ALa Mana

Detik merangkak. Mereka berbicara dengan pikiran masing-masing. Hari beranjak siang. Rapat minggu pagi belum ada hasilnya. Setelah makan siang, diskusi termin kedua bertempat di meja makan.

Pada hari ketika Serai membolak-balik kamus bahasa Arab, mencari nama anaknya, Joni datang dengan tiga buku panduan. Pertama, ensiklopedi nama, terbitan kota di balik benua. Lalu, satu buku usang tebal. Ia pinjam dari perpustakaan daerah. Bukan main repotnya membaca halaman-halaman yang nyaris saling terpisah. Terakhir, sebuah kumpulan istilah dunia kedokteran. Ini paling terlihat modern.

“Sayang, minumlah. Susu baik untuk kesehatan janin dan tubuhmu,” Joni menyodorkan ke istrinya sambil meletakkan buku-buku ke meja di depan mereka. “Mas, aku belum tahu harus memberikan nama apa. Terlalu banyak pilihan,” ucap Serai sambil meraih tangan gelas dan meminum habis isinya. “Jangan khawatir. Aku sudah persiapkan buku-buku ini. Banyak sekali nama bagus. Tinggal kita pilih,” tangan Joni meraba perut Serai, kemudian menciumnya dengan bahagia. Telepon berdering, tak jauh dari jangkauan Joni. “Assalamualaikum, ... ya, Pak,” “Halo, Jon, kami mau ke tempatmu. Kangen sama calon cucu. Sebentar lagi sampai.” Tut-tut… “Hhh, menjelang tua, selalu saja ribut cucu,” Joni membatin.

* Tak lama setelah itu, ada langkah kaki mendekat menuju teras. Joni bergegas dan mempersilakan mertuanya masuk ke ruang tamu. Serai mencoba bangkit namun ditahan oleh ibunya. Serta merta Ibunya menciumi perut Serai. “Hai, Fajri, lagi apa, sayang? Ini eyang Uti datang, utuk-utuk, hii manisnya...” Mereka yang ada di situ bingung. Tidak ada yang bernama Fajri. “Bu, Fajri itu siapa?” tanya Bapak. Yang lain memandang heran. Ibu terlihat seperti mengkudang seorang anak kecil di depannya. “Lha anaknya Serai ini besok namanya Fajri, kan laki-laki.” “Bu, Serai ingin namanya Fadil. Agar menjadi anak yang berbudi luhur, bisa memuliakan orang tua dan keluarga.” “Itu nama artis, Bapak tidak setuju.” “Itu khas nama Islam, Pak!” Bapak diam, menarik nafas.

Sebentar. Ia dengar gesekan daun-daun di halaman depan. Angin sedang baik hati. Meliuk perlahan membuka sedikit pintu ruang tamu yang hampir tertutup.

“Ehm,” Joni memecah, “Namanya Tegar. Tegar Perkasa. Agar ia tegar menghadapi kehidupan. Ketika ia terpuruk, ia mampu untuk bangkit kembali.” “Ibu rasa itu bagus. Tidak kuno. Nama itu doa. Itu juga doa penting. Hidup ini keras, kalau cucu kita tidak tegar, bagaimana Pak? Laki-laki jangan lembek. Sebaiknya menjadi Tegara Fajri. Fajri berarti Fajar, yang menandakan ia laki-laki pertama generasi kedua keluarga kita. Setiap hari kita selalu menanti fajar. Dan anak ini yang kita tunggu-tunggu, bagaimana menurut kalian?” wajahnya berseri bagai sales promotion girl.

“Jangan, Serai sudah jatuh cinta pada nama Fadil,” ia berkata sambil memperbaiki letak duduknya. Suasana jadi sedikit tegang. Maklum, masalah nama memang sering membuat orang berebut berjasa. Nama apa saja, jalanlah, tokolah, peraturanlah, gedung, bus, masjid, dan sebagainya. Joni mengambil air minum untuk mertuanya.

Bapak sudah kembali segar. Ia bangit dari kursinya. Mulai bicara seperti orator, menggebu dan membius.

“Dengar, anak-anak jaman sekarang seperti kacang lupa pada kulitnya. Kalau sudah sukses dan jadi orang besar, mudah lupa asal. Kita orang Jawa, biar anak kalian tidak kebarat-baratan, Bapak yakin betul. Kita harus beri dia nama dari jagat pewayangan. Nama itu....” “Sudah ibu bilang, jangan. Kuno, Pak! Kasihan cucu kita nanti…” “Biarkan Bapak bicara dulu, Bu. Ada benarnya juga. Serai pikir, nama dari dunia pewayangan unik. Tapi tetap, ada Fadilnya, ya Pak? Di belakang, di tengah atau di mana saja.” “Dan ada Tegarnya. Biar jadi wayang yang kuat. “Diamlah. Bapak jadi lupa mau namain apa tadi.” Ketiganya menghela nafas. Bapak duduk kembali. Meraih minum dan menegaknya sampai tandas. * Detik merangkak. Mereka berbicara dengan pikiran masing-masing. Hari beranjak siang. Rapat minggu pagi belum ada hasilnya. Setelah makan siang, diskusi termin kedua bertempat di meja makan. “Bapak punya beberapa pilihan nama. Ada Abimanyu. Kalau nonton wayang, Bapak mengidolakan dia. Karena sejak bayi, Abimanyu sudah menguasai pengetahuan tentang segala hal. Setelah dewasa, ia mendapat Wahyu Cakraningrat, dengan wahyu itu Abimanyu ditakdirkan menurunkan raja-raja besar yang menguasai jagad raya. Abimanyu mempunyai sifat dan watak pemberani, halus, tingkah lakunya baik, kemauannya keras, dan bertanggung jawab. Coba kalau cucu laki-laki kita seperti Abimanyu, Bu. Bisa jadi presiden dia nanti.”

Mata Bapak menerawang. Kedua tangannya menekuk, menumpu dagunya yang bercambang halus.

“Maaf, Pak. Serai ingat nasihat Rosul. Beliau pernah menasihatkan agar kita memberi nama anak-anak kita ya yang islami. Agar selalu mendapat ridho Gusti Alloh.” “Ah, itu gampang. Dengar, kita bisa menambahkan nama Muhammad di depannya. Atau ini, ini! Ada lagi. Leksmana. Dia mempunyai watak halus, setia, dan tidak kenal takut. Cucu kita harus menjadi orang yang penuh kasih dan setia pada keluarganya.” “Maksud Bapak Lesmana?” “Tepat! Pandai kau, Jon.” “Kalau Muhammad Lesmana ya tidak pas, Pak” “Masih ada pilihan lagi, Bu. Ada lagi, Bapak ingin cucu kita berbakti seperti Arya Setyaka. Dia juga pemberani.”

Serai yang sedari tadi hendak angkat bicara, tapi selalu tidak jadi. Perutnya berasa aneh. Anaknya menendang-nendang. “Dulu, pernah Ibu dengar. Ada yang bilang, wayang itu tidak baik, karena wayang mengajarkan kita untuk menyembah dewa. Dan menjadikan orang-orang malas setelah semalam suntuk menonton wayang.” “Kalau begitu, Sunan Kalijaga tidak akan repot-repot pakai wayang buat dakwah Islam, Bu.” Ibu jadi merasa aneh, Serai meringis. Joni mengangguk. Ia telah melupakan tiga buku yang tadi digamitnya bersamaan. “Bapak masih punya lagi. Kita pikirkan baik-baik, jangan adu mulut. Kita semua ingin yang terbaik untuk anak itu” “Mungkin kita bisa kembali melihat buku-buku yang Joni bawa tadi.” “Ya. Itu bisa.” “Aduh…” “Serai, kamu tidak apa-apa, Nak? Fajri, bagaimana Fajri?” ia mengelus perut Serai. “Gak papa, Bu. Ini, si Fadil nendang-nendang terus. Monggo lanjutkan. Pak.” “Ini yang terakhir dari Bapak. Namanya Wisanggeni. Geni, api. Dia anak yang luar biasa. Cerdik, pandai, dan sakti. Ia juga tampan dan lugas. Bapak juga ingin cucu yang tampan. Hehee... “ “Aduh… sakit, Bu.” “Serai…” “Oh, siapkan mobil, cepat!” “Bagaimana ini?” “Ya, Wisanggeni.” “Bapak! Jangan mikir nama terus! ini Serai kenapa?” “Akhirnya…” “Kok akhirnya?” “Dia mau melahirkan, Bu. Cucu kita. Wisanggeni!” “Fajri!” “Aduh… tolong jangan ribut…” “Mobil sudah siap! Ayo cepat bawa. Perlengkapan jangan lupa.” “Biar aku, calon kakeknya saja yang nyupir, kau temani istrimu di belakang, Jon!” “Aduh… sa…kit…” “Sabar, nak, sabar. Fajri akan segera tiba dan hadir dalam keluarga kita.” “Ad..uh. Fadil…” “Hei, hei, tenang-tenang jangan ribut, nanti kacau. Wisanggeni jangan kita sambut dengan kekacauan.” “Yang tegar, ya sayang. Sebentar lagi kita sampai.” “Atau itu! Lihat!” “Apa sih ribut saja, tidak konsentrasi aku nyopirnya.” “Aduh… lihat dulu, semua memberi nama dengan bahasa Inggris, artis iklan shampo itu juga. Duh, kenapa kita tidak terpikir, itu nama yang modern, yang keinggris-inggrisan. Ibu ganti. Ibu punya usul. Bagaimana jika namanya adalah Evil Laura.” “Evil? Bu, Evil itu artinya setan.” “Hah!? Iya?” “Bagaimana kalau Claudia?” “Aduh nanti jadi ikut-ikutan…” “Sst.. jangan ribu terus, ayo lebih cepat.” “Aduh Jon kamu ini bagaimana? Kita sudah diambang kehadirannya.” “Tetap. Tetap Wisanggeni atau boleh apa saja asal dari dunia wayang, dunia kita sendiri!”

Tak lama kemudian mereka gelisah di luar ruang bersalin. Dokter, yang tak lazim jumlahnya, menangani. Ia tak mengizinkan anggota keluarga masuk. Sebelumnya dia, yang kebetulan kenalan masa kuliah Bapaknya Serai, mengusulkan untuk memberi nama bayi itu dengan namanya buat kenang-kenangan. Namanya Sarpito. Kemudian jam ikut menegangkan detik dan memberati tiga jarumnya yang berjalan dengan kehendak masing-masing seperti pikiran ketiga anggota keluarga itu. Terdengar suara bayi!

Mereka semakin tegang. Masing-masing mantap dengan diri dan pemikirannya. Mereka telah siap untuk mendaulat nama mereka dengan cepat ketika bayi itu ke luar dari ruang bersalin. Serai muncul, menimang seorang anak lagi-laki.

Ajaib. Anak itu tersenyum damai, lalu memandang suster, dokter, bergantian. Mulutnya membuka memunculkan gusi-gusi yang masih muda dan lemah. Dengan bahasa bayi yang aneh dan menakjubkan; penuh dengan magisme kehidupan, anak itu berkata pelan namun ceria dan penuh percaya diri, “Dengar, aku ingin menamai diriku sendiri. Namaku Udin!”

Yogyakarta, 31 Maret 2011