Ia yang Mencintai Sepi

Sebenarnya aku tidak mau banyak bercerita tentang dirinya kau tau. Sebab ia tidak –terlalu- suka orang menerka-nerka hatinya atau sikapnya yang pendiam itu. Lebih tepatnya ia seperti merasa sedih sebab memang tidak bisa ia menceritakan hal-hal yang menurutnya rahasia-hal-hal yang munurutnya di percayakan kepadanya itu kepada orang lain. Entah kenapa kali ini aku seperti susah mengekang nafsuku-oh jangan berfikir yang bukan-bukan dulu. Ini bukan nafsu yang seperti itu yang sering menghinggapi benakmu. Dan benakku pula sudah tentu.

Ini nafsuku yang terus menggebu untuk menceritakan sebagian dirinya. Yah, sebagian dirinya saja. Karena aku tidak mau jika lantas ia memusuhiku walau sebenarnya ia tidak pernah tertarik untuk mempunyai atau mencari musuh. Baiklah baiknya kumulai saja ceritaku tentang dirinya.
Inilah ceritanya.

Ia terlanjur jatuh cinta kepada sepi. Di kota yang seramai pasar malam itu bahkan lebih ramai dari pasar yang paling malam itu ia melulu merasa sepi. Ia tidak pernah terganggu hiruknya jalan-jalan yang berdesingan semalam suntuk. Ia juga tidak pernah terganggu jikalau para tetangganya membesarkan volume televisi mereka yang menyuarakan dendang lagu-lagu india ditingkah gemerincing gelang-gelang kaki dan tangan para penarinya. Atau adu nada tinggi melengking dalam sinetron-sinetron yang alurnya dari episode ke episode semakin terulur panjang dan ngelantur bagai benang ruwet yang kusam itu. Atau pula debat kusir para tokoh-tokoh yang sudah kerap kali mampir ke studio-studio di program- program acara yang nyaris sama. ia tidak perduli dan tidak terganggu dengan itu semua. Namun aku tahu ia sebenarnya tidak setidak perduli itu.

Dulu ada seorang sahabatnya-oh baiknya sedikit aku ceritakan. Walau sangat pendiam ia juga bersosialisasi sewajarnya dan mempunyai sahabat-sahabat yang setia padanya. Sangat setia malah. Entah karena apa sahabat-sahabatnya itu begitu mempercayainya aku sungguh tidak tahu dan jangan kau tanyakan itu padaku.

Aku ulangi tadi, dulu ada seorang sahabatnya dari kota yang jauh menghubunginya melalui sambungan telepon, menceritakan ada hal yang telah menimpanya. Ia mendengarkan dengan seksama cerita sahabatnya itu selama hampir setengah jam. Selesai sahabatnya bercerita dan ia menutup teleponnya, seketika itu ia berlari menerjang pintu kamar mandi. Dan memuntahkan seluruh isi perutnya di sana. Setelah itu ia terhuyung-huyung rubuh di karpet yang tergelar di depan televisi dengan mata membasah. namun ia tidak pernah menceritakan kapada siapa pun apa cerita dari sahabatnya itu.

Pernah pula beberapa hal datang dalam lingkup pekerjaannya. Aku juga menceritakan sebagian saja mengenai pekerjaannya. Karena nyatanya ia tidak bangga sama sekali dengan pekerjaannya. orang-orang dalam lingkup pekerjaannya sudah begitu mahfum dengan “kediamannya” dan mereka pun juga baik-baik sikapnya terhadapnya. Dan tiga orang diantaranya sangat mempercayainya untuk menaruhkan rahasianya kepadanya yang membuatnya justru merasa seperti memikul beban dan perasaan tidak nyaman yang nyaris menjadi seperti perasaan nelangsa.

Orang pertama yang menaruhkan rahasianya adalah seorang perempuan yang sudah menikah namun merasa tidak bahagia menjalani kehidupan perkawinannya dan tetap mempertahankannya. Hingga suatu waktu perempuan itu bertemu dan jatuh cinta kepada lelaki lain yang bukan suaminya.

Orang kedua adalah seorang lelaki yang naasnya merasa dirinya gay. Sedangkan keluarga si lelaki dan sahabat-sahabat si lelaki ini tahunya ia lelaki normal yang mempunyai kekasih perempuan. Karena sikap si lelaki ini memang flamboyan. Kerap bergonta-ganti pasangan dalam rentang waktu yang tidak lama. Untuk shoping ke mall, nongkrong di cafe, menonton atau menghadiri konser-konser si lelaki ini kerap berjalan di gelayuti perempuan. Hingga suatu hari si lelaki mengetuk pintu ruang kerjanya sehabis waktu makan siang. Lalu menumpahkan serentetan perasaan yang telah membuatnya bertahun-tahun tertekan. Seketika ia hanya mampu menatap si lelaki tanpa berkata apa-apa dari sebrang mejanya.

Orang ketiga adalah seorang lelaki yang terang-terangan memperlihatkan perangainya yang ngonde-gemulai. Dandanannya sungguh gemerlap dan terkesan seperti outlet berjalan. Dari mulai sepatunya gold sneakers , jam tangan tag heuer, celana denim keluaran levi strauss, t-shirt giordano, ikat pinggang moschino hingga kaca matanya yang eksklusif merk maybach dilengkapi dengan semprotan hugo boss yang setelah langkahnya mencapai sepuluh meter pun aroma maskulinnya masih meruap. Diantara barang-barang bermerk yang melekat di tubuhnya hanya ikat pinggangnya yang menggunakan merk khusus perempuan. Namun itu toh tidak mengubah perangainya yang ngonde itu.

Di suatu subuh buta, ketika ia baru hendak melepas mukena pintu pondokannya di gedor-gedor dari luar. Seketika ia berjalan ke pintu membukanya dan betapa terpananya melihat siapa yang berdiri dengan nafas ngos-ngosan dan wajah berlumuran keringat seolah habis separuh jarak tempuh maraton dalam perlombaan. Namun yang membuatnya terpana bukanlah nafas yang ngos-ngosan ataupun keringat yang berlumuran melainkan dandanan sosok di depannya itu.

Memakai wig hitam bergelombang mencapai batas pinggang, gaun terusan tanpa lengan warna ungu ketat dengan sepatu high heel warna ungu tua dan lipstik tebal ungu menyala memoles bibirnya. Dengan penuh mengiba ia meminta masuk kedalam pondokannya karena sedang dikejar petugas kamtib-keamanan dan ketertiban di sebuah taman sekitar sepuluh menit jaraknya dari pondokan itu. Lelaki berdandan perempuan menor ini pun dipersilakan masuk setelah nafasnya lebih dulu dihirup dan dihela dalam-dalam. Sekejap setelah lelaki berdandan menor itu masuk dua orang petugas kamtib lewat jalan depan pondokannya.

Maka begitulah lelaki berdandan perempuan menor itu pun selamat dari razia setelah semalaman mangkal di taman untuk mencari tambahan setoran di mana pundi-pundinya yang biasanya selalu penuh itu kerontang. Lelaki yang sehari-harinya di lingkup pekerjaannya berperangai ngonde dengan perangkat aksesori selalu menempeli tubuhnya bagaikan outlet berjalan.
*******

Bertahun-tahun ia menyimpan hal-hal atau kejadian-kejadian tersebut dan barangkali juga puluhan atau bahkan ratusan kejadian lainnya yang ia ikat rapi dalam bundelan di pojok pondokannya. Hanya saja ketika suatu malam sebelum ia terbangun di lewat tengah malam seperti biasanya, tiga lembar dalam bundelannya terlepas tanpa ia sadari lalu lembaran-lembaran yang lepas itu berhasil aku curi. Untuk aku ceritakan padamu, tentu saja. Hanya untuk sekedar kau tahu hal apa di antaranya yang ia simpan dalam “kediamannya” dan “kesepiannya” itu.

Entah apakah nanti aku masih bisa mencuri beberapa lembar lagi dari bundelannya yang begitu saja ia onggokkan di pojok pondokannya yang tidak pernah ia ingin untuk dikirim atau dikisahkan kepada siapapun itu, aku sungguh tidak tahu.
*******
gang pendidikan, 2011
Cerpen Lailatul Kiptiyah