Ketika Cinta Bertasbih bag:6

Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak menja-
wab apa-apa.
"Sungguh Mas, tolong aku ya.P l ease tolonglah. Aku janji nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial.P l ease tolong aku. Ini masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau ngurusi ikan bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah percaya pada kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang lebih penting. T olong aku, Mas,pl ease. Aku tahu ini waktunya sangat mepet. T api aku yakin Mas bisa. Ayolahpl ease ya?"

Eliana meminta dengan nada memelas sambil menang- kupkan kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga sosok yang paling mudah tersentuh hatinya.

"Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar.” Jawab Azzam tenang.
"Sekarang?"
"Ya, sekarang."
"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?"
“Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak
saya.”“Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana jean-
nya. Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam.
"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu hari-
nya lima puluh dollar."
"T erima kasih." Azzam menerima uang itu sambil terse-
nyum.
"Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa
membantu saya?" Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan bis- nis. Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan meng- harapkan apapun dari Mbak."
"Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah spe-
sial.""Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang

paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih tersisa dari Nasi T imlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam.

"Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu, ia lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana bersema- ngat. Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali dengan telpon genggamnya.

"Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah shalat Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai menelpon.
"Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib
dulu kalau belum shalat?"
“Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!"

"Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan Pak Ali saja yang belanja."

"T idak, saya harus ikut. T idak tenang rasanya kalau saya tidak ikut. T entang shalat yang Mas Khairul ributkan itu te- nang saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat. Kalau shalat malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan ada saat-saat dia tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat. Kita harus cepat, wak- tunya sempit!"
"Kalau begitu ayo."
Azzam bangkit Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil. Azzam duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana duduk di bang- ku belakang. Eliana memberi instruksi kepada Pak Ali agar membawa ke kedai penjual bumbu secepat mungkm. Pak Ali langsung tancap gas melintas di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelan-jaan di kawasan El Manshiya. Azzam menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan utama Kota Alexandria dengan mobil mewah bersama seorang Putri Duta Besar yang pualam. Ia merasa kebahagiaan itu akan sempurna jika mobil BMW itu adalah miliknya, ia sendiri yang mengendarainya dan Eliana duduk di sampingnya sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun memesona.
"Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" Suara Eliana menga-
getkan lamunannya.

"E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota ini?" Jawab Azzam sedikit gugup.

"Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda Indonesia yang punya impian mengendarai mobil BMW saya rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi mengendarainya bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu, BWM saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada yang belum pernah lihat bentuknya. Lha bagaimana bisa bermimpi? Bahkan, mungkin di antara anak muda Indonesia, terutama di daerah terbelakang masih ada yang beranggapan bahwa BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX."
Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana. Komen-
tar yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indonesia..
kumpulan cerpen

Ketika Cinta Bertasbih bag:5

Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dulu dari datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang datang lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan yang datang lebih dulu. Apalagi undangan yang datang lebih dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat.
Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.4
***

Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana didepan pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana tampak riang.

"Hei ke mana saja? Aku sudah mencari Mas Khairul ke mana-mana? Sudah dua puluh tujuh kali aku ngebel ke kamar Mas Khairul! Ada hal penting! Ayo kita bicara di lobby saja!" Eliana nerocos tanpa memberi kesempatan menjawab. Gadis berpostur tubuh indah itu berbalut kaos lengan panjang ketat berwarna merah muda dan celana jeans putih ketat. Balutan khas gadis-gadis aristokrat Eropa itu membuatnya tampak langsing, padat, dan berisi. Parfumnya menebarkan aroma bunga -bungaan segar dan sedikit aroma apel. Wajahnya yang putih dengan mata yang bulat jernih memancarkan pesona yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda yang menatapnya.

Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa begitu ia mencium parfum yang dipakai Putri Pak Dubes itu ia mera- sakan nafasnya sedikit sesak, jantungnya berdegup lebih ken- cang, dan ada sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja meng- aliri tubuhnya.

"Lho kok diam saja, ayo Mas, kita bicarakan di lobby! Ini penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke lobby hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mau tidak mau Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di Alexandria karena kontrak kerja dengannya. "Mbak Eliana sudah shalat?" tanya Azzam pelan. Ia men- coba menguasai dirinya, yang sesaat sempat oleng. Ia me- manggilnya 'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih muda tiga tahun dari dirinya. Tak lain, hal itu karena rasa hormatnya pada gadis itu sebagai Putri Pak Duta Besar.

"Ah shalat itu gampang! Yang penting itu. Ada tugas penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir. Aku janji!" sahut Eliana nyerocos tanpa rasa dosa karena meng- gampangkan shalat.
“T u... tugas?"
“Ya."
"Untuk saya!?"
"Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul?"
"T ugas dari siapa?"
"Ya dariku."
"Dari Mbak?"
"Iya."

Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan mimik serius ia berkata,

"Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai tadi sore Mbak? Dengan berakhirnya acara Pekan Promosi Wisata tadi sore berarti tugas saya kan sudah selesai. Dalam kese- pakatan yang kita buat, saya bertugas membuat dan menjaga Nasi Timlo Solo selama enam hari. Dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore. Menunggu stand enam jam setiap hari. Berarti tugas saya sudah selesai dong. Jika ada tugas lagi ini jelas di luar kesepakatan. Jelas saya tidak bisa meneri- manya Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya sehingga dengan seenaknya Mbak memberi tugas kepada saya!? Apa saya bawahan Mbak!? Maaf saya tidak bisa Mbak!"
Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal se- bagai penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya. Ia sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa melecehkan harga diriya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah bentuk dari penjajahan atas harga dirinya. Azzam adalah orang yang sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang hanya mengham-ba kepada Allah Swt.

Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Prancis agaknya langsung menyadari kekhilafannya. Ia buru buru meralat ucapannya dan meminta maaf.

"Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sesuai dengan kesepakatan kontrak kita, tugas Mas sudah selesai. T etapi ini ada masalah penting yang sedang aku hadapi. Dan aku rasa yang bisa membantu adalah Mas. Baiklah, ini di luar kontrak. Ini antara aku dan Mas sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat yang harus saling tolong menolong. Saling bantu membantu.
"Begini, acara makan malam nanti jam delapan di Pantai El Muntazah. Aku sudah pesan menunya ke Omar Khayyam Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan malam nanti secara mengejutkan kita kedatangan Bapak Duta Besar Indonesia untuk T urki yang datang tadi siang. Beliau teman kuliah ayahku di FISIPOL UGM dulu. Ayah ingin menyuguh - kan menu istimewa untuk-nya. Menu yang mengingatkan akan kenangan masa lalu. Menu itu adalah nasi panas dengan lauk ikan bakar dan sambal pedas khas Jogja. Ayah dulu sering makan menu itu bareng beliau di Pantai Parangtritis. Sebelum Maghrib tadi ayah memintaku untuk menyiapkan menu ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah memerintahkan Pak Ali, sopir KBRI itu untuk menca ri ikan yang segar. Ikan apa saja yang penting layak dibakar. Pak Ali membeli enam kilo dan sekarang sudah ada di dalam kulkas di kamamya. Dan aku datang menjumpai Mas untuk minta to- long kepada Mas menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur, tolong ya?P l ease, ya?" Kata Eliana dengan nada memelas..

Ketika Cinta Bertasbih bag:4

ia tidak berperan menciptakannya.Ia menganggur. Sama se-perti makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan tidak bisa disebutT uhan.

Atau kemungkinan kedua, T uhan-tuhan itu bekerja sama menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan keroyok - an. Jika demikian, jelas jelas mereka bukanlah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab mereka lemah. Bagaimana tidak. Untuk menciptakan matahari saja mereka harus bekerja sama. Tidak bisa menciptakan sendiri. Kekuasaan-Nya tidak mutlak. Yang terbatas kekuasaanya berarti lemah dan tidak layak disebut sebagai T uhan.

Jika Tuhan itu lebih dari satu, bisa saja terjadi pembagian tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari, ada yang bertu - gas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta langit dan seterusnya. Jika demikian, mereka bukan T uhan Yang Maha Kuasa. Sebab pembagian tugas itu menunjukkan kelemahan, menunjukkan ketidak-mahakuasaan. Tuhan yang sesungguh- nya adalah Tuhan Yang menciptakan dan menguasai seru sekalian alam. T uhan yang menciptakan alam semesta ini de- ngan kekuasaan-Nya yang sempurna. Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat maha sem- purna seperti itu hanya ada satu, yaitu Allah Swt. Dialah Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada yang memprok- lamirkan diri sebagai pencipta alam semesta ini kecuali hanya Allah Swt.
"Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada
tuhan- tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci
Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan”2

Pemuda bemama Khairul Azzam itu masih menatap ke arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dati bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, ''Sessungguhnya Allah itu indah dan mencintai kein-
dahan."
"Subhanallah!" Kembali ia bertasbih dalam hati.

Ia terus menikmati detik-detik pergantian siang dan malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke dalam laut yang perlahan menjadi gelap. Siang seolah olah masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang tenggelam. Lalu perlahan bulan datang.S ubhanallah. Siapakah yang mengatur ini semua? Siapakah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam? Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasuk-kan siang ke dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke dalam perut siang.
"Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan

malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan."3

Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu- lampu jalan berpendaran. Alexandria memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kelap- kelip lampu kota yang mendapat julukan "Sang Pengantin Laut Mediterania" itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel.

Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat. Ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “Kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saat- nya shalat," lirihnya menuju lift.

Ketika Cinta Bertasbih bag:3

Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut Mediterania. Nun jauh di sana ia melihat tiga kapal yang tampak kecil dan hitam. Kapal-kapal itu ada yang sedang menuju Alexandria, ada juga yang sedang meninggalkan Alexandria. Sejak dulu Alexandria memang terkenal sebagai kota pelabuhan yang penting di kawasan Mediterania. Pela- buhan utama Alexandria saat ini ada di kanan dan kiri kawa- san Ras El Tin dan kawasan El Anfusi. Dua kawasan itu terletak di semenanjung Alexandria lama. Di ujung seme- nanjung itu berdiri dua benteng bersejarah Yaitu Benteng Qaitbai dan Benteng El Atta.

Dari jendela kamarnya ia bisa melihat Benteng Qaitbai itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga kapal yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia edarkan pan- dangannya ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat begitu lu as dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir, alangkah kecilnya manu- sia. Dan alangkah Maha Penya-yangnya Tuhan yang menji- nakkan lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di antara manu- sia yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia-manusia yang san gat durhaka kepada T uhan. T oh begitu, T uhan masih saja menunjukkan kasih sayangNya. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak,Ia bisa menitahkan ombak untuk meneng- gelamkan kapal itu dan bahkan meluluh-lantakkan seluruh isi Kota Alexandria. Ia teringat firman-Nya yang indah,

"T idakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-N ya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sesung- guhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaran- N ya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur."

Ia terus memandang ke laut Mediterania. Laut itu telah menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa besar yang menggetarkan dunia. Perang besar yang berkobar kare na memperebutkan cinta Ratu Cleopatra terjadi di laut itu. Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran an- tara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania itu.

"Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada diri- nya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" Ia berkata begitu karena nanti malam ada jadwal makan malam bersama selur uh staf KBRI di Pantai El Mumtazah. la yakin akan bertemu lagi dengara Eliana disana.

Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinar- nya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Terasa damai dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu Azzam bertasbih, "S ubhanallah. Maha Suci Allah yang telah mencip t akan alam seindah ini."

Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya. Segala keindahan, keteraturan dan pesona alam bertasbih, menjelaskan keagungan Sang Penciptanya. Bertasbih, menyu- cikan T uhan dari sifat kurang. Keindahan senja sore itu men- jelaskan kepada siapa saja yang menyaksikannya bahwa Tuhan yang menciptakan senja yang luar biasa indah adalah T uhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna ilmu-Nya.

Siang malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara. laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada di alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah Semua telah tahu bagaimana cara melakukan shalat dan tasbihnya. Dengan sinarnya, matahari bertasbih di peredarannya. De- ngan hembusannya udara bertasbih di alirannya. Dengan gelombangnya ombak berta sbih di jalannya. Semua telah tahu bagaimana cara menunjukan tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa.
Keteraturan alam semesta, langit yang membentang tan- pa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas memben- tang, gunung gunung yang menjulang, awan yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan tanam-tanaman, proses penciptaan manusia sembilan bulan di rahim, binatang-bina- tang yang menjaga ekosistem dan keteraturar-keteraturan lainnya, itu semua menuniukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas Tuhan itu hanya boleh satu adanya. Tak mungkin dua, tiga dan sete- rusnya. Tak mungkin.

Sebab, jika T uhan itu lebih dari satu pastilah terjadi keru- sakan di alam semesta ini. Sebab masing-masing akan merasa paling berkuasa. Masing-masing akan memaksakan keinginan - Nya. Mereka akan berkelahi. Misalnya satu menghendaki ma- tahari terbit dari timur, sementara yang satu menghendaki matahari terbit dari barat. T erjadilah perseteruan. Dan rusak- lah alam.

Ternyata matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah terlam- bat terbit. Matahari juga tak pernah bermain main, belari-lari ke sana kemari di langit seperti anak kecil bermain bola atau petak umpet. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk barat tepat pada waktunya. Keteraturan ini menunjukkan, Tuhan Yang Men- ciptakan alam semesta ini adalah satu. Yaitu ‘Allah Wa Jalla, T uhan Yang Maha Kuasa.

Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, yang tak terbatas kekuasaan-Nya itu memang tak mungkin berjumlah lebih dari satu. Sebab seandainya T uhan lebih dari satu, lalu mereka sepakat menciptakan matahari, misalnya. Maka ada dua kemungkinan di sana. Pertama, Tuhan yang satu men- ciptakan,sementara T uhan yang lain berpangku tangan. T idak berbuat apa-apa. Dengan begitu, bisa berarti bahwa Tuhan yang tidak berbuat apa apa itu tidaklah T uhan yang berkuasa. Sia-sia saja ia jadi T uhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan..

Ketika Cinta Bertasbih bag:2

yang membuat Alexandria begitu menakjubkan. Bukan sema- ta-mata pasir putihnya yang bersih yang membuat Alexandria begitu menawan. Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat segala yang dipandangnya tampak menakjubkan adalah kare- na musim semi sedang bertandang di hatinya. Matahari keba- hagiaan sedang bersinar terang di sana. Bunga bunga kesturi sedang menebar wanginya. Tembang tembang cinta menga- lun di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah seo- rang gadis pualam, yang di matanya memiliki kecantikan bu- nga mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang di mata - nya seumpama permata safir yang paling indah.

Gadis itu adalah kilau matahari di musim semi. Sosok yang sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang pesonanya dika- gumi banyak orang. Dikagumi tidak hanya karena kecantikan fisiknya, tapi juga karena kecerdasan dan prestasi-prestasi yang telah diraihnya. Lebih dari itu, gadis itu adalah putri orang nomor satu bagi masyarakat Indonesia di Mesir.

Dialah Eliana Pramesthi Alam. Putri satu -satunya Bapak Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap satu tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk menemani kedua orangtuanya, keberadaannya di Negeri Pyramid itu untuk melanjutkan S.2-nya diAmerican University in Cairo (AUC).

Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan prestasinya. Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian. Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan opininya dalam bahasa Inggris sudah dimuat di koranAhram Gazzette. Opininya menyoroti peran Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat anggota-anggotanya. Liga Arab yang tak punya nyali berha- dapan dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya bisa bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tulisannya rapi
runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan perpaduan pandangan seorang jurnalis, sastrawan dan diplo- mat ulung.

Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang tamu di Nile T V. Di layar Nile T V ia berdebat dengan Sekjen Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada anak Indonesia berbicara di sebuah forum yang tidak sem- barang orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang yang bersinar di langit cakrawala Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia.

Terhitung, gadis yang menyelesaikan S.l-nya di EHESS Prancis itu sudah tiga kali tampil di layar televesi Mesir. Sekali di NileT V. Dua kali di Channel 2. Wajahnya yang tak kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon, Nawal Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca. Selain karena ia memang putri seorang duta besar yang cerdas dan fasih berbahasa Inggris dan Prancis.

Eliana, Putri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada di Alexandria dan tidur di hotel berbintang lima selama satu pekan ini. Meskipun ia sudah berulangkali ke Alexandria, namun keberadaannya di Alexandria kali ini ia rasakan begitu istimewa. Ia tidak bisa mengingkari dirinya adalah manusia biasa, bukan malaikat. Ia tak bisa menafikan dirinya adalah pemuda biasa yang bisa berbunga-bunga karena merasa dekat dan dianggap penting oleh seorang gadis cantik dan ter- hormat seperti Eliana. Gadis yang membuat matahari keba- hagiaan sedang bersinar terang di hatinya.

Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengadakan acara "Pekan Promosi Wisata dan Budaya Indonesia di Alexandria". Beberapa acara pagelaran budaya digelar di Auditorium Alexandria University selama satu pekan. Selama itu juga ada promosi masakan dan makan - an khas Indonesia. Ada empat makanan yang dipromosikan yaitu Nasi Timlo Solo, Sate Madura, Coto Makassar, dan
Empek-empek Palembang. Dan Elianalah yang menjadi pe- nanggung jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Semen- tara ia, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak. Dan ia dikontrak KBRI untuk membuka stand Nasi Timlo Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia harus meninggalkan bisnisnya membuat tempe selama semingu. Ia khawatir langganannya kecewa. Namun Putri Dubes itu terus mendesak dan memohon kesediaannya. Akhirnya ia luluh dan bersedia.

Sejak itulah hatinya berbunga-bunga. Sebab sebelum ber- angkat ke Alexandria ia sering ditelpon Eliana. Dan saat di Alexandria hampir tiap hari Eliana datang ke standnya untuk mengontrol, melihat-lihat, atau hanya sekadar untuk menga- jaknya bicara apa saja.
"Aku salut Iho ada mahasiswa yang mandiri seperti Mas
Insinyur." Puji Eliana. Hatinya tersanjung luar biasa.

Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah begitu menghor- matinya. Ia dipanggil dengan panggilan "Mas Insinyur", bu- kan langsung memanggil namanya, atau dengan kata ganti "kamu" atau "Anda". Orang-orang memang biasa memang- gilnya "Mas Khairul", karena namanya Khairul Azzam, atau "Mas Insinyur" karena ia memang dikenal sebagai "Insinyur"- nya dunia masak memasak di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo. Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain. Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelu mnya.

Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke arah pantai. Dua orang muda-mudi Mesir berjalan mesra menyusuri Pantai Cleopatra yang berada tepat di depan hotel.

Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba-tiba berkelebat pikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan Eliana. Alangkah indahnya.
Astaghfirullal!la ber ist ig h far .
Ia merasa apa yang berkelebat dalam pikirannya itu
sudah tidak dianggap benar.

Ketika Cinta Bertasbih bag:o1

SENJA BERTASBIH
DI ALEXANDRIA
Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung -gedung, menara-menara, dan kendaraan -kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.

Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumah-rumah- an dari pasir. Di tangan anak-anak itu pasir pasir putih tampak seumpama butir-butir emas yang lembut berkilauan diterpa sinar matahari senja.
Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, sepasang muda-
mudi tampak bercengkerama mesra. Di antara mereka masih
ada yang membawa buku-buku tebal di tangan. Menandakan mereka baru saja dari kampus dan belum sempat pulang ke ru- mah. Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi me- reka daripada suasana senja di rumah. Bercengkerama dengan pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada berceng- kerama dengan keluarga; ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.

Di mana-mana muda-mudi yang sedang jatuh cinta sama. Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. W aktu untuk ber- temu, saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran mereka adalah pesona sang kekasih yang dicin ta. T ak terlintas sedikit pun bahwa senja yang indah yang mereka lalui itu akan menjadi saksi sejarah bagi mereka kelak. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertang- gung jawabkan kepada-Nya: Di hadapan pengadilan Dzat Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman dan ketidakadilan di sana.

Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu indah.Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih putih. Bergelombang naik turun. Berkejar kejaran menampakkan keriangan yang sangat menawan. Semilir angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya benar -benar terasa seumpama de- sau suara zikir alam yang menciptakan suasana tenteram.

Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi keindahan dan kedamaian saja.

Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca dan suasana menjelang musim semi yang membuat Alexandria senja itu begitu memesona. Bukan semata-mata sihir matahari senja

Cinta Elena & Pedro

Wanita tua itu duduk sendirian di kursi pedestrian Las Ramblas. Semilir angin menggeraikan rambutnya yang keemasan. Sesekali ia mengangguk atau melemparkan sesungging senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya dan kebetulan menoleh ke arahnya. Sudah hampir pukul sembilan malam rupanya. Sinar matahari masih terlihat jelas di ufuk barat sana. Pengamen-pengamen asal Puerto Riko asyik menyanyikan lagu-lagu tradisional mereka. Lagu-lagu tentang semangat kerja rakyat petani. El Cantar de un Campesino (A Farmer’s Song), Mi Jaragual (My Little Farm), meluncur mendayu-dayu diiringi dansa-dansa yang amat indah. Beberapa orang berkerumun untuk mendengarkan. Ada juga yang membeli kaset hand made-nya seharga 10 pesetas.

“Como estas, hoy, Elena?”

“Bien. Muy bien, Pedro.”

Seorang pria duduk di sebelahnya. Sebuah tongkat kayu dari pohon ek berada di tangannya. Ia setua si wanita. Kepalanya botak. Berkilat-kilat kena cahaya lampu yang mulai dinyalakan. Si wanita mencium aroma wewangian dari tubuh si pria. Kesegaran menjalari seluruh tubuhnya.

“Apakah mereka sudah menyanyikan Cantandole a lo Nuestro?” si pria bertanya. “Aku selalu menyukai lagu itu.”

Si wanita tersenyum. “Belum. Kau bisa memberinya beberapa pesetas dan meminta mereka menyanyikannya untukmu.”

“Untuk kita.”

Tersenyum, tangan si wanita memegang tangan si pria. Bara cinta meletup di dadanya.

“Ya, untuk kita, Pedro,” katanya.

Sesaat ia diam.

“Aku baru saja mendapatkan cucu ketiga,” kata si wanita beberapa saat kemudian. Suaranya datar. Matanya menatap ke pengamen obor api yang memasukkan dan mengeluarkan obor berapi di mulutnya. “Una hija. Muy bonita.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan sekulum senyum.

Si pria menoleh.

“Siapa orangtuanya?” ia bertanya. Suaranya lirih. Ada nada pedih. Seperti ada beban yang menindih.

“Si bungsu. Julia.”

Si pria menarik napas. Tanpa berkata.

“Kau tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Pedro? Por que?” si wanita menoleh, memandang laki-laki di sebelahnya itu. Ia masih tampan seperti dulu, si wanita membatin. Ia menyembunyikan sukacita di hatinya. Api cinta bergejolak di dadanya.

“Kau ingin aku mengatakan apa? Aku turut bahagia dengan segala anugerah yang kau terima? Begitukah?”

“Setidaknya kau bisa berkomentar apa saja, Pedro. Kau bisa pura-pura bahagia. Demi aku.”

Malam terus merayap. Matahari sebentar lagi akan lenyap ditelan Bumi. Begitulah selalu di Spanyol. Di musim panas, matahari seolah enggan buru-buru berhenti menyinari Bumi.

“Bagaimana kabar Raul? Apakah ia bahagia dengan Bettina?” si pria bertanya. Di wajahnya lintasan kebahagiaan berpendar-pendar. Ia menunggu jawaban si wanita dengan dada berdebar. Tak sabar.

“Raul sering kali menanyakanmu. Ia selalu merindukanmu.”

Mendadak si pria tersenyum getir. Dalam benaknya, wajah Raul bergulir. Seorang pria tinggi besar yang hampir saja tewas karena serudukan banteng di gelanggang matador di La Monumental de Barcelona. Itu yang membuatnya berhenti sebagai torero, meskipun itu adalah cita-citanya sejak kecil. Ia ingin sekali menjadi seperti Pedro Romero, matador legendaris yang amat masyhur, yang selalu dielu-elukan penonton dalam setiap pertunjukan.

Si pria melirik si wanita. Tangannya masih dalam genggaman tangan si wanita. Api cintanya membara.

“Aku sebenarnya menginginkan ia menjadi pemain sepak bola,” katanya dengan sunggingan senyum tertahan. “Kalau ia menuruti kata-kataku, mungkin saat ini ia tengah bertanding di La Liga bersama Raul Gonzalez. Akan ada dua Raul di sana. El Merengues selalu jadi tim kebanggaanku meski aku orang Basque. Aku tak ingin ia berada di Nou Camp. Aku cuma ingin ia berada di Santiago Bernabeu.”

Si wanita tersenyum. Tangannya masih juga memegang tangan si pria. Ia tahu Pedro tak ingin Raul berada di Nou Camp. Stadion kebanggaan pendukung El Barca itu terlalu banyak tahu tentang mereka. Di sanalah ia dan Pedro pertama kali bertemu ketika Barcelona dikalahkan Liverpool dalam suatu pertandingan tingkat Eropa >jmp -2008m<>h 6024m,0<>w 6024m<1)>jmp 0m<>h 8000m,0<>w 8000m< 26 tahun lalu. Pedro datang dengan segala atribut El Barca. Begitu juga Elena. Dalam sekali pandang, cinta mereka bertaut. Di dada mereka bunga-bunga cinta membalut. Jantung keduanya serasa lebih cepat berdenyut.

Dua tahun Elena dan Pedro bahu-membahu sebagai pendukung Barcelona sampai kemudian cinta mereka dipisahkan oleh takdir, sama seperti El Barca yang dua tahun sebelumnya disisihkan klub sepak bola dari tanah Inggris itu. Cinta memang tak selalu mempertautkan raga meski jiwa mereka takkan terpisahkan oleh apa saja.

“Kukira sudah terlalu malam,” kata si pria kemudian. Suaranya agak parau. “Sudah saatnya kita berpisah. Aku pamit.” Si pria bangkit. Mengecup kening si wanita. “Buenas noches, Elena. Hasta luego.”

Si wanita tersenyum. “Pedro,” katanya, menghentikan langkah si pria. “Te amo.”

“Mi, tambien.”

Tak ada yang berubah di Las Ramblas. Pejalan kaki tetap berseliweran dari pagi sampai pagi. Ada yang santai, ada yang dalam gegas. Para pengamen berdiri di sisi jalan dengan kesabaran tanpa batas. Semuanya mempertontonkan kelebihan masing-masing seraya berharap ada pejalan kaki yang rela menyisihkan uang recehnya beberapa pesetas. Mereka tak menadahkan tangan. Mereka menjual kepandaian. Ada yang berperilaku seperti manekin hidup dengan tubuh berbalut semacam cat putih dan baru mengubah posisi mematungnya manakala seseorang melempar uang receh pada sebuah wadah di depannya. Kelompok penyanyi Puerto Riko juga tetap setia membawakan lagu-lagu rakyatnya di depan sebuah toko yang menjual berbagai macam majalah dan koran.

Elena, si wanita berambut keemasan itu, juga tetap setia duduk di kursi yang kemarin didudukinya. Entah ini hari ke berapa ia berada di sana. Ia belum pikun untuk menghitung masa. Tapi, ia memang tak ingin menghitung. Ia khawatir hitungannya terhenti pada bilangan tertentu. Ia ingin menikmati masa-masa tuanya seperti yang ia inginkan sendiri. Tanpa terikat apa-apa.

Seperti juga hari-hari sebelumnya, Pedro, si pria tua itu, muncul belakangan. Dengan tongkat di tangan. Yang diketuk-ketuknya perlahan-lahan ketika ia berjalan. Tanpa tongkat itu pun ia sebenarnya masih bisa bertahan. Tongkat dari kayu ek itu lebih hanya sebagai teman. Yang membuat langkahnya terasa lebih ringan.

“Buenos dias, Elena,” katanya begitu tiba. Tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sebelah si wanita.

“Buenos dias,” Elena tersenyum sumringah. Kesejukan di hatinya singgah. Di dadanya rasa nyaman merambah. Sisa-sisa api cinta berpendar-pendar di matanya yang cerah.

“Kau sehat?” si pria bertanya, seperti coba mencari topik pembicaraan di sore yang juga cerah.

“Seperti yang kau lihat. Sejak dulu matamu selalu bagus, bukan?” si wanita menjawab. Tanpa menoleh.

Sepasang muda-mudi kemudian duduk di kursi di depan di seberang mereka. Dengan es krim di tangan mereka. Si pemudi menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemuda. Si pemuda menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemudi. Lalu, keduanya bersama-sama menggigit es krim di tangan si pemudi dalam waktu bersamaan. Lalu mereka tertawa-tawa berkakakan. Mereka seolah cuma ada berduaan. Mereka tak peduli dengan pejalan kaki yang berseliweran.

Si wanita tersenyum. Si pria tersenyum. Keduanya teringat masa-masa lalu yang indah di Plaza Montjuic di bawah tempias air mancur yang meloncat-loncat seiring dentuman drum dari simfoni-simfoni klasik gubahan Beethoven entah berapa waktu lalu. Ketika cinta tengah membuat mereka mabuk. Ketika saling memberi dan menerima merasuk.

“Kau masih ingat ketika itu aku meringis, bukan?” si wanita menoleh.

“Ya, katamu gigimu sedang sakit. Bukankah kau sakit gigi waktu itu?”

“Bukan sakit gigi. Sariawan membuat gusiku peka.”

Kenangan-kenangan indah bermunculan susul-menyusul memenuhi benak mereka manakala mereka tengah duduk berdua seperti sekarang ini. Selain Nou Camp, sudut-sudut Plaza Montjuic jadi saksi abadi keabadian cinta mereka. Cinta yang tak lekang oleh waktu dan perubahan. Ketika mereka saling memagut dalam alunan cinta yang kian bertaut. Ketika kelana cinta mereka menari-nari dalam sinar mercury yang remang. Saat itu mereka yakin takkan ada yang mampu memutus tali dan jalinan kasih mereka, setelah setetes benih juga tersemaikan dalam sebuah romantisme kasih tak terperi.

Tapi, takdir itu kemudian datang memisahkan mereka. Elena harus menikah dengan pria lain pilihan ayahnya. Tak pernah terbayangkan hal itu dapat terjadi. Demi sebuah bisnis keluarga, Elena, si wanita terkasih, disujudkan kepada laki-laki yang tak dicintainya. Dan keduanya pun kemudian berpisah dalam dekap penuh tangis di sebuah kamar hotel tua di sisi pedestrian Las Ramblas ini. Wajah mereka basah oleh air mata dan tetes-tetes cinta.

Hampir dua puluh delapan tahun peristiwa itu berlalu. Dan kini alam mempertemukan keduanya kembali. Dalam tubuh yang renta, cinta mereka tetap bergelora. Dalam tubuh renta mereka, api kasih masih panas membara. Masa tak mampu memupus dan memudarkan hasrat mereka untuk tetap bersama. Api cinta mereka memang terpendam. Tapi tak pernah padam. Cinta mereka memang terbelenggu. Tapi kasih mereka tak dilekangkan oleh perubahan dan waktu.

“Kau mencintai istrimu, Pedro?” si wanita bertanya.

Si pria menoleh. Inilah untuk pertama kalinya pertanyaan seperti itu meluncur. Setelah sekian lama mereka kerap bertemu dan saling mencurahkan isi hati yang pernah hancur. Haruskah aku menjawabnya secara jujur? Si pria bertanya dalam hati. Jika aku berkata jujur, apakah hatinya takkan hancur? Ia kembali mengetuk hatinya dengan pertanyaan penuh keraguan.

“Almarhumah istriku?” ia mencoba mengulur. Sambil coba mencari jawaban yang paling tepat. Yang takkan melukai hati si wanita di sisinya. Wanita yang dulu selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.

Si wanita menoleh. Melemparkan senyum. Dengan bibir yang masih tampak ranum. Setidaknya di mata si pria yang kian rabun. Tapi, senyuman itu sekaligus membuat si pria gelisah. Membuat hatinya resah. Dan ia merasa keringat telah membuat telapak tangannya basah. Embusan angin membuat hatinya makin galau. Di dadanya menggumpal rasa risau. Pedihnya seperti tertusuk-tusuk sejuta pisau.

“Setidaknya aku punya anak dari Evita,” suaranya parau. “Aku mencintai anak-anakku. Pablo dan Javier.” Ia diam sejenak. Sesuatu seperti membuat tenggorokannya tersedak. Ketika ia melirik si wanita, ia melihat angin membuat rambut si wanita tersibak. Dan ia seperti menunggu. “Apakah, apakah kau mencintai suamimu?” ia bertanya setelah mengumpulkan segenap keberanian.

Si wanita tertawa kecil. Suaranya agak menggigil.

“Mengapa kau tertawa, Elena?” si pria bertanya.

“Seperti kau, dari Enrique aku punya Julia.”

“Dan Raul.”

“Kau tak ingin mengatakan Raul sebagai anakmu?”

Si pria tak segera menjawab. Seolah ingin membiarkan pertanyaan itu menguap.

“Kau masih mendengarkan aku, Pedro?”

“Ya,” tenggorokan si pria terasa kian tercekat. “Raul mungkin darah dagingku. Tapi ia anakmu dan Enrique.”

Malam merayap naik. Udara dingin kian terasa menusuk tubuh mereka yang renta.

“Aku pulang dulu, Elena,” kata si pria mendahului setelah seorang pemuda meluncur di depannya dengan sepatu roda di kakinya.

Elena bangkit. Pedro pun bangkit. Ia mengecup kening si wanita. Lalu melangkah ke arah utara. Si wanita melangkah ke selatan, ke Plaza de Catalunia.

HARI berikutnya, keduanya bertemu di Plaza de Toros La Monumental de Barcelona, sebuah bangunan tua yang tetap terawat dengan sangat baik. Keduanya memang selalu menyukai aksi para torero dan matador membunuh banteng.

“Kudengar makin banyak yang menentang pertunjukan seperti ini,” kata si pria ketika keduanya duduk di kursi dari kayu tua di barreras. “Kelihatannya memang tak manusiawi. Tapi alam diciptakan Tuhan untuk manusia. Makhluk-makhluk lain adalah pelengkap. Mereka harus menjadi bagian yang membahagiakan manusia.”

“Itu katamu,” si wanita menyunggingkan senyum ketika para paseillo memasuki arena dan melambaikan tangan mereka kepada para penonton. Sejak kecil, si wanita selalu dibuat kagum oleh pakaian para torero yang berwarna-warni. “Mereka, para pencinta lingkungan dan binatang, menginginkan semua makhluk hidup, hidup berdampingan secara damai.”

“Tapi ini tradisi kita,” si pria membantah.

“Aku tahu. Dan kita ke sini bukan untuk berbantah-bantahan, bukan? Kita ke sini untuk menonton.”

Si pria terperangah oleh suara si wanita yang terdengar getas. Ia masih seperti dulu, si pria membatin. Ia ingat ketika pertama kali memasuki La Monumental de Barcelona sebagai sepasang kekasih. Elena menolak duduk di barreras karena harga tiketnya mahal. Ia lebih suka duduk di gradas. Tiketnya paling murah. “Kalau kau mau duduk di sana, silakan kau duduk sendiri. Aku mau kita di gradas,” katanya ketika itu. Buru-buru si pria meraih tangan kanan si wanita dengan tangan kirinya. Menggenggamnya erat-erat. Seperti tak ingin terlepas.

Seorang novilladas memasuki arena. Siap memulai pertunjukan. Tepuk tangan kecil terdengar. Begitulah selalu nasib para matador pemula. Ia harus lebih dulu mempertontonkan kecekatannya menguasai seekor banteng sebelum kemudian diakui menjadi torero dan akhirnya setelah kemampuannya teruji, menjadi matador sesungguhnya.

“Siapa matador kesukaanmu sekarang?” si pria berdehem sesaat kemudian.

“Seperti cintaku padamu, sampai sekarang aku masih lebih menyukai Pedro Romero.”

“Tapi ia telah tiada.”

“Karena itu, hari ini aku ingin melihat aksi Enrique Ponce.”

“Enrique?”

Si wanita menoleh. Tersenyum penuh arti.

“Jangan seperti anak kecil, querido mio. Tak ada hubungannya dengan Enrique almarhum suamiku. Aku menyukainya karena kehebatannya, bukan karena namanya. Saat ini tak ada Enrique dalam batinku.”

Enrique Ponce memasuki arena. Ia akan memuncaki pertunjukan siang itu. Tepuk tangan membahana ketika ia keluar dari puerta grande. Tepuk tangan kian membahana ketika seekor banteng besar seberat 360 kg dihadapkan kepadanya. Dan, ia tak perlu berlama-lama untuk menancapkan estoque-nya melalui leher bagian atas si banteng yang kemudian perlahan-lahan seperti bersujud di hadapan sang matador.

“Ia seperti memiliki mata malaikat,” si wanita berkata, seperti mendesah.

“Ia memang luar biasa. Suatu saat ia mungkin bisa seperti Pedro Romero, sang legendaris itu,” sambung si pria.

Kini keduanya duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari besi di sisi jalan tak jauh dari Plaza de Toros. Matahari bersinar amat cerah. Langit tampak kebiruan.

“Aku tak ingin semua ini segera berakhir,” si pria berkata, ditingkahi suara burung-burung hoopoe dari kejauhan.

“Tapi hidup ada batasnya,” sahut si wanita seiring desiran dedaunan pohon palem yang ditiup angin.

“Kau ingin kita menyudahi semuanya, Elena?”

Tak terdengar sahutan. Mata si wanita menatap ke kejauhan. Di sana tampak empat pria tua asyik bermain petanque, yaitu permainan melempar besi berbentuk bulat seperti bola lontar martil.

“Kau ingin aku menikahimu?” si pria kembali bertanya.

Si wanita meringis.

“Akan menjadi pernikahan yang menarik,” ia mendesah beberapa saat kemudian. “Tapi Raul tak ingin hal itu terjadi.”

Si pria tampak terperanjat.

“Sudah kau ceritakan siapa aku kepadanya?” si pria bertanya. Menduga-duga. Rasa galau berloncatan di dadanya.

“Tidak seperti yang mungkin kau sangka. Baginya, kau cinta pertamaku. Ia tahu apa itu artinya.”

“Tapi, kenapa ia tak setuju kita menikah?”

Tak segera terdengar sahutan.

“Aku tak ingin tahu alasannya. Aku cuma tahu ia tak setuju.”

Lama keduanya terdiam.

Hening menyungkup kamar itu. Si pria duduk memandang si wanita. Ada gelora cinta. Menggemuruhi dada keduanya.

“Kau masih secantik dulu,” katanya lebih mirip desahan. Suaranya agak tertahan. “Cintaku tak pernah dilekangkan oleh zaman.”

Setetes air bening menetes di mata si wanita. Tak ada luncuran kata. Ia tetap diam tanpa suara, beberapa lama. Tapi di dadanya kebahagiaan melanda.

Si pria berdiri. Melangkah perlahan menghampiri. Si wanita duduk diam menanti. Dadanya berdegup tiada henti.

Beberapa lama si pria dan si wanita duduk dalam diam. Keheningan mencekam. Tapi gemuruh cinta di dada keduanya berdentam-dentam.

Lalu, ruangan itu gelap. Dalam gelap, si pria menatap bebukitan tandus tapi memberinya gairah meluap. Si wanita tergagap. Dalam gagap ia menemukan sepucuk tunas tumbuh. Gairah di dadanya pun meletup. Jantungnya kian kencang berdegup.

Dalam kepasrahan ia membiarkan si pria pergi. Mendaki. Mendaki dan mendaki. Sampai kemudian semuanya berhenti. Dalam sunyi abadi.

Raul, Julia, Pablo, dan Javier berdiri berjajar. Dengan baju serba hitam. Di hadapan mereka berjajar dua tubuh dalam diam. Dalam peti berbalut kain hitam. Sebentar lagi prosesi pemakaman dilakukan.

“Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi,” kata Pablo. Kalimat itu ia tujukan buat Raul dan Julia.

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang dapat dipersalahkan,” kata Raul dengan wajah tetap tertunduk.

“Mereka pergi membawa cinta abadi mereka,” kata Julia lirih.

Tak ada yang menyahut lagi.*

Jakarta, Februari 2004

Catatan:

Como estas, hoy? Apa kabarmu?
Bien. Muy bien, baik, baik sekali.
Pesetas, nama mata uang Spanyol.
Una hija. Muy bonita, seorang anak perempuan. Cantik sekali.
Por que? Kenapa?
Torero, sebutan umum untuk matador. Matador, bintang dalam pertunjukan matador. Tingkatannya di atas torero.
La Liga, divisi utama Liga Spanyol.
El Merengues, julukan klub sepak bola Real Madrid.
Nou Camp atau Camp Nou, kandang klub sepak bola Barcelona.
El Barca (baca El Barsa), julukan klub Barcelona.
Buenas noches. Hasta luego, selamat malam, sampai jumpa.
Te amo, aku cinta padamu.
Mi, tambien, aku juga.
Buenos dias, selamat siang.
Plaza de Toros, tempat pertunjukan matador.
Paseillo, parade para matador sebelum pertunjukan.
Barreras, kursi terdepan (termahal).
Novilladas, matador pemula.
Gradas,tempat duduk paling tinggi.
Querido mio, sayangku (My dear).
Puerta grande, pintu utama.

1) Barcelona kalah 0-1 dari Liverpool dalam pertandingan semifinal Piala UEFA second leg pada 30 Maret 1976.

Bang acung tidak bunuh diri ,eyaaa

Tiga kali Ny Laila tak sadarkan diri. Yang pertama pukul sembilan pagi ketika ia mendapat kabar Mansur, anaknya, meninggal dunia. Dunia tiba-tiba terasa jadi begitu gelap. Tak pernah terbayangkan anak keduanya akan pergi begitu cepat. Karena itu, begitu mendengar kabar duka itu, seluruh persendian tubuhnya terasa lunglai. Ia seperti kehilangan seluruh darah dan tenaganya.

Ny Laila pingsan untuk kedua kalinya pukul sebelas siang begitu ia akhirnya tahu orang kasak-kusuk membicarakan soal penyebab kematian Mansur. Putranya yang baru berusia 18 tahun itu meninggal bukan karena komplikasi penyakit yang selama ini ia derita dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Mansur meninggal karena bunuh diri. Ia dikabarkan melompat dari lantai empat rumah sakit tempatnya dirawat selama ini. Untuk pertama kalinya Ny Laila berteriak histeris. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar.

Untuk ketiga kalinya Ny Laila pingsan setelah jasad Mansur dibawa pulang dari rumah sakit. Ia pingsan setelah melolong-lolong sambil mendekap tubuh lunglai Mansur. Sisa-sisa darah masih tampak di beberapa bagian tubuh putranya. Dua petugas kepolisian baru saja pulang. Keduanya gagal membujuk Mahmud, suaminya, untuk menuntut pihak rumah sakit yang telah mengabaikan unsur pengamanan bagi para pasien. Kematian Mansur tak lepas dari lemahnya hal itu. Mahmud tak ingin lagi direpotkan untuk urusan-urusan seperti itu. Ia ingin menerima kematian anaknya sebagai suratan takdir. Kecuali kalau tuntutan itu bisa menghidupkan lagi anaknya.

Kini Ny Laila duduk bersimpuh di salah satu sudut ruangan tak jauh dari jasad Mansur dibaringkan. Ia merasa seluruh tubuhnya kian lemah. Tatapan matanya kosong. Ia seperti tak lagi mendengar orang-orang yang berganti-ganti mendekatinya dan menghiburnya. Sesekali air matanya meleleh. Matanya sembab. Mahfud, kakak Mansur, duduk bersimpuh di samping jenazah adiknya sembari tak henti-henti membacakan Surat Yasin. Suaranya patah-patah. Di sebelahnya, Mahmud, ayahnya, juga membacakan Surat Yasin. Suaranya terputus-putus dalam isak yang tertahan. Sesekali ia menyeka air mata. Sesekali ia juga berhenti membaca ayat-ayat suci itu untuk menerima uluran tangan atau dekapan para tamu yang datang untuk menyatakan ikut berbelasungkawa.

Di mata Ny Laila terus-menerus melintas bayangan Mansur yang ceria. Pada usia 16 dua tahun lalu, Mansur adalah anak yang sangat sehat. Meskipun badannya gemuk, ia adalah anak yang lincah. Suka bermain sepak bola. Ia juga rajin mengikuti kegiatan remaja masjid dan aktif sebagai anggota kelompok marawis. Mansur adalah anak yang disukai teman-temannya karena perangai santunnya. Ia tak pernah menyakiti perasaan teman-temannya.

Memasuki usia 17, Mansur memang mulai mengeluhkan tubuh tambunnya. Cinta membuatnya ingin tampil lebih menarik. Mona, gadis temannya di kelompok remaja masjid yang ditaksirnya, kata Mansur kepada ibunya, menolak cintanya. Mona ingin punya pacar yang tubuhnya langsing.

Mengikuti nasihat ibunya, Mansur kemudian mencoba berpuasa tiap hari Senin dan Kamis. Tetapi, baru berjalan satu bulan, ia berhenti karena tak tahan godaan. Upaya mengurangi makan pun tidak berhasil karena Mansur juga tak bisa menahan rasa lapar. Ny Laila tahu bagaimana Mansur secara sembunyi-sembunyi makan atau jajan.

Ayahnya yang kemudian menyarankan Mansur meminum minuman suplemen pelangsing tubuh yang banyak diiklankan dan dijual di toko-toko. Dan, ternyata, hasilnya sangat manjur. Bobot badan Mansur turun secara menakjubkan karena ia memang seperti kehilangan nafsu makan. Tetapi, empat bulan kemudian Mansur jatuh sakit. Dokter yang memeriksa meminta Mansur menjalani rawat inap karena ususnya mengalami luka serius. Mahmud yang kemudian tak henti menyesali dirinya. Kenapa ia sendiri yang justru menyarankan anaknya meminum suplemen pelangsing tubuh itu? Mengapa ia tak membiarkan saja Mansur memiliki tubuh tambun tapi sehat? Apalagi setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, Mansur kemudian jadi langganan. Ia bolak-balik menjalani perawatan karena penyakitnya kerap kali kambuh. Yang terakhir, kata dokter, ia mengalami komplikasi. Selain luka di usus yang kembali kumat, ginjalnya juga terganggu. Karena itu, ia kembali harus dirawat untuk waktu yang tak jelas sampai kapan.

Lima malam sebelum kematian Mansur, Mahmud bersimpuh di atas sajadah di kamarnya di tengah malam. Kepada Tuhan ia panjatkan doa agar putranya segera disembuhkan. Kepada Tuhan pula ia mengadu bahwa ia tak lagi punya uang untuk membayar biaya-biaya perawatan dan pengobatan anaknya. Hampir semua benda berharga di rumahnya telah dijualnya. Ia kini hampir tak memiliki apa-apa lagi.

Empat malam sebelumnya, Ny Laila membesuk putranya. Dan menginap di rumah sakit. Tengah malam ia terbangun dan terkesima melihat sesosok wanita berpakaian serba putih berdiri di sudut ruangan. Sorot mata perempuan berambut panjang itu begitu tajamnya sampai-sampai mulut Ny Laila ternganga dan napasnya terengah-engah ketakutan. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Sorot mata itu seolah mengatakan ia tak boleh berada di situ. Sorot mata itu melukiskan betapa perempuan itu membencinya. Ketika akhirnya bayangan itu lenyap, Ny Laila merasa tubuhnya panas dingin. Ia tak mampu lagi memejamkan mata sampai pagi tiba. Sesampainya di rumah, panas dinginnya tak kunjung hilang. Sorot tajam tatapan mata perempuan misterius itu seolah terus mengikutinya. Karena itu, ia tak lagi berani membesuk putranya.

Juga kemarin, sehari sebelum Mansur dikabarkan meninggal dunia. Kata Mahmud, suaminya, Mansur ingin segera dibawa pulang. Tetapi, sebelum itu, ia ingin sekali ibunya datang membesuk. Amat merindukan ibunya. Dengan alasan tubuhnya masih lemah, Ny Laila menolak pergi ke rumah sakit. Sampai kemudian ia mendengar kabar itu dan kini ia cuma bisa menyesali semuanya.

Ny Laila masih bersimpuh di tempatnya. Tiba-tiba ia menangis lagi. Ia ingat ucapan seorang guru ngajinya. Bahwa orang yang meninggal karena bunuh diri, arwahnya tak bisa diterima Tuhan. Tuhan bahkan memurkai makhluk-Nya yang membunuh dirinya hanya karena ingin melepaskan diri dari segala belitan persoalan hidup. Duka mendalam menderanya. Dalam tangis ia berdoa semoga Tuhan mau memaafkan segala kesalahan anaknya.

Sebagai tetangga, aku datang melayat sesaat sebelum jenazah Mansur dimandikan. Kuucapkan rasa belasungkawa mendalam kepada Mahmud yang tampak tegar. Matanya tampak lelah dan marah. Ia tersenyum getir. Kuucapkan juga rasa belasungkawa kepada Ny Laila. Air matanya meleleh. Tak ada senyum. Tatapannya kosong. Menembus relung-relung gelap di antah berantah.

Kusingkap kain penutup wajah Mansur. Di pipi kirinya ada sisa-sisa darah yang telah mengering. Tetapi, ia tampak damai. Pejam matanya seperti bocah remaja yang tengah tertidur pulas sekali. Bahkan bibirnya seperti tengah tersenyum. Jauh dari gambaran-gambaran menyeramkan yang secara liar melintas dalam benakku. Sebelum pulang, dengan tulus kuucapkan pula doa. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fu anhu. Setelah itu kubacakan Surat Alfatihah. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan. Apa pun penyebab kematiannya.

Ocha, putriku, baru saja bangun dari tidur siangnya ketika aku tiba di rumah. Ada segaris putih di sudut bibirnya tanda ia ngiler waktu tidur.

”Ayah habis dari mana?” ia bertanya. Suaranya serak.

”Habis melayat.”

Gadis berusia enam tahun itu menyibak rambut yang menutupi matanya.

”Melayat Bang Acung?” ia bertanya lagi.

”Bang Acung? Bukan. Bang Mansur,” kataku.

”Iya, Yah. Bang Acung itu Bang Mansur,” istriku menimpali sambil lewat.

”O, gitu. Memangnya kenapa, Ocha?” aku bertanya melihat ia seperti sangat tertarik.

”Yah, Bang Acung kata orang mati karena bunuh diri,” gadisku bersila di hadapanku.

”Ocha dengar dari siapa?”

”Kata orang-orang, Yah. Bunuh diri itu kan enggak boleh ya, Yah. Tetapi, orang-orang enggak tahu sih. Bang Acung itu bukan bunuh diri, Yah.”

”Kenapa Ocha bilang begitu?”

”Tadi Ocha mimpi, Yah,” jawabnya.

Gadis kecilku itu kemudian menceritakan mimpinya. Katanya, Bang Acung mula-mula sedang tidur di rumah sakit. Tiba-tiba ia terbangun karena mendengar ada yang memanggil-manggil namanya. Suaranya datang dari samping kamarnya. Bang Acung lalu membuka jendela kamarnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seekor cecak. Kepalanya dua. Lalu Bang Acung mendengar bisikan. Kata suara itu, kalau mau sembuh dari penyakitnya, Bang Acung harus memakan cecak berkepala dua itu. Bang Acung, cerita putriku selanjutnya, menyambar cecak itu untuk dimakan. Saat itulah ia terpeleset dan terpelanting jatuh ke bawah.

”Jadi begitu ceritanya, Yah. Jadi, Bang Acung itu bukan mati karena bunuh diri. Dia jatuh. Orang-orang tidak pada tahu sih, Yah. Coba kalau mereka tahu seperti Ocha, orang-orang pasti tidak akan bilang Bang Acung bunuh diri.”

Aku agak tertegun. Lalu terbayang wajah damai Mansur. Dengan bibirnya yang seolah tersenyum. Diam-diam aku pun berharap mimpi putriku tak sekadar bunga tidur...

Nima

Sobri bersiul. Jari-jari tangannya yang kasar terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh Arni. Gadis berusia enam tahun itu sesekali tertawa cekikikan. Kadang terdengar teriaknya, ”Jangan keras-keras, Pak!” Sobri tertawa. Kadang menggelitik ketiak bocah itu. Setelah selesai menjelajahi seluruh tubuh anak itu dengan sabun di tangannya, Sobri menyambar gayung dan menyendok air di bak mandi lalu mengguyur tubuh bocah itu. Arni berjingkrak- jingkrak seperti tengah bermain lompat tali. Mengusir rasa dingin. Dengan handuk yang baru dicuci, Sobri serta-merta menyergap wajah bocah itu. Arni gelagapan. Sobri memindahkan balutan handuk itu ke tubuh bocah itu. Lalu memapahnya keluar dari kamar mandi. ”Seger kan?” katanya kepada gadis itu.

Betul hari ini Makku pulang, Pak?” gadis itu bertanya kepada ayahnya ketika Sobri dengan telaten menyeka sisa-sisa air dari tubuhnya.

”Jika tidak ada halangan, Mak pulang hari ini,” jawab Sobri. Wajah gadis itu berbinar-binar. Matanya berkilat-kilat. Sobri menyimpan sukacitanya dalam dadanya. Menahannya sekuat tenaga agar letupannya tak terlihat Arni. Tiga tahun sudah Nima tak pulang dari Jepang dengan berbagai alasan dan selama tiga tahun itu pula kerinduan Sobri tertahan.

”Mak bawa apa nanti, Pak?” Arni mengusik khayal Sobri yang mulai liar dibakar api kerinduan yang begitu lama diperam.

”Boneka. Boneka Jepang,” jawab Sobri. ”Makmu pernah bilang begitu. Apa namanya? Ah ya, momotaro. Namanya momotaro.”

Arni cekikikan melihat wajah ayahnya ketika mengucapkan kata itu. ”Tapi, seperti apa itu momo… momotaro itu, Pak?”

”Wah, Bapak juga nggak tahu. Nanti saja kita lihat sendiri seperti apa.”

”Lalu, bawa apa lagi?” Arni melanjutkan pertanyaan sambil coba menyisir rambutnya yang panjang sebahu.

Sobri berpikir sesaat. Matahari terus merambat mendaki kaki langit di sebelah timur, mengintip dari balik gunung, satu-satunya gunung yang tinggal di Desa Cibaresah itu.

”Uang, Pak. Uang,” Arni menjawab sendiri pertanyaannya. ”Uang untuk sekolah.”

Sobri mengambil sisir dari tangan anak itu, membantunya menyisiri rambut anaknya. Ditatapnya wajah bocah itu di kaca. Sobri mengagumi wajah Arni, wajah yang mirip dengan wajah ibunya. Alis matanya yang hitam, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang kemerahan, hidungnya yang mancung.

Dulu, Nima adalah kembang di desanya. Bunga indah yang mekarnya tak cuma membuat banyak orang terkagum-kagum, tapi juga harum menebarkan wewangiannya kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Sebagai putra kepala desa, Sobri beruntung akhirnya berhasil memetik bunga indah bernama Nima itu. Tapi hidup ternyata berubah begitu cepat. Sobri menjadi bukan siapa-siapa ketika ayahnya meninggal dunia setahun setelah pernikahannya dengan Nima sampai kemudian datang seorang pengerah tenaga kerja dan menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan di Chiba, Jepang. ”Chiba itu seperti Depok. Letaknya tak begitu jauh dari Tokyo, seperti juga Depok yang tak begitu jauh dengan Jakarta,” kata sang pengerah tenaga kerja. ”Banyak orang yang bekerja di Tokyo, tapi tinggalnya di Chiba. Jadi, Chiba itu kawasan permukiman, sedangkan Tokyo itu kawasan bisnis.” Sobri cuma manggut- manggut. Baginya tak penting di mana Chiba berada. Yang terpenting adalah Nima mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan rumah tangganya.

”Mak pulang jam berapa, Pak?” Arni mengusik lamunan Sobri lagi.

”Agak sore katanya,” jawab Sobri.

Nima tentu sudah berada dalam perut bus kota yang kini tengah berlari menuju arah barat dengan angin menampar-nampar pipinya serta mencerai-beraikan rambutnya, Sobri membatin. Nima pun tentu tengah dibakar kerinduan setelah tiga tahun bekerja. Dia pasti sudah tak sabar ingin memeluk Arni, buah cinta mereka setelah tiga tahun bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarganya. Tentu dalam koper yang dibawanya telah terselip barang-barang bagus untuk Arni. Kimono baru untuk anak-anak seperti biasa dibawanya setiap kali pulang. Boneka-boneka Jepang yang tak pernah dilupakannya. Hadiah buat Sobri adalah api cintanya, kehangatan tubuhnya, dan gelegak gairahnya.

Satu hal lagi yang diinginkan Sobri. Nima tak perlu lagi kembali ke Jepang. Dengan uang- uang kirimannya selama ini, Sobri telah memiliki dua sepeda motor yang digunakannya untuk ngojek dan satunya lagi disewakan. Untuk ukuran warga Desa Cibaresah, rumah mereka juga sudah lumayan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu. Bukan dari kayu atau bambu seperti umumnya rumah tetangga-tetangganya. Biarlah hidup sederhana, asalkan setiap hari bisa bersama, pikir Sobri. Sobri juga ingin memberi Arni adik.

Adik?

Sobri mendengar ketukan di pintu. Ibunya berdiri dengan sesungging senyum. ”Kapan mantuku katanya tiba di rumah, Sobri?” Dia langsung menyergap Sobri. ”Siapa saja yang pulang bersamanya? Ainun, Sarti, apa juga ikut pulang?”

Arni melompat mendengar suara neneknya. Menghampiri dan mencium tangan keriput neneknya.

”Mak pulangnya sore, Wak,” Arni membantu Sobri menjawab pertanyaan ibunya. ”Kata Bapak….”

”Betul, Sobri?” Wanita itu mengambil kursi dan duduk perlahan-lahan.

”Kabarnya begitu, Bu. Tapi, Ainun dan Sarti mungkin tidak ikut pulang,” kata Sobri menyebut dua nama TKW yang ikut bekerja bersama Nima di Jepang. Ainun dan Sarti adalah tetangga mereka. ”Lagi pula, kabarnya mereka sudah pindah ke… ke… ke Malaysia kalau saya tidak salah.”

”Kenapa rupanya?”

”Biasa, Ibu. Kontrak mereka di Jepang sudah habis.”

Satu per satu keluarga dekat dan keluarga jauh serta tetangga Sobri datang dan kemudian meramaikan rumah di tikungan jalan di mana di depannya terdapat sungai kecil yang bening airnya membuat ikan-ikan kecil yang berlari-larian ke sana kemari terlihat sangat jelas. Arni pun sudah asyik bercengkerama dan bercanda dengan sepupu-sepupunya. Dalam beberapa saat saja rumah itu sudah berubah menjadi layaknya pasar. Sesekali Sobri mendapat sindiran-sindiran nakal. Sobri menanggapinya dengan senyum-senyum.

”Ingat, Sobri,” kata abangnya, ”jangan kau izinkan lagi Nima ke luar negeri. Selama ini kan dia baru tiga kali pulang setelah lima tahun bekerja. Dia harus berhenti. Semua kau sudah punya. Ada rumah. Ada sepeda motor. Apa lagi?”

”Yang kurang cuma adik buat Arni,” sambung yang lain.

”Ya itu penting. Kau laki-laki tulen. Apa mau kau bertahun-tahun terus kesepian? Lagi pula, Nima itu kan tidak jelek. Berbahaya kalau dia pun terlalu lama di luar negeri.”

***

Tapi, sepekan setelah kepulangannya di Cibaresah, Nima mengatakan akan kembali ke Jepang, mendahului keinginan Sobri untuk mengatakan Nima tak boleh kembali ke luar negeri.

”Minggu depan saya sudah harus kembali ke Jepang, Pak,” kata Nima ketika suaminya tengah memanaskan sepeda motor di depan rumah.

Sobri menahan degup jantungnya. Rasa sesal juga menyelinap di lubuk hatinya. Kenapa aku tak mengatakan dia harus berhenti bekerja sejak kemarin? Sobri mengutuk keterlambatannya.

Nima mengatakan tak bisa berlama-lama di Cibaresah karena perusahaannya di Jepang hanya memberikan izin cuti selama dua minggu. ”Kantor saya buka setiap hari, Pak,” kata Nima ketika Sobri pura-pura mengutak-atik motornya sambil menahan gejolak di dadanya.
BAca:
Seorang perempuan america di baghdad

Dia tahu, Nima takkan mudah dicegah. Akan jadi perkelahian besar jika dia bersikeras Nima tak boleh kembali ke Jepang. Dan, jika Nima benar-benar pergi, yang akan kehilangan bukan cuma dirinya, tapi juga Arni, putrinya. Kepadanya Arni juga mengatakan ingin ibunya tak bekerja lagi di luar negeri.

”Bilang sama Makmu,” kata Sobri dua hari lalu ketika Arni mengungkapkan hal itu.

”Aku takut, Pak.”

”Kenapa takut?”

”Takut Mak marah.”

”Kenapa Makmu marah?”

Arni tak bisa menjawab. ”Makmu takkan memarahi kamu cuma karena kamu mengatakan kamu ingin Makmu tak kembali ke luar negeri,” kata Sobri meyakinkan putrinya.

”Bapak yang bilang,” Arni merajuk.

Berdiam sesaat, Sobri kemudian mengatakan, ”Ya, nanti Bapak yang akan bilang.” Dan Arni pun berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi ternyata dia belum sempat mengatakannya. Dan kini dia harus menahan rasa gundah di dadanya.

Terbayang di wajahnya duka Arni kelak begitu ibunya kembali ke Jepang. Duka seorang bocah yang menginginkan dekapan hangat dan kasih sayang orangtuanya. Duka seorang bocah yang tak lagi bisa bercerita kepada ibunya jika dia terluka karena terjatuh, tak lagi bisa menyampaikan rasa bangganya setelah bisa menghafalkan ayat-ayat suci Al Quran dari guru mengajinya, karena tak bisa lagi meminta uang jajan jika ayahnya sedang tak ada di rumah, atau mengantarkannya berjalan-jalan di pematang sawah sambil menikmati hamparan padi yang menguning indah seperti permadani.

Kepulangan Nima memang membawa uang yang sangat banyak. Mereka bisa membeli pesawat televisi baru, membeli sepeda kecil untuk Arni, membangun pagar rumah. Malahan Nima sempat membawa Arni ke kota dan membuka tabungan untuk putrinya. Andaikan daya listrik di rumah besar, Nima juga sanggup membelikan keluarganya kulkas dan mesin cuci. Tapi, uang itu sama sekali tak bisa menggantikan sosok Nima. Yang mereka butuhkan bukan cuma uang yang banyak, tapi juga kasih sayang yang berlimpah dan tak tersekat oleh jarak. Karena itu Sobri lebih suka Nima tetap berada di rumah, di Cibaresah, bahkan meskipun mereka tak memiliki apa-apa.

Tapi, kepergian Nima tak bisa dicegah. Seminggu kemudian, Arni cuma bisa menjerit-jerit ketika ibunya melangkah meninggalkan rumah. Tak satu orang pun bisa menahan Nima. Bahkan air mata dan tangis Arni sekalipun.

***
baca:BANG acung tidak bunuh diri

Dalam perut pesawat terbang yang akan membawanya ke Jepang, air mata Nima meleleh. Tangis dan jeritan Arni terdengar melengking di telinganya. Sesaat kemudian tawa kebahagiaan Arni juga bermain-main dalam benaknya. Juga dekapan Arni yang begitu ketat menyambut kedatangannya. Dekapan yang seolah tak ingin dilepaskannya. Sesaat Nima mengutuk dirinya yang pada akhirnya tega meninggalkan Arni, bocah yang begitu membutuhkan kasih sayangnya. Berkali-kali dia mencoba, tetapi selalu gagal untuk menepis semua bayang-bayang Arni.

Dari dalam tasnya dia kemudian mengeluarkan sebuah foto. Foto Erica. Nima ingat, foto itu diambil Eric Sato ketika gadis berusia dua tahun itu tengah berlari di sebuah taman bermain di Chiba, tak jauh dari Hotel Ambassador. Gadis itu sangat menggemaskan. Erica jadi gadis kebanggaan Eric, laki-laki yang menyergapnya di suatu malam yang begitu dingin di bulan Februari tiga tahun yang lalu. Segunung sesal karena dia lupa mengunci pintu kamar apartemennya tak lagi punya arti ketika semuanya terjadi begitu cepat. Sesudahnya Nima cuma bisa mengurai air mata sia-sia hingga pagi menjelang dan bongkahan-bongkahan air yang membeku di atas jendela sedikit demi sedikit mengalirkan cairnya.

”Aku melakukannya dengan nafsu,” ujar Eric setelah benih- benih mulai tumbuh dalam rahim Nima. ”Tapi nafsuku bukan tanpa cinta. Besok kita menikah. Aku memaksamu untuk menjadi istriku. Aku akan menjadi ayah dari janin dalam kandunganmu.”

Berkali-kali Nima menegaskan bahwa dia sudah memiliki suami dan seorang anak, namun Eric tak mau memercayainya. ”Kamu masih sangat muda. Tidak mungkin kamu sudah menikah. Kamu haru menjadi istriku,” katanya.

Kenyataannya Eric memang sangat mencintainya. Dia memberi Nima segala perhatian yang dibutuhkan seorang perempuan, sampai kemudian Erica lahir, sampai kemudian dia menemukan dirinya sudah terperangkap dalam labirin kebingungan antara cintanya kepada Sobri dan Arni dengan rasa sayang yang diam-diam tumbuh dan tumbuh dan tumbuh terhadap Erica dan Eric.

Di sebuah apartemen tak seberapa jauh dari stasiun kereta MRT di Chiba (Nima selalu berjalan kaki ke stasiun itu kemudian naik kereta cepat ke Narita dan kemudian terbang ke Indonesia), Nima tahu Erica kini tengah menantikan kedatangannya. Juga Eric yang melepaskan kepergiannya ke tanah airnya dengan ancaman mematikan. ”Aku akan menyusulmu, aku akan menjemputmu jika kamu tidak kembali dalam waktu dua minggu.”baca:tabik dari tini


Nima tahu dia tak mungkin mengabaikan ancaman itu. Eric akan benar-benar menyusulnya jika dia mengingkari janjinya. Nima tahu siapa suaminya. Nima tak tahu kegemparan apa yang akan melanda Cibaresah jika hal itu sampai terjadi.

Nima kemudian menyandarkan kepalanya setelah diam-diam menelan beberapa butir obat tidur di toilet. Dalam pejam matanya tiba-tiba bayangan Arni melintas. Tengah berlari-lari bersama Erica sambil tertawa-tawa di sebuah taman entah di mana....

Kue_gemblong mak _saniah

Masdudin jengkel melihat istrinya terbahak sampai badannya berguncang-guncang seperti bemo yang tengah menunggu penumpang. ”Apanya yang lucu Asyura?”

Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh. Khawatir makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat napasnya megap-megap kumat, Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan membiarkan perempuan yang rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Dia baru mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang di balik rumah tetangga sebelah.

”Bang!”

Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah.

”Sini!”

Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti langkah istrinya ke ruang tamu.

”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura bertanya ketika Masdudin tengah mengatur napas.

Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu mengapa pagi itu, ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Saniah yang biasanya menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Tidak setiap hari juga. Dalam sepekan, dua sampai tiga kali Mak Saniah datang ke rumahnya.

”Syuraaaaa… Syuraaaaaaa… gemblong Neeeeeng!” Mak Saniah biasa memanggil istrinya. Lalu tubuh rentanya duduk di teras rumah setelah meletakkan sebuah panci besar berisi jajanan berupa kue gemblong atau kue unti.

Asyura tak pernah membiarkan Mak Saniah pulang dengan tangan hampa. Begitu mendengar suara Mak Saniah, dia segera mengambil piring dan menjumpai Mak Saniah di luar. Selembar uang Rp 5 ribu biasa diberikan Asyura kepada Mak Saniah dan mengambil kue gemblong empat hingga lima buah serta unti dua sampai tiga buah. Mak Saniah tak pernah menjual kue-kuenya lebih dari Rp 500 per buah. Dengan uang Rp 5 ribu seharusnya Asyura bisa mengambil 10 buah kue. Namun, hal itu tak pernah dilakukan Asyura. Dia selalu mengambil kue-kue secukupnya dan membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Saniah. Sesekali Asyura juga memberikan Mak Saniah lembaran uang sepuluh ribuan tapi mengambil jumlah kue yang sama serta tak mengambil uang kembaliannya.

”Terima kasih banyak ya, Neng. Semoga rezeki Neng banyak, berkah, anak-anak pada sehat, disayang laki, setia,” kata Mak Saniah selalu sembari menyelipkan uang di balik lipatan kainnya (Mak Saniah semula biasa meletakkan uangnya di balik alas kue dari koran bekas di dasar pancinya. Namun, kini tak pernah lagi dilakukannya karena dia pernah kehilangan uang yang sudah dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari para pembeli).

”Lucu juga kalau nggak ada angin nggak ada hujan abang tiba-tiba kepingin kue gemblong Mak Saniah,” kata istrinya. Masdudin melirik ke depan rumah, pada tempias gerimis yang membasahi genting rumah tetangganya. ”Abang ngidam? Ngidam istri kedua abang?”

Masdudin memalingkan wajah dari kerlingan istrinya. Bukan dia ingin menyembunyikan sesuatu, tapi untuk membuang rasa kesal yang selalu dilakukannya jika Asyura mulai agak merajuk. Belakangan, Asyura memang kerap melontarkan sindiran serupa itu. Mungkin juga karena usia yang makin beranjak dan garis-garis ketuaan yang kian ramai. Padahal Asyura pun tahu, Masdudin takkan mungkin punya istri lebih dari satu. Dia tak cukup punya modal. Tampang pas-pasan. Kantong pas-pasan. Keberanian pun pas-pasan.

Tapi, pertanyaan itu pun wajar dilontarkan Asyura. Sejak pertama kali Mak Saniah menjajakan kue gemblong ke rumahnya hingga kini, gemblong Mak Saniah ya begitu-begitu saja. Bentuknya sama gepeng seperti kue-kue gemblong lainnya, agak besar dan agak lembek. Kue gemblong Mak Saniah juga tak sekering, serenyah, dan seenak gemblong yang pernah dibeli Masdudin ketika dia dan keluarganya jalan-jalan ke Taman Bunga di kawasan Puncak tahun lalu. Jadi, terasa ada yang aneh jika kini dia merindukan kue gemblong Mak Saniah.

”Bang Masdud,” Asyura mengagetkan suaminya. ”Ada apa?”

Masdudin jadi sedikit serba salah.

”Aku cuma…” Masdudin menyahut sambil coba mencari jawaban yang pas. ”Aku cuma merasa aneh saja. Belakangan kan Mak Saniah tak pernah datang lagi. Dia kan sudah sangat tua. Jangan-jangan….”

”Sudah meninggal maksud Abang?”

Masdudin menyambar permen di atas meja. Sisa jajanan anaknya. Ada sedikit rasa lega di dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya.

Usia Mak Saniah memang sudah sangat tua bahkan ketika beberapa tahun lalu dia mulai menyambangi rumah Masdudin. Seluruh tubuh putih wanita tinggi besar itu sudah dipenuhi keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan beban panci berdiameter hampir 50 cm berisi kue gemblong dan unti yang dijajakannya. Langkahnya makin terpiuh-piuh. Itulah yang membuat Masdudin atau istrinya tak pernah bisa membiarkan Mak Saniah pergi dari rumahnya tanpa menjual lima hingga enam kue jajanannya. Padahal, kue-kue itu pun hanya dimakan satu-dua buah. Anak-anaknya lebih suka makan panganan lain. Kue-kue gemblong Mak Saniah dibeli hanya agar hati Mak Saniah senang.

”Belakangan Mak Saniah memang makin jarang datang. Aku dengar dia sudah sakit-sakitan,” kata Asyura.

”Tapi ya memang kasihan juga orang setua dia masih juga berjualan,” Masdudin menimpali.

Asyura lalu bercerita tentang Mak Saniah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya tak pernah dia dengar. Bahwa Mak Saniah adalah wanita dengan tujuh anak. Bahwa anak-anaknya pun sudah pada ”jadi orang”. Bahwa Mak Saniah memilih tetap mendiami rumah sederhananya di kampung yang bertetangga dengan kampung tempat di mana Masdudin dan keluarganya tinggal. Bahwa Mak Saniah, setelah suaminya wafat belasan tahun lalu, memilih menghidupi dirinya dengan berjualan kue gemblong buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan hidup tanpa harus merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya.

BACA:Ketika cinta bertasbih

”Jadi, anak-anak Mak Saniah sebetulnya sudah melarang dia berjualan. Tapi Mak Saniah tetap membandel,” kata Asyura menutup cerita panjang lebarnya.

Masdudin juga tak pernah meminta istrinya untuk mencari tahu bagaimana kabar Mak Saniah saat ini, tapi pada hari Minggu berikutnya keduanya sudah berada di depan rumah Mak Saniah setelah berusaha mencari dengan bertanya ke sana kemari. Dari bertanya itu pula keduanya tahu bahwa Mak Saniah kini memang sudah tak lagi bisa memaksakan diri untuk berjualan. Beragam penyakit berkumpul dan menyatu dalam tubuh rentanya. Mulai dari pikun, rematik, pengapuran, darah tinggi, sesak napas, dan mata yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Cuma kuping Mak Saniah yang masih berfungsi dengan lumayan baik.

Dari pembaringan Mak Saniah menyambut kedatangan Masdudin dan Asyura setelah seorang cucunya, seorang gadis berusia 20-an tahun, mengantarkan mereka masuk ke kamar Mak Saniah.

Begitu masuk ke ruangan itu Masdudin dan Asyura membaui wewangian asing tapi menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, tampak sangat terawat. Tak banyak benda-benda berserakan. Tempat Mak Saniah berbaring juga sangat bersih.

”Ya Allah mimpi apa ya Mak semalam? Elu tahu rumah Mak, Neng?” sambut Mak Saniah. Masdudin melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Saniah.

”Ya, kita kan tetangga, Mak. Tetangga kampung. Nggak jauh. Cuma satu kali naik mobil angkutan.”

Mak Saniah tersenyum tipis. ”Ya, memang nggak jauh ya, Neng. Makanya Mak pun kalau jualan sampai ke rumah Neng Syura….”

Tanpa diminta, gadis yang tadi mengantarkan Masdudin dan Asyura sudah menyuguhkan dua gelas teh panas dengan sekaleng biskuit.

”Ayo, minum dulu dah, Neng. Makan tuh biskuitnya. Cuma itu yang ada. Mak sudah nggak sanggup bikin kue gemblong,” ujar Mak Saniah begitu baki diletakkan di atas meja.

Masdudin dan istrinya bertukar pandang dan berbagi senyum.

”Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan, Neng.” Mak Saniah melanjutkan kalimatnya sambil menggenggam tangan Asyura yang kini sudah duduk di sisi Mak Saniah di tempat tidur Mak Saniah. ”Bukannya apa-apa, Neng. Mak ingeeeet terus sama orang-orang yang suka beli gemblong Mak, terutama Neng Asyura ama laki Neng Asyura yang nggak pernah nggak beli gemblong Mak. Kalau orang sudah cocok kan susah ya, Neng. Biar banyak makanan laen, tetep yang dicari gemblong-gemblong Mak Niah juga. Iya kan?”
baca:cinta ku jauh di komodo

Masdudin tersenyum sambil melempar kerling kepada istrinya.

”Betul, Mak. Gemblong Mak Niah memang beda dari yang lain,” Asyura menimpali, menahan senyum. ”Manisnya pas, lembeknya pas, gedenya pas, terus nggak mahal.”

Wajah Mak Saniah tampak cengar. Berbinar. ”Ya, Mak mah kalau jualan emang nggak cari untung gede-gede. Yang penting ada untungnya biar sedikit. Cukup buat makan. Buat apa Neng harta dibanyakin. Amal ibadah yang harus dibanyakin. Harta mah nggak dibawa mati.”

Dua minggu berikutnya, pada Minggu yang cerah, Masdudin mendengar suara seseorang di luar.

”Saya Cindi, Pak,” kata gadis yang berdiri di hadapan Masdudin begitu dia membuka pintu. ”Saya cucu Mak Saniah yang kemarin mengantar Bapak sama Ibu ketemu Mak.”

”O, iya… iya… saya ingat. Kan baru kemarin,” kata Masdudin seraya mempersilakan tamunya masuk. Dari kamar belakang Asyura muncul dan memperlihatkan kekagetannya.

”Ada apa ini?” Asyura langsung bertanya. ”Apa ada kabar buruk tentang Mak Saniah?” lanjut Asyura. Kali ini, pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Namun, ada debar-debar di dadanya.

Cindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada Asyura. ”Ini ada titipan dari Mak. Katanya minta disampaikan kepada Bu Asyura. Karena ini amanat, jadi buru-buru saya sampaikan.”

”Surat apa ini?” Asyura bertanya.

”Nggak tahu, Bu. Saya juga nggak bertanya kepada papa yang minta saya mengantarkannya ke sini sesuai pesan Mak.”

Asyura menimang-nimang amplop itu. Adakah Mak Saniah mengembalikan uang-uang yang selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berutang? Rasanya tak mungkin.

”Kabar Mak Inah gimana?” Masdudin tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk mendengar kabar Mak Saniah setelah beberapa saat sama-sama terdiam.

”Mak sudah meninggal,” jawab Cindi segera. Ia menatap wajah Masdudin dan Asyura bergantian.

”Innalillahi….” Masdudin dan Asyura berucap hampir berbarengan.

”Meninggalnya hari Jumat kemarin,” lanjut Cindi.

Masdudin dan Asyura saling berpandangan. ”Kenapa kami tak dikabari?” Masdudin lebih dulu bersuara.

Cindi mengulas bibirnya dengan senyum. ”Maaf… maaf… kami memang kepikiran untuk memberi kabar. Tapi kami belum tahu ke mana harus memberi kabar. Rumah Bapak dan Ibu pun baru saya coba cari hari ini sesuai petunjuk Mak waktu masih hidup. Itu pun karena memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak mungkin menahan amanah, apalagi bagi orang yang sudah wafat. Alhamdulillah ketemu.”

Membuang napas sekaligus rasa menyesalnya karena tak bisa menghadiri prosesi pemakaman Mak Saniah, Asyura lalu ingat cerita Rosa, putri bungsunya. Hari Jumat lalu, kata Rosa kemarin, melihat Mak Saniah duduk di teras rumah mereka dengan panci kue gemblong tergeletak di sisinya.

”Dia nggak bilang apa-apa, bunda. Diam aja seperti patung. Terus aku ke dapur untuk mengambil piring karena ayah nggak ada dan bunda di kamar mandi, Aku kan ada uang dua ribu untuk beli kue gemblongnya. Tapi, waktu aku ke depan lagi, eh Mak Saniahnya udah nggak ada. Aku cari-cari nggak ketemu. Padahal kan dia jalannya lamban. Tapi, aku kejar sampai ke depan juga nggak ketemu. Ya udah, aku nonton TV lagi,” kata gadis berusia lima tahun itu.

Asyura ingin menyampaikan cerita itu kepada Cindi, tapi dia membatalkannya karena Cindi sudah buru-buru mohon diri untuk pergi. Asyura dan Masdudin melepas kepergian Cindi dengan ucapan terima kasih berulang-ulang.

”Apa isinya, bunda?” Masdudin mengambil amplop yang masih tergeletak di atas meja.

”Aku juga penasaran. Cepat buka, Bang,” sahut Asyura.

Dengan cepat Masdudin merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua mereka membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Saniah: ”Cara Bikin Kue Gemblong Mak Saniah”...

cinta ku jauh di komodo

Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.

Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?

Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.

Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.

Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?

Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.

Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo? Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu kekasihku?

Ketika akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.

Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.

Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku….

Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003

* Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).

1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75.

2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens, kurator Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, “Introduction” dan “Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal 111-114.

3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal 111-2.

4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram.

5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal 112.

keroncong cinta

Dengan sebal Madelaine meneguk habis jus jeruk dan menyelesaikan sarapannya. Ditengoknya jendela. Langit sepenuhnya warna aluminium. Gerimis di luar membuat pohonan dan jalanan basah kuyup. Sejak pagi cuaca begini terus. Bahkan, dari kemarin. Madelaine menghela napas berat. Tak ada pilihan. Dia meraih mantelnya, lalu payung dan jas hujan. Dengan cepat ia mengenakan mantel dan mengalungkan syal. Bimbang sejenak. Memakai jas hujan atau membawa payung. Akhirnya dilemparkannya jas hujan dekat sepeda. Diraihnya payung dan bergegas ke luar. Segera saja dingin menyerbunya tanpa ragu- ragu. Dia mempercepat langkahnya. Memakai sepeda di musim dingin dan hujan menjengkelkannya karena sudah bisa dipastikan wajahnya akan basah kuyup. Namun, jalan kaki dan memakai payung juga menyebalkan. Dia harus berjalan lebih jauh mengarungi udara dingin. Salju yang kemarin masih elok jadi becek dan kotor dan licin.

Dikenangnya matahari yang benderang dan udara hangat Indonesia. Cuti yang kelewat sebentar. Cuma sebulan! Sungguh sialan, pikirnya. Sambil menyelinap dari satu gang ke gang lain, dia membayangkan gang-gang di Indonesia. Tak serapi di sini, namun seronok.

Wajah Eric Mulyana yang serba tersenyum seperti cuaca tropis membuat Madelaine jadi ikut tersenyum. Mengapa wajah begitu, kok, tidak menjadi penyanyi rock atau pop, melainkan justru keroncong! Tapi, kalau dia menyanyi rock atau pop, bagaimana mereka bisa bertemu? Keronconglah yang mempertemukan mereka. Dan permainan biolanya, dan suaranya yang hangat: rindukah kau padaku… Madelaine dengan kaget menghentikan langkah. Sebuah sepeda melintas di mukanya.

Dia mencoba berhati-hati sekarang. Hujan makin deras. Dingin makin mengiris. Wangi roti dari toko di simpang jalan menerpa hidungnya. Madelaine terkenang wangi sate di Indonesia. Tajam dan menggoda, seperti mata Eric. Apa, ya, nama group keroncongnya? Oh, ya, “Zonder Rindu”. Madelaine tersenyum. Nama yang lucu. Benarkah setelah berpisah Eric menyanyikan semua lagu-lagu cintanya zonder rindu?

Sebuah lagu lama, yakni “Keroncong Pertemuan” akan kami nyanyikan sebagai persembahan kepada tamu kita malam ini, Madelaine. Madelaine, semoga anda suka lagu ini. Dan bergemalah suara emas Eric “Pertemuan malam ini sangat berkesan. Pertemuan kali ini tak terlupakan… ” matanya yang hangat berkali-kali menyinari hati Madelaine. Di pertengahan pertunjukan, Madelaine didaulat Eric menyanyi. Sungguh Madelaine gugup. Tapi, akhirnya ia nyanyikan “Jembatan Merah” satu-satunya lagu yang syairnya dia hafal meskipun logat Belandanya tak bisa hilang. Dan, “Jembatan Merah” dia harapkan benar-benar menjadi jembatan antara dia dan Eric.

Madelaine sudah sampai di gerbang taman kanak-kanak yang dia tuju. Dia langsung menuju ruang “Play Group” dan melihat anak-anak sudah ada semua di sana. Dia bergegas ke ruang kantor dan mengambil gitarnya.

“Anak-anak, siapa yang sayang papa….”

Anak-anak mengacung dengan serentak.

“Siapa yang sayang Mama?”

Mengacung lagi serentak.

“Sekarang kita menyanyi untuk Mama dan Papa. Siaaaaap! Ohhh mijn Papa ….”

Mereka bernyanyi bersama-sama. Tapi belum lagi lagu itu selesai, seorang anak sudah berteriak,

“Mendongeng Bu, mendongeng….”

Sebagian anak menghentikan nyanyiannya dan ikut berteriak

“Bercerita… yang lucu Jufrow…”

“Tidak! Yang ngeri, yang sereeeeem!”

“Cerita rajjaaaa”

“Yang Sereeemm…”

“Raja saja….”

“Raja yang sereeeem!!!!”

“Husss! Baik, kita bercerita….”

“Horeeeee!!”

Anak-anak segera berkumpul mengerumuni Madelaine. Ada yang menyandar di pahanya, ada yang berusaha naik ke pundaknya.

“Hey, tenang dulu. Ibu mau ceritaa.”

“Naik kuda… aku naik kuda,” kata anak yang mencoba naik ke pundaknya.

“Yang tidak bisa duduk tertib tidak disayangi peri. Dia disihir oleh nenek sihir menjadi kura-kura.”

Anak yang mencoba naik ke pundaknya ragu-ragu sejenak, tapi kemudian mencoba meneruskan usahanya. Namun, ketika Madelaine mulai bercerita dan anak-anak lain tidak lagi memperhatikannya melainkan memperhatikan cerita Madelaine, anak itu menghentikan usahanya dan diam-diam memasuki kerumunan untuk mendengar cerita juga.

“Akhirnya dia diperkenalkan dengan seorang boneka pangeran dari kayu, bernama Eric. Pangeran Eric adalah seorang pangeran yang gagah dan tampan. Dia pandai menyanyi dan suaranya bisa mengubah musim dingin menjadi musim semi.

“Horeee, Pangeran Eric suruh menyanyi Bu… suruh menyanyi… biar cepat musim semi.”

“Jangan. Nanti kalau kita loncat ke musim semi, tidak ada hadiah Natal.”

“Benar Bu, kalau musim semi tidak ada hadiah Natal….”

“Natal itu bulan Desember. Jadi musim dingin. Kalau musim semi tidak ada natal.”

“Pangeran Eric menyanyinya nanti saja sesudah Natal.”

“Bagaimana kalau musim semi, tapi tetap ada Natal….”

“Tidak ada Natal kalau tidak musim dingin….”

“Di sini memang tidak ada Natal jika tidak musim dingin. Tapi di tempat lain, Natal tidak harus musim dingin. Di Indonesia, misalnya, udara tetap panas, matahari bersinar terang, daun- daun hijau, tapi tetap ada Natal.”

“Ibu bohoong!”

“Dengar anak-anak, Indonesia tidak punya musim dingin.”

“Apakah karena di sana Pangeran Eric selalu menyanyi terus-menerus sehingga selalu musim semi.”

“Benar, anak-anak. Di sana Pangeran Eric terus-menerus menyanyi. Itu sebabnya di sana matahari selalu bersinar, udara hangat dan daun-daunnya selalu hijau.”

“Aku mau ke Indonesia.”

“Aku mau Pangeran Eric terus-menerus menyanyi….”

“Tenang, ibu nyanyikan nyanyian Pangeran Eric: …Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung indah….”

Tapi, anak-anak tak bisa mengikuti lagu itu. Sebentar kemudian mereka bosan dan meminta permainan lain.

Madelaine melirik jendela. Masih gerimis. Dan anak-anak sebegitu banyaknya. Dan ribut. Dan Madelaine terkenang liburan. Tangkuban Perahu, mandi air panas. Ahh musim dingin begini, gumam hatinya. Dan anak-anak begini banyak.

Tapi akhirnya pelajaran usai. Medelaine menarik napas lega, menyusuri koridor menuju kantor. Anak-anak sudah pada berlarian ke tempat orang tuanya masing-masing yang segera memakaikan baju hangat pada anak mereka masing-masing.

Peter tersenyum melihat Madelaine masuk.

“Sejak kapan Tchaikovsky menggubah lagu keroncong?”

Madelaine tersipu.

“Sekali-kali saja, buat variasi. Lagi pula sulit memainkan Nut Cracker Tchaikovsky dengan gitar.”

“Itu alasan kedua. Alasan pertama kamu masih ada di Indonesia.”

“Masih di Indonesia?”

“Ya, hati dan pikiranmu masih di sana. Hanya badanmu yang ada di sini.”

“Peter!!!” Madelaine melemparkan tissue yang dipegangnya.

Peter menghindar.

“Mau kopi?” tanya Peter. Tapi, dia tidak menunggu Madelaine menjawab. Dia menyeduh kopi instant dari termos yang ada di dekatnya dan menyerahkannya pada Madelaine

“Bagaimana Indonesia?” tanya Peter sambil tersenyum.

“Bagaimana?” Madelaine tergagap. Bagaimana menceritakan Indonesia? Matahari bersinaran, keroncong, senyum Eric. Tak mungkin ini diceritakan pada Peter. Madelaine tertawa. “Datanglah ke sana, nanti akan tahu sendiri.”

Madelaine bergolekan dengan malas di ranjangnya. Di luar tak ada matahari. Langit seperti hamparan aluminium dingin. Winter semacam ini kerap membuatnya depresi. Hari jadi cepat malam seperti usia. Ah usia! Madelaine menarik napas berat. Bulan depan empat puluh dua tahun sudah usianya dan masih melajang begini. Belum juga ada pasangan tetap, bahkan tak tetap pun jarang. Ia menelungkupkan tubuh di ranjang, meraih bantal. Tidak bisa dibayangkan ia akan menghabiskan waktu menjadi pengasuh play group hingga masa tua, berada selalu di tengah begitu banyak anak-anak yang ribut, yang nakal, yang cengeng, yang menuntut cerita, yang minta diantar ke toilet, yang… dan tak satu pun dari begitu banyak anak-anak itu adalah anaknya. Mereka tumbuh besar dan Madelaine selalu berganti anak-anak baru. Tak satu pun dari mereka anaknya. Alangkah indahnya anak-anak yang nakal, yang menangis, yang harus diantar ke toilet dan minta didongengi jika saja anak itu anaknya. Mereka akan tumbuh, dan dia mengurus pertumbuhan itu saat demi saat. Tapi tak ada anak-anak. Dan usia seperti winter, cepat sekali jadi malam.

E-mail dari Eric kemarin membuat hatinya terhibur. Surat yang selalu hangat dan kadang berselipkan rayuan. Menikah dengan Eric tentunya menarik. Bahkan, jika perlu dia siap tinggal di Indonesia. Indonesia bagi dia identik dengan keroncong. Ternyata tak banyak lagi di Indonesia yang memainkan keroncong dan Eric kekecualian. Diingatnya kembali dia membaca sajak dan Eric bermain keroncong. Mereka dipersatukan oleh keroncong. Ia bisa berbincang berjam-jam dengan Eric perihal keroncong. Kemana pun dia pergi, Eric selalu menemani.

Madelaine segera bangun dan membuka Internet mengecek harga-harga tiket untuk musim dingin yang akan datang. Dia sudah memutuskan untuk datang ke Indonesia lagi dan memastikan hubungannya dengan Eric. Alangkah indahnya berkeluarga, pikir Madelaine. Tidak bisa lain, demikian pikirnya, aku harus memastikan hal ini pada Eric. Jarak mereka jauh. Tak masuk akal jika tidak segera dipastikan duduk soalnya.

“Tapi aku tidak menyatakan diri akan menjadi pacarmu.” Wajah Eric agak pucat.

“Tapi lagu cinta sebagai ucapan selamat datang. Rayuan-rayuanmu lewat e-mail. Kita selalu bersama ke mana-mana, dan saya yakin semua orang beranggapan kita pacaran.”

“Madelaine, kamu tidak mengerti. Lagu cinta sebagai sambutan selamat datang itu adalah… ah sudahlah. Sulit menjelaskan. Kami di sini biasa menyanyikan lagu semacam itu sebagai persembahan buat siapa saja.”

“Jadi aku sama sekali tidak istimewa….”

“Bukan begitu. Aku cuma ingin ramah. Ingin bersahabat. Engkau orang asing dan aku ingin memastikan engkau mendapatkan pengalaman menyenangkan di sini.”

“Nah, betul bukan. Kau begitu penuh perhatian padaku. Bukan salahku menganggapmu istimewa. Kukira kau pun menganggapku istimewa. Kukira kita telah mulai menjalin….”

“Madelaine, bagaimana lagi aku harus menjelaskannya.”

Madelaine tak menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tersedu. Tiga belas jam lebih di perjalanan. Bahkan sepertiga dari tabungan tahunannya sudah dia gunakan untuk membeli tiket kemari. Dan Eric…

Madelaine mengenang dengan pedih pertemuannya dengan Eric. Kedatangannya ke Indonesia sepenuhnya adalah bencana. Ia sudah bercerita pada satu dua temannya yang benar-benar dekat bahwa dia sedang jatuh cinta. Bahwa dia mungkin sekali akan bertunangan, atau bahkan menikah di Indonesia selama cuti tahun itu. Bahkan, dia hampir yakin teman-teman dekatnya bakal mengenal Eric begitu mereka bertemu karena begitu kerap dan detailnya dia bercerita tentang Eric. Dan Eric… mereka berpisah dengan buruk malam itu. Matanya sembap oleh air mata. Dan wajah Eric pucat serta kebingungan. Eric kemudian pamit dan menghilang. Madelaine tidak ingat apakah dia melambaikan tangan atau tidak. Hatinya sepenuhnya hancur. Matahari bersinar terang esoknya, tapi dia merasa semua hari telah berubah menjadi musim dingin, seperti salju kotor dan becek.

Dan kini ia ada di pesawat menuju Indonesia. Dia kerap heran dengan keputusannya untuk kembali ke Indonesia. Mengapa setelah menjalani hari-hari sedih di Indonesia tempo hari ia justru memutuskan untuk kembali ke Indonesia? Dia tidak tahu untuk apa. Dia kembali bersuratan dengan Eric lewat e-mail. Tak ada rayuan lagi di sana. Pertukaran kabar di antara mereka lebih resmi dan menjaga jarak. Mungkin dia ingin sekali lagi memastikan hubungannya dengan Eric. Mungkinkah? Beranikah dia mempermasalahkan itu lagi? Mungkin dia hanya ingin menjaga masih adanya hubungan. Tidak perlu asmara, tapi paling tidak masih bisa bersama main keroncong, berjalan-jalan, mengobrol. Paling tidak dia memiliki semacam tambatan entah apa, agar bisa tahan menjalani hari-hari penuh anak-anak yang ribut, yang minta didongengi, yang berebut menaiki punggungnya, yang minta di antar ke toilet, yang tak satu pun di antara mereka adalah anaknya.

Di pandangnya layar TV di pesawat. Sejam lagi mereka akan mendarat di Jakarta. Selama di pesawat bisa dikatakan dia tidak bisa tidur. Ia selalu gelisah. Hatinya hangat dan hampa. Hampa karena sekarang dia bisa melihat ketakmasukakalan kepergiannya ke Indonesia. Hangat karena wajah Peter berkali-kali melintas dalam angannya.

Peter telah pindah dari pekerjaannya sebagai pengasuh play group dan kini bekerja di perusahaan konstruksi serta pindah ke Amsterdam. Mereka bertemu di rumah Jolanda, teman sesama pengasuh playgroup, ketika Jolanda merayakan ulang tahun. Madelaine merasa aneh mengapa selama ini dia tidak pernah memperhatikan Peter. Apakah karena Peter sesama pengasuh anak dan sama-sama tidak memiliki anak-anak itu? Atau karena mereka sama-sama tinggal di kota kecil Zoetemeer yang membuat semua hal seperti membeku dan kehilangan daya tarik. Entahlah. Tapi, dalam pesta itu ia bertemu dengan Peter. Dengan senyumnya yang lebar seperti biasa dia langsung bertanya: “Bagaimana kabarnya Indonesia?”

Dan Madelaine tersipu. Indonesia? Apa yang harus dia ceritakan mengenai itu semua. Keroncong cinta yang hampa. Rayuan-rayuan hangat tanpa makna. Air mata… Tapi mereka kemudian berdansa. Entah bagaimana mulanya, mereka pulang bersama. Peter mengantar dia sampai rumahnya. Dia menawarkan secangkir kopi buat Peter dan Peter setuju. Dia mempersilakan Peter masuk apartemennya, mengobrol bersama dan begitu saja ternyata mereka malam itu tidur bersama. Tengah malam Madelaine terbangun dan dengan takjub memandangi wajah Peter yang lelap di sampingnya. Ditelitinya detail wajah itu: alis, mata, dagu yang kehijauan habis dicukur, rambutnya yang pirang kecoklatan. Disentuhnya pipi Peter dengan lembut. Peter terbangun dan menatap Madelaine di antara kantuk.

“Ada apa memandangku begitu, sweetie?”

Madelaine tidak menjawab. Ia mencium kening Peter lembut dan Peter melanjutkan tidurnya sambil memeluk bahu Madelaine. Besoknya mereka masak berdua. Sama sekali tidak keluar rumah sepanjang hari itu.

Minggu depannya mereka berdua menyusuri jalanan bersalju memandangi camar laut yang meluncur indah di atas kanal-kanal. Sepanjang malam mereka tak pernah berjauhan. Pada salju musim dingin Madelaine mendapati hangatnya kehidupan.

Ketika Madelaine mengatakan pada Peter bahwa dia akan ke Indonesia, Peter terperanjat.

“Untuk apa ke Indonesia, sweetie…. Apakah kamu kedinginan….”

“Tidak honey, sama sekali tidak. Tiket ini sudah kubeli lama sebelum kita berhubungan. Aku mencoba mengembalikan, tapi tidak bisa. Tiket ini akan hangus jika tidak dipakai.”

“Apakah kamu punya urusan penting atau hubungan penting di Indonesia….”

“Sama sekali tidak Peter. Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana tiket ini.”

“Kalau aku harus memilih, aku lebih suka tiket itu hangus. Kau akan di Indonesia sebulan lebih… itu lama sekali sweetie…”

“Aku segera pulang, honey. Aku hanya akan membaca puisi di beberapa tempat, kemudian memberi lecture sedikit mengenai Sastra Indo-Belanda….”

“Bukankah kau sendiri yang bilang akan berhenti menulis puisi dan mengurus sastra lagi. Aku sendiri tidak mengharapkan kau berhenti. Kau bahkan berhenti mendengarkan keroncong. Kau sendiri yang bilang bahwa….”

“Honey, aku memang akan berhenti. Ini perjalanan terakhir. Aku bahkan tidak akan pernah ke Indonesia jika tidak bersamamu.”

“Kau kira tidak berat menunggumu di sini… musim dingin begini. Mengapa kau tidak cerita jauh hari akan ke Indonesia….”

Madelaine tidak tahu harus bercerita apa. Kedatangannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Ia sendiri tidak bisa menjelaskannya, bukan hanya pada Peter bahkan pada hatinya sendiri.

Kurang satu jam lagi Madelaine sudah akan ada di Indonesia. Eric berjanji akan menjemputnya, tapi untuk apa? Dia membayangkan hari-hari di Indonesia yang panas dan berkeringat, melewati bising mal-mal dan kemacetan lalu lintas. Dulu semua itu rasanya menakjubkan, tapi sekarang? Belasan jam perjalanan dan sepertiga tabungan tahunan hanya untuk meninggalkan Peter dan malam-malam indah dan musim dingin yang mengesankan. Ia menduga-duga masih akan adakah lagi sambutan lagu keroncong selamat datang dengan syair-syair cinta yang mesra dan tak bertanggung jawab dari Eric.

Ketika ia menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta, hatinya sudah sepenuhnya berada di Eropa.