Tajil

Serambi masjid sore itu ramai oleh para jamaah yang mengikuti pengajian. Mereka duduk membentuk lingkaran dari satu titik hingga titik berikutnya. Mereka antusias mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh ustadz babakan masalah agama khususnya tentang puasa Ramadhan. Kebetulan saat itu sudah memasuki hari kelima belas puasa bulan Ramadhan.

Seperti biasanya usai melaksanakan shalat ashar para jamaah yang ingin memperbanyak amal ibadah dan mencari keridhaan Allah selalu datang dalam pengajian itu. Tak terkecuali Mbah Sumo yang setiap hari rutin duduk di sebelah kiri serambi masjid. Ia khusuk mendengarkan ceramah yang disampaikan ustadz.

“Ibadah puasa tidak hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan amarah dan hawa nafsu. Barang siapa yang mampu melekasanakn ibadah puasa dengan sempurna maka Allah akan memberi pahala kepada kita dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits dijelaskan pula, barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka segala dosa yang telah dilakukan diampuni oleh Allah,” kata ustadz dalam pengajian sore itu.

Mbah Sumo memanggut-manggutkan kepalanya mendengar uraian ustadz. Ia merasa bahwa puasanya hingga hari kelima belas merasa belum sempurna. Dalam hatinya berkecamuk karena merasa puasanya selama ini dianggap sia-sia karena sering marah-marah dan menuruti hawa nafsu. Ia juga merasa iri jika ia melihat ada orang lain yang mendapatkan rizqi.

Mbah Sumo mendesah sambil menyandarkan kepala ke dinding serambi masjid. Ia menyesal karena sewaktu berpuasa ia tidak mampu menghindari hal-hal tercela seperti itu. “Mbah, kenapa?” tanya salah satu jamaah di samping kanannya. “Eh, tidak apa-apa,” jawabnya terkejut.

Suasana pun kembali mencair. Mbah Sumo memperhatikan lagi isi ceramah yang disampaikan ustadz. Kali ini dia tidak bisa mengarahkan konsentrasinya kepada materi yang disampaikan ustadz dalam pengajian. Pikiran Mbah Sumo mulai terbagi pada makanan ta’jil yang dibawa oleh para warga ke masjid. Setiap ada orang yang datang dengan membawa bingkisan, Pikiran Mbah Sumo selalu sibuk menebak isi bungkusan itu.

“Wah, paling-paling gedhang!” kata Mbah Sumo dalam hati. Saat panitia membuka isi bungkusan, mata Mbah Sumo menatap tajam ke tempat dikumpulkannya makanan ta’jil. “Lha, bener tho? Pisang!!” “Hussss…!” tegur tetangga duduknya.

Bungkusan berikutnya dibuka oleh panitia. Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki yang dengan sukarela membantu membagikan makanan ta’jil kepada para jamaah. “Lha, bothe!” ucap Mbah Sumo yang kali ini terdengar di separo serambi masjid. Ucapan Mbah Sumo sontak membuat para jamaah tertawa terpingkal-pingkal. Mereka geli melihat tingkah Mbah Sumo. “Ono opo tho?” tanya Mbah Sumo sambil memandang orang-orang di sekelilingnya yang memandang ke arahnya. “Sampeyan itu bagaimana tho? Mereka itu melihatmu yang berulah seperti anak kecil,” terang jamaah lain.

Mendengar jawaban itu Mbah Sumo tetap bergeming. Ia tak merasa terusik oleh perhatian para jamaah yang mengikuti pengajian. Tatapan penasaran Mbah Sumo pada jajan yang akan dibagikan kepada jamaah sebagai menu berbuka puasa tak surut. Ia tak ingin melepaskan begitu saja isi bungkusan tas kresek yang dibuka oleh para relawan ta’jil.

Gema suara ustadz yang sedang membalah kitab Sullamuttaufiq merembet di setiap pilar penyangga masjid yang megah. Satu persatu fasal dia utarakan kepada para jamaah yang sebagian besar adalah para manula dan anak-anak. Sedangkan para remaja yang semestinya menjadi penggerak kegiatan di masjid tak kelihatan sama sekali. Mereka, para remaja, lebih suka menghabiskan waktu sore hingga menjelang berbuka di tempat-tempat keramaian. Mereka bergerombol di pinggir-pinggir jalan sambil menggosip ke sana kemari. Saat matahari hampir tenggelam mereka baru membubarkan diri sembari menggeber motor yang mereka kendarai. Mereka saling mengadu kecepatan motor. *** Waktu berbuka tinggal lima belas menit lagi. Para lelaki yang menjadi sukarelawan pembagi makanan ta’jil mulai membagikannya kepada para jamaah. Satu persatu jamaah yang duduk sambil mendengarkan ceramah dari ustad mendapat bagian ta’jil. Demikian pula Mbah Sumo. Ia melongo memperhatikan makanan ta’jil yang sudah diterima oleh jamaah lainnya. “Sebungkus nasi. Ya, sebungkus nasi,” katanya girang. “Sabar, Mbah Sumo. Nanti pean juga kebagian. Bersabarlah menunggu giliran!” tegur jamaah di sampingnya.

Mbah Sumo resah saat bungkusan nasi yang dibagikan kepada jamaah tinggal beberapa bungkus sedangkan tempat dia duduk masih jauh dari lelaki yang membagikan bungkusan tersebut. Ternyata kekhawatiran Mbah Sumo menjadi kenyataan. Sebelum sampai kepada dia, nasi yang dibagikan para lelaki itu telah habis. “Lha…, tidak kebagian!” ungkapnya kecewa. “Jangan kuatir, Mbah Mo. Itu di sana masih menumpuk.”

Seorang lelaki datang mendekati tempat duduk Mbah Sumo dengan membawa tas kresek yang berisi makanan. Ia segera meraih makanan yang masih tersembunyi di dalam tas kresek. Perlahan ia mengangkat makanan ta’jil itu lalu menaruhnya di depan Mbah Sumo. “Waduh, kebagian mbothe Jo!” katanya kaget kepada Wak Kirjo.

Mbah Sumo menggerutu dalam hati karena makanan ta’jil pembagian lelaki sukarelawan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ia merasa kesal kepada lelaki yang baru saja meletakkan mbothe tepat di depan tempat duduknya. Hatinya semakin berkecamuk lantaran makanan ta’jil yang masih menumpuk di sudut serambi belum juga dibagikan lagi. Ia sangat penasaran makanan ta’jil apa yang akan diterimanya lagi. Dengan hati berdebar-debar ia menatap lelaki yang membagikan bungkusan kepada para jamaah. Mbah Sumo berharap mendapatkan bagian makanan yang sesuai dengan selera. “Ini dia, nasi uduk, kesukaanku!” gumamnya dalam hati. Lagi-lagi Mbah Sumo sedang bernasib sial. Ketika giliran dia mendapatkan pembagian makanan ta’jil yang sesuai dengan seleranya, ia selalu tidak kebagian. “Apes…apes!” umpatnya. “Kenapa, Mo?” “Saya tidak kebagian lagi.” “Sabar to Mo! Itu diambilkan lagi. Masih banyak makanan ta’jilnya.”

Sepotong roti sisir diberikan lelaki berkopiah haji kepada Mbah Sumo. Ia spontan menolak pembagian itu. Mbah Sumo berdiri lalu mengumpat lelaki itu sambil melemparkan makanan ta’jil yang diterimanya kepada lelaki tadi. Ia merasa disepelekan karena hanya menerima ta’jil mbothe dan sepotong roti sisir. Sementara jamaah yang lain menerima sebungkus nasi dan makanan yang disukainya. “Ini tidak adil!” katanya sambil berteriak.

Para jamaah yang tadinya khusuk mendengarkan ceramah dari ustadz mendadak riuh mendengarkan ucapan Mbah Sumo. Mereka heran kenapa Mbah Sumo bersikap demikian itu. Padahal, makanan ta’jil yang diterimanya itu hanyalah makanan yang digunakan untuk menyegerakan berbuka puasa agar mendapatkan kesunatan dalam berpuasa. Pak Ustadz tersenyum simpul menyaksikan kejadian itu. Ia pun berdiri lalu mendekati Mbah Sumo agar dia sabar dan menerima ta’jil yang dibagian lelaki sukarelawan tadi. “Sabar nggeh Mbah! Panjenengan remen ta’jil nopo?” tanya ustadz kepada Mbah Sumo. “Kulo kepengen nasi bungkusan,” jawabnya mrengut. “Baiklah, kalau begitu!” Pak ustadz segera mengambilkan sebungkus nasi ta’jil jatahnya kemudian memberikannya kepada Mbah Sumo. “Niki kangge panjenengan,” kata pak ustad sambil menyodorkan sebungkus nasi kepada Mbah Sumo. “Matur Suwun, matur suwun…!” ucap Mbah Sumo dengan wajah yang ceria. Tak lama kemudian para jamaah kembali duduk dengan tenang melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu ulah Mbah Sumo. “Asyhaduallailahaillallah, Astaghfirullah, nas aluka ridhaka waljannah wanaudzubika min sakhotika wannar!” Pak Ustadz memimpin para jamaah melantunkan dzikir pada Allah hingga waktu berbuka puasa tiba.

Kini detik-detik berbuka puasa telah tiba. Mbah Sumo dan para jamaah lainnya telah bersiap-siap berbuka puasa. Sesaat kemudian beduk yang menggantung di serambi masjid dipukul bertalu-talu dan para jamaah pun melaksanakan berbuka puasa. “Allahumma laka shumtu, wabika amantu, wa’ala rizqika afthortu birahmatika ya arhamarrahimin!” Mbah Sumo berdoa kemudian melaksanakan berbuka puasa dengan menikmati makanan ta’jil yang diberi oleh pak ustadz. (*)

Lamongan, Agustus 2011