Perempuan Jumat

Suatu pagi yang masih sepi dia datang menghampiriku. Ketika itu para jemaat belum ramai, karena biasanya mereka datang menjelang lonceng gereja berbunyi. Dia datang tak melintasi batas pagar depan gereja. Sapu lidi di tanganku berhenti mengayun lamban. Aku berdiri dari bungkukku dan menghentikan ayunan sapu lidi di tangan. Kami sama-sama tidak jauh dari pintu gerbang gereja. Hanya saja, dia di luar dan aku di dalam area gereja.

Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi malu. Rumput-rumput yang masih basah di depan gereja menegurku untuk tetap menyapu halaman gereja sebelum jemaat datang. Dan, Dia pergi begitu saja.

Dua hari yang lalu aku menunggunya di depan gereja ini. Beranda yang dingin menyejukkan kulit dari siraman matahari menjelang siang bolong. Tubuhku terasa ingin bergerak menjemputnya, lalu menariknya agar cepat tiba di beranda gereja.

Ketika orang-orang ramai keluar dari tempat ibadah siang itu, aku masih menunggunya. Jam dan matahari sepakat mengatakan saat itu pukul satu siang. Satu-satu yang melintasi gereja kutelanjangi wajahnya. Berharap itu adalah wajah laki-laki yang kunanti. Tapi tak kutemui wajah yang setiap Jumat menemuiku di beranda gereja ini. Aku pun pergi begitu saja setelah tempat ibadah itu sepi. Pulang ke rumah untuk menyimpan rindu yang belum terpenuhi.

“Kau Margaret Sinambela dan aku Zulkifli Sihotang.” Begitu tajam nasihat itu yang dia lontarkan Jumat lalu. Di tempat biasa, beranda gereja. Setelah bernasihat yang memasung bagi kami berdua, dia pun pulang begitu saja. “Mungkin inilah pesan opung-opung1 kita dahulu, jangan tuangkan hasrat bercinta kepada saudara terdekat,” dan dia menutup nasihatnya dengan sebilah nasihat yang beradat.

Sebelum bernasihat, seperti biasa dia melumuriku dengan kata-kata yang membuat aku ingin menjadi dirinya. Dia berkata “Biar orang bilang agamamu agamamu, agamaku agamaku. Tapi cintamu ya cintaku, sama seperti margaku ya borumu3.” Kata-kata itu dilumurinya ke tubuhku agar aku tak menangis sedih, begitu katanya. Kita sama-sama tak punya pilihan lain ketika agama dan adat tak bersahabat. Waktu itu aku menangis sedih setelah dia berkata “Seminggu lagi aku harus keluar dari sini. Pergi jauh dari tanah Toba ini.”

Jumat pada minggu ini dia tak mungkin lagi ada bersama mereka yang beribadah. Alasannya ke warga kampung, dia pergi ke luar kampung untuk bekerja. Dia harus pergi karena orang tuanya memaki-maki hingga, katanya, segala barang dibanting. Demi adat, demi menjunjung tinggi martabat keluarga. Sampai tetangga-tetangga mereka tahu mengenai hubungan kami karena teriakan ibunya, sebab teriakan perempuan batak itu mampu menyamai teriakan laki-lakinya. Dari warga pulalah aku tahu dia telah bekerja di Kota Pelabuhan bagian pesisir Sumatera Utara.

Lima hari yang lalu dia masih berdiri di depan pagar, menghampiriku tanpa suara kecuali suara kakinya yang membawa pesan. Sekarang aku tetap tunggu orang-orang selesai ibadah siang bolong begini meski aku tahu dia takkan muncul keluar dari pintu tempat ibadah yang berbintang dan bulan di atapnya. Dia selalu berani memasuki area gereja ini dengan mengenakan pernak-pernik agama di tubuhnya. Begitu, aku kagumi dirinya karena berani. Berani yang menandakan laki-laki. Berani melawan tradisi desa. Dulu kami sering menghabisi sore hari di sini. Beranda gereja yang penuh corat-coret tangan laki-laki pemberani itu.

Jumat berikutnya lagi aku tetap menunggu di beranda gereja. Menunggu orang-orang yang beribadah di tempat ibadah yang tepat berhadapan dengan gereja ini, adalah kepuasan bagiku. Puas meski tak pasti apa yang kutunggu. Daun-daun rumput yang sering dia injak itu pasti sama merindukan seperti apa yang kurasa. Menanti diinjak.

Jumat berikutnya lagi aku tetap menunggu. Kutunggu, saat matahari belum di atas kepala hingga matahari memiring yang membuat dunia senja. Di beranda gereja, kududuki tulisan tangannya, “Margaret disayang Zulkifli.” Tulisan di lantai yang selalu diperhatikan para jemaat remaja saat mereka beristirahat di beranda. Karena tulisan itu pula aku sering diteggur Pastor gereja. Pastor itu suatu kali menegurku, “Kalian bukan jodoh, bukan takdir kalian untuk bersama. Margaret dan Zul berbeda keyakinan, bertentangan secara adat pula. Orang tuamu di sorga sana pasti sudah marah, Margaret.” Saat itu pula aku membenci pastor.

Jumat berikutnya, aku duduk seperti Jumat kemarin, di lantai beranda gereja. Aku merasa sudah dewasa, maka aku yakin apa yang aku lakukan tidaklah salah. Menunggu dia datang dengan kepala berpeci dan bersarung. Dulu, suatu saat, dia pernah mengelus pipiku dengan pecinya setelah dibuka peci di kepalanya hingga meperlihatkan rambut yang seperti rumput-rumput di depan gereja. Rambut yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sampai sekarang tenunan peci dari wol itu masih terasa di kulitku. Aku ingin dia mengulanginya, sekali lagi saja agar aku bisa pulang ke rumahku. Rumah di belakang gereja ini.

Sudah berapa Jumat aku menunggumu tapi dia tak pernah datang juga. Tidak menepati janji. Kursi yang kita seret bersama dari dalam gereja ke beranda gereja adalah saksinya, saat dia berjanji. “Aku selalu datang ke sini setiap Jumat, Margaret. Berpakaian lengkap sebagai muslim”, sambil dikulitinya mataku dengan matanya.

Aku sangat mengaguminya. Kagum karena berbeda dari laki-laki lain. Tak pernah sekali pun dia mengatakan diriku cantik. Tak pernah sekali pun dia menciumku. Tubuhku dijaga seperti tubuhnya. Selalu di selidikinya tubuhku yang kotor, dan dia bilang “Jangan mulai kotorkan tubuh kita agar hati tetap bersih.”

Di desa ini, hanya dia yang bukan agama kami yang berani menginjakkan kakinya sampai ke depan pintu gereja. Saat pertama dia menginjakkan kaki, saat itu pula dia menegurku ketika aku membersihkan kaca-kaca jendela di depan gereja. Aku perempuan yang menyambung hidup dengan cara membersihkan gereja, ketika itu aku baru menjadi penjaga sekaligus pembersih gereja. Tanpa pilihan lain, aku harus menyambung hidup menjadi pembersih gereja setelah sebulan yang lalu kutamatkan sekolah menengah atas.

Setiap minggu sore kulihat dia memukul bedug. Sampah dan debu seakan bersahabat. Semakin lama aku membersihkan sampah dan debu di area gereja, semakin kuat darahku mengalir. Kadang, saat kutuang debu-debu lantai gereja ke selokan di depan gereja, kutancapkan mataku ke gerak pukulan bedug oleh laki-laki muslim yang pernah berkata kepadaku, “bahwa cinta itu menyatukan agama bukan memisahkan agama”. Aku melihat maka dia tersenyum. Aku dipandang maka aku memaniskan wajah.

Kini, sudah sepuluh tahun aku menjadi penjaga gereja. Sudah tujuh tahun pula dia tak ada kabar. Tak ada di desa. Tak pernah lewat ke depan gereja ini. Tak pernah lagi kulihat wajahnya di antara keramaian orang-orang yang pulang sehabis beribadah saat Jumat siang.

Orang-orang kampung sering membicarakan tentang aku dan dia. Seorang teman dekatku berkata “Banyak laki-laki lain yang suka sama kau, kenapa Zulkifli yang kau pilih? Orang bilang kau ini aneh.” Dalam hatiku berkata untuk menyambut perkataan temanku itu, “Ah, kalian ini tak pernah tahu apa itu perasaan. Kalianlah yang aneh.” Malah pernah seorang jemaat minggu menyebut diriku sebagai perempuan Jumat.

Memang tak bisa dipahami semua orang apa itu perasaan. Mungkin karena itu pula tak bisa dipahami agama dan adat istiadat. Maka jangan pernah pahami mengapa aku masih sering menunggu dia setiap Jumat di beranda gereja. Selama tujuh tahun.

Setelah para jemaat melakukan ibadah minggu sore, aku membersihkan seluruh area gereja ini. Saat itu tiba-tiba dia datang. Kulihat wajahnya telah berubah. Rambutnya berubah. Warna kulitnya berubah.

Sapu lantai di tangan kanan kulepas. Ingin kupeluk dia, tapi aku ingat kata-katanya, “Jangan pernah menyentuh tubuh yang berbeda jenis kelamin bila sentuhannya berhasrat.”

Sore itu aku dan dia berbincang-bincang panjang. Pertemuan berindu yang lebat kami tuangkan di beranda gereja. Dia berbicara tentang pekerjaannya sebagai seorang kuli di pelabuhan. Dan, aku berbicara tentang diriku saja yang tak berubah dengan aku yang tujuh tahun lalu agar dia paham bahwa aku masih menginginkan dia, meski adat menyatakan kami adalah kakak beradik.

“Margaret”, dia memulai pembicaraan yang serius setelah kami saling cerita masa-masa tujuh tahun selama ini.
“Iya.”
“Setelah ini aku memutuskan berhenti bekerja.”
“Berhenti kenapa?”
“Bukan hanya bekerja, tapi memutuskan tak lagi pergi dari kampung ini.”
“Kenapa? Bukannya kau diharuskan omak2 buat hidup di luar kampung?”
“Aku mau hidup menjadi penjaga masjid di depan itu. Menjadi pembersih mesjid itu lebih baik. Aku yakin omak tak bakal menolak, ini keagamaan. Cinta itu bagian dari agama, begitu kata-kata seorang teman di tempat kerjaku. Aku tetap menjadi penjaga masjid karena aku mempertahankan cinta.”

Beberapa hari setelah kedatangannya dan perbincangan itu, penjaga masjid di depan gereja adalah kekasihku. Zulkifli, yang dulu pernah meninggalkan masjid itu, meninggalkan gereja ini, dan membiarkan aku sendiri di beranda gereja sendiri setiap Jumat.

Setiap Jumat mulai kembali, sepertinya tumbuhan-tumbuhan di sekitar gereja bermekaran. Hati pun terasa tumbuh seperti tanah yang ditumbuhan tumbuhan.

Di beranda gereja kami tak pernah melewatkan satu pun hari Jumat. Mungkin kami bagai kumbang dan bunga yang rutin memetik madu meski setiap hari bertemu.

Lima tahun telah berjalan. Kertas-kertas kalender habis kubuang ke tempat sampah demi menghitung waktu. Usiaku telah memasuki usia yang ke tiga puluh. Sedangkan dia telah berusia 35 tahun. Tapi kami masih selalu menghadiri beranda gereja setiap rumah, seperti siswa sekolah mengabsensi kehadiran.

Di kala Jumat masih merah langitnya, cahaya matahari baru memanjangkan bayangan, dia datang ke rumahku. Dia membangunkan diriku yang masih bermesraan dengan bantal. Teriakannya dan ketukan pintunya memberikan isyarat sebelum kubukakan pintu untuknya dan melihatnya berdiri di depan ambang pintu.
“Zul?” Begitu pura-pura kagetnya aku. Sebenarnya aku senang dia datang sebelum waktunya.
“Baru bangun…?”
“Iya. Tumben, biasanya cuma di depan gereja, tapi Zul sekarang berjalan ke belakang gereja?”
“Aku mau minta restu, Margaret.”
“Restu apa?”
“Hari ini aku menjadi khatib, menjadi penceramah Jumat. Aku minta restumu, Margaret.”
“Sudah ceramahlah yang baik. Aku selalu merestui tindakanmu, apapun itu, Zul.”
“Makasih…” Katanya dengan mata yang mengucapkan kejujuran pula.
“Mau masuk dulu, Zul?
“Tak usah, kita bukan muhrim. Berdua di dalam rumah bisa memunculkan dugaan-dugaan buruk di warga. Karena itu pula aku mengajukan menjadi khatib Jumat ini. Aku ingin meyakinkan orang-orang yang datang nanti, sesungguhnya agama itu cinta. Cinta tanpa agama sama dengan jalan buntu.”
“Zul yakin bisa meyakinkan mereka? Apalagi warga semakin hari semakin menelanjangi kita bila memandang kita berduaan.”
“Karena itulah aku yakin bisa, Margaret. Itu buktinya. Aku menjalankan agama dengan cinta. Margaret adalah bukti itu.” Mendengar kata-katanya aku terdiam oleh denyut nadi yang sepertinya diam. “Dengan restumulah yakin itu jadi bulat, Margaret.”
“Pergilah, Zul. Aku pasti merestuimu, apapun itu.”
“Makasih lagi, Margaret.”

Dia membalikkan badan, lalu berjalan menjauhi pintu rumahku. Dia biarkan aku menunggunya pergi jauh sampai mengecil di dalam mataku.

Siang yang tidak ramah. Jumat ini juga tidak baik. Air hujan menembaki tanah-tanah. Daun-daun sampai bergoyang menahan air yang jatuh. Orang-orang yang datang ke masjid pun kulihat berlari kecil sambil melindungi kepalanya dengan tangan. Sementara aku menyaksikan air-air jatuh itu dan lari-lari kecil itu dari beranda gereja.

Hujan belum juga selesai, malah semakin deras. Sementara ibadah di masjid itu telah selesai. Mereka keluar masjid tidak bersamaan. Satu persatu berlari kencang menjauhi masjid. Kulihat Zulkifli pun lari begitu kencang. Mendekatiku.
“Siang, Ibu…” Tegurnya menyambut beranda gereja dan aku yang menunggunya.
“Siang, Pak. Zul, rambutmu basah. Sini aku kibas biar kering.” Kukibas-kibas kecil rambutnya yang basah. Kulihat sudah banyak rambutnya yang mulai putih. “Zul, rambutmu sudah mulai merata ubannya.”
“Memang Margaret belum?”
“Sudah juga. Tapi Zul yang lebih banyak.”
“Namanya juga usiaku sudah berkepala enam.”
Jumat itu hujan tak reda sampai sore.

-----
1. Opung-opung (bahasa batak) berarti nenek-nenek.
2. Omak (Dialek Batak) berarti ibu.
3. Boru: Sebutan marga untuk perempuan.

Fredy Wansyah Putra
Alumni Sastra Indonesia Unpad. Ketika kuliah bergiat di Langkah Komunitas Sastra. Kini mendirikan lembaga sastra bernama Metafor bersama teman-teman kampus dan temn-teman Langkah. Tulisannya dimuat di beberapa media massa, serta ikut serta di beberapa antologi puisi maupun cerpen.