Bebek goreng

Semua orang mengelilingi kuburan yang tampak tidak menyeramkan lagi karena ditaburi bunga-bunga dan bunga terus menerus.

Beberapa kerabat sudah banyak yang pergi melewati celah, menapaki jalan pekuburan satu demi satu, mencari pintu keluar, bergegas ke luar menuju arah kehidupan nyata.

Ada yang begegas pulang ke rumah. Ada yang sekadar mampir di sebuah café untuk minum kopi, usai membasuh seluruh wajah di kamar kecil. Atau masuk ke restoran untuk makan sekenyang-kenyangnya setelah mencuci tangan berkali-kali karena debu dan terik matahari. Atau hanya ingin minum air putih dengan es batu yang banyak sambil duduk menghela napas. Menenangkan pikiran.

Menghadiri penguburan seorang teman, saudara, atau sahabat memang sangat menyita energi. Begitu banyak kenangan dan tekanan ketika kita harus mengantar dan berdiri di sisi liang lahat menyaksikan jasad terbujur disiram timbunan tanah yang menutupinya sedikit demi sedikit.

Mendengar rintihan, tangisan, raungan keluarga kerabat, membuat seluruh badan menjadi diri sendiri. Kita tidak tahu lagi apa tujuan hidup ini. 24 jam giat bekerja. Bertahun-tahun. Mulai dari pagi hari. Sangat pagi. Bahkan belum tampak matahari. Manusia pun sudah gradak-gruduk nonstop sampai jelang ketemu pagi hari lagi.

Ada dan tanpa kasih sayang. Ada dan tanpa beriba hati. Senang dan benci kepada orang lain. Berbagi dan tidak bebagi dengan orang lain. Kadang kita tertawa gembira atau berteriak lantang menuntut ketidakadilan dunia! Mengerikan hidup ini. Mengerikan juga mati itu.

***

Seorang gadis cantik bernama Lidia tampak berdiri menjauhi lubang kubur. Ia sendirian terhenyak penuh rasa duka jiwa raga!

“Kamu di mana…? Aku rindu…,” lirih rintih di dalam hati.

Ia menatap dengan matanya yang sayu, berusaha memandang dari kejauhan ke arah gundukan tanah mungil yang terhalang tumpukan karangan bunga.

***

Suatu saat di sebuah Kota Kecil. Lidia berjalan bergandengan tangan dengan Karudin di sepanjang trotoar. Pasangan yang punya hobi jalan-jalan sore di seputar alun-alun Kota Kecil kala senggang. Terutama malam Minggu, malam libur. Banyak orang sekitar sudah mengenali mereka. Pasangan yang paling rajin bergandengan tangan mondar mandir sepanjang jalan.

Bahkan tingkah laku pasangan tersebut menjadi pemandangan seru dan dijadikan objek permainan tersendiri bagi penduduk setempat. Ulah pasangan itu sering dijadikan tebak-tebakan oleh orang-orang yang kongkow di pinggir jalan. Minum kopi di warung ‘Selamat Malam,’ yang menjadi langganan para sopir truk, juga pasukan sopir ojeg.

“Nah… kan lihat tuh. Sebentar lagi lewat sini. Benerrr. Masih bergandengan tangan toh! Serasa dunia miliknya sendiri…!”

“Ayo taruhan sampai mana itu tangan nempel kayak lem? Aku tebak dulu ya? Paling sampai deket pangkalan ojeg sudah dilepas. Ayo, sini lima ribu kasih aku…!” orang-orang mulai ramai bertaruh.

“Enggaklah… Sono. Sampai sono, deket Bu Minem, baru deh dilepas tangannya…!”

“Ya… enggak bisa! Kan orang lagi kasmaran pegangan terus pasti sampai pulang sampa mati…! Ha ha ha…!” banyak orang bercanda asal menebak.

“Aku yakin sebentar saja sudah lepas! Kan keringatan! Ih… mau ngapain pegang-pegang begitu…!” ada juga yang protes.

“Nah... nah kan lepas, yo sumuk…! Sudah aku bilang, wong lengket semua itu tangan…!”

“Ih sampeyan sirik aja… Mana istrimu? Udah balik belum ke rumah? Nah! Lihat! Wah, yang laki mau garuk-garuk badannya doang kok ! Lepas sebentar iya boleh toh…! Ugghhh ! Sampeyan emang dasar kurang gaul! Jemput istrimu sana jangan dibiarkan lama-lama di kampungnya. Disamber orang baru tahu rasa..!” mereka masing-masing saling beradu pendapat.

Sementara pasangan itu terus berjalan seakan melayang menikmati malam semakin kelam.

***

Tujuan mereka untuk kesekian kali ingin makan bebek goreng. Tempatnya lesehan di sudut jalan sebelah toko besi.

“Kita makan bebek goreng lagi yang sambelnya muantap…!” kata Karudin girang sambil memainkan jari jemari pasangannya.

Lidia hanya menganggukkan kepala.

***

Suasana lesehan sama saja seperti tempat makan lainnya. Tetapi bebek goreng Mang Dun memang sangat terkenal. Kadang malam libur paling padat, sulit mendapatkan tempat. Bisa-bisa pada antri kayak menunggu karcis depan loket.

Kondisi yang mejadi riuh cenderung berdesakan, membuat penikmat bebek sering merasa terganggu. Karena banyak orang yang tidak sabar, malahan berdiri-diri begitu saja di belakang orang-orang yang sedang asyik lesehan dan makan.

Hawa sekitar menjadi panas. Yang menunggu giliran hanya melongo, memandang begitu saja ke arah hidangan yang tergelar di tikar. Tentu saja suasana begitu membuat yang sedang makan tidak enak.

Risih lagi!

Tetapi memang di situ seninya makan di warung lesehan Mang Dun! Siapa cepat dia dapat! Berkeringat berpeluh bersimbah rasa lembab di seluruh badan sampai wajah! Wah, momen itu yang dikangeni setiap orang. Bisa cerita ke tetangga, atau teman betapa penuh perjuangan untuk bisa berhasil makan bebek goreng Mang Dun . Tentunya dengan tambahan bumbu kalimat kata yang penuh kehebohan agak berlebihan!

(Aneh…?).

***

Karudin masih berpegang tangan (males deh, ya…) mendekati kerumunan orang yang sedang makan.

“Misi... permisi…! Bisa tolong digeser…! Maaf… Iya… Ke sana sedikit masih cukup kok…,” desak Karudin seenaknya.

“Sayang… ayo…! Duduk aja. Enggak apa kok masih lega…!” bujuk Karidun.

Lidia setengah malas setengah enggak enak hati menjatuhkan badannya duduk di samping pacarnya. Ia tidak berani mengangkat kepala. Hanya menunduk menatap meja di hadapannya yang terlapis vinil bermotif bunga.

“Mas… Mas…!” tedengar suara Lidia yang halus nyaris tak terdengar sambil tangannya menarik-narik ujung kemeja Karudin.

Karudin hanya menoleh sebentar. Dan melanjutkan gerak gerik sibuk mengambil piring, sendok, menyusun dengan yakin dan rapih di depan Lidia.

Beberapa orang tidak senang kenyamanan santap malamnya dan atmosfernya serasa disabotase.

“Wah, mas… sabar sedikit kenapa! Belum mau kiamat kok… Desek-desek…!” omel seorang bapak tua yang memang posisinya nyaris ‘terjungkal’.

“Iya nih...!.Sampeyan lapar atau enggak tahu sopan santun…? Sana tunggu giliran…!” kata yang lain menghardik Karudin.

Karudin ‘cuek. Percaya diri mengabaikan semua omelan orang sekitar. Malah mulai menyendokin nasi putih ke piring Lidia, juga ke atas piringnya.

“Pak… Bebek goreng dua biasaaa ya… Garing banget…!” kata Karudin lantang.

Mang Dun bergegas menyiapkan pesanan Karudin dibantu beberapa rekan lain yang mondar mandir meletakkan sayuran, lalapan, sambal, juga beberapa gorengan, sambil menunggu bebek favorit matang.

“Mas... Enggak usah buru-buru... Yang lain belum kebagian... Kita tunggu saja, ya…!” bujuk Lidia masih sambil mengelus tangan Karudin.

Karudin tidak sabar menunggu pesanannya. Ia iseng mencicipi beberapa gorengan. Tangannya sibuk menggapai ke kanan ke kiri mengambil gorengan, krupuk, perkedel, acar. Sekaligus menyenggol ini itu, botol kecap, kotak tisu berjatuhan. Wuih pokoknya Karudin cuek abis!

Lidia hanya bisa menegur dengan berkali-kali menyentuh, mencowel pinggang sang pacar agar sabar menunggu.

“Iya, saya menunggu. Saya orang yang sabar, kok…” jawab Karudin sambil mulutnya masih mengunyah-ngunyah.

***

Sesudah makan malam Karudin dan Lidia melanjutkan menonton film dan berakhir dengan mengantar pulang Lidia. Sebelumnya ia memberi kenangan kecupan di pipi Lidia tanda selamat tinggal dan selamat tidur. ***

Memang pasangan itu belum ada rencana untuk menikah apalagi berkhayal akan mempunyai beberapa anak kelak. Baru sebatas luapan rasa cinta, makan bebek goreng dan bergandengan tangan. Itu saja.

***

Yang pasti: Karudin dan Lidia saling jatuh cinta!

Setiap hari. Eh... setiap detik.. .Karudin merindukan Lidia. Lidia pun mustinya demikian. Namun ekspresi yang berlebihan dari seorang Karudin kadang membuat Lidia kehilangan akal. Bahkan nyaris bingung menghadapi pacarnya yang terlalu mengebu-gebu. Mungkin saking cintanya Karudin bisa-bisanya setiap menit menelepon atau SMS, BB-an dan harus dijawab langsung tanpa alasan, tanpa jeda.

“Lidia cintaku, sudah makan sayang...?” sapa Karudin.

“Tadi pagi kamu ngobrol sama siapa saja...? Jangan senyum-senyum sama si Broto botak, ya...! Dia itu pasti naksir kamu. Jangan diladenin, ya sayang…! Hanya ada aku untukmu…!”

“Lid, Lid…. aku baru habis dari toilet. Heran sekali kenapa wc di kantorku selalu kotor. Itu tugas Mas Udi dan Samin. Padahal mereka digaji melebihi UMR! Kamu ingat Samin kan? Sering lo aku ketemu dia sibuk mengelap, menunggu kamar kecil itu. Tapi ya ajaib… Tetap aja kotor. Sampah di mana-mana. Atau orang kantor sini jorok semua, ya? Lagi apa sayang…?”

“Say… Ini aku…!”

“Barusan aku ditegur bos Kisik. Cuma karena kelupaan pakai batik. Kamu ingetin aku dong setiap malam Jumat. SMS tulis aja: B A T I K. BATIK BATIKKKK, biar aku ingat, ya sayang ya…!”

“Lidia sayang… Pasti kamu lagi pakai lipstick 009?”

“Sayang, kok SMS-ku enggak dijawab…? Sorry BB-ku ngadat lagi. Besok hari Minggu kita ke Ambassador, aku mau cek ulang ini BB. Mau kan sayang…?”

“Lid… Lid…!”

“Sayang..yang…. yang..”

“Cintaku…. Yang….!”

“Love you… Lidia love...!”

“Sayang ! Jangan terlalu capek nanti kamu keletihan…!”

(Ya pasti letih apalagi baca nonstop pesan singkat Karudin! He he he…!) *** Rentetan tegur sapa ‘cinta’ Karudin bertahun-tahun, perhatian yang sempurna dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Membuat Lidia sesak napas. Tapi Lidia berusaha memaklumi luapan gairah cinta kekasihnya. Dia berusaha mengimbangi melalui hari ke hari juga dengan kadar, porsi yang sama. Walau enggak se-’hot’ Karudin.

***

Momen terindah adalah kalau malam Minggu. Bagi pasangan itu ritual yang tak bisa ditawar lagi. Kembali dimulai dengan berjalan bergandengan tangan sepanjang jalan. Terbuai angin senja.

Puasnya bercengkrama bagi orang yang punya pasangan. Karena sejenak melupakan pekerjaan, utang piutang, atau tumpukan pekerjaan yang masih tersisa pada hari Jumatnya.

Berbeda untuk pasangan yang sudah menikah. Mau bersama nonstop. Permasalahan tetap akan jadi masalah karena menjadi tanggungjawab berdua apalagi kalau sudah beranak pinak. Wah itu lebih ‘tak jelas’. Problema semerawut! Desakan ekonomi yang mendesak kadang bisa membuat tangan jemari tidak akan pernah tergenggam lagi. Bahkan untuk bersikap hal yang romantis juga lupa, sudah enggak tahu caranya. (he he he kasihan juga ya orang menikah terlalu lama).

***

Hari kesekian lagi.

Lidia bersama Karudin berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar. Sambil sekali sekala berhenti di sebuah warung atau lapak kaki lima yang menjual berbagai macam benda. Mulai dari obeng sampai korset pelangsing badan.

Memang unik pasangan itu. Walau sekarang adalah zaman edan, zaman digital, zaman modern. Mereka melalui kebersamaan sangat ’jadul’. Bukan ke mal atau ke restoran atau café. Cukup mengitari Kota Kecil yang bisa terjangkau dengan berjalan kaki.

Langkah demi langkah. Entah sudah jejak tapak kaki hitungan ke berapa kali. Mereka berdua berjalan bersama sambil begandengan tangan.

***

Suatu hari.

“Tumben Karudin tidak SMS, sudah jam segini…!” keluh Lidia pada rekan kantornya.

“Aduh si Ibu…! Baru kemarin ketemu udah kangen…!” “Ah, lo tahu dia kan, Rin? Dret drettt dreiii bunyi HPku sepanjang hari dari Karudin. Ada yang janggal, nih? Tadi pagi dia juga tidak bangunin aku lewat telepon! Ada apa ya…? Sumpah, Rin! Aku enggak terima kabar apa pun sejak pagi! Aduh, kenapa ya? Apa BB, HP nya rusak semua…?” Lidia gelisah.

“Sudah... biar saja dulu. Biasanya kamu gerah kalau pacarmu kontak melulu. Take a break, dear…”

“Pasti HP nya rusak! Iya kan, Rin?” cemas Lidia

Lidia melewati kesehariannya. Sampai bubar kantor.

Dalam keheningan.

***

Lidia hanya bisa memandang handphonenya. Dicobanya membetulkam posisi baterei, mengutak ngutik keypad. Dan menekan sembarangan nomer telepon. Setiap kali meminta maaf kalau ada nada sambung yang bicara dengannya.

Masih tidak tahu harus berbuat apa iseng membuka file foto. Isinya hanya ada wajah Karudin atau wajah mereka berdua dengan berbagi pose kocak.

Tetapi ada kok terselip satu foto seekor monyet yang memakai topeng yang dipaksakan menggunakan kepala boneka. Itu mereka potret waktu sedang jalan-jalan melewati jalan besar.

Lidia hanya bisa tersenyum memandang satu-satunya foto yang beda.

Lidia sempat protes ketika Karudin akan menggunakan HP nya untuk motret monyet di jalanan. Ia tidak tega melihat kelakuan para monyet yang menari-nari di antara selipan ban-ban kendaraan yang sedang macet merayap tengah ibukota. Miris melihat monyet yang lehernya terjerat rantai ditarik-tarik sampai meringis. Miris dan merinding melihat para pemilik monyet yang mencari nafkah hidup dengan begitu.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 wib.

Karudin belum berkabar.

Tetapi Lidia tidak juga ingin menghubungi lebih dulu. Karena sudah menjadi kesepakatan mereka berdua. Yang boleh menghubungi terlebih dulu adalah Karudin. Dimulai sejak kokok ayam pagi. Baru selanjutnya masing-masing bisa saling kontaksepanjang hari sepanjang waktu.

Dan sampai gelap pun tanpa kabar .

Senyap.

***

Beberapa jam kemudian.

Handphone Lidia berbunyi. Nama Karudin muncul...

“Halo sayang, di…?” sapa spontan Lidia.

Namun, yang terdengar jenis suara berat yang sangat asing di telinga.

“Ini Lidia Sukma…?” suara datar di seberang sana.

Lidia bingung hanya menganggukan kepala.

“Halo…! Ini ibu Lidia…?”

“Iya…! Bapak siapa? Karudin di mana?” suara Lidia begetar.

*** Suatu malam.

Sosok perempuan semampai berjalan sendiri sangat lamban, nyaris oleng ke kiri ke kanan. Langkah kecil terus berjalan mendekati warung Mang Dun.

“Pak… Bebek yang garing, ya…!” suara lemah memohon.

Mang Dun tercengang melihat Lidia sendirian. Mengenakan baju merah jambu terang benderang . Hanya raut wajahnya sangat suram, nyaris tidak berbentuk dan sangat kucel, mata pun bengkak.

“Sendiri, Neng...?”

Lidia hanya menjawab dengan menganggukkan kepala ke bawah ke atas. Kedua tangannya sibuk menggapai gorengan, botol kecap. Yang tersentuh tangannya menggelinding begitu saja.

Lidia mulai menelan makanan yang dimulutnya dengan pelan.

“Neng… Neng… sehat? Masnya ke mana...?” tanya Mang Dun yang mulai cemas memandang kliennya yang tampak tidak sehat.

Lidia masih diam. Mulutnya terus mengunyah. Air matanya pun turun menetes satu dan satu…

“Dia… Ma...ti…!” jawab Lidia.

Hening.

Para pelanggan sekitar terdiam. Memandang, melihat sosok perempuan yang pucat, yang kelihatan masih berusaha mengunyah sepotong demi sepotong tempe goreng.

Lalu… Kepala perempuan itu makin menunduk sedikit demi sedkit, dan tubuhnya jatuh begitu saja sampai kepalanya terantuk meja. Bersamaan dengan keluarnya suara raungan tangisan berkepanjangan.

Sangat pilu.

***

Rajawali, April 2011