nggak bisa melindungi rakyatnya yang lemah, nanti malah rakyatnya yang akan marah, karena dia nggak bisa ngejalanin amanat mereka. Bukan itu saja, Tuhan juga akan marah. Karena Tuhan tidak suka sama orang yang tidak amanah.”<br />
“Tuhan akan marah sama presiden?”<br />
“Ya!”<br />
“Apa presiden takut sama Tuhan?”<br />
“Tentu saja!”<br />
“Kenapa?”<br />
“Karena presiden itu cuma manusia dan Tuhanlah yang menciptakan manusia. Tuhan juga yang menciptakan presiden. Tuhan bisa berbuat apa saja pada ciptaannya. Karena Tuhanlah yang paling berkuasa.”<br />
Anak itu termenung lama. Entahlah, apa cerita saya tadi benar-benar bisa dimengerti olehnya, yang jelas dia seperti menemukan kebenaran baru. Lalu setelah saya bercerita tentang sebuah dongeng lain, dia kemudian terlelap.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Besok-besoknya saya tidak pernah mendengar lagi keinginannya untuk menjadi presiden. Bayangan tentang itu sepertinya sudah lumer di otaknya. Terkadang saya merasa bersalah juga karena telah menghancurkan impian seorang anak kecil untuk menjadi sesuatu karena sebuah kekhawatiaran saya yang terlalu berlebihan. Tapi mungkin itu jalan yang harus dilalui sehingga dia tidak perlu melewati gurun yang menghanguskan nantinya. Saya beruntung karena sampai saat ini saya masih belum menemukan keanehan prilaku dia sehari-hari. Dia tetap gembira dan tertawa. Apalagi ketika kakeknya menggendong dia di atas pundaknya, dia semakin girang saja. Ini makin membuat saya yakin kalau saya tidak membuat kesalahan.<br />
“Adi, turun! Kasihan kakek dong!” teriak istriku sambil membawa minuman dingin ke teras rumah di halaman belakang.<br />
“Kakek capek?”<br />
“Ya, kakek harus minum es buatan Mamamu dulu biar seger lagi.”<br />
“Minum jamu juga ya? Kata Mama, Kakek suka minum jamu!”<br />
“Kadang-kadang Kakek juga suka minum jamu biar sehat terus. Nah, kalo Adi harus banyak minum susu biar cepat besar, biar cepat jadi presiden seperti cita-cita Adi.”<br />
“Adi tidak mau jadi presiden!”<br />
Benar kan! Memang benar-benar sudah hilang keinginannya itu. Setelah ini saya percaya dia akan memilih menjadi sesuatu yang lain yang lebih realistis.<br />
“Terus Adi mau jadi apa?” tanya kakeknya kemudian.<br />
Lalu dengan penuh percaya diri persis seperti seorang anak kecil yang baru memenangkan lomba dia menjawab dengan tegas dan berwibawa: “Adi mau menjadi Tuhan!”<br />
Blasss…tiba-tiba seluruh badan saya langsung lemas.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-84240114280074613002012-01-04T13:16:00.000-08:002012-01-04T13:16:14.139-08:00Jalan Menuju SurgaKonon, di balik tebing gunung itu, tinggal seorang lelaki pertapa yang sudah renta. Pertapa yang terkenal dari mulut ke mulut penduduk desa di kaki gunung. Pada mulanya, pertapa itu terkenal karena kebijaksanaannya. Namun tiap-tiap penutur cerita menambahkan bumbu-bumbu untuk cerita mereka, sehingga kini yang beredar di penduduk desa adalah:<br />
Di balik tebing gunung itu tinggal pertapa yang sangat bijak dan sakti mandraguna. Apabila ada seseorang yang dapat bertemu dengannya, mintalah berkah kepadanya. Ia dapat menunjukkan jalan untuk menuju Surga, jalan kebahagiaan bagi umat manusia.<br />
<br />
Begitulah, cerita itu terus berhembus mengikuti arah angin. Dari mulai desa-desa tetangga, kemudian menjalar ke kota-kota di sekitar daerah itu, sampai pada akhirnya cerita ini sampai ke ibukota.<br />
<br />
Cerita ini terdengar pula ke suatu kelompok perkumpulan Pecinta Alam. Dahulu jumlah mereka belasan, namun kini—karena waktu telah memakan umur-umur mereka—jumlah mereka tinggal tiga orang. Perkumpulan ini terbentuk semenjak mereka masih remaja. Kini, usia mereka rata-rata adalah 50-60 tahun. Ketika mendengar kisah pertapa tersebut, mereka sepakat untuk mendaki gunung bersama kendati usia mereka telah senja dan fisik mereka tentu tidak sebugar dahulu. Namun, demi alasan yang akan diceritakan kemudian, mereka sepakat untuk mendaki gunung tersebut guna bertemu dengan pertapa sakti itu.<br />
<br />
Orang yang paling tua di antara mereka adalah seorang pria tua botak pensiunan hakim di pengadilan kota.<br />
“Aku sudah bosan dengan kebohongan-kebohongan di dunia ini. Betapa keadilan di dunia ini adalah utopia. Waktu pun begitu cepat berlalu, kini usiaku sudah senja. Aku ingin mencari bekal untuk hidupku setelah ini. Lagipula, anak-anakku sudah mapan semua. Istriku pun telah tiada. Aku ingin mencari jalan ke surga.. Ingin mencari keadilan yang sebenarnya..” begitu jelas laki-laki tua itu kepada kawan-kawannya.<br />
<br />
“Aku juga sudah malas menumpuk uang. Meski perusahaanku belasan, aku belum mendapatkan kebahagiaan. Kau tahu, kan? Anak-anakku semuanya jadi bajingan. Istriku malah pergi dengan lelaki lain. Meski kadang aku bersenang-senang dengan wanita-wanita muda tiap malam, aku tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan. Kini aku sudah tua, sudah bosan dengan dunia dan kemewahannya. Marilah kita cari kebahagiaan yang sebenarnya, jalan menuju ke Surga Tuhan..” seorang lelaki berjas hitam berkata. Kegagahan masih nampak dari badannya yang berperawakan tegap. Namun uban-uban itu dan kulit wajah yang mengeriput tidak pernah menyembunyikan usia.<br />
<br />
“Baiklah, jika kalian sudah mempertimbangkan ini masak-masak. Kukira kalian harus mempersiapkan segala macam bekal yang diperlukan untuk perjalanan panjang ini. Sejauh pengetahuanku, gunung itu jarang sekali ada yang mendaki, aku sendiri belum pernah ke sana. Terakhir kabar yang kudapat, pemerintah menutup area itu karena banyak sekali pendaki yang tersesat. Namun, kita akan tetap kesana. Aku juga sudah bosan berpetualang. Kini saatnya aku mencari jalan menuju Tuhan..” lelaki tua terakhir ini adalah seorang petualang sejati. Selama hidupnya ia habiskan untuk bercengkrama dengan alam. Selama ini pun, dia belum beristri. Petualangan adalah kekasih setianya, disamping pacar satu-satunya; kesunyian.<br />
<br />
Maka, setelah mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki gunung, mereka memulai perjalanan suci itu. Tas-tas ransel yang penuh dengan berbagai bekal mereka gendong dengan kepayahan. Sepatu gunung telah mereka kenakan. Tak lupa pakaian suci berupa kaftan coklat dikenakan, membalut tubuh renta mereka. Di pintu gerbang kota, mereka dilepas oleh kerabat dan orang dekat.<br />
<br />
Guna memperoleh khidmat dari ziarah ini, mereka memutuskan berjalan kaki menuju gunung suci itu. Perjalanan ini begitu riang dan penuh dengan nuansa spiritual. Mereka hemat dalam bercakap-cakap, mulut mereka terlihat merapal doa-doa yang sekiranya mereka hafal.<br />
<br />
Selama perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai macam orang. Orang-orang yang terlihat susah, terutama, pasti akan mereka bantu. Yang paling sering adalah lelaki tua pengusaha itu. Ia mengeluarkan uangnya seperti mengeluarkan dedaunan kering dari keranjang yang ia bawa di punggungnya.<br />
<br />
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan melewati dataran tandus, lembah, perkebunan, persawahan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah desa di kaki gunung.<br />
<br />
Memasuki desa itu, mereka bertemu dengan penduduk yang sedang sibuk menyiangi rerumputan.<br />
“Permisi, Bapak.. Apakah benar di ujung sana adalah gunung tempat bersemayamnya pertapa suci dan mandraguna yang terkenal itu?”<br />
Lelaki tua petualang itu bertanya dengan penuh harap.<br />
“Ya, betul. Itu Gunung Suci. Tuan-tuan ini, ada perlu apa?” laki-laki desa itu menyahut.<br />
“Kami ingin berziarah ke Gunung itu. Menemui pertapa suci yang konon tinggal di salah satu tebing sana..” jawab lelaki tua mantan hakim itu.<br />
“Ya! Kami ingin mencari jalan menuju Surga!” Lelaki tua pengusaha benar-benar sangat antusias.<br />
“Apakah Tuan-tuan di sini sudah yakin menuju gunung itu?” tanya lelaki desa itu kembali.<br />
“Ya, kami sudah yakin. Kami ingin mencari Jalan menuju surga itu. Kami sudah begitu penat hidup di dunia ini.” Mereka berganti-gantian saling menjelaskan.<br />
“Meskipun nantinya kalian tidak akan kembali lagi?”<br />
“Meskipun nanti kami tidak kembali lagi!” Jawab mereka serentak berbarengan.<br />
“Baiklah, bila Tuan-tuan berkeyakinan untuk itu. Silahkan Tuan ikuti jalan utama yang menuju ke kaki gunung itu, sampai Tuan temui hutan belantara yang sangat lebat. Tuan masuklah, itu jalan menuju ke puncak gunung. Namun, Tuan jangan heran apabila Tuan nanti menemui jalan-jalan yang bercabang. Di salah satu cabang itu menuju ke tempat pertapa suci itu tinggal. Tuan pilihlah jalan yang terbaik bagi Tuan.” Jelas lelaki desa itu.<br />
<br />
Mereka bertiga saling berpandangan sejenak. Setelah menguatkan tekad, mereka mengangguk bersama. Mereka berterima kasih kepada lelaki desa itu, malahan laki-laki tua pengusaha itu memberikan segenggam uang.<br />
Mereka mulai berjalan sesuai dengan arahan lelaki desa itu sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu hutan yang sangat lebat.<br />
<br />
“Sudah siapkah kita masuk, Teman-teman?” ucap lelaki tua petualang itu. Sungguh, tidak ada petualang yang lebih mendebarkan dalam hidupnya selain petualangan ini.<br />
<br />
“Tentu, bagi kami dunia adalah tempat singgah yang sementara. Perjalanan kita sebenarnya baru akan dimulai.” Salah satu laki-laki tua itu menimpali. Tak jelas siapa yang berbicara, karena ketegangan begitu mencekat di dada.<br />
“Baiklah, mari kita masuk..”<br />
<br />
Mereka mulai masuk, menerabas kerumunan belukar dan pohon perdu. Tak lama kemudian, mereka menemui percabangan jalan. Mereka telah berjanji untuk sampai ke tujuan bersama-sama. Maka, mereka sepakat untuk memilih jalan secara bergantian. Giliran pertama adalah mantan hakim itu, kedua pengusaha itu dan ketiga lelaki tua petualang. Terus begitu, sampai mereka kelelahan.<br />
<br />
Sudah puluhan kali mereka beristirahat sembari memakan bekal mereka. Jalanan ini seperti tanpa ujung. Setiap lima menit terdapat percabangan. Hal inilah yang membuat tiga orang peziarah ini kelimpungan. Sampailah pada suatu saat dimana bekal makanan dan minuman mereka telah habis.. mereka saling duduk bersandar dan terlihat sangat kepayahan.<br />
<br />
“Teman-teman, apakah kita tersesat? Pertapa suci itu belum jua kita temukan. Jalan yang kita tempuh seperti jalan kesesatan..” desis lelaki tua botak itu. Ia sudah berbicara dengan mata terpejam.<br />
“Teman-teman, benarkah ada Jalan Menuju Surga..?” lelaki tua pengusaha itu berucap lirih. Namun terlampau lirih untuk sekedar didengar oleh dirinya sendiri..<br />
“Teman-teman...??”<br />
<br />
Kini mereka merasakan perasaan yang sangat mencekam. Bayangan-bayangan selama mereka hidup kini nampak seperti slide yang diputar berulang-ulang di kepala mereka.<br />
<br />
Hutan belantara telah memerangkap mereka pada sebuah sesat. Kumbang gunung bersahutan, daun-daun kuning jatuh ke tanah, menggabungkan diri bersama daun tua yang sudah membusuk, yang akhirnya nanti akan terurai menjadi hara tanah, kembali lagi ke pohon. Ketiga pendaki tadi pun demikian. Kini, mereka telah kembali lagi ke habitatnya. Barangkali, mereka telah menemukan jalan menuju surga yang sesungguhnya.<br />
***<br />
Pemerintah akhirnya resmi menutup Gunung itu untuk siapapun. Di kaki gunung itu, yang terdiri dari puing-puing bekas letusan gunung puluhan tahun silam, pemerintah memasang pagar pembatas berkawat duri. DILARANG MASUK. BERBAHAYA! Begitu tulisan itu. Hanya kesunyian yang tinggal di sana.[*]<br />
<br />
Adipala, 5 September 2011<br />
_____<br />
M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Global, Suara Pembaruan, Jurnal Medan, Harian Aceh dan media online Kompas.com. beberapa kumpulan ceritanya dapat dilihat di www.kolasecerita.wordpress.com. Kontak: Twitter @n_cholizithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-84826329702229160742012-01-01T14:26:00.001-08:002012-01-01T14:26:35.019-08:00Ini Kisahku denganmuSemua berawal dari lima tahun lalu. Kau teman baruku. Kau satu dari segelintir wanita yang ada di sekitarku. Selain kau, juga ada Chinta dan Irene yang baru saja merasakan suasana kampus di kota ini.<br />
<br />
Malam itu, meski suasana di kampus cukup ramai, aku yang ada di depanmu hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa.<br />
<br />
Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu, senyum manismu, lesung pipitmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Kau masih di sekitarku.<br />
<br />
Setiap malam kusaksikan senyummu. Dan tak terasa sudah ratusan malam senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan, tak pernah ingin ku lewatkan.<br />
<br />
Begitu juga perasaan di hatiku yang telah berubah meskipun aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Entah apa namanya, ku tak ingin mencarinya dalam kamus-kamus di perpus-perpus, ku hanya ingin menikmati saja.<br />
<br />
Malam pun datang bersama bulan yang masih saja beredar. Kadang terlihat cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Tak seperti senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir darahku, menuju jantungku. Menggetarkannya, memacu degupnya. Mungkin ini yang namanya cinta. Tapi ku masih takut menyebutnya. Aku hanya memandang bulan yang belum bundar sempurna, ku titipkan perasaan ini padanya.<br />
<br />
Hal yang paling ku takuti adalah dibenci oleh orang yang ku cintai. Tiga tahun sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena mencintai. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku takut kau membenciku atau aku takut mencintaimu. Hingga -yang mungkin saja- cinta ini, ku biarkan. Tak kuucapkan.<br />
<br />
Hingga saat malam datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak, hatiku berontak, kebenaran terkuak. Kau tak lagi sendiri. Perasaan ini pun jadi tak berarti. Ku lihat kau bersama lelaki yang mencintaimu, dan kau memanggilnya Toni, kekasih hatimu. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya pagi.<br />
<br />
Malam-malam berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Senyum yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada layang-layang, ku terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.<br />
<br />
Kini, ku masih menikmati senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam. Sementara perasaanku masih ku titipkan padanya, ku mencoba menikmati suasana yang sedikit berbeda. Melihatmu tersenyum, tertawa bersama kekasihmu. Senyum yang masih memacu degup jantungku, meski sedikit menyayat hatiku.<br />
<br />
Suatu saat nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi, sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan suatu kisah tentang perasaan -yang mungkin saja cinta- ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di penghujung malam, di awal pagi.<br />
<br />
<br />
Surabaya, November 2010ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-51318769280776153272011-12-10T17:09:00.000-08:002011-12-10T17:09:02.745-08:00Jalan Menuju SurgaKonon, di balik tebing gunung itu, tinggal seorang lelaki pertapa yang sudah renta. Pertapa yang terkenal dari mulut ke mulut penduduk desa di kaki gunung. Pada mulanya, pertapa itu terkenal karena kebijaksanaannya. Namun tiap-tiap penutur cerita menambahkan bumbu-bumbu untuk cerita mereka, sehingga kini yang beredar di penduduk desa adalah:<br />
Di balik tebing gunung itu tinggal pertapa yang sangat bijak dan sakti mandraguna. Apabila ada seseorang yang dapat bertemu dengannya, mintalah berkah kepadanya. Ia dapat menunjukkan jalan untuk menuju Surga, jalan kebahagiaan bagi umat manusia.<br />
<br />
Begitulah, cerita itu terus berhembus mengikuti arah angin. Dari mulai desa-desa tetangga, kemudian menjalar ke kota-kota di sekitar daerah itu, sampai pada akhirnya cerita ini sampai ke ibukota.<br />
<br />
Cerita ini terdengar pula ke suatu kelompok perkumpulan Pecinta Alam. Dahulu jumlah mereka belasan, namun kini—karena waktu telah memakan umur-umur mereka—jumlah mereka tinggal tiga orang. Perkumpulan ini terbentuk semenjak mereka masih remaja. Kini, usia mereka rata-rata adalah 50-60 tahun. Ketika mendengar kisah pertapa tersebut, mereka sepakat untuk mendaki gunung bersama kendati usia mereka telah senja dan fisik mereka tentu tidak sebugar dahulu. Namun, demi alasan yang akan diceritakan kemudian, mereka sepakat untuk mendaki gunung tersebut guna bertemu dengan pertapa sakti itu.<br />
<br />
Orang yang paling tua di antara mereka adalah seorang pria tua botak pensiunan hakim di pengadilan kota.<br />
“Aku sudah bosan dengan kebohongan-kebohongan di dunia ini. Betapa keadilan di dunia ini adalah utopia. Waktu pun begitu cepat berlalu, kini usiaku sudah senja. Aku ingin mencari bekal untuk hidupku setelah ini. Lagipula, anak-anakku sudah mapan semua. Istriku pun telah tiada. Aku ingin mencari jalan ke surga.. Ingin mencari keadilan yang sebenarnya..” begitu jelas laki-laki tua itu kepada kawan-kawannya.<br />
<br />
“Aku juga sudah malas menumpuk uang. Meski perusahaanku belasan, aku belum mendapatkan kebahagiaan. Kau tahu, kan? Anak-anakku semuanya jadi bajingan. Istriku malah pergi dengan lelaki lain. Meski kadang aku bersenang-senang dengan wanita-wanita muda tiap malam, aku tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan. Kini aku sudah tua, sudah bosan dengan dunia dan kemewahannya. Marilah kita cari kebahagiaan yang sebenarnya, jalan menuju ke Surga Tuhan..” seorang lelaki berjas hitam berkata. Kegagahan masih nampak dari badannya yang berperawakan tegap. Namun uban-uban itu dan kulit wajah yang mengeriput tidak pernah menyembunyikan usia.<br />
<br />
“Baiklah, jika kalian sudah mempertimbangkan ini masak-masak. Kukira kalian harus mempersiapkan segala macam bekal yang diperlukan untuk perjalanan panjang ini. Sejauh pengetahuanku, gunung itu jarang sekali ada yang mendaki, aku sendiri belum pernah ke sana. Terakhir kabar yang kudapat, pemerintah menutup area itu karena banyak sekali pendaki yang tersesat. Namun, kita akan tetap kesana. Aku juga sudah bosan berpetualang. Kini saatnya aku mencari jalan menuju Tuhan..” lelaki tua terakhir ini adalah seorang petualang sejati. Selama hidupnya ia habiskan untuk bercengkrama dengan alam. Selama ini pun, dia belum beristri. Petualangan adalah kekasih setianya, disamping pacar satu-satunya; kesunyian.<br />
<br />
Maka, setelah mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki gunung, mereka memulai perjalanan suci itu. Tas-tas ransel yang penuh dengan berbagai bekal mereka gendong dengan kepayahan. Sepatu gunung telah mereka kenakan. Tak lupa pakaian suci berupa kaftan coklat dikenakan, membalut tubuh renta mereka. Di pintu gerbang kota, mereka dilepas oleh kerabat dan orang dekat.<br />
<br />
Guna memperoleh khidmat dari ziarah ini, mereka memutuskan berjalan kaki menuju gunung suci itu. Perjalanan ini begitu riang dan penuh dengan nuansa spiritual. Mereka hemat dalam bercakap-cakap, mulut mereka terlihat merapal doa-doa yang sekiranya mereka hafal.<br />
<br />
Selama perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai macam orang. Orang-orang yang terlihat susah, terutama, pasti akan mereka bantu. Yang paling sering adalah lelaki tua pengusaha itu. Ia mengeluarkan uangnya seperti mengeluarkan dedaunan kering dari keranjang yang ia bawa di punggungnya.<br />
<br />
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan melewati dataran tandus, lembah, perkebunan, persawahan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah desa di kaki gunung.<br />
<br />
Memasuki desa itu, mereka bertemu dengan penduduk yang sedang sibuk menyiangi rerumputan.<br />
“Permisi, Bapak.. Apakah benar di ujung sana adalah gunung tempat bersemayamnya pertapa suci dan mandraguna yang terkenal itu?”<br />
Lelaki tua petualang itu bertanya dengan penuh harap.<br />
“Ya, betul. Itu Gunung Suci. Tuan-tuan ini, ada perlu apa?” laki-laki desa itu menyahut.<br />
“Kami ingin berziarah ke Gunung itu. Menemui pertapa suci yang konon tinggal di salah satu tebing sana..” jawab lelaki tua mantan hakim itu.<br />
“Ya! Kami ingin mencari jalan menuju Surga!” Lelaki tua pengusaha benar-benar sangat antusias.<br />
“Apakah Tuan-tuan di sini sudah yakin menuju gunung itu?” tanya lelaki desa itu kembali.<br />
“Ya, kami sudah yakin. Kami ingin mencari Jalan menuju surga itu. Kami sudah begitu penat hidup di dunia ini.” Mereka berganti-gantian saling menjelaskan.<br />
“Meskipun nantinya kalian tidak akan kembali lagi?”<br />
“Meskipun nanti kami tidak kembali lagi!” Jawab mereka serentak berbarengan.<br />
“Baiklah, bila Tuan-tuan berkeyakinan untuk itu. Silahkan Tuan ikuti jalan utama yang menuju ke kaki gunung itu, sampai Tuan temui hutan belantara yang sangat lebat. Tuan masuklah, itu jalan menuju ke puncak gunung. Namun, Tuan jangan heran apabila Tuan nanti menemui jalan-jalan yang bercabang. Di salah satu cabang itu menuju ke tempat pertapa suci itu tinggal. Tuan pilihlah jalan yang terbaik bagi Tuan.” Jelas lelaki desa itu.<br />
<br />
Mereka bertiga saling berpandangan sejenak. Setelah menguatkan tekad, mereka mengangguk bersama. Mereka berterima kasih kepada lelaki desa itu, malahan laki-laki tua pengusaha itu memberikan segenggam uang.<br />
Mereka mulai berjalan sesuai dengan arahan lelaki desa itu sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu hutan yang sangat lebat.<br />
<br />
“Sudah siapkah kita masuk, Teman-teman?” ucap lelaki tua petualang itu. Sungguh, tidak ada petualang yang lebih mendebarkan dalam hidupnya selain petualangan ini.<br />
<br />
“Tentu, bagi kami dunia adalah tempat singgah yang sementara. Perjalanan kita sebenarnya baru akan dimulai.” Salah satu laki-laki tua itu menimpali. Tak jelas siapa yang berbicara, karena ketegangan begitu mencekat di dada.<br />
“Baiklah, mari kita masuk..”<br />
<br />
Mereka mulai masuk, menerabas kerumunan belukar dan pohon perdu. Tak lama kemudian, mereka menemui percabangan jalan. Mereka telah berjanji untuk sampai ke tujuan bersama-sama. Maka, mereka sepakat untuk memilih jalan secara bergantian. Giliran pertama adalah mantan hakim itu, kedua pengusaha itu dan ketiga lelaki tua petualang. Terus begitu, sampai mereka kelelahan.<br />
<br />
Sudah puluhan kali mereka beristirahat sembari memakan bekal mereka. Jalanan ini seperti tanpa ujung. Setiap lima menit terdapat percabangan. Hal inilah yang membuat tiga orang peziarah ini kelimpungan. Sampailah pada suatu saat dimana bekal makanan dan minuman mereka telah habis.. mereka saling duduk bersandar dan terlihat sangat kepayahan.<br />
<br />
“Teman-teman, apakah kita tersesat? Pertapa suci itu belum jua kita temukan. Jalan yang kita tempuh seperti jalan kesesatan..” desis lelaki tua botak itu. Ia sudah berbicara dengan mata terpejam.<br />
“Teman-teman, benarkah ada Jalan Menuju Surga..?” lelaki tua pengusaha itu berucap lirih. Namun terlampau lirih untuk sekedar didengar oleh dirinya sendiri..<br />
“Teman-teman...??”<br />
<br />
Kini mereka merasakan perasaan yang sangat mencekam. Bayangan-bayangan selama mereka hidup kini nampak seperti slide yang diputar berulang-ulang di kepala mereka.<br />
<br />
Hutan belantara telah memerangkap mereka pada sebuah sesat. Kumbang gunung bersahutan, daun-daun kuning jatuh ke tanah, menggabungkan diri bersama daun tua yang sudah membusuk, yang akhirnya nanti akan terurai menjadi hara tanah, kembali lagi ke pohon. Ketiga pendaki tadi pun demikian. Kini, mereka telah kembali lagi ke habitatnya. Barangkali, mereka telah menemukan jalan menuju surga yang sesungguhnya.<br />
***<br />
Pemerintah akhirnya resmi menutup Gunung itu untuk siapapun. Di kaki gunung itu, yang terdiri dari puing-puing bekas letusan gunung puluhan tahun silam, pemerintah memasang pagar pembatas berkawat duri. DILARANG MASUK. BERBAHAYA! Begitu tulisan itu. Hanya kesunyian yang tinggal di sana.[*]<br />
<br />
Adipala, 5 September 2011<br />
_____<br />
M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Global, Suara Pembaruan, Jurnal Medan, Harian Aceh dan media online Kompas.com. beberapa kumpulan ceritanya dapat dilihat di www.kolasecerita.wordpress.com. Kontak: Twitter @n_cholizithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-30532548022793144092011-12-10T17:08:00.000-08:002011-12-10T17:08:01.770-08:00Ini Kisahku denganmuSemua berawal dari lima tahun lalu. Kau teman baruku. Kau satu dari segelintir wanita yang ada di sekitarku. Selain kau, juga ada Chinta dan Irene yang baru saja merasakan suasana kampus di kota ini.<br />
<br />
Malam itu, meski suasana di kampus cukup ramai, aku yang ada di depanmu hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa.<br />
<br />
Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu, senyum manismu, lesung pipitmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Kau masih di sekitarku.<br />
<br />
Setiap malam kusaksikan senyummu. Dan tak terasa sudah ratusan malam senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan, tak pernah ingin ku lewatkan.<br />
<br />
Begitu juga perasaan di hatiku yang telah berubah meskipun aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Entah apa namanya, ku tak ingin mencarinya dalam kamus-kamus di perpus-perpus, ku hanya ingin menikmati saja.<br />
<br />
Malam pun datang bersama bulan yang masih saja beredar. Kadang terlihat cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Tak seperti senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir darahku, menuju jantungku. Menggetarkannya, memacu degupnya. Mungkin ini yang namanya cinta. Tapi ku masih takut menyebutnya. Aku hanya memandang bulan yang belum bundar sempurna, ku titipkan perasaan ini padanya.<br />
<br />
Hal yang paling ku takuti adalah dibenci oleh orang yang ku cintai. Tiga tahun sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena mencintai. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku takut kau membenciku atau aku takut mencintaimu. Hingga -yang mungkin saja- cinta ini, ku biarkan. Tak kuucapkan.<br />
<br />
Hingga saat malam datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak, hatiku berontak, kebenaran terkuak. Kau tak lagi sendiri. Perasaan ini pun jadi tak berarti. Ku lihat kau bersama lelaki yang mencintaimu, dan kau memanggilnya Toni, kekasih hatimu. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya pagi.<br />
<br />
Malam-malam berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Senyum yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada layang-layang, ku terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.<br />
<br />
Kini, ku masih menikmati senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam. Sementara perasaanku masih ku titipkan padanya, ku mencoba menikmati suasana yang sedikit berbeda. Melihatmu tersenyum, tertawa bersama kekasihmu. Senyum yang masih memacu degup jantungku, meski sedikit menyayat hatiku.<br />
<br />
Suatu saat nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi, sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan suatu kisah tentang perasaan -yang mungkin saja cinta- ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di penghujung malam, di awal pagi.<br />
<br />
<br />
Surabaya, November 2010ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-36938505447998454712011-12-10T17:06:00.001-08:002011-12-10T17:06:45.282-08:00Nilai Ujian RemidiBegitu mendapat kabar lewat sms dari Pak Usman, salah satu penjaga sekolah, bahwa Bu Astuti, guru matematikanya itu baru saja keluar dari sekolah, Nina bersama dua karibnya; Linda dan Zahra, bergegas mengambil sepedanya masing-masing dan mengayuhnya cepat-cepat menuju sekolah. Nina beserta kawan karibnya ingin jadi orang yang pertama tahu apakah ia dan temannya lulus ujian remidi (ujian perbaikan) matematika yang diadakan siang tadi.<br />
<br />
Sebab besok ia dan kawan karibnya bersepakat tidak masuk sekolah. ”Kalau kita bisa tahu malam ini, besok kita ndak usah masuk. Kita mejeng aja di mall. Ngeliatin cowok-cowok cakep. Enek kita khan liat wajah Bu Astuti terus.” Begitu usul Nina. Dan kedua kawan karibnya setuju.<br />
<br />
Memang sudah jadi kebiasaan Bu Astuti kalau menggarap nilai ujian dilakukan di sekolah malam hari. Maklum saja, meski sudah kepala lima, hampir sama dengan usia bapak Nina, Bu Astuti belum juga menikah. Boleh dibilang perawan tua. Dan hingga saat ini tak pernah ada yang tahu alasan Bu Astuti kenapa belum menikah hingga sekarang. Karena itulah Bu Astuti kerap jadi gosip anak-anak sekolah. Teman-teman Nina. Baik yang seangkatan dengan Nina. Maupun yang junior. Dan itu pula yang dilakukan Nina dengan sahabat karibnya di warung Mpok Imah sembari menunggu Bu Astuti keluar dari sekolah malam itu. ”Mungkin selera dia terlalu tinggi sama laki-laki. Maklum dia khan keturunan priyayi.” Kata Zahra.<br />
<br />
”Eh..ndak gitulah. Menurut cerita dari pamanku, yang kebetulan pernah satu sekolah dengan Bu Astuti, dia dulunya pernah punya pacar. Lalu pacarnya meninggal karena kecelakaan. Sejak itulah ia jadi dingin sama laki-laki.” Bantah Linda.<br />
<br />
”Atau mungkin dia sama pacarnya sebenarnya sudah melakukan hubungan intim. Lalu pacarnya meninggal. Karena itulah ia jadi takut sama laki-laki. Takut ketahuan kalau sudah ndak perawan.” Timpal Zahra lagi.<br />
”Ngarang kamu! Jangan ngaco ah.” Sanggah Linda<br />
”Eh, bisa aja khan itu terjadi! Bisa jadi juga guru kita itu punya kelainan seksual. Hayoo..” ujar Zahra.<br />
”Udah..udah. nggak penting khan ngomongin Bu Astuti dan segala tetek bengek hidupnya itu. Ndak ada pengaruhnya buat kita.” Ujar Nina. ”Mestinya yang kalian pikir sekarang kalian lulus apa tidak? Nggak lulus tahu rasa kalian semua. Kualat kalian semua nanti karena ngegosipin guru,” imbuhnya. Ketiganya lalu tertawa bersama.<br />
<br />
Memang Bu Astuti termasuk salah satu guru yang tidak disukai Nina. Bahkan sebagian besar teman sekolahnya. Maklum saja, Bu Astuti tergolong guru killer. Kalau ulangan di kelas , Ia tak segan-segan melempar buku tugas murid-muridnya kalau tak bisa mengerjakan soal matematika dengan benar. Nina yang paling sering mendapatkan itu. Bahkan sampul buku tugasnya nyaris lepas karena sering dilempar-lempar Bu Astuti. Tak hanya itu. Bu Astuti juga kerap menampar pada siswa yang melakukan kesalahan dan tidak disiplin dan dianggap tindakannya tidak bermoral. Dan tiap kali marah wajah Bu Astuti seakan-akan berubah jadi menakutkan. Dan matanya merah seperti terkena noda darah.<br />
<br />
Soal moralitas itu Bu Astuti pernah membuat program yang kontroversial. Untuk menekan kenakalan remaja dan agar siswa-siswa di sekolahnya tak terjerumus pergaulan bebas, dia membuat program pelajaran rohani. Program itu diisi dengan mengaji. Jadwalnya dilakukan pada jam 5 pagi. Dilakukan bergiliran tiap kelas. Dan jangan coba-coba terlambat. Bisa merah pipi siswa yang terlambat karena kena tampar. Tak peduli perempuan. Apalagi laki-laki. ”mengaji dan disiplin adalah dua hal yang penting. Program ini akan melatih mental kalian agar tak gampar terjerumus pada hal-hal yang tak berguna dan membahayakan masa depan kalian.” Begitu Bu Astuti ketika memberi penjelasan.<br />
<br />
Awalnya program itu berjalan lancar. Tapi lama-lama banyak wali murid yang protes. Pasalnya program itu dianggap tak lazim dilakukan pada jam 5 pagi. Dan itu mengganggu aktivitas keluarga. Terutama wali murd yang rumahnya jauh dari sekolah. ”Saya sampai sering dimarahi suami gara-gara tak menyiapkan sarapan pagi hanya untuk mengantar anak ke sekolah dini hari.” itu salah satu keluhan wali murid pada kepala sekolah.<br />
<br />
Tapi Bu Astuti bergeming. Meski diprotes banyak wali murid program itu jalan terus. Puncaknya ratusan wali murid ngeluruk ke sekolah. Melakukan demo menuntut agar Bu Astuti dikeluarkan dari sekolah. Akhirnya program itu dihentikan. Tapi Bu Astuti tetap ngajar di sekolah itu. Dan seperti biasa sering mengerjakan tugasnya sebagai guru di sekolah sampai malam. Termasuk juga membuat nilai remidi.<br />
<br />
Malam semakin larut. Bulan purnama berpendar-pendar di langit hitam bersama bintang gemintang. Suara layang layang menderu bersama suara pesawat yang baru saja lalu. Jalanan yang tadi ramai lambat laun mulai sepi. Suara anjing menyalak bersautan, suara kucing kawin di belukar, suara jengkerik jadikan malam makin menerbakan kengerian. Ketiga sahabat karib itu bersicepat mengayuh sepedanya masing-masing. Ketika jam menunjukkan pukul 9 Nina dan dua teman karibnya tiba di gerbang sekolah. Bergegas Nina menyandarkan sepedanya ke tiang bendera. Diikuti kedua temannya. Tiba-tiba Pak Usman menghampiri.<br />
<br />
”Lama amat sih neng-neng ini. Masih kemana aja. Sampek gosong Pak Amat nungguinnya.”<br />
”Alah…gosong. Ngomong aja mau nangih jatah rokok. Iya khan?” Nina merogoh kantong celananya lalu menyerahkan rokok pada Pak Usman. Pak Usman tersenyum lalu menyerahkan kunci ruang guru pada Nina.<br />
”Ingat! Jangan lama-lama. Setengah jam lagi biasanya Pak Urip datang. Selesai liat langsung ke luar dan cepat pulang. Kalau sampai ketahuan Pak Urip bisa dilaporin ke kepala sekolah.”<br />
”Beres. Percayakan sama kita-kita ini. Begitu urusan selesai langsung cabut kok pak!” ketiga kemudian bergegas lari menuju ruang guru. Angin dingin bertiup kencang. Batang-batang pohon bambu belakang sekolah bergoyang menimbulkan suara berderik yang panjang. Terdengar suara burung hantu. Dan lolong anjing di kejauhan.<br />
<br />
Pelan-pelan Nina membuka pintu ruang guru. Menyalakan lampu. Kemudian ketiganya berhamburan menuju meja Bu Astuti. Tapi meja Bu Astuti ternyata bersih. Hanya sebuah HP di sisi meja. Sepertinya HP Bu Astuti ketinggalan. Tak ada berkas apapun di atas meja. Zahrah mengambil HP itu dan mulai membukanya. Entah apa yang ia liat. Sementara Nina mencoba menarik laci sebelah kiri meja itu. Ternyata terkunci. Kemudian menarik laci sebelah kanan. Tak dikunci.<br />
<br />
”Hei lihat kayaknya ada di tumpukan berkas ini.” Ketiga lalu pelan-pelan membacai tumpukan berkas yang diambil dari laci itu. Lama sekali mereka mencari sampai akhirnya Linda berbisik.<br />
”Kayaknya ini yang kita cari.” Linda mengibas-kibaskan dua lembar kertas yang telah distreples. Nina merebutnya lalu membacanya. Benar di bagian atas kertas itu tertulis: HASIL NILAI REMIDI PELAJARAN MATEMATIKA TANGGAL 10 Juni 2010. Dibawahnya ada daftar nama siswa dan angka hasil ujian. Ketiga memelototi kertas itu. Mencari namanya masing-masing.<br />
Fatimatuz Zahrah = 7,8<br />
Linda Ananda = 6,9<br />
Malik Prasetya = 7,1<br />
Nina Susilowati = 7,5 <br />
Wina Ningrum = 8<br />
………………..<br />
<br />
Ketiganya melompat-lompat kecil begitu membaca hasil ujian remidi itu. Ketiganya lulus. Tapi begitu membaca nama Wina semuanya terkejut.<br />
<br />
"Bukankah Wina sudah mati enam bulan lalu karena gantung diri gara-gara dikeluarkan sekolah sebab nggak mampu bayar SPP?" tanya Nina. Teman-temannya hanya mengangkat bahu.<br />
"Lalu kenapa nilainya bisa keluar?"<br />
<br />
Tiba-tiba bulu kuduk mereka berdiri. Listrik mendadak mati. Beberapa menit kemudian listrik menyala kembali.<br />
”Dasar PLN sialan! Bikin jantung berdebar aja.” Gerutu Nina.<br />
”Eh, kalian harus melihat ini dech.” Ujar Zahra lirih sambil menunjukkan HP Bu Astuti. Nina dan Linda mendekat ke Zahra. Zahrah kemudian memutar sebuah video di HP tersebut.<br />
”Bukankah perempuan itu Bu Astuti?” Tanya Nina<br />
”Entahlah. Tapi mirip sekali.” Ujar Zahrah. Dalam video itu terdapat adegan perempuan yang wajahnya mirip dengan Bu Astuti tengah duduk bersila di depan sebuah dupa. Mengenakan sampir merah dengan dada sedikit terbuka. Rambutnya panjangnya terurai. Mulutnya komat-kamit. Memandangi sebuah foto laki-laki. Kemudian meludahi foto itu tiga kali. Cuih! Cuih! Cuih!<br />
<br />
Selang beberapa lama kemudian setelah ritualnya selesai perempuan itu berjalanan mendekati pojok ruangan, lalu membuka karung yang berisi tiga ekor anak anjing yang sudah diikat. Perempuan yang mirip dengan Bu Astuti itu mencekik leher seekor anjing. Lalu memakannya mentah-mentah.<br />
<br />
Ketiga sahabat itu saling melongo menyaksikan video tersebut. Ada rasa ngeri dalam dada mereka. Tiba-tiba listrik mati kembali.<br />
<br />
”PLN sialan!” teriak Nina lagi. Beberapa menit kemudian listrik menyala kembali. Dan betapa terkejutnya ketiga sahabat karib itu. Sebab begitu listrik menyala, Bu Astuti sudah berdiri di depan mereka dengan mata merah dan mulutnya belepotan darah.<br />
<br />
TENTANG PENULIS<br />
Edy Firmansyah penulis kumpulan cerpen “Selaput Dara Lastri” (IBC, Oktober 2010). Pernah bergiat di Sanggar Bersastra Kita (SBK) Madura. Selain menulis cerpen juga menulis puisi dan artikel yang dimuat di berbagai media massa terkemuka di Indonesia seperti; KOMPAS, JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SINDO, SINAR HARAPAN, PELITA, SUARA KARYA, BALI POST, Dsb. Kini tinggal di Pamekasan, Madura.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-83907537400841628032011-12-10T17:05:00.000-08:002011-12-10T17:05:00.190-08:00JM 1300Pagi itu Bima datang ke kantornya lebih awal, sekitar pukul delapan. Ada meeting dengan para petinggi sebuah perusahaan tambang besar di Papua sebelum lunch time di kantornya siang ini, mengenai permintaan akan kebutuhan bus-bus bagi sarana transportasi para pegawai mereka. Beruntung, jalanan sepanjang Cipinang hingga Cilandak, di mana kantornya berada, pagi itu agak lancar.Tak semacet biasanya. Hingga apa yang ingin ia siapkan hari ini bisaterlaksana sesuai rencana.<br />
<br />
Ditinggalkannya dahulu permasalahan dengan Tere, istrinya, yang sudah beberapa hari ini masih terasa panas saja.Tak ada gunanya juga untuk dimasukkan ke dalam otak, karena memang sepertinya pertikaian di antara mereka tak akan pernah ada habisnya. Dari masalah finansiil yang dirasa selalu kurang oleh istrinya itu karena gaya hidupnya yang hedonis, atau kadang hanya soal sepele karena kecemburuan Tere yang sama sekali tak beralasan. Padahal Bima sudah berusaha keras untuk bisa memenuhi segala yang diminta Tere.<br />
<br />
Memang kadang diakuinya kalau ia seringkali menghilangkan kekesalannya dengan sedikit bersenang-senang dengan perempuan lain. Tapi itu cuma selingan pengobat stress-nya saja, yang tak pernah diambil hati.Hanya hubungan ragawi, tanpa ikatan batin. Petualangan-petualangan kecil yang dianggapnya sekedar sebagai suplemen penambah kekuatannya, bukan untuk ia jadikan sebagai toksin. Tak terbersit sedikitpun niat di hati Bima untuk menggantikan kedudukan Tere dengan salah satu dari perempuan-perempuan itu, walaupun dasar pernikahan mereka memang bukan karena cinta. Dan seharusnya Tere bisa mengerti. Toh ia tetap memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga dan pulang ke rumah setiap hari.<br />
<br />
Mungkin karena mereka berasal dari suku yang sama, sehingga menjadikan satu sama lain sama-sama keras dan seringkali tak ada yang mau mengalah. Lelah sebenarnya Bima menghadapi hari-hari penuh keributan seperti itu, namun sepertinyaia memang harus pasrah menerima keadaan. Adat istiadat Batak Toba yang masih dijunjung tinggi keluarga besarnya, membuatnya mengurungkan niatnya.<br />
<br />
Perceraian seakan memang diharamkan dalam budaya mereka. Banyak proses yang harus dilaluinya jika ia nekat berpisah dengan istrinya, seperti juga pada pernikahannya dulu yang diiringi dengan berbagai macam upacara adat. Ia harus menemui para tetua adat dan juga kekerabatan dari Dalihan Na Tolu untuk membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak dahulu, lalu akan berusaha didamaikan. Belum lagi Bima juga tak bisa membayangkan jika sampai tak bisa lagi bertemu dengan kedua anak kembarnya, Brenda dan Brandon, pasca perceraian mereka. Aaargh.. Mengingat proses yang sedemikian rumit itu dan akibat yang mungkin akan ditimbulkannya saja sudah membuat Bima serasa ingin memenggal kepalanya untuk sebentar diletakkan di meja, supaya ia bisa berhenti berpikir barang sejenak. Memusnahkan hasrat Bima untuk lepas dari penjara yang bernama sakral“perkawinan” dan dengan penuh kesadaran akhirnya memilih terkurung di dalam penjara itu, seumur hidup.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Sudah pukul 11 siang. Sekretarisnya memberitahukan bahwa calon kliennya sudah datang.Segera Bima menemui mereka dan mengantarnya kemeeting room. Sekitar satu jam Bima mempresentasikan penawaran yang diajukan oleh perusahaannya. Puji Tuhan, tak ada kendala yang berarti. Sebab perusahaannya memang sudah sangat terpercaya untuk urusan transportasi, jadi konsep yang ia ajukan langsung saja disetujui oleh mereka.<br />
<br />
Waktunya makan siang.Bima pun mengajak para tamunya menuju sebuah resto favoritnya di kawasan Kemang. Sudah lama ia tak menyantap Wagyu Burger dan Nachos yang menjadi salah satu menu andalan resto tersebut, juga Blueberry Cheesecake sebagai penutupnya. Para tamunya pun terlihat sangat menikmati hidangan mereka. Semua terasa berjalan seperti yang ia mau, hingga tiba-tiba saja matanya tertuju pada satu titik secara tak sengaja. Seorang perempuan bergaun merah, yang wajahnya selama bertahun-tahun ini masih saja menghiasi mimpi-mimpinya, tanpa setahu Tere.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Shinta. Perempuan yang dikenal Bima saat ia masih kuliah semester akhir di fakultas teknik sipil sebuah perguruan tinggi swasta di perbatasan Jakarta Selatan. Perempuan Jawa berwajah lembut yang sempat mengisi hatinya selama hampir setahun, sebelum Bima mengetahui rencana ibunya untuk menjodohkannya dengan salah satu paribannya.Padahal hubungannya dengan Shinta sudah telanjur jauh. Sewaktu Bima tak kuasa menolak permintaan ibunya itulah, ia pun baru mengetahui bahwa Shinta tengah berbadan dua.<br />
<br />
“Aku hamil,” kata Shinta saat itu, dengan wajah penuh kekhawatiran.Bima hanya terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Bagai makan buah simalakama keadaannya saat itu. Adat menghendaki agar sebagai laki-laki Batak ia pun menikahi perempuan yang berasal dari suku yang sama. Jadi akan sangat menyalahi aturan jika ia sampai menikahi Shinta, apalagi ditambah perbedaan keimanan antara mereka berdua.<br />
<br />
Pengecut memang, karena Bima kemudian lebih memilih untuk menuruti kehendak orang tuanya. Shinta memang tidak menuntut Bima untuk menikahinya, namun tentu saja Bima sangat tahu perasaan perempuan itu. Perasaan bersalah begitu menderanya, kala ternyata secara mendadak pihak keluarganya membawa Bima pulang ke Medan, tanpa sempat ia memberi kabar kepada perempuan yang sedang mengandung anaknya itu.<br />
<br />
Setiba di Medan, Bima memang segera dinikahkan dengan Tere, pariban yang disodorkan keluarga untuknya. Seperti kerbau dicocok hidung, Bima hanya bisa mengikuti saja. Selama kurang lebih setahun Bima tinggal di kota kelahirannya itu, sebelum kemudian pada tahun berikutnya ia kembali ke Jakarta, memboyong Tere dan kedua anak kembarnya yang baru berusia beberapa bulan.<br />
<br />
Selama di Medan, Bima bukannya tak peduli dengan Shinta. Dicobanya menghubungi perempuan itu lewat telepon, tapi jawaban yang ia dapat dari keluarga Shinta hanyalah kemarahan. Begitu juga melalui beberapa teman yang dikenalnya.Namun sepertinya Shinta menghilang begitu saja, bagai ditelan bumi.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Dan kini, perempuan itu ada di hadapannya. Penampilannya masih seperti dulu.Ayu. Garis kematangan yang menggurat di wajahnya justru menambah pesonanya.Beruntung, para tamunya tak punya waktu berlama-lama di tempat itu dan segera berpamitan. Membuatnya bisa segera menghampiri Shinta yang tengah asyik menikmati sushi-nya sendirian.Hingga tak sadar ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya, lalu menghampirinya.<br />
<br />
“Boleh saya temani..??” sapa Bima kepada perempuan itu, sambil tersenyum. Shinta terlihat sangat terkejut mengetahui kehadirannya.Dengan tatapan yang mendadak terlihat garang.Kemarahan sepertinya masih terbekap di mata perempuan itu, namun cepat bisa dikuasainya.<br />
<br />
“Apa kabar, Bim..??” tanya Shinta, dengan ekspresi dingin. Tak lama kemudian meluncurlah cerita-cerita perih masa ia kehilangan jejak perempuan itu, yang setelah diketahui hamil tanpa ada yang mau bertanggung jawab kemudian dinikahkan keluarganya dengan salah seorang kerabat jauhnya. Belakangan baru Shinta tahu bahwa laki-laki itu ternyata adalah seorang junkies. Pada masa kehamilannya, Shinta banyak mendapat kekerasan fisik dari suaminya yang sering pulang dalam keadaan mabuk, dan kemudian mengakibatkan pendarahan yang menyebabkan ia kehilangan bayinya. Laki-laki itupun lalu tewas beberapa tahun yang silam karena overdosis.<br />
<br />
Ingin rasanya Bima bersimpuh mohon ampun kepada perempuan yang sampai detik ini masih sangat dicintainya itu.Memeluk erat seperti dulu agar tak ada lagi yang bisa melukainya.Gayung pun bersambut.Shinta meminta Bima untuk mengantarnya pulang.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Di jalan menuju rumah Shinta di Pamulang, mendadak ada sebuah taksi putih menyalip mobilnya.Terbaca oleh matanya, nomor taksi itu. JM 1300. Kode yang sepertinya sengaja diminta untuk ia pecahkan. Entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik di telinganya, mengurai arti dari huruf dan angka yang dibacanya itu. “Jauhi masalah, atau kau akan sial selamanya,” begitu kata suara itu. Namun suara itu sama sekali tak diindahkannya, tenggelam dalam kegirangannya bertemu lagi dengan Shinta, Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah perkawinannya, Bima tidak kembali ke rumahnya semalaman dan dengan sengaja mematikan telepon selularnya.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Menjelang siang, Bima terbangun.Tak lagi dilihatnya Shinta, hanya secarik kertas di samping tempat tidur yang memberitahukan bahwa sarapan sudah disediakan di meja makan.Ia hanya meneguk secangkir kopi susu, lalu segera mandi dan bergegas pulang. Sudah disiapkannya sejuta alasan yang akan diajukannya kepada Tere sebagai alibi kepergiannya yang tanpa kabar.<br />
<br />
Selagi di perjalanan kembali ke rumah itulah, baru dinyalakannya lagi telepon selulernya.Ada sejumlah pesan pendek yang berderetdari Tere. Sama sekali tak dibukanya, karena ia sudah tahu isinya pasti hanyalah makian saja. Namun ada satu pesan yang menarik untuk ia buka. Dari Shinta. Yang isinya ternyata sangat mengagetkannya.<br />
<br />
“Welcome to the AIDS Club, Bima.. Kau pantas mendapatkannya, karena kau sudah membuat aku terpaksa menikahi seorang junkies yang membuatku mengidap penyakit ini..”<br />
<br />
Ruang Hitam Putih, 1 Desember 2011<br />
Inspiring by :Waktu Tersisa – Kla Project<br />
<br />
Keterangan :<br />
Dalihan Na Tolu :filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.( Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu)ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-61796692979558147762011-12-02T13:58:00.001-08:002011-12-02T13:58:34.750-08:00Ia yang Mencintai SepiSebenarnya aku tidak mau banyak bercerita tentang dirinya kau tau. Sebab ia tidak –terlalu- suka orang menerka-nerka hatinya atau sikapnya yang pendiam itu. Lebih tepatnya ia seperti merasa sedih sebab memang tidak bisa ia menceritakan hal-hal yang menurutnya rahasia-hal-hal yang munurutnya di percayakan kepadanya itu kepada orang lain. Entah kenapa kali ini aku seperti susah mengekang nafsuku-oh jangan berfikir yang bukan-bukan dulu. Ini bukan nafsu yang seperti itu yang sering menghinggapi benakmu. Dan benakku pula sudah tentu.<br />
<br />
Ini nafsuku yang terus menggebu untuk menceritakan sebagian dirinya. Yah, sebagian dirinya saja. Karena aku tidak mau jika lantas ia memusuhiku walau sebenarnya ia tidak pernah tertarik untuk mempunyai atau mencari musuh. Baiklah baiknya kumulai saja ceritaku tentang dirinya.<br />
Inilah ceritanya.<br />
<br />
Ia terlanjur jatuh cinta kepada sepi. Di kota yang seramai pasar malam itu bahkan lebih ramai dari pasar yang paling malam itu ia melulu merasa sepi. Ia tidak pernah terganggu hiruknya jalan-jalan yang berdesingan semalam suntuk. Ia juga tidak pernah terganggu jikalau para tetangganya membesarkan volume televisi mereka yang menyuarakan dendang lagu-lagu india ditingkah gemerincing gelang-gelang kaki dan tangan para penarinya. Atau adu nada tinggi melengking dalam sinetron-sinetron yang alurnya dari episode ke episode semakin terulur panjang dan ngelantur bagai benang ruwet yang kusam itu. Atau pula debat kusir para tokoh-tokoh yang sudah kerap kali mampir ke studio-studio di program- program acara yang nyaris sama. ia tidak perduli dan tidak terganggu dengan itu semua. Namun aku tahu ia sebenarnya tidak setidak perduli itu.<br />
<br />
Dulu ada seorang sahabatnya-oh baiknya sedikit aku ceritakan. Walau sangat pendiam ia juga bersosialisasi sewajarnya dan mempunyai sahabat-sahabat yang setia padanya. Sangat setia malah. Entah karena apa sahabat-sahabatnya itu begitu mempercayainya aku sungguh tidak tahu dan jangan kau tanyakan itu padaku.<br />
<br />
Aku ulangi tadi, dulu ada seorang sahabatnya dari kota yang jauh menghubunginya melalui sambungan telepon, menceritakan ada hal yang telah menimpanya. Ia mendengarkan dengan seksama cerita sahabatnya itu selama hampir setengah jam. Selesai sahabatnya bercerita dan ia menutup teleponnya, seketika itu ia berlari menerjang pintu kamar mandi. Dan memuntahkan seluruh isi perutnya di sana. Setelah itu ia terhuyung-huyung rubuh di karpet yang tergelar di depan televisi dengan mata membasah. namun ia tidak pernah menceritakan kapada siapa pun apa cerita dari sahabatnya itu.<br />
<br />
Pernah pula beberapa hal datang dalam lingkup pekerjaannya. Aku juga menceritakan sebagian saja mengenai pekerjaannya. Karena nyatanya ia tidak bangga sama sekali dengan pekerjaannya. orang-orang dalam lingkup pekerjaannya sudah begitu mahfum dengan “kediamannya” dan mereka pun juga baik-baik sikapnya terhadapnya. Dan tiga orang diantaranya sangat mempercayainya untuk menaruhkan rahasianya kepadanya yang membuatnya justru merasa seperti memikul beban dan perasaan tidak nyaman yang nyaris menjadi seperti perasaan nelangsa.<br />
<br />
Orang pertama yang menaruhkan rahasianya adalah seorang perempuan yang sudah menikah namun merasa tidak bahagia menjalani kehidupan perkawinannya dan tetap mempertahankannya. Hingga suatu waktu perempuan itu bertemu dan jatuh cinta kepada lelaki lain yang bukan suaminya.<br />
<br />
Orang kedua adalah seorang lelaki yang naasnya merasa dirinya gay. Sedangkan keluarga si lelaki dan sahabat-sahabat si lelaki ini tahunya ia lelaki normal yang mempunyai kekasih perempuan. Karena sikap si lelaki ini memang flamboyan. Kerap bergonta-ganti pasangan dalam rentang waktu yang tidak lama. Untuk shoping ke mall, nongkrong di cafe, menonton atau menghadiri konser-konser si lelaki ini kerap berjalan di gelayuti perempuan. Hingga suatu hari si lelaki mengetuk pintu ruang kerjanya sehabis waktu makan siang. Lalu menumpahkan serentetan perasaan yang telah membuatnya bertahun-tahun tertekan. Seketika ia hanya mampu menatap si lelaki tanpa berkata apa-apa dari sebrang mejanya.<br />
<br />
Orang ketiga adalah seorang lelaki yang terang-terangan memperlihatkan perangainya yang ngonde-gemulai. Dandanannya sungguh gemerlap dan terkesan seperti outlet berjalan. Dari mulai sepatunya gold sneakers , jam tangan tag heuer, celana denim keluaran levi strauss, t-shirt giordano, ikat pinggang moschino hingga kaca matanya yang eksklusif merk maybach dilengkapi dengan semprotan hugo boss yang setelah langkahnya mencapai sepuluh meter pun aroma maskulinnya masih meruap. Diantara barang-barang bermerk yang melekat di tubuhnya hanya ikat pinggangnya yang menggunakan merk khusus perempuan. Namun itu toh tidak mengubah perangainya yang ngonde itu.<br />
<br />
Di suatu subuh buta, ketika ia baru hendak melepas mukena pintu pondokannya di gedor-gedor dari luar. Seketika ia berjalan ke pintu membukanya dan betapa terpananya melihat siapa yang berdiri dengan nafas ngos-ngosan dan wajah berlumuran keringat seolah habis separuh jarak tempuh maraton dalam perlombaan. Namun yang membuatnya terpana bukanlah nafas yang ngos-ngosan ataupun keringat yang berlumuran melainkan dandanan sosok di depannya itu.<br />
<br />
Memakai wig hitam bergelombang mencapai batas pinggang, gaun terusan tanpa lengan warna ungu ketat dengan sepatu high heel warna ungu tua dan lipstik tebal ungu menyala memoles bibirnya. Dengan penuh mengiba ia meminta masuk kedalam pondokannya karena sedang dikejar petugas kamtib-keamanan dan ketertiban di sebuah taman sekitar sepuluh menit jaraknya dari pondokan itu. Lelaki berdandan perempuan menor ini pun dipersilakan masuk setelah nafasnya lebih dulu dihirup dan dihela dalam-dalam. Sekejap setelah lelaki berdandan menor itu masuk dua orang petugas kamtib lewat jalan depan pondokannya.<br />
<br />
Maka begitulah lelaki berdandan perempuan menor itu pun selamat dari razia setelah semalaman mangkal di taman untuk mencari tambahan setoran di mana pundi-pundinya yang biasanya selalu penuh itu kerontang. Lelaki yang sehari-harinya di lingkup pekerjaannya berperangai ngonde dengan perangkat aksesori selalu menempeli tubuhnya bagaikan outlet berjalan.<br />
*******<br />
<br />
Bertahun-tahun ia menyimpan hal-hal atau kejadian-kejadian tersebut dan barangkali juga puluhan atau bahkan ratusan kejadian lainnya yang ia ikat rapi dalam bundelan di pojok pondokannya. Hanya saja ketika suatu malam sebelum ia terbangun di lewat tengah malam seperti biasanya, tiga lembar dalam bundelannya terlepas tanpa ia sadari lalu lembaran-lembaran yang lepas itu berhasil aku curi. Untuk aku ceritakan padamu, tentu saja. Hanya untuk sekedar kau tahu hal apa di antaranya yang ia simpan dalam “kediamannya” dan “kesepiannya” itu.<br />
<br />
Entah apakah nanti aku masih bisa mencuri beberapa lembar lagi dari bundelannya yang begitu saja ia onggokkan di pojok pondokannya yang tidak pernah ia ingin untuk dikirim atau dikisahkan kepada siapapun itu, aku sungguh tidak tahu.<br />
******* <br />
gang pendidikan, 2011 <br />
Cerpen Lailatul Kiptiyahithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-17258687580800641712011-12-02T13:57:00.001-08:002011-12-02T13:57:34.398-08:00Perempuan JumatSuatu pagi yang masih sepi dia datang menghampiriku. Ketika itu para jemaat belum ramai, karena biasanya mereka datang menjelang lonceng gereja berbunyi. Dia datang tak melintasi batas pagar depan gereja. Sapu lidi di tanganku berhenti mengayun lamban. Aku berdiri dari bungkukku dan menghentikan ayunan sapu lidi di tangan. Kami sama-sama tidak jauh dari pintu gerbang gereja. Hanya saja, dia di luar dan aku di dalam area gereja.<br />
<br />
Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi malu. Rumput-rumput yang masih basah di depan gereja menegurku untuk tetap menyapu halaman gereja sebelum jemaat datang. Dan, Dia pergi begitu saja.<br />
<br />
Dua hari yang lalu aku menunggunya di depan gereja ini. Beranda yang dingin menyejukkan kulit dari siraman matahari menjelang siang bolong. Tubuhku terasa ingin bergerak menjemputnya, lalu menariknya agar cepat tiba di beranda gereja.<br />
<br />
Ketika orang-orang ramai keluar dari tempat ibadah siang itu, aku masih menunggunya. Jam dan matahari sepakat mengatakan saat itu pukul satu siang. Satu-satu yang melintasi gereja kutelanjangi wajahnya. Berharap itu adalah wajah laki-laki yang kunanti. Tapi tak kutemui wajah yang setiap Jumat menemuiku di beranda gereja ini. Aku pun pergi begitu saja setelah tempat ibadah itu sepi. Pulang ke rumah untuk menyimpan rindu yang belum terpenuhi.<br />
<br />
“Kau Margaret Sinambela dan aku Zulkifli Sihotang.” Begitu tajam nasihat itu yang dia lontarkan Jumat lalu. Di tempat biasa, beranda gereja. Setelah bernasihat yang memasung bagi kami berdua, dia pun pulang begitu saja. “Mungkin inilah pesan opung-opung1 kita dahulu, jangan tuangkan hasrat bercinta kepada saudara terdekat,” dan dia menutup nasihatnya dengan sebilah nasihat yang beradat.<br />
<br />
Sebelum bernasihat, seperti biasa dia melumuriku dengan kata-kata yang membuat aku ingin menjadi dirinya. Dia berkata “Biar orang bilang agamamu agamamu, agamaku agamaku. Tapi cintamu ya cintaku, sama seperti margaku ya borumu3.” Kata-kata itu dilumurinya ke tubuhku agar aku tak menangis sedih, begitu katanya. Kita sama-sama tak punya pilihan lain ketika agama dan adat tak bersahabat. Waktu itu aku menangis sedih setelah dia berkata “Seminggu lagi aku harus keluar dari sini. Pergi jauh dari tanah Toba ini.”<br />
<br />
Jumat pada minggu ini dia tak mungkin lagi ada bersama mereka yang beribadah. Alasannya ke warga kampung, dia pergi ke luar kampung untuk bekerja. Dia harus pergi karena orang tuanya memaki-maki hingga, katanya, segala barang dibanting. Demi adat, demi menjunjung tinggi martabat keluarga. Sampai tetangga-tetangga mereka tahu mengenai hubungan kami karena teriakan ibunya, sebab teriakan perempuan batak itu mampu menyamai teriakan laki-lakinya. Dari warga pulalah aku tahu dia telah bekerja di Kota Pelabuhan bagian pesisir Sumatera Utara.<br />
<br />
Lima hari yang lalu dia masih berdiri di depan pagar, menghampiriku tanpa suara kecuali suara kakinya yang membawa pesan. Sekarang aku tetap tunggu orang-orang selesai ibadah siang bolong begini meski aku tahu dia takkan muncul keluar dari pintu tempat ibadah yang berbintang dan bulan di atapnya. Dia selalu berani memasuki area gereja ini dengan mengenakan pernak-pernik agama di tubuhnya. Begitu, aku kagumi dirinya karena berani. Berani yang menandakan laki-laki. Berani melawan tradisi desa. Dulu kami sering menghabisi sore hari di sini. Beranda gereja yang penuh corat-coret tangan laki-laki pemberani itu.<br />
<br />
Jumat berikutnya lagi aku tetap menunggu di beranda gereja. Menunggu orang-orang yang beribadah di tempat ibadah yang tepat berhadapan dengan gereja ini, adalah kepuasan bagiku. Puas meski tak pasti apa yang kutunggu. Daun-daun rumput yang sering dia injak itu pasti sama merindukan seperti apa yang kurasa. Menanti diinjak.<br />
<br />
Jumat berikutnya lagi aku tetap menunggu. Kutunggu, saat matahari belum di atas kepala hingga matahari memiring yang membuat dunia senja. Di beranda gereja, kududuki tulisan tangannya, “Margaret disayang Zulkifli.” Tulisan di lantai yang selalu diperhatikan para jemaat remaja saat mereka beristirahat di beranda. Karena tulisan itu pula aku sering diteggur Pastor gereja. Pastor itu suatu kali menegurku, “Kalian bukan jodoh, bukan takdir kalian untuk bersama. Margaret dan Zul berbeda keyakinan, bertentangan secara adat pula. Orang tuamu di sorga sana pasti sudah marah, Margaret.” Saat itu pula aku membenci pastor.<br />
<br />
Jumat berikutnya, aku duduk seperti Jumat kemarin, di lantai beranda gereja. Aku merasa sudah dewasa, maka aku yakin apa yang aku lakukan tidaklah salah. Menunggu dia datang dengan kepala berpeci dan bersarung. Dulu, suatu saat, dia pernah mengelus pipiku dengan pecinya setelah dibuka peci di kepalanya hingga meperlihatkan rambut yang seperti rumput-rumput di depan gereja. Rambut yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sampai sekarang tenunan peci dari wol itu masih terasa di kulitku. Aku ingin dia mengulanginya, sekali lagi saja agar aku bisa pulang ke rumahku. Rumah di belakang gereja ini.<br />
<br />
Sudah berapa Jumat aku menunggumu tapi dia tak pernah datang juga. Tidak menepati janji. Kursi yang kita seret bersama dari dalam gereja ke beranda gereja adalah saksinya, saat dia berjanji. “Aku selalu datang ke sini setiap Jumat, Margaret. Berpakaian lengkap sebagai muslim”, sambil dikulitinya mataku dengan matanya.<br />
<br />
Aku sangat mengaguminya. Kagum karena berbeda dari laki-laki lain. Tak pernah sekali pun dia mengatakan diriku cantik. Tak pernah sekali pun dia menciumku. Tubuhku dijaga seperti tubuhnya. Selalu di selidikinya tubuhku yang kotor, dan dia bilang “Jangan mulai kotorkan tubuh kita agar hati tetap bersih.”<br />
<br />
Di desa ini, hanya dia yang bukan agama kami yang berani menginjakkan kakinya sampai ke depan pintu gereja. Saat pertama dia menginjakkan kaki, saat itu pula dia menegurku ketika aku membersihkan kaca-kaca jendela di depan gereja. Aku perempuan yang menyambung hidup dengan cara membersihkan gereja, ketika itu aku baru menjadi penjaga sekaligus pembersih gereja. Tanpa pilihan lain, aku harus menyambung hidup menjadi pembersih gereja setelah sebulan yang lalu kutamatkan sekolah menengah atas.<br />
<br />
Setiap minggu sore kulihat dia memukul bedug. Sampah dan debu seakan bersahabat. Semakin lama aku membersihkan sampah dan debu di area gereja, semakin kuat darahku mengalir. Kadang, saat kutuang debu-debu lantai gereja ke selokan di depan gereja, kutancapkan mataku ke gerak pukulan bedug oleh laki-laki muslim yang pernah berkata kepadaku, “bahwa cinta itu menyatukan agama bukan memisahkan agama”. Aku melihat maka dia tersenyum. Aku dipandang maka aku memaniskan wajah.<br />
<br />
Kini, sudah sepuluh tahun aku menjadi penjaga gereja. Sudah tujuh tahun pula dia tak ada kabar. Tak ada di desa. Tak pernah lewat ke depan gereja ini. Tak pernah lagi kulihat wajahnya di antara keramaian orang-orang yang pulang sehabis beribadah saat Jumat siang.<br />
<br />
Orang-orang kampung sering membicarakan tentang aku dan dia. Seorang teman dekatku berkata “Banyak laki-laki lain yang suka sama kau, kenapa Zulkifli yang kau pilih? Orang bilang kau ini aneh.” Dalam hatiku berkata untuk menyambut perkataan temanku itu, “Ah, kalian ini tak pernah tahu apa itu perasaan. Kalianlah yang aneh.” Malah pernah seorang jemaat minggu menyebut diriku sebagai perempuan Jumat.<br />
<br />
Memang tak bisa dipahami semua orang apa itu perasaan. Mungkin karena itu pula tak bisa dipahami agama dan adat istiadat. Maka jangan pernah pahami mengapa aku masih sering menunggu dia setiap Jumat di beranda gereja. Selama tujuh tahun.<br />
<br />
Setelah para jemaat melakukan ibadah minggu sore, aku membersihkan seluruh area gereja ini. Saat itu tiba-tiba dia datang. Kulihat wajahnya telah berubah. Rambutnya berubah. Warna kulitnya berubah.<br />
<br />
Sapu lantai di tangan kanan kulepas. Ingin kupeluk dia, tapi aku ingat kata-katanya, “Jangan pernah menyentuh tubuh yang berbeda jenis kelamin bila sentuhannya berhasrat.”<br />
<br />
Sore itu aku dan dia berbincang-bincang panjang. Pertemuan berindu yang lebat kami tuangkan di beranda gereja. Dia berbicara tentang pekerjaannya sebagai seorang kuli di pelabuhan. Dan, aku berbicara tentang diriku saja yang tak berubah dengan aku yang tujuh tahun lalu agar dia paham bahwa aku masih menginginkan dia, meski adat menyatakan kami adalah kakak beradik.<br />
<br />
“Margaret”, dia memulai pembicaraan yang serius setelah kami saling cerita masa-masa tujuh tahun selama ini.<br />
“Iya.”<br />
“Setelah ini aku memutuskan berhenti bekerja.”<br />
“Berhenti kenapa?”<br />
“Bukan hanya bekerja, tapi memutuskan tak lagi pergi dari kampung ini.”<br />
“Kenapa? Bukannya kau diharuskan omak2 buat hidup di luar kampung?”<br />
“Aku mau hidup menjadi penjaga masjid di depan itu. Menjadi pembersih mesjid itu lebih baik. Aku yakin omak tak bakal menolak, ini keagamaan. Cinta itu bagian dari agama, begitu kata-kata seorang teman di tempat kerjaku. Aku tetap menjadi penjaga masjid karena aku mempertahankan cinta.”<br />
<br />
Beberapa hari setelah kedatangannya dan perbincangan itu, penjaga masjid di depan gereja adalah kekasihku. Zulkifli, yang dulu pernah meninggalkan masjid itu, meninggalkan gereja ini, dan membiarkan aku sendiri di beranda gereja sendiri setiap Jumat.<br />
<br />
Setiap Jumat mulai kembali, sepertinya tumbuhan-tumbuhan di sekitar gereja bermekaran. Hati pun terasa tumbuh seperti tanah yang ditumbuhan tumbuhan.<br />
<br />
Di beranda gereja kami tak pernah melewatkan satu pun hari Jumat. Mungkin kami bagai kumbang dan bunga yang rutin memetik madu meski setiap hari bertemu.<br />
<br />
Lima tahun telah berjalan. Kertas-kertas kalender habis kubuang ke tempat sampah demi menghitung waktu. Usiaku telah memasuki usia yang ke tiga puluh. Sedangkan dia telah berusia 35 tahun. Tapi kami masih selalu menghadiri beranda gereja setiap rumah, seperti siswa sekolah mengabsensi kehadiran.<br />
<br />
Di kala Jumat masih merah langitnya, cahaya matahari baru memanjangkan bayangan, dia datang ke rumahku. Dia membangunkan diriku yang masih bermesraan dengan bantal. Teriakannya dan ketukan pintunya memberikan isyarat sebelum kubukakan pintu untuknya dan melihatnya berdiri di depan ambang pintu.<br />
“Zul?” Begitu pura-pura kagetnya aku. Sebenarnya aku senang dia datang sebelum waktunya.<br />
“Baru bangun…?”<br />
“Iya. Tumben, biasanya cuma di depan gereja, tapi Zul sekarang berjalan ke belakang gereja?”<br />
“Aku mau minta restu, Margaret.”<br />
“Restu apa?”<br />
“Hari ini aku menjadi khatib, menjadi penceramah Jumat. Aku minta restumu, Margaret.”<br />
“Sudah ceramahlah yang baik. Aku selalu merestui tindakanmu, apapun itu, Zul.”<br />
“Makasih…” Katanya dengan mata yang mengucapkan kejujuran pula.<br />
“Mau masuk dulu, Zul?<br />
“Tak usah, kita bukan muhrim. Berdua di dalam rumah bisa memunculkan dugaan-dugaan buruk di warga. Karena itu pula aku mengajukan menjadi khatib Jumat ini. Aku ingin meyakinkan orang-orang yang datang nanti, sesungguhnya agama itu cinta. Cinta tanpa agama sama dengan jalan buntu.”<br />
“Zul yakin bisa meyakinkan mereka? Apalagi warga semakin hari semakin menelanjangi kita bila memandang kita berduaan.”<br />
“Karena itulah aku yakin bisa, Margaret. Itu buktinya. Aku menjalankan agama dengan cinta. Margaret adalah bukti itu.” Mendengar kata-katanya aku terdiam oleh denyut nadi yang sepertinya diam. “Dengan restumulah yakin itu jadi bulat, Margaret.”<br />
“Pergilah, Zul. Aku pasti merestuimu, apapun itu.”<br />
“Makasih lagi, Margaret.”<br />
<br />
Dia membalikkan badan, lalu berjalan menjauhi pintu rumahku. Dia biarkan aku menunggunya pergi jauh sampai mengecil di dalam mataku.<br />
<br />
Siang yang tidak ramah. Jumat ini juga tidak baik. Air hujan menembaki tanah-tanah. Daun-daun sampai bergoyang menahan air yang jatuh. Orang-orang yang datang ke masjid pun kulihat berlari kecil sambil melindungi kepalanya dengan tangan. Sementara aku menyaksikan air-air jatuh itu dan lari-lari kecil itu dari beranda gereja.<br />
<br />
Hujan belum juga selesai, malah semakin deras. Sementara ibadah di masjid itu telah selesai. Mereka keluar masjid tidak bersamaan. Satu persatu berlari kencang menjauhi masjid. Kulihat Zulkifli pun lari begitu kencang. Mendekatiku.<br />
“Siang, Ibu…” Tegurnya menyambut beranda gereja dan aku yang menunggunya.<br />
“Siang, Pak. Zul, rambutmu basah. Sini aku kibas biar kering.” Kukibas-kibas kecil rambutnya yang basah. Kulihat sudah banyak rambutnya yang mulai putih. “Zul, rambutmu sudah mulai merata ubannya.”<br />
“Memang Margaret belum?”<br />
“Sudah juga. Tapi Zul yang lebih banyak.”<br />
“Namanya juga usiaku sudah berkepala enam.”<br />
Jumat itu hujan tak reda sampai sore.<br />
<br />
-----<br />
1. Opung-opung (bahasa batak) berarti nenek-nenek.<br />
2. Omak (Dialek Batak) berarti ibu.<br />
3. Boru: Sebutan marga untuk perempuan.<br />
<br />
Fredy Wansyah Putra<br />
Alumni Sastra Indonesia Unpad. Ketika kuliah bergiat di Langkah Komunitas Sastra. Kini mendirikan lembaga sastra bernama Metafor bersama teman-teman kampus dan temn-teman Langkah. Tulisannya dimuat di beberapa media massa, serta ikut serta di beberapa antologi puisi maupun cerpen.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-85969175525219593992011-11-27T22:27:00.001-08:002011-11-27T22:27:59.479-08:00Ketika Seorang Kawan DatangDia telah berdiri di hadapanku. Di depan meja. Membuatku gugup. Sekilas memandang sekitar, aku merasa semua mata menuju ke arah kami. Ah, kenapa dia datang di saat yang sama sekali tidak tepat? Bukankah kukatakan nanti malam saja bila ingin berjumpa.<br />
<br />
Ia tersenyum, mengulurkan tangannya padaku. “Gimana kabarmu? Wah, sudah makmur sekali ya?”<br />
<br />
“Eh, iya... ya.. baik.. baik....”<br />
<br />
“Belum mulai ya,” tanyanya yang kukira tak perlu menunggu jawaban. Matanya memandang sekeliling. Meja-meja bundar, dengan lima atau enam kursi yang mengelilinginya. Baru sebagian yang terisi. Semua masih tampak berbincang-bincang. Di depan, belum ada orang.<br />
<br />
Walaupun masih ada dua kursi kosong di mejaku. Aku tidak berani menawarkan kepadanya untuk duduk. Dua orang di sampingku, berulangkali memandangku dengan pandangan tak suka.<br />
<br />
”Kita di luar dulu,” aku berdiri sambil meraih tangannya.<br />
<br />
”Di sini sajalah. Santai sekaligus menikmati kemewahan. Cuci mata,” katanya setengah tertawa.<br />
<br />
Ah, dia memang belum berubah. Wajahnya yang keras, dengan pandangan mata tajam.Suaranya keras tapi terdengar jelas. Orang pasti tidak akan menyangka bila hanya mendengar suaranya saja. Suara itu seolah-olah memiliki tubuh yang kekar. Sedangkan pemilik suara sesungguhnya bertubuh kurus. Sangat kurus bahkan.<br />
<br />
Aku agak gelagapan mendengar penolakannya. Mataku melihat sekeliling. Ada beberapa mata yang kebetulan tengah memandang kami.<br />
<br />
”Ayolah,” ajakku lagi.<br />
<br />
”Santai sajalah. Hm, Baraman juga hadir ya?”<br />
<br />
Ups. Aku menoleh ke arah sosok yang duduk satu meja denganku. Mereka juga memandang.<br />
<br />
”Eh, aku tidak tahu. Tapi dalam undangan katanya dia yang akan membuka acara ini,”<br />
<br />
”Oh, selalu saja beruntung dia,” katanya.<br />
<br />
”Kita di luar yuk,” ajakku lagi.<br />
<br />
”Ok, Ok,” ia beranjak sambil meraih botol air mineral di meja. Langsung menenggaknya dan membawa sisanya. Kami berjalan beriringan. Empat gadis cantik penerima tamu, memandang kami, lalu berbisik-bisik. Ah, biarlah. Aku tidak mendengar ini.<br />
<br />
Kami duduk di sofa yang paling ujung. Aku memang sengaja membawanya ke sana, sehingga tidak menarik perhatian. Orang-orang terus berdatangan.<br />
<br />
Ah, kawan satu ini. Benar-benar tidak berubah. Ia kelihatan sangat santai. Santai sekali. Tidak perduli dengan situasi dimana ia berada. Sungguh, seperti dua puluh tahun lalu ketika kami sama-sama di dalam satu komunitas. Ia orang yang tidak pernah ragu, tidak pernah takut, atau juga tidak pernah menunjukkan keminderan.<br />
<br />
”Orang-orang berkuasa karena suara-suara dari kita. Kita, para pemberi suara adalah Tuan. Kita mendatangi pembantu yang kita mandatkan untuk mengelola bangsa ini. Jadi tidak perlu takut Bapak-Ibu sekalian. Kita mendatangi pembantunya pembantu kita. Bila masih mentok, kita datangi pembantu kita yang terhormat, Tuan Presiden,” masih kuingat provokasinya yang membangkitkan semangat para petani yang tanahnya akan tergusur, ketika kami mendatangi kantor Mentri Dalam Negeri.<br />
<br />
Ia dengan tubuh kurus berdiri di atas undakan tiang bendera dengan tangan kiri mengepal ke udara, dengan suara menggelegar memecah sengat matahari yang merasuk hangat ke jiwa-jiwa yang hadir. Rambut panjangnya terurai dipermainkan angin. Sesekali ia mengibaskan. Pakaian kebesarannya terbuat dari karung gandum yang diwenter menjadi warna hitam, dengan sandal jepit sebagai alas kakinya.<br />
<br />
Segeralah kami bergerak berniat memasuki halaman kantor Mentri yang pagar besinya sudah tertutup rapat dengan penjagaan yang sangat ketat dari para polisi dan tentara.<br />
<br />
“Cara mengalahkan kapitalis, ya kita tidak konsumtif. Ngomong anti kapitalis, tapi bingung mencari merek....” katanya pernah mengatakan hal itu dalam diskusi santai di sekretariat mahasiswa.<br />
<br />
Ya, kawan ini, masih berpenampilan sama. Hanya rambutnya saja yang sudah mulai memutih keperakan. Ketika ia masuk ke ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang dengan menggunakan jas safari, maka bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku. Apalagi ia mengucapkan nama Baraman tanpa menggunakan kata depan Bapak.<br />
<br />
”Jadi, bagaimana, Bung?” tanyaku.<br />
”Ah, begitulah. Senang aku mendengar kau memanggil begitu. Tidak perlu formal-formalan. Aku mau minta tolong dirimu mempertemukan dengan Baraman. Adiknya dia, pengusaha rakus itu mau memakan tanah-tanah di kampungku. Tapi kudengar ada acara di sini, jadi sekalian saja aku temui Baraman di sini,”<br />
<br />
Tegang terasa menjalar di kepalaku. Aduh. Bagaimana ini? Aku sudah mengetahui benar kawan satu ini bertindak. Ia pasti akan memperlakukan Baraman seperti kawan yang dikenalnya dulu. Padahal sekarang posisi Baraman.....<br />
<br />
”Pak Menteri sudah datang, Pak Menteri sudah datang,” beberapa orang terlihat memberi kabar. Di depan pintu ruangan segera berjejer orang-orang, termasuk penerima tamu yang cantik-cantik itu.<br />
<br />
”Baraman?”<br />
<br />
Aku mengangguk. Kawan ini segera bangkit. Berjalan menuju barisan orang yang tengah mempersiapkan sambutan kepada Bapak Menteri. Aku sendiri, tetap saja duduk sambil membayangkan apa yang akan terjadi.<br />
<br />
Ah...<br />
cerpen: Odi Shalahuddin<br />
Yogyakarta, 25 Maret 2011ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-10385044764151687162011-11-27T22:26:00.001-08:002011-11-27T22:26:25.488-08:00Wajah ProfesorSenja menjatuhkan gerimis-gerimis patah. Ada pesan yang tersembunyi di balik mendung. Pipiku telah basah. Bukan karena hujan. Di sini, aku bersandar bersama anak tangga. Masih basah oleh rerumputan yang mengelilinginya. Hatiku berembun tangis. Aku tertunduk pilu. Ingin kuputar kembali 15 menit yang lalu. Bagaimana aku telah memaki seorang profesor. Makian itu masih menggantung di kerongkonganku. Ingin memecahnya; menghantam udara. Sungguh kasihan, burung gereja yang hendak singgah di dahan itu mengurungkan niat mereka. Karena burung-burung itu tahu, suara parauku mengusik kebebasannya.<br />
<br />
Gerimis masih menggantung. Enggan turun juga reda. Baju kemeja setengah lusuh masih ku kenakan; sekaligus meminta untuk jadi saksi. Setelah ini tidak ada lagi tangis, meski ku tahu nelangsa akan selalu mengitari. Aku telah membuat profesor tidak nyaman. Pun aku tahu ketidak nyamanan itu akan dibuatnya berlipat untuk hidupku. Lalu kenangan 15 menit lalu larut pada ricik air yang jatuh dari ranting-ranting kamboja di depanku. Cepat kusulut sebatang kretek; berharap asapnya sampaikan gelisahku. Namun pada siapa?<br />
<br />
“Kuliah hanya untuk menghabiskan modul, apa Bapak menyadari itu?”<br />
<br />
Pekikan menyambar dahagaku. Aku tak mengerti. Entah darimana datangnya kekuatan itu. Yang ku tahu, aku telah memaki seorang profesor. Paruh baya yang mengganggap dirinya sempurna, telah memainkan taji di hatiku. Seketika laguku kaku. Biar ku ceritakan bagaimana seorang profesor bermuka masam, bermuram durja merendahkan mimpiku.<br />
<br />
“Berharap bisa saja, tapi jangan bermimpi. Saya punya otoritas untuk tidak meluluskan anda jika saya mau.’’<br />
<br />
Egois. Kata-katanya bagai sembilu. Merangkul pundakku seolah menantang; siapapun tidak bisa mengalahkannya. Vibrasi kekecewaan ini telah memuncah. Tak seorangpun berhak merendahkan mimpiku. Meski ia adalah seorang profesor. Deru ujaran sang professor itu menyusup ke dalam pori-pori tubuhku. Sepertinya, dendam ini akan menetap di jiwa.<br />
<br />
Pak Udenk, nama sederhana sang Profesor. Selalu mengenakan dasi dan tentengan bermerk. Pun namanya berbalut merk elegan, semua menghormatinya karena gelar, Prof. Prof yang menurutku hanya mengajar papan, bukan mahasiswa. <br />
<br />
“Prof hendak kemana?” begitu sapa mahasiswa dan koleganya. Kecuali aku. Aku cukup menyebut nama yang seharusnya kusebut.<br />
<br />
Merk tak mampu membeli hormatku. Dasi bagiku hanya aksesoris. Dasi dan gelar itu tak membuat otak Pak Udenk juga bermerk. Seperti berjalan di gurun pasir, teori yang dikumandangkannya hanya debu. Membuatku gersang. Tinggal menunggu gugurnya musimku.<br />
<br />
“Anda harus siap menjadi guru yang profesional, siap tampil berbicara dengan kemampuan yang matang, dan bla…bla…” kalimat usang itu menulikan telingaku. Sudah satu tahun, hanya paragraf itu yang terus diujarkan berulang. Kapan berbincang soal materi, jika pendahuluannya saja menghabiskan waktu 1 jam?<br />
<br />
“Aku jemu. Gurun pasir ini harus aku lewati tanpa menemukan oase di tiap tepinya. Pak Udenk, saya bukan mesin, saya juga bukan panci yang harus selalu diisi. Saya tidak perlu melihat pamer dasi Anda setiap harinya. Bapak bisa memilih warna-warni untuk dasi yang Bapak kenakan. Mengapa Bapak tidak mencoba memberi warna-warni itu pada kami? Saya tidak akan menyita waktu saya untuk ke kampus, jika Bapak menghardik kami hanya untuk membaca dan menghabiskan modul." Dilema ini kusimpan dalam kalbu. Aku tahu Pak Udenk memiliki otoritas atas hidupku. Aku tahu siapa aku dan siapa Pak Udenk. Bocah ingusan sepertiku tidak akan membawa perubahan. Ku tahu, protesku bagi orang kebanyakan hanya ocehan embun yang sirna setelah diusap.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sirip jendela dekat anak tangga ini memantulkan bayangan yang sangat kukenal. Senyum kebanggan Ayah menjadi mimpiku. Mengingat peluhnya menunggu kepulanganku. Semangatnya selalu terukir menanti inginku. Menjadi seorang dosen adalah mimpi Ayah yang tertunda. Aku harus kuat dan tidak berontak. Tak ingin amarah mengungkungku terlalu lama. Namun sampai kapan? Haruskah aku jadi budak waktu yang setiap hari harus disepuh pembodohan?<br />
<br />
Bias telah menelanjangi jiwaku. Rupaku dibuatnya kaku. Aku bungkam. Cukup pembodohan ini. Aku bukan kerdil yang bersetia pada waktu. Wajah ‘profesor jongkok’ itu menyulut gairahku. Sudah cukup lama aku terdiam. Kali ini tidak bisa. Keadilan dalam pendidikan tak bisa digadai. Aku tak mau jadi kambing congek yang hanya menerima saja.<br />
<br />
***<br />
<br />
Hari ini pengumuman tebaran nilai A,B, C, D, atau F. Akhir dari gurun pasir melelahkan ini akan diwarnai abjad-abjad itu untuk mengukur kemampuan kami. Aku melihat wajah muram, gelisah teman-temanku kala itu. Pun aku melihat gadis-gadis bahenol yang juga temanku dengan wajah binar menanti abjad-abjad itu gontai. Profesor itu mengeja kemarahanku. Dibuatnya aku menari dalam pekat. Terselip abjad D untuk mata kuliah Pak Udenk. Sungguh aku tak bisa menerima ketidakadilan ini. Apa yang dia pahami tentang menilai? Apakah dia paham?<br />
<br />
Aku kehilangan warna. Tinggal dedak menyesaki jantung. Menatap kembali abjad-abjad itu. Desahan waktu menemaniku. Di bawah lentera senja, aku tumpahkan sisa amarah jiwa. Hingga suara tawa mengusik piluku. Gadis-gadis bahenol tadi kian binar. Mengipas-ngipaskan kertas nilai dihadapanku. Lagaknya sungguh angkuh. Apa maksudnya? Tanyaku mengendap ketika ingin kulihat abjad apa yang tertulis di kertas nilai itu ditepisnya. Sudahlah, aku tak risau dengan penggoda itu. Mereka tak memikirkan mimpi, mereka hanya tahu cara mempercantik diri.<br />
<br />
Makianku tempo hari harus kurangkul dengan tangisan. Aku telah kalah. Akan terus kalah. Kini dengan leluasa lelaki itu akan mengeja mimpiku. Makin merendahkan mimpi seorang pesisir. Aku tak bisa lagi bercerita tentang mimpi pada Ayahku. Nila setitik ini telah rusakkan susu sebelanga. Gurun pasir itu benar-benar menguburku bersama debu tak berarti. Sumpahku telah mati. Tertutupkah jalan keadilan? Apa aku terlalu egois untuk menuntut hakku?<br />
<br />
Gema ini tetap saja begini. Ada yang mendengar, namun berpura bisu. Ketakutan orang-orang disekitarku membutakan jalanku. Sama saja. Bak hidup bersama bisu dan tuli. Endapan hitam dibiarkan berkelana. Mengarang hingga nadi. Pantas saja negeri ini nomor satu mempertontonkan dagelan tak bermakna. Telah dibeli olehnya keadilan. Menyisakan lelah berdialog bersama penjilat yang ternyata tak berpihak padaku. Kali ini aku paham, aku sendiri. tidak ada teman, semua hanya lawan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Berkas cahaya kecil menyilaukan mata. Aku harus bergegas. Pukul 8 aku harus sampai. Kugayuh sepeda ontel pemberian Ayahanda tercinta. Berpeluh sebelum senja menyeringai. Aku telah tiba. Bangunan ini tempaanku jadi sarjana sujana. Ada ruang yang harus kutuju. Ruang pojok sebelah barat yang teramat mewah. Lantainya sangat dingin, seolah bekukan langkahku. Serat dindingnya sangat halus. Nyaman jika berhari-hari tinggal di dalamnya. Aku tidak melihat pintu warna emas ini terbuka. Mungkinkah Pak Udenk belum sampai? Aku masih menunggu. Beruntunglah dipan mungil mempersilakan untuk kududuki. Menatap langit-langit dengan decak kagum. Meredam sejenak niatku mencari keadilan pagi ini.<br />
<br />
Ha..he..ha. aku mendengar desah tawa dari ruangan itu. Menyusul bisik wanita. Akhirnya suara parau itu jelas kumengerti. Kubuka pintu itu tanpa seorangpun mempersilakannya. Apa yang kulihat? Rina, Ririn, dan Heny, gadis-gadis bahenol yang tadi sempat kuceritakan melingkar, mencari posisi paling baik untuk memuaskan lelaki yang hanya kulihat rambut setengah botaknya. Perempuan bahenol itu sungguh liar. Aku masih diam sampai aku tahu siapa yang bermain di sana. Luka ini kembali dicambuk. Pria setengah botak itu tiada lain wajah sang professor. Beribu kecupan bertandang, menjajah tubuh belang lelaki itu. Melumat asa dengan imbalan abjad A. Gadis bahenol yang pintar. Ingin aku enyah segera. Lalu rebah membuncah keraguan.<br />
<br />
Singaraja, 18 Januari 2011ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-54896696685993696912011-11-27T22:24:00.001-08:002011-11-27T22:24:54.169-08:00Jin Lampu TL 18 WattSagrip baru mengganti lampu kamarnya dua hari yang lalu, tapi sekarang dia melihat lampu pengganti itu telah berkedip-kedip, byar pet-byar pet mirip lampu disko. Berpikir bahwa dia mungkin kurang kencang memasangnya pada fitting, diambilnya tangga lipat. Tidak ada gosong atau korsleting yang terlihat olehnya ketika dengan bantuan terang lampu dari ruang tamu dia memeriksanya, tapi lampu itu malah jadi benar-benar mati setelah dipasangkannya lagi.<br />
<br />
“Jiangkrik!” dia memaki sendiri.<br />
<br />
Selepas kata “Jiangkrik” terlontar dan saat Sagrip baru saja melepas kembali lampu dari fitting, tiba-tiba dari dalam lampu TL 18 watt yang dipegangnya keluar asap putih yang cukup tebal, tepat menyemprot mukanya sehingga dia terkejut. Hilang keseimbangan, tanpa ampun dia jatuh. Tertimpa tangga pula. Meringis menahan sakit, dia kemudian berusaha duduk di lantai. Dilihatnya lampu yang tadi ada dalam pegangannya pecah berantakan.<br />
<br />
Tapi yang lebih mengejutkannya, tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok mahluk yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya. Tubuh mahluk itu tinggi bongsor, kepalanya bulat sebesar bola basket, matanya bercahaya seolah-olah membuat seisi kamar terang benderang dan itulah alasan kenapa Sagrip mampu melihat sosoknya itu dengan jelas. Terakhir, yang paling aneh dari semuanya, dia memakai peci haji dan pakaian safari berwarna hijau terang. Seperti sangat tidak masuk akal dan sangat kontras dengan hitam mengkilat warna kulitnya, tapi tetap itu selera Fesyen yang bagus, pikir Sagrip dalam hati.<br />
<br />
“Selamat malam, Akhwan!” mahluk itu menyapa. Sagrip celingukan. Ada yang bernama Akhwan di sini? Mahluk itu menunjuk dirinya. “O..saya? Malem. Saya Sagrip. Di situ siapa?” “Saya Jin khusus lampu neon dan lampu TL. Nama saya Filip.” Filip? Sagrip hampir ngakak, tapi ditahannya. “Mas Jin Filip, Situ kok bisa tiba-tiba ada di sini?” “Saya memang bertugas di dalam lampu itu.” “O.. Apa di setiap lampu yang dijual di warung-warung ada jin seperti Situ juga?” tanya Sagrip heran setelah rasa gelinya reda.<br />
<br />
“Nah, itu dia. Anda termasuk yang beruntung karena membeli lampu edisi khusus yang terbatas. Limitit Edisyen. Waktu membeli, Anda tidak lihat ada hologram di kotak kartonnya? Itu asli, loh,“ kata Jin Filip berpromosi, ”Kadang-kadang ada hadiah langsung 5000 rupiah juga di dalamnya buat yang beruntung.” “Asli gimana, baru dua hari sudah mati,” kata Sagrip meleletkan lidah dan bangkit dari lantai. Tidak dirasanya kepalanya yang sakit, karena bertemu Jin unik seperti ini benar-benar bisa membuatnya lupa pada apa pun. “Nah, itu dia. Memang lampunya tidak awet, tapi akan diganti dengan satu permintaan untuk Anda.” “Ha? Permintaan?” “Ya.” “Siapa yang minta?” “Anda.” “Serius, nih?” “Serius.” “Sumpah?” “Sumpah.” Sagrip meleletkan lidah lagi tidak percaya. Jadi kayak salah satu kisah di 1001 malam, pikirnya. “Ayolah, minta saja. Satu permintaan.” Sepertinya Jin Filip ini serius. “Apa saja boleh?” “Apa saja boleh. Asal tidak berbau SARA.” “Kenapa hanya satu permintaan? Bukannya biasanya tiga?” “Nah, itu dia. ‘Kan sudah dipotong pajak sekian persen.” “Pajak tidak sampai mengurangi sebanyak itu, kaleee...!” “Belum selesai kata-kata saya. Selain pajak, ada juga sogok, sawer, panjer, sumbangan perorangan, sumbangan partai, iuran wajib bulanan dan sebagainya dan sebagainya...total tinggal 1 pertanyaan saja yang bisa kami tawarkan. Kami tidak mau rugi. Itupun sudah nyumbang uang keamanan sama mereka.” “Mereka siapa?” “Ya mereka. Pingin tauuuu aja..” jawab Jin Lampu genit dan matanya berkedip-kedip kemayu. Sagrip mau muntah. Tapi dia berpikir, ini satu kesempatan. Jarang-jarang bisa ada kesempatan langka seperti ini. Karena itu tanpa pikir panjang lagi, dia langsung berteriak: “Saya kepingin kaya!” “Itu permintaan Anda?” “Ya!” “Hanya kaya?” “Ya!” “Jadi!” “Asyiiiikkk..!!” “Jadilah Anda kaya tapi hidup Anda akan selalu tidak tenang! Sim salab...” “Stop!” Sagrip menyela. “Loh, kenapa? Bukannya Anda ingin kaya?” “Tapi kenapa harus ditambah ‘tidak tenang’?” “Apakah semua orang jika sudah kaya akan tenang dan bahagia?” “Pasti!”<br />
<br />
“Bagaimana kalau dia kaya, tapi sangat pelit sehingga setiap hari hidupnya tidak tenang karena takut hartanya berkurang atau malahan dirampok?” Sagrip diam sejenak. Lalu, “Kalau begitu saya ingin jadi orang kaya yang tenang hidupnya!” “Itu dua permintaan. Manajemen akan rugi.”<br />
<br />
Sagrip garuk-garuk kepala. Pintar juga Jin Filip ini. Tidak dengan mudah memberikan hadiah begitu saja bagi konsumen. Indikasi dari akal-akalan manajemen yang menginginkan kerugian ditekan serendah-rendahnya. “Kalau begitu, saya kepingin jadi orang yang berkuasa. Pasti otomatis jadi kaya!” “Berkuasa bagaimana?” “Jadi pemimpin satu negara yang besar dan dicintai rakyatnya!” “Hmm..itu dua permintaan.” “Ya sudah, satu saja. Saya kepingin jadi presiden!” Jin Filip, memicingkan matanya dan tangannya memegang dagu. “Yakin?” “Yakin!” “Baiklah. Anda jadi presiden, tapi presiden yang bodoh,” Jin Filip mengangkat tangannya. Sagrip buru-buru mencegah,” Stop!” “Loh? Kenapa?” “Kenapa ada embel-embel ‘bodoh’?” “Suka-suka saya, dong. Kami juga punya kepentingan bisnis. Anda minta jadi presiden, kan? Kalau anda jadi presiden dan bodoh, bukankah gampang nanti perusahaan lampu saya nyetir negara sampeyan dan mempraktekkan monopoli? Keuntungan, ‘kan?” “Jiangkrik! Saya emoh kalau gitu.” “Lha?” “Pokoknya emoh.” “Ya sudah. Batal lagi? Mau apa kalau gitu? Cepetan! Memangnya saya tidak ada urusan lain?” kata Jin Filip sambil melihat jam tangan pasir di pergelangan tangannya. “Jadi menteri saja!” “Serius?” “Serius!” “Tett?” ‘Tett!” “Baiklah. Saya jadikan anda seorang menteri yang hanya pesanan partai dan tidak tahu apa-apa dalam bidangnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat biarpun gelar di namanya macem-macem. Sim...” “Stop!” “Apa lagiiiiiiiiii...?” Jin Filip mulai gemas. “Kenapa saya jadi menteri yang begituan?” “Lha, suka-suka saya, dong. Anda kan bilang mau jadi menteri. Menteri yang bagaimana juga suka-suka saya, ‘kan?” Sagrip clakep. Pusing juga kalau begini caranya. Semua permintaannya jika pun dikabulkan tidak ada enaknya. Jangkrik betul jin lampu TL ini! “Situ sengaja mempersulit saya, ya?” “Tidak. Semua permintaan akan saya penuhi, tapi tentu saja tiap hal ada resikonya. Terus terang permintaan Anda tidak aneh. Cermin manusia yang selalu egois dan menginginkan apapun di luar kemampuannya. Sekarang pikirkan, kalau anda jadi presiden, apakah anda punya kemampuan? Permintaan anda kan hanya jadi presiden, tidak dengan otak anda. Kerugian siapa jika orang bodoh seperti anda jadi presiden? Rakyat. Lalu anda meminta jadi menteri. Untuk apa? Apakah mereka juga bisa membuat rakyat makmur? Membuat partai yang diwakilinya semakin makmur dan mantap menancapkan kuku dalam pemerintahan koalisi, iya. Tapi apakah partai benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat?” “Wah, jadi secara tidak langsung situ bilang saya egois?” “Jelas.” “Jadi saya harus gimana?” “Pikirkanlah. Seperti sebuah doa yang baik, mintalah sesuatu yang tidak hanya menyenangkan dirimu sendiri, tetapi menyangkut kepentingan banyak orang. Permintaan seperti itu akan lebih indah untuk dipenuhi.” Sagrip berpikir lagi. Ya, tidak seharusnya dia egois. Jika dia hanya meminta atas kemauan dan kesenangan sendiri, dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang dimintanya. Tapi jika dia meminta sesuatu yang dapat memenuhi hajat hidup orang banyak, dia akan mendapat pahala dan bisa merasakan kebahagiaan orang banyak termasuk dirinya. Sama juga dengan doa ketika diucapkan dengan tulus dan tidak egois, insya Allah akan cepat terkabul. “Baiklah,” kata Sagrip. “Baiklah apa?” “Saya tidak akan egois.” “Nah, itu dia. Apa yang ada dalam pikiran anda sekarang?” “Entahlah. Tapi saya membayangkan sebuah kehidupan masyarakat yang tentram, adil dan makmur di negara ini. Birokrasi mudah, pemerintahan bersih dari KKN. Rakyat tidak kurang sandang, pangan, papan. Tidak ada kejahatan, tidak ada pornografi, tidak ada persaingan, tidak ada gontok-gontokan, tidak ada perbedaan dalam bermasyarakat karena semua saling menghormati. Generasi muda menghormat yang tua, yang tua menggantungkan harapan pada yang muda. Pendidikan masyarakat diutamakan, bangunan-bangunan sekolah berdiri kokoh di seluruh penjuru negeri. Semua orang mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Tidak ada bencana alam, banjir, kekeringan yang panjang atau gempa bumi dan tanah longsor. Lahan pertanian subur, hutan lestari, lautan seratus persen milik kita beserta kekayaannya.....pokoknya yang seperti itu,” kata Sagrip menutup keinginan panjangnya dengan napas ngos-ngosan. Jin Filip manggut-manggut. Tampak wajahnya berseri-seri. “Itu baru permintaan yang baik!” katanya sambil mengangkat jempolnya. “Itu bukan permintaan. Hanya harapan.” “Harapan Anda itu saya anggap satu paket dengan permintaan.” “Bisa dipenuhi?” “Harapan sebaik itu, kenapa harus tidak terpenuhi?” kata Jin Filip mengedipkan matanya dan lenyap.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Pagi harinya, Sagrip terbangun. Dengan heran, dia baru menyadari bahwa ternyata dia tertidur dengan tubuh masih tertindih tangga lipat yang jatuh kemarin. Ah, dia pasti pingsan dan bermimpi bertemu dengan Jin Filip, pikirnya. Jangkrik betul! Hampir seperti sungguhan. Sedikit kecewa walaupun bibirnya tersenyum geli dan kepalanya menggeleng-geleng tidak mengerti, dia memungut lampu yang ternyata masih utuh tidak jauh di sampingnya. Diusapnya pelan dan ditiup-tiupnya agar debu yang menempel lepas dari sana.<br />
<br />
Tapi tiba-tiba saja asap menyemprot dari dalam lampu 18 watt di tangannya dan sesosok mahluk yang menamakan dirinya Jin Filip itu muncul lagi di hadapannya.<br />
<br />
“Selamat pagi,” sapanya, ”Permintaan anda yang semalam sangat menarik sehingga manajemen terharu dan memutuskan memberi dua permintaan lagi untuk Anda!”<br />
Cerpen AK Basuki<br />
Cigugur, 15 November 2011ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-54844538660025105992011-11-27T22:22:00.001-08:002011-11-27T22:22:32.644-08:00Benalu MalamTinggal di kota besar harus pintar-pintar merencanakan hidup. Mulai dari keuangan, rencana membikin anak, menyekolahkannya sampai usaha di hari tua kelak. Semuanya harus direncanakan. Bila tidak, tentu masa depan kita akan berantakan.<br />
<br />
Aku masih mengingat-ingat nasehat ibu dahulu sebelum pergi merantau ke kota ini. Sebuah nasehat yang, tentunya bila dilaksanakan sedari awal, aku tidak akan hidup kesusahan seperti ini. Paling tidak, aku bisa berdagang. Mempunyai toko yang cukup besar serta mempunyai pekerjaan tetap dari berjualan. Namun waktu tidak dapat diputarbalik. Warisan dari ayahku telah habis kupertaruhkan di meja judi. Hingga keluargaku –istri dan kedua anakku– harus hidup terlunta-lunta, memperjuangkan hidup dengan bekerja apa saja. Halimah, istriku, membuka jasa pencucian baju dari tetangga-tetangga sekitar. Tentu dengan tarif yang sangat murah, karena lingkunganku adalah daerah pinggiran kota yang kebanyakan bukan kalangan berada. Minah, anak pertamaku yang dengan susah-payah kusekolahkan sampai dengan SMA, berjualan kue buatan istriku. Sedang Juned, anak bungsuku, berjualan gorengan di sekolahnya meski ia masih duduk di kelas lima SD. Tuntutan hidup di kota besar memang sangat berat. Beruntung jika esok pagi kita masih bernafas, yang menandakan kita masih punya kehidupan. *** Tok-tok! Kaca mobil sedan yang sedang kutumpangi tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Aku terbuyar dari lamunan. Kubuka kaca jendela dengan panel otomatis. “Iya, Pak? Taksi?” “Iya, tolong antarkan saya.”<br />
<br />
Seorang pria necis (kutebak umurnya sekitar empat puluh tahun) segera membuka pintu belakang taksi yang sedang kukemudi. Pakaiannya sangat rapi, berjas, berdasi dan bau parfum menyeruak dari badannya yang masih ramping dan bidang. “Tujuannya kemana, Pak?” “Ke arah Cililitan. Jalan saja, nanti saya tunjukkan.”<br />
<br />
Ia membenarkan posisi duduknya sambil mendesah. Aku mulai melajukan mobil sedan meninggalkan trotoar di samping penjual nasi goreng yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan yang tidak kunjung datang. Sepanjang perjalanan, penumpangku lebih banyak diam. Sesekali ia mengamati handphone-nya, bermain pesan mungkin. Aku menebak, ia adalah seorang manager pada suatu perusahaan swasta. Namun mengapa malam-malam seperti ini ia memilih taksi? Tentu seharusnya ia mempunyai mobil pribadi dengan tambahan seorang sopir. Hmm, atau mungkin aku salah mengira pekerjaannya. Di kota besar orang-orang yang berpakaian jas dan sepatu mengkilat bukan hanya direktur atau manajer saja. Seorang sales penjual obat yang keliling menyambangi rumah-rumah juga terkadang berpakaian sangat elok. Ah, peduli setan. Hanya uang yang aku pedulikan.<br />
<br />
Sedan yang kukendarai kira-kira seratus meter lagi akan sampai di Cililitan, pusat pertokoan yang biasanya menjadi tujuan penumpang. “Setelah ini kemana, Pak?” jawabku memecah kebisuan. “Oh, belok kanan. Ke arah Kalibata.” jawabnya singkat. Aku mengangguk, memberi tanda lampu belok kanan kemudian bersiap untuk membelok. Dari kaca spion di atas kepalaku kulihat laki-laki tadi mengambil handphone lainnya di saku jasnya, kemudian berusaha menghubungi seseorang. “Halo! Halo! Komar? Gue udah mau nyampe nih! Lo udah siapin? Bagus. Berapa nih? Apa?! Mahal bener. Oke, oke. Tapi awas ya kalau barangnya jelek. Gue jamin gak akan bayar dan gue gak akan pakai lagi barang lo. Oke!” Lelaki itu menutup telepon genggamnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya memandang nanar, geliat gairah tengah berkobar disana. Ia serupa musang yang sedang terengah-engah hendak menangkap mangsanya, penuh nafsu dan hasrat.<br />
<br />
Jam di dashboard menunjukkan pukul 20:30, waktu yang masih sore untuk ukuran kota Jakarta. Jalanan di Ibukota sepertinya tidak pernah mati. Di jam ini, jalanan masih saja ramai, masih saja macet. Aku mengambil jalur yang justru rawan dengan kemacetan. Aku baru ingat, di Jalan Kalibata sedang ada pembuatan fly over sehingga para pengguna jalan harus berbagi untuk melewati jalan sempit yang dibuka. Sebenarnya tadi aku bisa saja mengambil jalan lewat M.T Haryono bila memang tujuan terakhir adalah Kalibata. Namun biarlah, toh dia yang menginginkannya. *** “Ya, Hallo Mah..” suara lelaki tadi lagi-lagi memecah lamunanku. “Iya, mah.. Maaf ya, Papa malam ini sepertinya nginep di kantor, Ma.” “……” “Iyaaa.. banyak banget kerjaan nih. Deadline nya besok, udah gak bisa ditunda lagi Mah..” “……” “Buat apa sih Papa bohong. Bener deh.. Ya, iya.. nanti kita liburan ke Bali setelah kerjaanku selesai. Oke, jaga anak-anak ya.. Daah..”<br />
<br />
Klap. Handphone ditutup. Lelaki itu lagi-lagi mendesah, memandang ke jajaran bongkahan beton yang hendak dipasang di kanan-kiri jalan. Lelaki ini pasti habis berbohong. Bagaimana mungkin ia sedang mengerjakan tugas di kantor, bila ia sedang bersamaku berada di dalam taksi menjelajahi jalanan Kota Jakarta di malam hari. Sungguh seorang tipe lelaki yang tidak setia kepada keluarganya, dan meski aku bukanlah lelaki yang benar-benar baik setidaknya aku mempunyai prinsip yang kuat terhadap keutuhan keluarga.<br />
<br />
Kukemudikan mobil sedan dengan hati-hati melewati jalan sempit yang sedang direnovasi. Di kolong jalan layang yang baru saja jadi separuh itu terlihat dua bayangan di atas sepeda motor yang tengah berpelukan. Tidak begitu jelas, namun bila diperhatikan, kepala dua bayangan tadi saling berdekatan, berimpitan, sesekali melepas kemudian menyatu lagi. Mereka saling berciuman, mungkin. *** “Pak, belok ke kiri. Ke arah Mall!” Aku terkesiap. Segera kubelokkan mobil menuju ke sebuah Mall di bilangan Kalibata. Dari luar, Mall terlihat sepi. Rata-rata Mall di Jakarta memang tutup pada pukul sembilan malam. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari Mall, kebanyakan adalah pemuda-pemudi yang keluar setelah melihat pemutaran bioskop pada jam malam. Tangan mereka saling menggenggam erat, beberapa meletakkan tangannya di pundak pasangannya, saling berpelukan dan berciuman. Ah, sudah benar-benar kacau pemuda-pemudi kota ini, pikirku. Berapa umur mereka? Palingan baru belasan, namun sudah berlaku seperti orang-orang dewasa yang sudah menikah saja. Hmm, barangkali mereka sedang dilanda cinta dan romansa. Akan tetapi, tentu bukan dengan bersikap seperti itu. Tentu, aku akan melarang anak-anakku bila berkelakuan seperti itu.<br />
<br />
“Tunggu sebentar di sini, Pak.” Aku mengangguk. Lelaki itu keluar dari taksiku, kemudian berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang duduk di emperan Mall, tak jauh dari tempatku parkir.<br />
<br />
Di area parkir terbuka ini, mobil-mobil masih banyak yang terparkir kendati malam sudah beranjak pekat. Di suatu pojok parkir yang remang-remang kulihat seorang gadis muda sedang berdiri di samping pintu suatu mobil. Pertama-tama ia mengetuk kaca mobil. Seorang pemuda membuka kaca itu. Gadis itu terlihat merayu, ia meletakkan tangannya pada pintu mobil yang sudah terbuka kacanya. Ia bersandar dengan tubuh membungkuk ke depan sehingga dengan pakaiannya yang hanya kaos ketat lekukan dadanya telah menahan sang pemuda untuk berlama-lama berbicara dengannya.<br />
<br />
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bercakap-cakap. Pintu mobil segera dibuka. Si Gadis langsung masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Kemudian mobil bergegas meninggalkan tempat parkir, menuju ke kenikmatan dunia. Gadis itu, kusebut sebagai benalu malam. Para perempuan yang telah memilih jalan malam sebagai jalan hidupnya. Menghisap pria-pria kesepian, atau hidung belang, demi sesuap nasi untuk esok hari.<br />
<br />
Aku sempat terkejut ketika kaca mobilku diketuk. Pria tadi rupanya. Segera kubuka kunci pintu belakang melalui panel otomatis. Pria itu segera masuk, diikuti seorang wanita muda. Aku berpikir ia adalah salah satu dari benalu tadi. Mesin mobil segera kuhidupkan, aku mencuri pandang dari kaca di atas kemudiku. Rasa-rasanya, aku kenal dengan perempuan yang duduk bersamanya. Meski dia memakai make-up, aku kenal benar raut wajahnya. Hidungnya, yang lumayan mancung itu. Rambut lurus sebahunya. Serta pandangan matanya. Ya, tidak salah lagi. Pandangan sendu itu hanya satu-satunya kepunyaan wanita itu. Maka, untuk mengobati rasa penasaranku yang semakin menggebu, aku segera memalingkan wajahku ke belakang. Saat itu juga, dunia ini seakan hendak kiamat. Gemuruh dalam dadaku berdebar-debar. Mataku hampir-hampir keluar dari kelopak matanya. Kemudian aku berteriak yang seakan begitu saja keluar dari mulutku, tanpa mempedulikan kerasnya suara yang terjadi. “Minah??!!!!!!” *** Kalibata, November 2010<br />
<br />
M. Nurcholis, penikmat sastra tinggal di Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di sela kesibukannya bekerja. Dapat disapa di twitter @n_choliz atau facebook username choliz. Beberapa karyanya terangkum di blog pribadinya: www.kolasecerita.wordpress.comithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-7352482974387347652011-11-24T13:26:00.000-08:002011-11-24T13:26:17.193-08:00L a L u n eBerdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Baru kuingat sebuah pepatah, kau malah menuduhku terlalu banyak berkilah. Tidak ada yang kau ingatkah dari bulan setengah penuh yang mengapung di langit Benteng Kuto Besak dulu itu, ketika hujan masih sebatas malu-malu dan orang-orang bermandikan cahaya lampu jembatan sungai Musi, bercengkerama di geladak Riverside yang pernah kujanjikan, atau pertukaran bibir yang diam-diam di mobil bergoyang, dan kau menatapku, menginginkan hal yang sama, dua centi dari bibirmu, tetapi aku menyanggah.<br />
<br />
Andai kucium kau malam itu, bulan akan cemburu lalu mengirim angin beliung yang akan mengoyak-ngoyak batas perasaan, menggerakkan jari jemari ke kancing bajumu, dan menjelajahi tiap jengkal kemesraan yang seharusnya belum milikku, sementara kau diam, pasrah, menatapku penuh cinta, dan kita menjadi sepasang kekasih yang lupa pada kemanusiaan kita sendiri.<br />
<br />
Hanya saja, kenangan terlalu angkuh untuk didudukkan di sebuah kafe yang tak pernah memberikan menu kepuasan, siang hari, dan terik matahari membakar paru-paru, menciptakan segala macam keputusasaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Dua kata darimu. Dua kata singkat yang menceraiberaikan kenangan-kenangan itu, “Kita putus….”<br />
<br />
“Kau berjanji akan mencintaiku selamanya, Di?”<br />
“Seperti matahari…”<br />
“Ah, gombal!”<br />
“Aku kan laki-laki….”<br />
“Ya, tidak semua laki-laki suka menggombal ‘kan?”<br />
“Berarti mereka tidak normal!”<br />
“Perempuan normal ‘kan senang digombali?”<br />
“Kalau begitu, katakanlah, aku perempuan tidak normal.”<br />
“Tetapi aku jatuh cinta kepadamu….”<br />
<br />
Dan kau juga jatuh cinta kepadaku. Apalagi yang kubutuhkan di dunia ini selain kita saling mencintai? Tak ada. Ketika aku berusaha menerjemahkan malam-malam lain yang dipenuhi oleh dirimu, malam-malam yang tak lagi dipenuhi berbagai rasi bintang, malam-malam yang tak dihiasi kemacetan lalu lintas, dunia seperti menjadi milik kita berdua. Hanya kau dan aku di dalamnya, dan panjang Jalan Jenderal Sudirman seolah-olah perjalanan cinta kita yang tak memiliki akhir. Mencintaimu selamanya adalah keputusanku. Mencintaimu satu-satunya adalah sudah takdirku.<br />
<br />
Hanya kata-kata. Waktulah yang telah membuat kata-kata menjadi sia-sia. Aku tidak pernah berpikir, setelah sekian tahun berlalu, kau akan berubah. Dan memang kau berubah. Sayangnya aku masih mencintaimu. Aku bahkan masih mengingat jelas wangi parfummu, warna kesukaanmu, dan senyummu yang tercetak tebal di hatiku.<br />
<br />
“Andai kita berpisah, pastilah bulan di langit sudah tak sama….”<br />
“Kita tidak akan berpisah, Lin….”<br />
<br />
Aku kiranya curiga, jangan-jangan sejak saat itulah kau telah merencanakan perpisahan. Bayangan dedaunan perdu seolah mencekam. Kau duduk diam menatap gedung-gedung yang tutup. Aku tak tahu bagaimana caranya mengusir kediamanmu hari itu. Begitu sepi. Begitu sunyi. Sepotong bulan masih tergantung di langit sana, menertawakan kita berdua yang tak kunjung bicara—sepatah kata pun.<br />
<br />
“Apa kau mencintai laki-laki lain?”<br />
Kau menggeleng.<br />
“Apa aku tak cukup baik bagimu?”<br />
Kau menggeleng lagi.<br />
“Lalu?”<br />
<br />
Kau memainkan jari, mengetuk-ngetuknya di atas meja. Pun kedua kakimu yang bergoyang-goyang. Diam. Lagi-lagi diam. Aku mencium bau kecemasan. Aku merasakan sesuatu yang kau sembunyikan.<br />
“Aku hanya ingin kita putus. Aku tidak mencintaimu lagi, Di…. Apakah butuh alasan untuk tidak mencintaimu lagi?”<br />
“Butuh!”<br />
“Lalu kenapa kau mencintaiku?”<br />
“Karena kau…” Giliran aku yang bingung harus menjawab apa.<br />
“Karena aku cantik? Karena aku kaya? Atau karena cinta?”<br />
“Pokoknya aku hanya mencintaimu!”<br />
“Seperti itulah aku yang pokoknya tidak mencintaimu lagi. Ah, apakah kau mau mencintai seseorang yang sudah tak mencintaimu, Di?”<br />
<br />
Tiba-tiba aku mencengkeram lenganmu keras. Anehnya kau tidak terkaget. Aku lumat bibirmu kuat. Kau diam. Pasrah. Dan lamat-lamat membalas lumatanku dengan lebih lembut. Oh, inikah rasanya bercumbu? Hebat! Buah plum. Seperti buah plum yang matang. Dan peperangan gerilya. Ah, jemariku menari—meliuk-liuk di atas dadamu. Kau diam. Pasrah. Aku ingin sekali berpraduga atas apa-apa yang tengah kualami kini. Kau, aku, bercinta bak melodi klasik yang ada di dalam lamunan, pada malam minggu yang kosong tak berbulan. Suara angin yang ingin berbagi, tak sedikit pun kubiarkan, dan mengetuk-ngetuk jendela.<br />
<br />
“Apakah aku bukan laki-laki pertama yang merenggut bibirmu, Lin?”<br />
“Tidak. Kaulah laki-laki pertamaku.”<br />
“Seperti bukan yang pertama….”<br />
“Aku bukan wanita pertamamu, kan?”<br />
“Tidak. Kau wanita pertamaku, Lin….”<br />
“Seperti bukan yang pertama.”<br />
“Jadi, kau akan mencintaiku setelah ini, kan?”<br />
“Tidak. Aku sudah tak mencintaimu lagi.”<br />
“Lalu kenapa kita melakukan ini?”<br />
“Melakukan apa?”<br />
<br />
Kau kuhempaskan. Memandangmu jijik. “Jadi bagimu semua ini bukan apa-apa?”<br />
“Aku tidak bilang begitu.”<br />
“Lalu apa maksudmu?” Kupandangi tubuhmu yang menggairahkan itu. Tubuh yang hampir tanpa benang—karena belum sempat kulerai semua yang menutupi tubuh indahmu. Tubuh yang seringkali kukhayalkan di setiap malam menjelang tidurku, saat kau menatapku dalam, dan kecemburuan bulan.<br />
“Aku hanya ingin menjadi dirimu. Menjadi yang selama ini kau lakukan terhadapku….” Dan setelah itu aku tak pernah mendengar sepatah kata pun darimu, sepatah kata sayang, sepatah kata cinta, atau sepatah kata putus asa yang serak terdengar ketika kau menyatakan telah tak mencintaiku lagi.<br />
<br />
Aku ingin mencintaimu lagi dan lagi. Aku ingin melumat bibirmu lagi dan lagi. Aku pun ingin bercinta denganmu lagi dan lagi, seperti tak pernah ada waktu yang mampu membatasi. Jam dinding mati, dan jam tangan yang kau telan itu juga mati.<br />
<br />
Aku benci suara detik di dadamu malam itu. Bisakah kau matikan saja dia? Bisakah dunia hanya dimiliki kesunyian, di mana hanya ada kau dan aku, dan desah di antaranya, yang menjadi isi malam-malam singkat kita?<br />
<br />
Kau diam. Pasrah. Aku ingin mencari buah plum itu lagi. Bulan separuh. Sinarnya memantul di permukaan sungai. Aku ingin melihatmu berenang di sana, atau terapung—sama saja.<br />
<br />
“Kau bahkan tidak ingat apa pun, Di?”<br />
“Ingat apa?”<br />
“Segala malam yang tak pernah kau akui…”<br />
“Apa yang harus kuakui?”<br />
“Yang kau lakukan terhadapku?”<br />
“Aku, sumpah, tak pernah berselingkuh…. Aku hanya mencintaimu seorang, selamanya!”<br />
“Cinta?”<br />
“Kaulah wanita pertama dan terakhirku. Kaulah ciuman pertamaku!”<br />
“Kapan ciuman pertamamu?”<br />
“Kapan? Barusan saja kita baru berciuman untuk yang pertama, Lin!”<br />
<br />
Kau tersenyum kecut. Dan mulai memakai pakaianmu kembali. Aku tidak ingin melihat kau berpakaian. Aku lebih senang melihatmu telanjang.<br />
<br />
“Kita sudah tidak senasib, Di. Kau berubah. Aku tidak mencintaimu dan segala yang tak kuketahui darimu….”<br />
Aku tak paham.<br />
“Sebenarnya aku takut padamu….”<br />
<br />
Aku diam. Makin tak paham. Sementara itu, makin keras kudengar detik di dadamu. Detik yang berteriak. Detik yang mengganggu dan membuatku ingin memecahkan apa saja.<br />
“Sejak kapan kau menelan jam dinding?”<br />
“Jam dinding?”<br />
“Di dadamu.”<br />
“Bilang saja kau ingin melenyapkanku?”<br />
“Melenyapkanmu? Itu tidak mungkin.”<br />
“Seperti kau melenyapkan wanita-wanita lain?”<br />
“Kau sudah gila, Lin!”<br />
“Kaulah yang gila, Di… ah, atau kita yang sama-sama gila? Aku gila karena telah melayani orang gila sepertimu, bertahun-tahun pula….”<br />
“Jika kau tak mencintaiku lagi, cukup katakan kalau kau tak mencintaiku lagi. Jangan berkata yang aneh dan tak masuk akal!”<br />
“Tadi sudah kubilang bahwa aku tak mencintaimu lagi. Dan kau butuh alasan untuk itu?”<br />
<br />
Ketika aku kembali mencengkeram lenganmu, melucuti pakaianmu lagi dan lagi, mencumbuimu, kau diam, pasrah. Aku menciumi seluruh tubuhmu, kau masih diam, pasrah. Aku berharap kau bicara, kau diam, pasrah. Aku suka kesunyian, tetapi tidak dengan kepasrahanmu kali ini.<br />
Kau sama sekali tidak berhak menjadi diriku…<br />
<br />
Aku tidak tahu siapa diriku. Aku ingin bertanya padamu, apa yang kau maksud dengan menjadi diriku, melenyapkanmu…kau diam, pasrah. Bulan di langit tidak tertutup awan. Ingin kuminta jawaban, tetapi ia diam, pasrah. Kepasrahan ini seperti kau rencanakan sejak sebelum aku menciummu ,bukan? Pasti. Pasti kau tengah bercanda dengan mengabaikan segala pertanyaanku. Pasti kau hanya berpura-pura diam agar aku mengiyakan semua tuduhanmu, mengiyakan pula permintaanmu untuk berpisah dariku. Padahal kau telah tahu bahwa berpisah dariku adalah kemustahilan.<br />
<br />
Kau masih diam, pasrah. Aku masih ingat bau parfummu. Hari ini kenapa kau berganti wangi menjadi bunga bangkai? Ah, aku tak suka aromamu hari ini. Aku tak suka pula pada dingin tubuhmu, biru bibirmu, dan lalat-lalat yang mengetuk-ngetuk jendela itu.<br />
<br />
Jam dinding mati. Benar-benar mati. Aku yakin jam dinding yang kau telan di dadamu itu juga mati.<br />
<br />
(April, 2011)<br />
<br />
Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan 2009. Sekarang bertugas di KPPN Sumbawa Besar. Karya-karyanya dapat dibaca di blog http://reinvandiritto.blogspot.com. Cerpen ini awalnya berjudul Le Mois, namun setelah penulis menyadari kesalahpahaman arti, diganti menjadi La Lune.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-47563703517328978522011-11-11T22:39:00.001-08:002011-11-11T22:39:28.215-08:00Benalu MalamTinggal di kota besar harus pintar-pintar merencanakan hidup. Mulai dari keuangan, rencana membikin anak, menyekolahkannya sampai usaha di hari tua kelak. Semuanya harus direncanakan. Bila tidak, tentu masa depan kita akan berantakan.<br />
<br />
Aku masih mengingat-ingat nasehat ibu dahulu sebelum pergi merantau ke kota ini. Sebuah nasehat yang, tentunya bila dilaksanakan sedari awal, aku tidak akan hidup kesusahan seperti ini. Paling tidak, aku bisa berdagang. Mempunyai toko yang cukup besar serta mempunyai pekerjaan tetap dari berjualan. Namun waktu tidak dapat diputarbalik. Warisan dari ayahku telah habis kupertaruhkan di meja judi. Hingga keluargaku –istri dan kedua anakku– harus hidup terlunta-lunta, memperjuangkan hidup dengan bekerja apa saja. Halimah, istriku, membuka jasa pencucian baju dari tetangga-tetangga sekitar. Tentu dengan tarif yang sangat murah, karena lingkunganku adalah daerah pinggiran kota yang kebanyakan bukan kalangan berada. Minah, anak pertamaku yang dengan susah-payah kusekolahkan sampai dengan SMA, berjualan kue buatan istriku. Sedang Juned, anak bungsuku, berjualan gorengan di sekolahnya meski ia masih duduk di kelas lima SD. Tuntutan hidup di kota besar memang sangat berat. Beruntung jika esok pagi kita masih bernafas, yang menandakan kita masih punya kehidupan. *** Tok-tok! Kaca mobil sedan yang sedang kutumpangi tiba-tiba diketuk oleh seseorang. Aku terbuyar dari lamunan. Kubuka kaca jendela dengan panel otomatis. “Iya, Pak? Taksi?” “Iya, tolong antarkan saya.”<br />
<br />
Seorang pria necis (kutebak umurnya sekitar empat puluh tahun) segera membuka pintu belakang taksi yang sedang kukemudi. Pakaiannya sangat rapi, berjas, berdasi dan bau parfum menyeruak dari badannya yang masih ramping dan bidang. “Tujuannya kemana, Pak?” “Ke arah Cililitan. Jalan saja, nanti saya tunjukkan.”<br />
<br />
Ia membenarkan posisi duduknya sambil mendesah. Aku mulai melajukan mobil sedan meninggalkan trotoar di samping penjual nasi goreng yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pelanggan yang tidak kunjung datang. Sepanjang perjalanan, penumpangku lebih banyak diam. Sesekali ia mengamati handphone-nya, bermain pesan mungkin. Aku menebak, ia adalah seorang manager pada suatu perusahaan swasta. Namun mengapa malam-malam seperti ini ia memilih taksi? Tentu seharusnya ia mempunyai mobil pribadi dengan tambahan seorang sopir. Hmm, atau mungkin aku salah mengira pekerjaannya. Di kota besar orang-orang yang berpakaian jas dan sepatu mengkilat bukan hanya direktur atau manajer saja. Seorang sales penjual obat yang keliling menyambangi rumah-rumah juga terkadang berpakaian sangat elok. Ah, peduli setan. Hanya uang yang aku pedulikan.<br />
<br />
Sedan yang kukendarai kira-kira seratus meter lagi akan sampai di Cililitan, pusat pertokoan yang biasanya menjadi tujuan penumpang. “Setelah ini kemana, Pak?” jawabku memecah kebisuan. “Oh, belok kanan. Ke arah Kalibata.” jawabnya singkat. Aku mengangguk, memberi tanda lampu belok kanan kemudian bersiap untuk membelok. Dari kaca spion di atas kepalaku kulihat laki-laki tadi mengambil handphone lainnya di saku jasnya, kemudian berusaha menghubungi seseorang. “Halo! Halo! Komar? Gue udah mau nyampe nih! Lo udah siapin? Bagus. Berapa nih? Apa?! Mahal bener. Oke, oke. Tapi awas ya kalau barangnya jelek. Gue jamin gak akan bayar dan gue gak akan pakai lagi barang lo. Oke!” Lelaki itu menutup telepon genggamnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya memandang nanar, geliat gairah tengah berkobar disana. Ia serupa musang yang sedang terengah-engah hendak menangkap mangsanya, penuh nafsu dan hasrat.<br />
<br />
Jam di dashboard menunjukkan pukul 20:30, waktu yang masih sore untuk ukuran kota Jakarta. Jalanan di Ibukota sepertinya tidak pernah mati. Di jam ini, jalanan masih saja ramai, masih saja macet. Aku mengambil jalur yang justru rawan dengan kemacetan. Aku baru ingat, di Jalan Kalibata sedang ada pembuatan fly over sehingga para pengguna jalan harus berbagi untuk melewati jalan sempit yang dibuka. Sebenarnya tadi aku bisa saja mengambil jalan lewat M.T Haryono bila memang tujuan terakhir adalah Kalibata. Namun biarlah, toh dia yang menginginkannya. *** “Ya, Hallo Mah..” suara lelaki tadi lagi-lagi memecah lamunanku. “Iya, mah.. Maaf ya, Papa malam ini sepertinya nginep di kantor, Ma.” “……” “Iyaaa.. banyak banget kerjaan nih. Deadline nya besok, udah gak bisa ditunda lagi Mah..” “……” “Buat apa sih Papa bohong. Bener deh.. Ya, iya.. nanti kita liburan ke Bali setelah kerjaanku selesai. Oke, jaga anak-anak ya.. Daah..”<br />
<br />
Klap. Handphone ditutup. Lelaki itu lagi-lagi mendesah, memandang ke jajaran bongkahan beton yang hendak dipasang di kanan-kiri jalan. Lelaki ini pasti habis berbohong. Bagaimana mungkin ia sedang mengerjakan tugas di kantor, bila ia sedang bersamaku berada di dalam taksi menjelajahi jalanan Kota Jakarta di malam hari. Sungguh seorang tipe lelaki yang tidak setia kepada keluarganya, dan meski aku bukanlah lelaki yang benar-benar baik setidaknya aku mempunyai prinsip yang kuat terhadap keutuhan keluarga.<br />
<br />
Kukemudikan mobil sedan dengan hati-hati melewati jalan sempit yang sedang direnovasi. Di kolong jalan layang yang baru saja jadi separuh itu terlihat dua bayangan di atas sepeda motor yang tengah berpelukan. Tidak begitu jelas, namun bila diperhatikan, kepala dua bayangan tadi saling berdekatan, berimpitan, sesekali melepas kemudian menyatu lagi. Mereka saling berciuman, mungkin. *** “Pak, belok ke kiri. Ke arah Mall!” Aku terkesiap. Segera kubelokkan mobil menuju ke sebuah Mall di bilangan Kalibata. Dari luar, Mall terlihat sepi. Rata-rata Mall di Jakarta memang tutup pada pukul sembilan malam. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari Mall, kebanyakan adalah pemuda-pemudi yang keluar setelah melihat pemutaran bioskop pada jam malam. Tangan mereka saling menggenggam erat, beberapa meletakkan tangannya di pundak pasangannya, saling berpelukan dan berciuman. Ah, sudah benar-benar kacau pemuda-pemudi kota ini, pikirku. Berapa umur mereka? Palingan baru belasan, namun sudah berlaku seperti orang-orang dewasa yang sudah menikah saja. Hmm, barangkali mereka sedang dilanda cinta dan romansa. Akan tetapi, tentu bukan dengan bersikap seperti itu. Tentu, aku akan melarang anak-anakku bila berkelakuan seperti itu.<br />
<br />
“Tunggu sebentar di sini, Pak.” Aku mengangguk. Lelaki itu keluar dari taksiku, kemudian berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang duduk di emperan Mall, tak jauh dari tempatku parkir.<br />
<br />
Di area parkir terbuka ini, mobil-mobil masih banyak yang terparkir kendati malam sudah beranjak pekat. Di suatu pojok parkir yang remang-remang kulihat seorang gadis muda sedang berdiri di samping pintu suatu mobil. Pertama-tama ia mengetuk kaca mobil. Seorang pemuda membuka kaca itu. Gadis itu terlihat merayu, ia meletakkan tangannya pada pintu mobil yang sudah terbuka kacanya. Ia bersandar dengan tubuh membungkuk ke depan sehingga dengan pakaiannya yang hanya kaos ketat lekukan dadanya telah menahan sang pemuda untuk berlama-lama berbicara dengannya.<br />
<br />
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bercakap-cakap. Pintu mobil segera dibuka. Si Gadis langsung masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Kemudian mobil bergegas meninggalkan tempat parkir, menuju ke kenikmatan dunia. Gadis itu, kusebut sebagai benalu malam. Para perempuan yang telah memilih jalan malam sebagai jalan hidupnya. Menghisap pria-pria kesepian, atau hidung belang, demi sesuap nasi untuk esok hari.<br />
<br />
Aku sempat terkejut ketika kaca mobilku diketuk. Pria tadi rupanya. Segera kubuka kunci pintu belakang melalui panel otomatis. Pria itu segera masuk, diikuti seorang wanita muda. Aku berpikir ia adalah salah satu dari benalu tadi. Mesin mobil segera kuhidupkan, aku mencuri pandang dari kaca di atas kemudiku. Rasa-rasanya, aku kenal dengan perempuan yang duduk bersamanya. Meski dia memakai make-up, aku kenal benar raut wajahnya. Hidungnya, yang lumayan mancung itu. Rambut lurus sebahunya. Serta pandangan matanya. Ya, tidak salah lagi. Pandangan sendu itu hanya satu-satunya kepunyaan wanita itu. Maka, untuk mengobati rasa penasaranku yang semakin menggebu, aku segera memalingkan wajahku ke belakang. Saat itu juga, dunia ini seakan hendak kiamat. Gemuruh dalam dadaku berdebar-debar. Mataku hampir-hampir keluar dari kelopak matanya. Kemudian aku berteriak yang seakan begitu saja keluar dari mulutku, tanpa mempedulikan kerasnya suara yang terjadi. “Minah??!!!!!!” *** Kalibata, November 2010<br />
<br />
M. Nurcholis, penikmat sastra tinggal di Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di sela kesibukannya bekerja. Dapat disapa di twitter @n_choliz atau facebook username choliz. Beberapa karyanya terangkum di blog pribadinya: www.kolasecerita.wordpress.comithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4555564639355963368.post-53403719342948967382011-11-09T21:39:00.001-08:002011-11-09T21:39:54.104-08:00Krim Pelangsing Mejik Jeng SusanJeng Susan dan suaminya sudah dua belas tahun menikah. Dulu kondisi ekonomi mereka tidak sebagus sekarang ini. Apa yang terjadi pada mereka adalah mimpi klise pendatang ke ibukota yang terwujud dalam waktu singkat karena berbalut keberanian dan keberuntungan. Sekejap saja Susanti berubah panggilan menjadi Jeng Susan di kalangan para istri pengusaha rekan bisnis suaminya. Anak-anak mereka mendadak berkulit mulus karena perawatan menghilangkan koreng di kaki mereka, bekas bermain di tanah becek dulunya sebelum mereka pindah ke Jakarta. Kulit wajah Jeng Susan semakin hari semakin terlihat bersinar karena perawatan intensif menggunakan masker emas di salon langganannya di daerah Blok M. Semua kagum pada keberuntungan mereka.<br />
<br />
Tapi ada sedikit kerisauan di hati Jeng Susan saat dirinya sudah menginjak usia 40 tahun, dua tahun yang lalu. Bentuk tubuhnya berubah, semakin membulat. Lemak mulai bergelantungan di sekitar paha, punggung, tangan dan bawah dagu. Jeng Susan menyalahkan gen gemuk yang dibawanya dari Ambu di kampung. Percuma ikut program-program mahal di slimming center, tubuhnya tetap saja membesar. Segala rupa diet sudah dipraktekkan, hasilnya hanya sekejap saja untuk dinikmati. Tak lama kemudian, tubuhnya kembali melar, bahkan lebih lebar dari sebelumnya. Jeng Susan sempat mengutarakan keinginannya untuk operasi sedot lemak, seperti yang pernah dilakukan Jeng Mirna, kepada suaminya. Suami Jeng Susan pun tampaknya sudah memberikan lampu hijau. Bagi suaminya, tidak ada yang tidak bisa diberikan kepada keluarganya. Semua keinginan anak-anak dan istrinya selalu dipenuhi dengan kualitas nomor satu. Namun satu minggu menjelang operasi sedot lemaknya di Thailand, sebuah kabar heboh bersliweran di koran-koran ibukota. Seorang pengusaha perempuan tewas di meja operasi saat melakukan operasi sedot lemak. Apa pun penyebabnya, keinginan Jeng Susan untuk menyedot keluar lemak-lemak di dalam tubuhnya itu sirna seketika.<br />
<br />
“Suamiku selingkuh, jeng…” ujarnya pada Jeng Mirna pada suatu sore, mengungkapkan kegelisahannya selama tiga bulan terakhir ini.<br />
<br />
Mata Jeng Mirna seperti mau copot dari tempatnya. Cepat-cepat diletakkannya gelas minuman berisi red wine di tangannya. Dia menegakkan duduknya di kursi tinggi bar milik suaminya itu. Dulu proyek pembangunan bar dan restoran milik suaminya itu dipegang oleh suami Jeng Susan. Hal itu yang kini akhirnya membuat mereka berteman. Mata Jeng Mirna berbinar-binar menanti cerita yang akan meluncur dari mulut Jeng Susan.<br />
<br />
“Pelacur jorok! Mereka bahkan tidak check in ke hotel dan malah bercinta di jok belakang mobil suamiku!” Jeng Susan mengumpat, lalu menenggak habis red wine di gelasnya. “Aku menemukan celana dalamnya yang super mini itu di bawah jok mobil saat memakai mobil suamiku. Perempuan setan! Jijik aku!”<br />
<br />
Jeng Mirna mengelus-elus pundak Jeng Susan, berusaha tampak menghibur sebisa mungkin. Kupingnya berdiri makin tegak. Menanti kelanjutan cerita perselingkuhan abad ini. Suami Jeng Susan berselingkuh, itu bisa jadi berita besar di koran dan majalah-majalah ibukota. Dia adalah tokoh masyarakat, sedikit sensasi saja tentu akan terendus oleh banyak media. Dan segala kericuhan seperti ini merupakan hiburan, khususnya bagi Jeng Mirna. Hidupnya sudah mulai membosankan akhir-akhir ini. Suaminya lebih sering ada di rumah istri mudanya, dan anak satu-satunya masih asyik membuang-buang uang ayahnya di luar negeri; kuliah katanya.<br />
<br />
“Aku ndak mau nyerah sama pelacur, Jeng! Aku tidak bisa membayangkan dimadu sama suamiku. Aku harus cari cara supaya suamiku balik ke aku!” kata Jeng Susan. “Bagaimana caranya?” tanya Jeng Mirna. “Aku harus balik langsing singset padet lagi kayak dulu. Jeng Mirna tahu, sejak badanku melar kayak gini, suamiku sudah tidak pernah menyentuh aku lagi! Sedih aku…” Jeng Susan berkata sambil berusaha menahan air matanya jatuh. “Oalaaah! Kalau cuma itu thok masalahnya, ya gampang tho!” “Nggak, nggak, aku ndak mau operasi sedot lemak! Jeng kan tahu aku takut sekali mati di meja operasi, setelah ada kejadian waktu itu, lho!”<br />
<br />
Jeng Mirna tertawa keras sambil membuka tas kulit ularnya. Dia mengeluarkan dua buah wadah plastik kecil dari dalam tasnya itu. Jeng Susan melihatnya dengan tidak mengerti.<br />
<br />
“Aku tahu kamu takut operasi. Tapi kan jaman sekarang mau langsing itu buanyak buanget caranya, jeeeng! Yang penting punya duit, ya gampang!” kata Jeng Mirna sambil meletakkan dua wadah plastik itu di hadapan mereka. “Aku sudah coba segala cara, semua mahal, tetep aja badanku melar begini!” tukas Jeng Susan. “Apa itu?” tanyanya lagi sambil mengambil salah satu wadah plastik di meja.<br />
<br />
“Iniii…aku baru mau kasih tahu Jeng Susan. Penemuan terbaru! Belum beredar di pasaran. Namanya Krim Pelangsing Mejik,” bisik Jeng Mirna dengan suara rendah. “Ampuh?” tanya Jeng Susan ikut berbisik. Ada nada sangsi dalam suaranya. Jeng Mirna mengangkat blouse sutra yang dipakainya. Perutnya tersingkap sedikit. Mata Jeng Susan terbelalak. Perut Jeng Mirna datar, seperti perut perempuan umur belasan yang rajin berolahraga. Padahal, beberapa bulan yang lalu Jeng Mirna mulai mengeluh kalau dia sudah butuh operasi sedot lemak lagi. “Waaah, cuma dengan sekali pakai?” Jeng Susan tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Jeng Mirna menggangguk sambil tersenyum lebar. “Berapa harganya?” Jeng Susan tidak menunggu penjelasan lain lagi. Krim ini sudah pasti bisa menjawab masalahnya. “Untuk Jeng, murah aja…Kebetulan, yang bikin masih sodaraku yang kerja di bagian penelitian apa gitu, mbuh…Pokoknya kerjanya di laboratorium gitu, deh! Dia bilang bahan-bahanya memang mahal, karena sebagian besar baru ditemukan dan masih belum beredar di pasaran.” “Iya, iya, berapa?” tukas Jeng Susan tidak sabar. “Dua puluh lima aja. Harga sahabat,” jawab Jeng Mirna sambil mengerling. “Dua puluh aja, ya? Kan belum tentu ampuh di aku!” “Gini aja, Jeng Susan kasih ke aku dua puluh, kalau ternyata berhasil, sisanya lima juta baru transfer lagi. OK?” Malam itu Jeng Susan duduk di tempat tidur dalam kamarnya yang luas, sendirian. Suaminya entah kemana, bahkan akhir-akhir ini dia sudah tidak pernah lagi memberitahu Jeng Susan kalau akan pulang terlambat. Jeng Susan pun terlalu sibuk memikirkan keampuhan krim di tangannya.<br />
<br />
Krim Pelangsing Mejik, begitu tulisan emas yang tercetak di bagian atas tutup wadah plastiknya. Jeng Susan membaca petunjuk pemakaian di stiker yang ditempel mengelilingi badan botol.<br />
<br />
Usapkan ke bagian tubuh yang ingin diperkecil. Tipis dan sekali usap. Tunggu beberapa menit, lihat hasilnya. Kalau belum terlihat hasil yang diinginkan, tunggu selama 2 jam untuk pemakaian berikutnya. Krim ini bisa dipakai ke seluruh tubuh, termasuk wajah.<br />
<br />
Jeng Susan beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja rias di ujung kamar. Dia duduk di depan kaca besar berbingkai kayu jati berukir. Melihat dengan teliti lekuk-lekuk di wajahnya. Menyusuri dengan jemarinya mulai dari kening hingga dagu. Sampai di bagian bawah dagu, Jeng Susan berhenti. Diambilnya wadah Krim Pelangsing Mejik di atas meja riasnya. Membuka tutupnya dengan perlahan, lalu mengambil sejumput krim berwarna putih di dalamnya dengan ujung jari telunjuk. Mengoleskannya dengan hati-hati ke bagian bawah dagunya yang menggelambir karena lemak.<br />
<br />
Jeng Susan menunggu dengan gelisah. Semenit, dua menit, tiga menit…Lalu ia menutup mata, berharap semoga krim itu bekerja dengan sempurna. Jeng Susan membuka matanya, dan terbelalak melihat bagian bawah dagunya. Lehernya kini tampak jelas terlihat, tulang rahangnya yang biasanya tak pernah terlihat karena terbalut lemak, kini membingkai wajahnya dengan indah. Jeng Susan tampak sepuluh tahun lebih muda. Wajahnya terlihat lebih panjang dan lehernya menjadi terlihat jelas. “Luar biasa!” Jeng Susan berkata pelan sambil mengamati wajahnya.<br />
<br />
Ia pun membuka baju tidurnya hingga tinggal pakaian dalam saja yang melekat di tubuhnya. Jeng Susan membalikkan tubuh untuk melihat tumpukan lemak di bagian pinggang belakangnya. “Ini dia yang harus dipermak duluan!” ujarnya sendiri. Jeng Susan mencoba menyentuh tumpukan lemak itu dengan tangannya yang gemuk pendek. Ternyata tangannya tidak bisa menjangkau bagian itu.<br />
<br />
“Surti!!! Surti!!!” Jeng Susan berteriak memanggil pembantunya. Hari sudah malam, mungkin Surti sudah di kamarnya bersama Paino, suaminya yang juga supir keluarga Jeng Susan. Terdengar langkah berderap menuju kamar Jeng Susan. Jeng Susan tidur menelungkup di atas tempat tidurnya. Pintu kamar sengaja dibuka agar Surti dapat langsung masuk ke kamarnya. “Bu…” Terdengar suara Paino tercekat di depan pintu kamarnya. Jeng Susan terperanjat sambil melihat ke arah pintu. “Lho, mana si Surti?” “Sudah tidur, bu…” Jeng Susan mendengus kesal. Dia tidak sabar untuk melihat hasil kerja krim ajaib dari Jeng Mirna. Dilihatnya Paino yang masih berdiri bingung di depan kamarnya. “Ya sudah, kamu tolong saya. Balurkan krim ini ke pinggang saya!” “Tapi, bu…” Paino makin bingung. “Sudah, nggak usah ribut. Cepeeet!” tukas Jeng Susan.<br />
<br />
Paino melangkah pelan ke arah tempat tidur Jeng Susan. Mengambil wadah plastik tempat krim pelangsing itu dari tangan Jeng Susan. Mencolek sedikit krim di tangannya, lalu berdiri bingung di samping tempat tidur besar majikannya itu.<br />
<br />
“Kamu naik aja, biar gampang” Jeng Susan memerintah.<br />
<br />
Paino naik ke atas tempat tidur dengan ragu. Ia duduk di samping tubuh setengah telanjang Jeng Susan. Tangannya mulai menyentuh punggung Jeng Susan yang hanya berbalut pakaian dalam. Nafasnya tertahan. Walau bagaimana kelelakiannya menggelegak kecil saat tangannya menyentuh kulit mulus putih Jeng Susan.<br />
<br />
Tiba-tiba terdengar lenguhan pelan dari mulut Jeng Susan yang menelungkup di tempat tidur. Paino terkejut dan menghentikan usapannya ke punggung Jeng Susan. “Teruskan…” Parau suara Jeng Susan menyuruh Paino. Jeng Susan yang sudah lama tidak disentuh oleh suaminya itu, merasakan gairahnya memuncak dengan tiba-tiba saat disentuh oleh tangan kasar Paino.<br />
<br />
Surti terkikik di dalam kamarnya sambil memegang wadah plastik bertuliskan Krim Pelangsing Mejik milik majikan perempuannya. Semalam ia terbangun dan mencari suaminya. Betapa terkejutnya Surti ketika melihat suaminya itu tengah mengusap-usap payudara nyonya majikan dalam keadaan sama-sama tanpa busana. Pintu kamar majikannya tidak tertutup. Surti mengamati selama beberapa saat, lalu berjingkat kembali ke kamarnya, menunggu Kang Paino kembali. Menjelang tengah malam, Paino masuk ke kamarnya dengan tubuh bersimbah keringat. Paino membangunkan Surti yang pura-pura tidur.<br />
<br />
“Sur, Sur, ibu punya krim ajaib buat bikin langsing! Ini aku bawain buat kamu! Ibu nggak bakalan tau, dia udah tidur, kecapean!” katanya sambil berbisik ke telinga Surti.<br />
<br />
Surti pura-pura menggeliat, lalu menarik tubuh Paino ke atas tubuhnya di ranjang kecil mereka. “Kok kamu keringetan gini, Kang?” tanyanya pada Paino. “Uh, aku, aku kegerahan…” jawab Paino gugup, menutupi kebohongannya. “Sini!” kata Surti sambil merebut krim di tangan Paino, lalu dengan cepat dia membalik tubuhnya sehingga sekarang posisinya menduduki pinggang Paino yang terbaring. Bergegas dia membuka celana Paino. “Aduh, Sur! Aku capek sekali! Besok aja, ya…” kata Paino berusaha menolaknya. “Kamu merem aja kalo capek!” kata Surti sambil mengelus-elus “burung” Paino dengan tangannya yang sudah berlumur krim milik sang nyonya. Tidak sampai lima menit, Paino tertidur tanpa sempat bercinta dengan Surti.<br />
<br />
Pagi hari, Jeng Susan mandi sambil memikirkan kejadian semalam dengan Paino, supirnya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak merasakan bercinta dengan menggebu-gebu seperti semalam. Di bawah shower yang mengucurkan air hangat, Jeng Susan menyentuh payudaranya sambil memejamkan mata. Dan dia terperanjat.<br />
<br />
“Susuku hilaaaaang!” teriaknya dengan suara melengking. Tidak ada siapa pun yang mendengar teriakan Jeng Susan. Suaminya belum pulang sejak semalam. Anak-anaknya sejak dua hari yang lalu pergi menginap ke rumah teman mereka. Surti dan Paino entah ada di mana saat ini.<br />
<br />
“Surti! Burungku hilang!” Tiba-tiba Paino sudah muncul di hadapannya dengan memakai handuk di pinggangnya. Surti membuang muka lalu keluar dari kamarnya dengan tidak peduli. “Rasakno!” katanya dengan marah. Krim Pelangsing Mejik seharga dua puluh lima juta itu dilemparnya ke dalam tong sampah di dapur.ithemhttp://www.blogger.com/profile/00780171869105921031noreply@blogger.com