Ini Kisahku denganmu

Semua berawal dari lima tahun lalu. Kau teman baruku. Kau satu dari segelintir wanita yang ada di sekitarku. Selain kau, juga ada Chinta dan Irene yang baru saja merasakan suasana kampus di kota ini.

Malam itu, meski suasana di kampus cukup ramai, aku yang ada di depanmu hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa.

Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu, senyum manismu, lesung pipitmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Kau masih di sekitarku.

Setiap malam kusaksikan senyummu. Dan tak terasa sudah ratusan malam senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan, tak pernah ingin ku lewatkan.

Begitu juga perasaan di hatiku yang telah berubah meskipun aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Entah apa namanya, ku tak ingin mencarinya dalam kamus-kamus di perpus-perpus, ku hanya ingin menikmati saja.

Malam pun datang bersama bulan yang masih saja beredar. Kadang terlihat cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Tak seperti senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir darahku, menuju jantungku. Menggetarkannya, memacu degupnya. Mungkin ini yang namanya cinta. Tapi ku masih takut menyebutnya. Aku hanya memandang bulan yang belum bundar sempurna, ku titipkan perasaan ini padanya.

Hal yang paling ku takuti adalah dibenci oleh orang yang ku cintai. Tiga tahun sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena mencintai. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku takut kau membenciku atau aku takut mencintaimu. Hingga -yang mungkin saja- cinta ini, ku biarkan. Tak kuucapkan.

Hingga saat malam datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak, hatiku berontak, kebenaran terkuak. Kau tak lagi sendiri. Perasaan ini pun jadi tak berarti. Ku lihat kau bersama lelaki yang mencintaimu, dan kau memanggilnya Toni, kekasih hatimu. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya pagi.

Malam-malam berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Senyum yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada layang-layang, ku terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.

Kini, ku masih menikmati senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam. Sementara perasaanku masih ku titipkan padanya, ku mencoba menikmati suasana yang sedikit berbeda. Melihatmu tersenyum, tertawa bersama kekasihmu. Senyum yang masih memacu degup jantungku, meski sedikit menyayat hatiku.

Suatu saat nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi, sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan suatu kisah tentang perasaan -yang mungkin saja cinta- ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di penghujung malam, di awal pagi.


Surabaya, November 2010